Drs
Salmon Sagala
(Periode 1979 – 1984)
Priode Penjelajahan Wilayah Terisolir
Rumah
bersuasana tenang dan sejuk di jalan Gelas No.29 Medan itu terasa sunyi. Namun
sore hari Rabu (11 Maret 1997) itu terik matahari terasa begitu menyengat.
Langit kelihatan bersih tak berawan. Suasana di kawasan jalan Gelas itu terasa
tenang,nyaman, dan asri.
Setelah tombol bel di sisi
pintu utama ditekan, tak lama kemudian sosok pria berwajah sabar dan kebapakan
muncul membuka pintu. Beliau adalah Bapak Drs Salmon Sagala, mantan Bupati
Tapanuli Utara periode 1979 – 1984, yang terpilih oleh DPRD Taput menggantikan
MSM Sinaga yang sudah dua periode menjabat bupati di daerah tertinggal itu.
Sesaat Pak Sagala menatap
tamunya seperti membayangkan apakah sebelumnya sudah pernah kenal. Tapi
keraguannya segera lenyap setelah teringat sesuatu.” Oh ya saya kenal betul
dengan anda”, katanya lembut seraya mempersilahkan penulis duduk di kursi yang tersedia di beranda depan.
Wajahnya saat itu tampak sudah mulai lesu dan warna putih sudah mencerminkan
proses penuaan pada sebagian rambutnya.
Dibanding kondisi fisiknya
semasa menjadi orang nomor satu di jajaran pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara, terlihat kondisi
fisiknya jauh menurun, akibat gangguan kesehatan yang dideritanya pada bagian
kaki, selain faktor usia yang mulai menggerogoti daya tahan fisiknya. Namun
semangat dan daya ingatnya masih segar ketika diajak bicara tentang pengalaman
dan pandangan-pandangannya seputar Tapanuli Utara. “Saya masih banyak ingat
berbagai hal yang mungkin anda perlukan,” katanya dengan kelembutan suara yang
menjadi ciri khasnya. Ketika masih menjabat bupati Tapanuli Utara, tokoh PDI AB Silalahi yang berulangkali menjadi anggota DPRD Taput, menyebut beliau sosok bupati yang memimpin dengan mindset seorang guru. "Pak Salmon itu meski seorang guru tapi mampu dan penuh semangat berjalan kaki ke mana saja hanya untuk melihat langsung kondisi kemasyarakatan dan wilayah-wilayah terisolir," kata AB Silalahi (alm) dalam suatu percakapan terpisah dengan penulis.
Percakapan santai namun
serius bermula di beranda rumah yang nyaman itu. Suasana terasa lebih rileks
oleh tiupan angin kota Medan yang berhembus melintasi aneka bunga yang terawatt
baik di sekeliling halaman rumah. Tak lama kemudian, sosok seorang ibu
berpostur semampai dan kelihatan tetap rapi, muncul di ambang pintu, langsung
menyapa tamunya. Dia adalah Ellen boru Samosir, isteri Salmon Sagala.
Keramahtamahannya masih terasa familiar seperti dulu ketika menjadi first
lady di Tapanuli Utara.” Tak baik terima tamu di luar Pak, sebaiknya ke
dalam saja”, cetus wanita yang tampak masih ceria di usianya yang beranjak
senja. Bayang kecantikan alami masih kelihatan pada wajah ibu ini.
Alm Salmon Sagala dan isteri Ellen Br Samosir 2008 (Foto:Leonardo TSS) = |
Itulah terakhir kali Pak Sagala bertemu penulis, sebelum beliau meninggal dunia dengan tenang hari Rabu tanggal 18 Juli 2001 di rumahnya jalan Gelas 29 Medan. Sebelumnya almarhum sempat dirawat intensif akibat penyakit yang dideritanya di Rumah Sakit Elizabeth Medan.
Pertemuan dan
wawancara penulis (Leonardo TS Simanjuntak) dengan Pak Salmon Sagala ketika itu
menjadi catatan sejarah, dan mungkin itulah yang terakhir almarhum berbicara
panjang lebar kepada wartawan tentang pengalaman dan kesan-kesannya semasa
menjabat Bupati Tapanuli Utara. Ibu E boru Samosir sesekali turut menimpali, sekadar mengingatkan manakala
ada yang salah atau luput dari ingatan Pak Sagala. Perempuan yang dulu semasa
menjadi Ketua Tim PKK Taput ini masih lincah dan ceria bicara. Dia sangat hafal
banyak sisi yang terkait dengan jabatan suaminya.
*****
Wawancara berlangsung
sekitar 2 (dua) jam lebih. Cerita pun mengalir tentang berbagai hal: tentang
pengalamannya sebagai seorang Bupati, tentang perjuangannya menggalakkan
penjelajahan wilayah serta budaya gotongroyong membebaskan desa-desa dari
keterpencilan, tentang berbagai potensi dan prospek Tapanuli Utara yang masih
harus dikembangkan, tentang isu pemekaran, tentang Dalihan Natolu yang perlu
dilestarikan, bahkan tentang pribadinya, tentang pernikahannya dengan sang
isteri Ellen boru Samosir, dan tentang anak dan cucu.
Setelah dilantik menjadi
Bupati Tapanuli Utara tanggal 16 Pebruari 1979 menggantikan MSM Sinaga,
perioritas perhatian Pak Salmon Sagala tertuju pada sektor prasarana
perhubungan khususnya infrastruktur jalan, selain sektor pendidikan dan
pertanian.
Diakui, pada Pelita I dan
Pelita II, ketiga sektor tersebut telah mengalami banyak kemajuan signifikan.
Namun factor keterbatasan waktu, dana, dan topografi wilayah yang umumnya berat
selain luas wilayah Taput, membuat berbagai hasil pembangunan itu belum lagi
bisa menyentuh seluruh kebutuhan daerah dan masyarakat.
Secara umum, masalah yang
dihadapi pemerintah Daerah dalam proses pembangunan Tapanuli Utara pada Pelita
III, antara lain: Keterbatasan dana APBD Tingkat II yang sangat minim, sehingga
untuk memperluas jangkauan pembangunan harus mengusulkan bantuan dana dari APBD
Provinsi, APBN, dan Inpres. Selain itu masalah pengadaan dan pembebasan tanah
untuk proyek pembangunan fisik, disebabkan dananya tidak tersedia dalam DIP
atau jumlahnya relative kecil, sementara masyarakat pemilik tanah sudah semakin
mengetahui manfaat dan pentingnya tanah yang dimiliki. Di samping itu, status
pemilikan tanah adat atau marga yang dominan, menyebabkan proses pembebasan
tanah sering berliku. Adakala, sebuah proyek terpaksa dipindahkan lokasinya
karena menjadi permasalahan di kalangan marga atau keluarga tertentu. Sementara
di sisi lain, terbatasnya alat-alat berat seperti Walls, Greder atau Bulldozer
dalam pelaksanaan proyek berskala besar yang butuh alat berat.
“ Dalam serba keterbatasan
itulah kita menggalakkan gotongroyong masyarakat terutama dalam membebaskan
keterpencilan desa”, ujar Sagala yang sempat dijuluki “Bupati Gotong Royong”,
pada masa jabatannya.
Namun secara umum beliau sangat tidak setuju
predikat Peta Kemiskinan yang ditempelkan ke Tapanuli Utara. Menurutnya
kemiskinan itu relatif, tergantung dari sisi mana melihatnya. “Kita tidak perlu
merasa malu mengakui kemiskinan, bahkan seharusnya kritik tentang hal itu
menjadi cambuk bagi kita untuk berpacu meraih kesejahteraan. Masalahnya yang
penting bagaimana membuat masyarakat kita semakin sadar sehingga perlu bekerja
lebih giat meninggalkan budaya malas dan pola hidup santai”, kata almarhum
dalam tatap muka dengan masyarakat Tarabintang di awal tahun 1980 an.
Salmon Sagala menyebut orang
Batak sangat cinta pendidikan. Itu ciri atau tipikal yang harus dipertahankan.
Dengan semakin majunya prasarana dan sarana pendidikan, proses pencerdasan
masyarakat bisa lebih cepat. Momentum ini jangan sampai disia-siakan, karena
kemajuan zaman menuntut SDM yang memiliki kualitas di semua bidang.
Salmon Sagala yang meninggal
dunia pada usia 70 tahun, lahir tanggal 14 April 1931 di Desa Sagala, Sianjur
Mulamula, Samosir, merupakan anak kedua dari 7 (tujuh) bersaudara. Orangtuanya
pasangan Elias Sagala dan Buntulan br Simbolon adalah orangtua yang sangat
menghargai pendidikan, dan selalu mendorong anak-anaknya agar bisa maju sebagai
orang terpandang.
Almarhum Salmon
Sagala mulai mengenal pendidikan SR (Sekolah Rakyat) di Sagala, Samosir, dari
sana melanjut ke SMP di Pangururan, SMA di Muara, Tarutung, dan Balige. Setelah
tamat SMA, talentanya untuk menjadi seorang pamong makin menonjol. Seterusnya
beliau memasuki KD-C (Kursus Dinas C), lalu masuk ke APDN Malang, tamat tahun
1958. Setelah selesai menjalani
pendidikan di APDN, Sagala masuk pegawai di
Kantor Bupati Simalungun, selanjutnya pindah ke kantor Kewedanaan Padang,
Tebing Tinggi. Kariernya makin terang, setelah tahun 1962 diangkat menjadi
Camat Patumbak, kemudian meraih gelar sarjana S1 (Drs) dari Universitas Gajah
Mada tahun 1964. Dari Camat Patumbak, Sagala kemudian ditarik menduduki Kepala
Bagian Pendidikan di Kantor Gubernur Sumut, seterusnya menjadi Direktur APDN
Medan menggantikan Hutagalung tahun 1966.
Tahun-tahun berikutnya,
Sagala dipercayakan menjadi Kadit Ketertiban Kantor Gubsu, selanjutnya menjadi
Kepala Biro Pemerintahan. Semasa menjabat Kadit Ketertiban, masih sempat
ditugaskan menjadi Pelaksana Bupati Simalungun karena Bupati TPR Sinaga
meninggal dunia. Setelah beberapa saat menjabat Ka.Biro Pemerintahan Kantor
Gubsu, beliau diangkat menjadi Asisten I Setwildasu membidangi pemerintahan.
Dari sanalah beliau ikut maju menjadi calon Bupati Tapanuli Utara, dan
memenangkan pemilihan, seterusnya dilantik tanggal 16 Pebruari 1979.
Setelah masa jabatannya
sebagai Bupati Taput berakhir 1984, beliau diercayakan kembali menduduki posisi
Asisten I di kantor Gubsu, selanjutnya menjadi Pembantu Gubsu Wilayah II di
Pematang Siantar. Kariernya sebagai birokrat berakhir setelah memasuki pensiun
pada 1996. Namun beliau masih mengabdikan tenaga dan pikirannya sebagai
pendidik di Widyasuara dalam usia 65 tahun. Meski sudah pensiun bukan berarti
istirahat total dari kegiatan. Hari tuanya masih terus padat dengan berbagai kesibukan
rutin. Di tahun 1998 beliau masih aktif menyumbangkan tenaga dan pikiran di BP7
Sumut, sebagai tenaga pengajar di Universitas Nommensen dan Universitas
Methodis. Beliau juga sempat menjabat Rektor Universitas Methodis selama 4
tahun. Beliau juga tercatat pernah merangkap sebagai anggota DPRD-SU semasa
menjabat Direktur APDN Medan. Sungguh suatu aktivitas yang padat.
“Tiada hari tanpa berpikir
dan bekerja”, demikian dikatakannya ketika ditanya apa motto beliau dalam
menjalani hidup ini.
Almarhum Salmon Sagala
menikah dengan isteri tercinta Ellen br Samosir tanggal 11 Agustus 1957, saat
beliau masih bertugas di Kantor Kewedanaan Tebing Tinggi. Dari perkawinan
mereka yang berbahagia, mereka dikaruniai 6 orang anak, 3 anak lelaki dan 3
anak perempuan, serta beberapa orang cucu. Sang isteri adalah anak pertama dari
10 bersaudara buah perkawinan pasangan Darianus Samosir dan Marali br
Situmeang. Ellen Samosir yang lahir tanggal 25 April 1937 memang sosok ibu yang
berbahagia. Seperti halnya sang suami, ibu boru Samosir juga dikenal sebagai
seorang ibu yang selalu sibuk, terutama dalam kaitan membantu tugas-tugas suami
selaku Ketua Tim Penggerak PKK , pengurus Dharma Wanita, dan berbagai kegiatan
wanita lainnya.
Anak pertama dari pasangan
Alm Salmon Sagala/ Ellen br Samosir, yakni Septiana Sagala kawin dengan marga
Purba yang bekerja di BPDSU Tarutung, Drs Otto Duana Sagala kawin dengan Ir
Titik br Samosir, Ir Yanhan Tumbaksyah Sagala kawin dengan boru Simbolon,
Yandik Tumio Sagala kawin dengan Linda panjaitan SE. Dua putri lainnya adalah
Julietta Sagala yang kawin dengan Irianto Marbun dan si bungsu Dra Nowiti
Sagala yang kawin dengan Dwimen Tarigan SE.
Bagaimana tentang pola yang diterapkan dalam
mendidik anak-anak. “ Sederhana saja, tak berlebihan, karena anak-anak semuanya
penurut dan menghargai nasehat orangtua. Suasana diupayakan tetap demokratis,
dan motto tiada hari tanpa kerja selalu dipompakan kepada semua anak-anak”,
ujar ibu boru Samosir menimpali.
Almarhum Salmon Sagala
sesungguhnya sangat aktif menjaga kondisi kesehatannya. Di kala senggang suka
membaca, dan jalan santai pagi hari. Biar menderita gangguan pada bagian kaki
(sudah pernah dioperasi di Singapura), namun tetap semangat. Menjelang akhir
hidupnya, makan masih normal, untuk menjaga kadar gula berlebih. Bahkan ketika
berlangsungnya gotongroyong besar-besaran membuka jalan antara Tulas ke Binanga
Ara di Sianjur Mulamula yang disponsori perantau asal Sagala tahun 1998,
almarhum bersama isteri masih menyempatkan diri ikut meninjau bersama rombongan
Bupati TMH Sinaga.
Lalu, apa pesan almarhum
Salmon Sagala sebagai mantan Bupati Tapanuli Utara. Dengan tatap mata yang
mulai pudar dan suara yang agak pelan, beliau berucap:” Masyarakat Tapanuli
Utara supaya tetap menjaga kesatuan dan persatuan dalam membangun daerah kita
tercinta. Hindarkan perselisihan antar sesama, dan tetap mendukung segala
kebijaksanaan Pemerintah Daerah dalam memacu pembangunan. Karena dengan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat masa depan bona pasogit Tapanuli Utara
akan semakin cerah. Masih banyak potensi yang bisa digali, dan hasilnya akan
melimpah ruah apabila dikelola dengan sungguh-sungguh”.
Drs
Salmon Sagala sudah tiada. Namun nama beliau serta amal perbuatannya semasa
menjadi Bupati Tapanuli Utara akan tetap membekas menjadi kenangan generasi
penerus. Masyarakat yang menghargai pemimpin-pemimpin terdahulu, adalah
masyarakat yang berbudaya tinggi.
Periode kepemimpinan
Drs Salmon Sagala disebut sebagai “periode penjelajahan”. Istilah itu pernah
diungkapkan TS Hutauruk (alm), seorang tokoh masyarakat dari Kecamatan
Sipoholon, dalam suatu acara di wilayah kecamatan itu tahun 1982.
Menurut Hutauruk, pada periode
kepemimpinan Salmon Sagala, semangat gotongroyong masyarakat di wilayah
terpencil begitu bergelora. Gerakan menembus keterpencilan desa memang telah
dimulai pada masa jabatan MSM Sinaga, tapi masih banyak wilayah yang harus
dibebaskan dari keterisolasian. Sejak 1979, Salmon Sagala bekerjasama dengan
jajaran TNI, menjadikan gerakan gotongroyong pembukaan jalan kecamatan dan desa
sebagai fokus kebijakan untuk menghidupan perekonomian daerah. Berbagai desa
yang sulit dijangkau kenderaan roda empat dan roda dua, berhasil dibuka dengan
gotongroyong massal. Pada masa itu salah satu gerakan gotongroyong spektakuler
adalah pembukaan jalan Tarabintang - Siantar Sitanduk di Kecamatan Parlilitan,
pembukaan jalan Hutajulu Kec.Parmonangan bersama TNI, pembukaan jalan di
Kecamatan Habinsaran.
Drs Salmon Sagala mantan Direktur
APDN Medan dilantik menjadi Bupati Kabupaten Tapanuli Utara tanggal 16 Pebruari
1979 berdasarkan Surat Keputusan Mendagri No: Pem/7/4/43-195 tanggal 13
Pebruari 1979.
Pada periode Salmon Sagala, ada fenomena penting menyangkut
perkembangan struktur pemerintahan dengan terbitnya Surat Keputusan Mendagri
tanggal 16 Mei 1983 No.26-228, tentang pembagian 5 (lima) Wilayah
Pembangunan (WP).
Ke 5 WP tersebut terdiri dari:
1. WP I berpusat di Tarutung dengan 5 wilayah
bawahan 5 kecamatan
2. WP II berpusat di Siborongborong dengan 5 kecamatan bawahan
3. WP III berpusat di Dolok Sanggul dengan 6
kecamatan bawahan
4. WP IV berpusat di Balige dengan 6 kecamatan
bawahan
5. WP V berpusat di Pangururan dengan 5 kecamatan
bawahan
Ke 5 WP ini kemudian menjadi dasar
untuk menetapkan kebijakan ekonomi, sosial budaya, pemerintahan, termasuk dalam
penetapan strategi pengembangan pariwisata, pada 9 kawasan perioritas, yakni
Ajibata, Porsea, Balige, Tuktuk Siadong, Siborongborong, Dolok Sanggul,
Tarutung, Lumbanjulu, dan Lagundi.
Perkembangan berikutnya, dalam
upaya maksimalisasi pelayanan kepada masyarakat, telah dibentuk 13 Perwakilan
Kecamatan berdasarkan SK Mendagri No.138/2906/PUOD tanggal 15 Agustus 1985, jo SK Gubsu No
138/3655/K-1985.
Pada periode Salmon Sagala, sasaran
Repelita III difokuskan pada peningkatan produksi pertanian, minimal
mempertahankan surplus beras yang telah dicapai pada Pelita I dan II.
Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan potensi yang ada,
menyeimbangkan struktur perekonomian antara pertanian dan non pertanian.
Mengupayakan peranan industri, pariwisata, dan infrastruktur.
“Pariwisata akan berkembang jika
didukung sarana komunikasi yang baik, tumbuhnya industri kerajinan. Sedang
pertanian semakin maju jika didukung agro industri yang menghasilkan sarana
produksi pertanian itu sendiri”, papar Sagala.
Memperhatikan berbagai peningkatan yang dicapai pada Pelita
I dan II, diharapkan pertumbuhan ekonomi pada Pelita III semakin melejit.
Target pertumbuhan ekonomi pada Pelita III adalah 7 (tujuh) persen per tahun,
dan ternyata daoat direalisasikan 7,6 persen pada akhir Pelita III.
Lahan tidur menjadi salah satu program dalam Pelita untuk
digarap. Namun menurut Sagala, masyarakat Taput umumnya masih pasif dalam
pengembangan usaha-usaha perkebunan. Salah satu masalah adalah tingginya
frekuensi perpindahan penduduk yang setiap tahun bertambah. Dalam 2 dasawarsa (
1961 – 1981), banyak warga Taput memilih pindah keluar daerah, sementara laju
pertumbuhan penduduk dalam dua dekade itu tergolong rendah. Antara tahun 1961
sampai 1971 pertumbuhan penduduk hanya 1,09 persen, dan tahun 1971 sampai 1981
hanya 1,02 persen. Banyak lulusan SLTA melanjut keluar daerah, dan jika sudah
menyelesaikan studinya jarang yang kembali ke Taput. Akibatnya, timbul kesan,
bahwa warga yang tinggal di Bona Pasogit hanya kalangan orangtua dan kalau pun
ada generasi muda yang tinggal kebanyakan yang rendah pendidikan dan ketrampilan.
Sebelum
pemekaran, Kabupaten Taput termasuk daerah yang sangat luas, mencapai 1.060.530
Ha termasuk Danau Toba, merupakan kawasan terluas di Tapanuli setelah Tapanuli
Selatan. Dibanding daerah lain, Taput dua kali lipat lebih luas dari Provinsi
Bali yang luasnya hanya 581.000 Ha, atau sekitar setengah dari luas Provinsi
Bengkulu yang luasnya 2.116.800 Ha. Terkait dengan itu, Mendagri mengeluarkan
SK tanggal 12 Mei 1983 menyetujui pembentukan 5 Pembantu Bupati berdasarkan
sub-wilayah pembangunan di Tapanuli Utara, untuk mendekatkan pelayanan
kepemimpinan ke wilayah kecamatan.
Pada Pelita III, Kabupaten Taput
terdiri 27 Kecamatan, 871 desa, terdiri dari 840 Desa dan 31 Kelurahan.
Pembangunan Tapanuli Utara pada
Pelita III mengacu pada Program 8 Sukses Nasional, yakni Sukses Pangan, Inpres,
Sukses Inpres Dati II, Sukses Sekolah Dasar, Inpres Kesehatan, Inpres
Penghijauan, Inpres Penunjang Jalan, Kependudukan &KB, Sukses P4, Sukses
Keppres 14/1980, Sukses Pertanahan, dan Sukses Non Migas.
Sekilas gambaran pelaksanaan
pembangunan pada Pelita III (1979/1980 – 1983/1984), secara volume fisik maupun
dana yang dialokasikan meningkat setiap tahun. Proyek prasarana perhubungan,
produksi, sosial, pendidikan, kesehatan, pertanian, dan lain-lain makin merata
ke setiap kecamatan meskipun dibanding kebutuhan masih sangat terbatas. Bantuan
Program Inpres Dati II untuk Taput selama Pelita III berjumlah
Rp.3.353.571.570, dengan sasaran pembangunan jalan/jembatan, irigasi, dan
sarana produksi. Alokasi dana Inpres Penunjang Jalan sebesar Rp1.887.013.000.
Inpres Pasar Rp 160.000.000, ditambah dana Inpres Pertokoan Rp 2.220.129.000
untuk pembangunan proyek Pertokoan/Pusat Perbelanjaan Tarutung, yang
pembangunannya dimulai akhir Pebruari 1984. Untuk Inpres SD pada Pelita III,
Taput memperoleh dana Rp 13.751.984.000, untuk membangun gedung sekolah dasar,
rumah dinas kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, dan rehabilitasi sekolah
yang rusak. Di bidang kesehatan, Taput memperoleh dana Rp 702.594.000 untuk
membangun sarana kesehatan, Puskesmas baru, Pustu, rumah dokter, rumah
paramedic, jamban keluarga, dan lain-lain. Demikian halnya Dana Bangdes
(Pembangunan Desa) mencapai Rp.2 miliar lebih, yang dikucurkan setiap tahun.
Dalam konteks pertanian, produksi pangan ditargetkan bisa
seimbang dengan kebutuhan daerah. Produksi beras pada periode Pelita III cukup
signifikan, naik 2,44 persen setiap tahunnya. Jika tahun 1979 produksi beras
sebanyak 141.071 ton, tahun 1983 menjadi 155.275 ton. Kenaikan produksi itu
dampak dari peningkatan areal intensifikasi (Bimas/Inmas), Insus Opsdema
(Operasi Desa Makmur), serta makin tingginya kesadaran masyarakat terhadap
peningkatan kinerja pertanian untuk perbaikan ekonomi.
BIODATA
Nama
lengkap : Salmon Sagala
Tempat/Tanggal
Lahir : Sagala, Sianjur Mula-Mula 14 April 1931
Orangtua : Elias
Sagala/Buntulan Simbolon
Mertua : Darianus
Samosir/Br Situmeang
Pendidikan : SR
di Desa Sagala 1931
SMP Pangururan 1940
SMA di Muara, Tarutung,
Balige (1944- 1948 )
APDN Malang
(tamat 1958)
S-1 dari
Universitas Gajah Mada ( 1964)
Karier/Jabatan : Camat Patumbak (1962)
- Kabag Pendidikan Ktr Gubsu
- Direktur APDN Medan (1966)
- Kadit Ketertiban ktr Gubsu]
- Ka Biro Pemerintahan
- Asisten I Setwildasu
- Pelaksana Bupati Simalungun
- Bupati Taput (1979-1984)
- Asisten I Setwildasu (1984)
- Rektor Univ. Methodis (4 tahun)
Isteri : Ellen
br Samosir
Anak/Menantu :1. Septiana
Sagala/ Purba
2. Drs
Otto Duana Sagala/Ir Titik
3 . Yanhan
Sagala/ Br Simbolon
4. Yandik
Sagala/ Linda Panjaitan
5. Julietta
Sagala/Irianto Marbun
6. Dra
Nowiti Sagala/D.Tarigan SE
(Interviewer/Penulis: Leonardo
TS Simanjuntak/BATAKINDONEWS.Com)
Ralat: Pada caption foto tertulis tahun 2008, seharusnya 1997.
BalasHapus