Sabtu, 30 Agustus 2014

STORY: Bertemu Maya di Dunia Maya




(Struggle for Life) Gadis Ini Kuliah di UI Sambil Jual Gorengan

Amye Hutagalung gadis tangguh

  Rasa malu,sesungguhnya manusiawi. Setiap manusia tak terlepas dari rasa malu. Itulah kelebihan manusia sebagai homo sapiens dibanding makhluk hidup lainnya. Kalau seseorang, berbuat sesuatu yang melanggar hukum,etika, nilai moralitas, tak lagi punya rasa malu,itu lain soal. Mereka bakal dapat julukan “orang tak tahu malu”. Lalu, ada pula orang yang karena gengsi, malu melakukan sesuatu yang dianggapnya mencederai harga diri. Di kalangan orang Batak pernah ada istilah “BIMAS”, kependekan dari “Biarlah mati asal stan (bergaya). Bermakna, lebih baik tak jadi apa-apa kalau syaratnya harus
melakukan hal-hal yang bisa mengundang cemohan orang.
Prinsip itulah yang membedakan seorang Amye Dedio Hutagalung S.Kep,putri Selamat Hutagalung, seorang aktivis jurnalistik/LSM yang membedakannya dari banyak generasi muda yang dililit gengsi gede-gedean,sehingga tak berani melakukan
sesuatu yang menurut pendapatnya adalah hal yang memalukan. Amye (22) mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK), menyelesaikan program S-1 di universitas terdepan di negeri ini,Universitas Indonesia (UI), setelah melintasi ragam kesulitan sepanjang jalan perjuangan hingga akhirnya berujung sukacita. “Tak
banyak orang bercita-cita dan mau menjadi seorang perawat, alasannya sepele bahwa menjadi perawat itu dianggap profesi rendahan, gaji biasa-biasa saja,bahkan tergolong minimal.” Begitu kata Amye mengungkapkan dalam sebuah tulisan pribadinya dikisahkan sang ayah,Selamat Hutagalung, kepada kompasianer yang menulis artikel ini.
Lantas, Amye sendiri kenapa bercita-cita jadi perawat. “Saya ingin menjadi seorang perawat professional,handal dan mengutamakan caring ketika merawat dan membantu proses penyembuhan pasien yang sakit. Itulah landasan pikiran saya saat melanjutkan pendidikan di FIK UI,” tandas Amye,menepis anggapan profesi perawat itu rendahan. Justru baginya, perawat itu pekerjaan mulia.
Kilas balik perjuangan Amye selama proses perkuliahan memang penuh pahit getir. Tapi semangatnya yang membara meredam apapun rintangan yang dihadapi.
Dari banyak siswa peserta seleksi masuk UI se-Tapanuli pada 2009, hanya Amye yang lolos. Namun sukacita itu dihadang pula tantangan yang harus diatasi.  Selain bersaing dengan jutaan calon mahasiswa, dan membayar mahal formulir pendaftaran, Amye juga membuat pusing keluarga karena faktanya biaya pendidikan di UI sangat mahal, di mana saat itu
harus membayar iuran Rp 12.600.000. Bagaimana mungkin keluargaku yang tergolong tak mampu dengan penghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan, bisa menanggulanginya. Pada hal keluarga harus menanggung 7 anggota keluarga lain,
seorang isteri dan 6 anak. Awalnya semua keluarga menolak tak mendukung masuknya Amye  ke UI. Nyaris saja Amye depresi. Sudah bersusah payah bisa lulus seleksi masuk UI, faktanya terkendala dana.
Tapi, way out akhirnya ada
berkat doa Amye,orang tua, dan dorongan moral dari orang yang bersimpati pada Amye. Ada seberkas cahaya memudarkan mendung ketika itu. Di luar dugaan,pihak
akademik FIK UI menelpon Amye karena Amye belum melakukan registrasi ulang. Amye tanpa sungkan menceritakan kesulitan keluarga menyangkut dana. Rupanya
pihak FIK-UI tersentuh dengan keterusterangan Amye. Mereka member dispensasi berupa potongan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) menjadi Rp 7.700.000 (uang pangkal Rp 4.200.000, dan BOP persemester Rp 3.500.000). Setelah direpoti
pengisian bermacam prosedur administratif, Amye dan kelurga berupaya memenuhi segala persyaratan yang masih harus ditempuh.
Meski sudah ada aba-aba keringanan, keluarga Amye tetap saja tersandung kesulitan melunasi tagihan BOP itu. Amye berpaling ke Pemkab Tapanuli Utara, seakan dapat inspirasi. Amye mengajukan permohonan beasiswa kepada Bupati. Puji Tuhan! Amye bersorak riang. Pada acara pemberangkatan UN
bagi siswa-I SMA se Tapanuli Utara di Lapangan Tangsi Tarutung pada 2009, bupati menjanjikan bagi 3 (tiga) orang pertama yang masuk PTN akan diberikan bantuan beasiswa. “Terima kasih kepada Pak Bupati, beasiswa itulah yang selama empat
tahun ini menutupi uang BOP saya hingga saya lulus sekarang,” ungkap Amye terharu. Meski nominalnya hanya mampu menutupi BOP saja, namun Amye bersyukur, dan tak akan melupakan pertolongan yang datang dari Pemkab Tapanuli Utara.
JUAL GORENGAN-
Dengan beasiswa Rp 8.000.000 dari Pemkab Taput, Amye dan keluarga harus mencari dana untuk menutupi biaya sehari-hari,plus uang
kontrakan di Depok. Amye putar otak mencari solusi,hingga dapat ide berjualan kecil-kecilan di lingkungan kampus.” Saya tak malu berjualan gorengan di kampus, berjualan kosmetik, seraya mengikuti lomba kewirausahaan demi
memperoleh uang tambahan menutupi kebutuhan saya, papar Amye secara
terbuka. Susah memang membagi waktu dan pikiran, antara kuliah sambil cari dana sampingan. Namun itu dilakukan Amye sadar akan kondisi keluarga dan demi meraih
cita-cita yang sudah di depan mata. Tak memiliki fasilitas yang selayaknya bagi mahasiswa (Hp, laptop, computer), memang mempengaruhi prestasi belajar Amye pada awal semester. Pada semester 1 IPK Amye sangat minimal. Namun Amye tetap optimis dengan terus mencari dana tambahan demi satu target kecil,sebuah laptop kecil.
Problema lain muncul pada semester 3 tahun 2010. Amye didiagnosa
menderita appendict (usus buntu) yang sudah perforasi,harus dioperasi. Kecut pada biaya operasi yang mahal di Jakarta, Amye pulang ke Tarutung agar operasinya di sana. Toh di kampung halaman juga biayanya mahal mencapai Rp 8 jutaan. Hal itu tentu memberatkan pihak keluarga,yang mengandalkan kerja sebagai  petani biasa menjalani hidup. Setelah dioperasi, Amye dihadapkan pilihan sulit beristirahat di kampung, berbahaya kalau langsung kembali ke Depok. Hal itu akan menunda pendidikan S-1 Amye selama setahun. Namun dengan hati bulat dan dukungan keluarga, Amye memutuskan melanjutkan kuliah. Dalam kondisi bekas operasi belum sembuh dan hampir mengalami infeksi, Amye bisa mengurusi diri sendiri seraya mengikuti kuliah. Amye menyerahkan diri pada Tuhan, dan masa-masa sulit bisa dilalui.
Sambil terus berjualan gorengan, Amye akhirnya bisa membeli sebuah
laptop pada 2011,tepat ketika adik keduanya masuk kuliah bersamanya di Depok. Amye dan adiknya menggunakan laptop itu bergantian. Nilai Amye setiap semester meningkat,grafiknya selalu naik. Pada semester berikutnya Amye dan keluarga
harus mendapatkan dana ekstra karena adiknya butuh uang kuliah dan keperluan lain. Hidup sederhana harus diterapkannya bersama adik, meminimalisir pengeluaran, mengontrak rumah lebih murah,memasak sendiri, dan berjalan kaki ke
kampus. Pada semester itu Amye sudah punya jadual praktik di beberapa rumah sakit dan panti, pengeluaran pun bertambah untuk berbagai keperluan. Ditambah lagi biaya riset kesehatan sebagai prasyarat membuat skripsi berbiaya sangat besar. Pada saat pembuatan skripsi, Amye masih mengupayakan dana dengan
mengikuti proyek Riset Kesehatan dasar Dinkes RI 2013 di garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Sebagai gantinya jadual kuliahnya dipadatkan dari Senin sampai Sabtu,
dan harus double shift pada praktik di panti werdha,sidang skripsi dipercepat. Semuanya dilakukan Amye dengan tekun dan semangat tinggi. Alhasil dengan honor proyek riset 11 hari, Amye bisa melunasi biaya pembuatan skripsi, selain bayar kontrakan.
Kini, Amye sedang mengikuti kuliah program Profesi/Ners lanjutan program S-1 Keperawatan selama di UI satu tahun ke depan.Biayanya lebih mahal dari BOP saat mengikuti program S-1. Amye harus bayar uang pangkal Rp 3 juta, uang klinik Rp 2,6 juta dan BOP Profesi Rp 4,5 juta per semester, ditambah lagi biaya transportasi dan kontrakan yang lebih besar dari biaya BOP karena setiap bulan Amye harus pindah kontrakan sesuai jadual pergantian rumah sakit tempat
praktik yang ditentukan UI.”Jujur saya masih kebingungan mencari dana sebesar itu. Sedangkan sepengetahuan saya beasiswa dari Pemkab Taput atas nama saya telah dihentikan,karena hanya disediakan bagi mahasiswa program S-1 saja, bukan
untuk program profesi. Orangtua saya menawarkan solusi mengutang ke bank,
dengan mengagunkan sertifikat sawah nenek, namun pinjaman yang didapat pun sangat minim.
Amye tidak putus asa. Dia pun masih berharap Pemkab Taput bisa lagi membantu, dan untuk itu Amye melayangkan surat permohonannya kepada Bupati Taput yang dikenal sangat perduli dan concern pada perjuangan seorang anak menggapai cita-cita yang mulia.Sang ayah, Slamat Hutagalung dengan nada haru mengatakan, percaya sepenuhnya pada pertolongan Tuhan Maha Pengasih, apa yang dipinta dengan hati tulus dan percaya akan dikabulkan.Ketika kompasianer minta fotonya Amye, sang ayah bilang Amye itu tak begitu suka gambarnya dipublikasi.”Tapi nanti saya usahakan untuk melengkapi,” ujar ayah yang beberapa kali terjun bertanam cabai di kampungnya untuk bisa membantu anaknya selagi bisa. (LeonardoTS/Lihat juga Kompasiana/Kompas.Com)

Jumat, 29 Agustus 2014

Tana Toraja dan Tano Batak Bangun Patung Yesus Tertinggi di Dunia

Salah satu patung Yesus di Rumah Kapal Golat, Siatas Barita.
Di puncak Dolok Siatas Barita ini rencananya dibangun Patung Yesus, tampak sudah
dibuat kerangka dudukan patung.=

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TANA TORAJA, — Pemerintah Kabupaten Tana Toraja berencana membangun patung Yesus Kristus tertinggi di dunia. Patung raksasa itu akan dibangun setinggi 40 meter di Bukit Burake, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan.Bupati Tana Toraja Theopilus Allorerung mengatakan, tinggi patung ini bakal mengalahkan patung Christ the Redeemer di Rio de Janeiro, Brasil."Jadi, nanti tidak perlu ke Brasil. Kita bangun di atas gunung," kata Theopilus di Makale, Tana Toraja, Jumat (29/8/2014).Patung raksasa ini sekaligus untuk wisata religi di Tana Toraja. Di samping itu, Tana Toraja juga sangat kental dengan adat budaya masyarakatnya. Pemandangan alam di Tana Toraja juga tak kalah cantik."Toraja itu dari awal dianugerahi nilai budaya," lanjut Theopilus.Ia menjelaskan, suku di Toraja merupakan suku tertua di Sulawesi. Namun, penelitian terhadap suku ini masih berlanjut. Menurut Theopilus, penelitian terakhir menunjukkan bahwa suku ini telah ada 1.000 tahun lalu.Kawasan Tana Toraja berada pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 2.400 mdpl. Udara di sana cukup dingin, yaitu 15-25 derajat celsius.Saat ini, lanjut Theopilus, wisatawan mancanegara di Tana Toraja mencapai 70.000 orang per tahun dan ratusan wisatawan lokal per tahun. 

Inilah Bupati Tercantik di Indonesia (Katanya...)



Tetty Paruntu Bupati Minahasa
 -
 Kalau orang biasa pria atau wanita disebut ganteng atau cantik,                       itu mah   biasa. Tapi kalau yang dibilang cantik itu seorang  pejabat pemerintah, pastilah mengundang atensi banyak orang.Bagi pria yang suka terbayang-bayang atau berilusi, paling tidak dalam hatinya memuja-muji dalam hati, atau siapa tahu ada yang jatuh cinta diam-diam (?). Itu sah-sah saja, namanya manusia. Cenderung menyukai yang indah, cantik,smart, feminin. Apalagi kalau tahu si cantik itu perilakunya baik. Sopan, ramah, tidak angkuh atau sok cantik.
 Bupati Minahasa Selatan Tetty Paruntu disebut sebagai bupati tercantik di Indonesia. Wanita berkulit putih dengan rambut panjang tergerai ini kerap menjadi pusat perhatian di setiap kegiatan yang diikutinya.

Namun, tak hanya memiliki paras ayu, dirinya terkenal ramah dan selalu bertutur kata halus. Ibu bupati pun cukup akrab dengan wartawan.

"Saya enggak merasa diri saya cantik. Yang penting itu, kita berinteraksi dengan siapapun itu selalu apa adanya," ujar dia sembari tersipu kepada merdeka.com di ruang VVIP Bandara Sam Ratulangi Manado, Selasa (26/8). Saat itu Tetty menyambut kedatangan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie. "Banyak yang cantik, bukan hanya saya," tutur dia lagi. Menurutnya, kecantikan dari dalam (inner beauty) itu adalah kecantikan yang muncul dari sisi religius."Inner beauty itu adalah kecantikan yang muncul dari sisi iman. Itu yang harus kita pahami," kata Tetty.Dibalik paras cantik, Tetty mengaku tegas. Jangan harap ada kompromi bagi PNS nakal atau mereka yang kerja malas-malasan."Peraturan itu harus ditaati oleh siapapun termasuk pengusaha yang mau berinvestasi di Minahasa Selatan. Tak taat aturan silahkan hengkang," tegasnya. Siap Ibu Bupati!

Gordon Tobing Pakai Gitar Sipoholon di Moskow?




Albert Hutagalung mewarisi talenta ayahnya meneruskan pembuatan
gitar Sipoholon (Foto:Leonardo TS Joentak)


  Waktu saya bepergian ke Surabaya tahun lalu, saya melihat tetangga tante saya sedang main gitar. Bunyi dentingan snar gitarnya terdengar sangat bagus, tak kalah dari denting gitar buatan terbaik di Meksiko atau Yamaha Jepang. Setelah saya berkenalan dengan anak muda pemain gitar bernama Gito Sarjono itu, ternyata gitar yang dipakainya buatan Sipoholon, sebuah kecamatan terkenal di Sumatera Utara karena pemandian air panas belerangnya.
“Wah ini gitar buatan Sipoholon ya, kok jauh kali ke sini ada gitar Sipoholon,” kata saya pada Gito. Kata Gito saat SMA dulu ia punya teman marga Hutabarat, dan di tempat kos sering pakai gitar buatan Sipoholon. Setelah lulus SMA, Gito melanjut ke Surabaya atas saran kakaknya. Untuk mengusir kesepian dan refreshing saat jeda belajar, Gito merasa perlu gitar. Tapi ia ingin gitar Sipoholon seperti dipakainya waktu di Medan, karena kualitasnya tak kalah disbanding gitar yang dijual di toko. Gito pun memesan via temannya sebuah gitar Sipoholon, waktu itu harganya masih Rp 500.000.
Gitar buatan Sipoholon, Tapanuli Utara, Sumatara Utara,memang sudah lama mengukir kebanggaan dalam sejarah. Bahkan boleh disebut sudah legendaries. Meski sudah sering dipublikasikan beberapa media cetak, tapi detailnya kurang tanpa mengungkap proses alih generasi yang terjadi saat ini. Tokoh pembuat gitar Sipoholon yang sering diekspos adalah K.Hutagalung, yang kini sudah almarhum. Beliau memang kreator pertama, yang melahirkan salah satu alat musik akustik yang denting senarnya enak didengar itu.
K Hutagalung sudah tiada, tapi gitar Sipoholon – yang kini dinamakan Gitar Bona Pasogit- tetap eksis. Keahlian Hutagalung menukangi gitar, ternyata diwarisi dua putranya. Salah satunya adalah A Hutagalung (65), yang kini membuka sanggar tersendiri di pinggir Jalan Raya Km 3 Sipoholon-Tarutung. Dengan penuh semangat, pria beristrikan boru Hutabarat ini tiap hari tampak bekerja telaten menekuni pembuatan gitar. Baginya, tiada hari terlewatkan tanpa membuat gitar. Sering, seharian penuh hanya memakai kaos kutang, Hutagalung asyik mendesain gitar buatannya.
“Dulu sudah ikut membantu bapak, makanya sudah tahu cara pembuatannya”, katanya kepada penulis. Pembuatan gitar sudah dimulai alm K Hutagalung pada 1957. Sejalan dengan pembuatan organ gereja, yang waktu itu disebut Poti Marende (peti bernyanyi). Dalam wawancara dengan wartawan dulu, K Hutagalung mengatakan, gitar buatannya sudah terjual beberapa buah tahun 60 an. Tapi saat itu pembuatan gitar masih dianggap selingan, di sela-sela kesibukan merakit organ gereja."Saya dengar penyanyi bersuara hebat Gordon Tobing itu memakai gitar buatan saya waktu dia bersama rombongan grupnya Impola melawat ke Moskow dan Cina. Di sana mereka bertemu Presiden Soekarno, dan Presiden memuji ada orang Batak menyanyi di luar negeri. Saat itu seperti saya baca di koran, Presiden Soekarno sedang berkunjung ke Sovyet, dan Gordon bersama kawan-kawannya juga kebetulan diundang untuk suatu acara kesenian," tutur Hutagalung ketika itu. Namun ia tak memastikan, apa benar Gordon Tobing memakai gitar Sipoholon buatannya sampai ke luar negeri. "Waktu mendengar cerita tentang itu, saya merasa sangat bangga, dan mendorong saya lebih teliti membuat gitar, agar lebih bagus lagi suaranya," papar orang tua bertubuh kurus itu. Wawancara penulis dengan K Hutagalung (alm) itu dimuat di Harian "Sinar Indonesia Baru" (SIB) yang ketika itu sedang meroket popularitasnya. Tapi, beda dengan gitar, pembuatan organ yang mengandalkan power angin dengan genjotan kaki itu, kini terpaksa dihentikan. Pasalnya, kalah bersaing dengan organ/keyboard buatan luar negeri,seperti Yamaha,Roland, Technick KN, dan lain-lain. “Sekarang, kami fokus hanya membuat gitar, karena poti marende sudah tak laku lagi,kalah dengan keyboard canggih”, tutur pria beranak delapan ini.
Hutagalung tak bisa memastikan berapa sudah jumlah gitar yang diproduksi sejak 1957. Perkiraannya, antara 8 ribu sampai 10 ribuan buah. Pemesannya juga dari berbagai pelosok Nusantara. Bahkan, gitar buatan mereka sudah ada yang dipakai di luar negeri, seperti Jerman, Belanda, Malaysia, Singapura. Karena banyak orang memesan gitar buatannya untuk diberikan sebagai souvenir buat kerabat di luar negeri. Dulunya, selain gitar dan keroncong, almarhum K Hutagalung juga membuat strumbas. Yakni gitar besar yang khusus digunakan untuk bas. Sekarang, strumbas tak dibuat lagi, setelah munculnya gitar elektronik khusus untuk bas.
Menurut Albert Hutagalung, nama Bona Pasogit dicantumkan atas saran dari RE Nainggolan (waktu itu Bupati Taput).”Pak RE Nainggolan memang hebat. Dia sangat memperhatikan industri kerajinan tangan daerah ini. Pernah satu waktu, beliau memesan gitar sepuluh buah sekali gus, untuk disumbangkan. Beliau yang membayar semua”, kata Hutagalung mengenang.
  Harga gitar Sipoholon saat ini memang naik, berhubung kenaikan harga bahan.” Sekarang saya jual antara Rp 700 ribu sampai Rp 800 ribu”, katanya seraya memastikan kualitas gitar buatannya terjamin.Tidak kalah dari gitar yang dijual di toko. Banyak penyanyi Batak di Jakarta yang sudah memakai gitar buatannya. Proses pembuatannya tergantung kerja keras. Terkadang empat gitar bisa diselesaikan dalam seminggu. Tak jarang harus antre, karena banyaknya pesanan dari berbagai daerah, paparnya seraya menunjuk kertas bertuliskan nama pemesan yang ditempelkan di dinding sanggar kerjanya. Gitar Sipoholon dibuat menggunakan kayu khusus yang harganya saat ini lumayan mahal. Bahan kayunya jenis kayu antuang yang masih ada tumbuh di daerah pedalaman, walaupun pepohonan sudah makin menipis di kawasan hutan akibat perambahan hutan oleh toke-toke kayu yang legal maupun yang illegal.
Lalu, benarkah putra-putri asal Tarutung-Sipoholon umumnya pintar main gitar, sehingga banyak gadis non Batak yang keranjingan pada pemuda dari daerah ini? 
Boleh jadi. Dan mungkin salah satu factor pendukung, karena gitar Sipoholon banyak dimiliki keluarga di daerah itu.(Leonardo TS/ Disempurnakan dari Kompasiana/Kompas.Com)

STORY: Abang Lebih Ganteng Berkumis

Clark Gable (Ilust: wiki)


  ( LeonardoTS)
   
 Dengan langkah mantap sambil bersiul riang, Janter sore itu pulang ke rumah. Kerinduan bertemu isteri tersayang tak terbendung. Maklum mereka masih terbilang pengantin baru, belum satu bulan sejak diberkati di gereja. Janter tersenyum sendiri keluar dari rumah pangkas. Dibayangkannya satu surprise begitu bertemu Tiurma, isteri tercintanya.Kemarin, ada perkataan Tiurma yang mengganggu yang mengganggu pikirannya.Apakah abang tersayang sudi jika kumismu dicukur saja?”
Bagi Janter, apalah artinya kumis. Bila dicukur besok lusa juga tumbuh lagi. Maka sore tadi, kumis yang tiap hari dirawatnya itu pun dicukurnya sampai licin. Kini, Janter ingin tahu, apa reaksi Tiur begitu melihatnya tanpa kumis.
Agak tergesa Janter mengetuk pintu. Segera pintu terbuka, dan Tiur menyambutnya dengan pelukan mesra. “Oh Janterku, aku sedang sibuk membuat kue bolu kesukaanmu, sebentar lagi sudah siap kusajikan jelang makan malam. Bang Janter senang bukan?. Janter heran, kenapa belum ada reaksi isterinya melihatnya tanpa kumis lagi. Mungkin belum diperhatikan. “Oke sayang, aku yakin kepintaranmu masak kue bolu”, tukas Janter, sembari menghadiahkan ciuman mesra di kening Tiur. Sejenak Janter menunggu apa reaksi Tiur, apakah dia sudah melihat perobahan pada wajahnya. Lho, heran. Kok Tiur bersikap biasa saja, bahkan ketika dia melenggang ke ruang dapur. Apa dia tak merasakan ketika kucium tak ada lagi kumis yang menggelitik keningnya?
Janter penasaran masuk kamar, mengganti pakaiannya. “ Aku sudah kabulkan permintaannya mencukur kumisku, tapi sudah dicukur sikapnya biasa saja”, Janter bergumam di hati. Namun ia tak ingin mengatakannya. Biar Tiur sendiri yang menyadari adanya perobahan itu. Dirabanya tempat bekas kumis indahnya di bibir atas, lalu diamatinya wajahnya di cermin toilet. Janter duduk di kursi sambil baca koran. Diliriknya Tiurma sibuk mundar mandir dari dapur ke kamar, dan dari kamar kembali lagi ke dapur. Janter menduga-duga kesibukan ada apa isterinya mundar-mandir seperti membereskan sesuatu.
Tak lama kemudian Tiur terhenti dari kesibukan mundar-mandirnya. Ditatapnya suaminya penuh perhatian. Tapi Janter diam saja, membiarkan apa reaksi isterinya. “Sini dong ke ruang tamu bang Janter saying”, kata Tiur dengan nada mendesah. Janter bangkit mendekati isterinya. Keduanya duduk berhadapan sekarang. Janter menunggu. Toh reaksi Tiur juga belum ada. Apakah dia belum melihat kumisnya sudah licin tercukur, ataukah dia hanya berpura-pura? Janter betul-betul penasaran. Lebih penasaran lagi ketika Tiur berdiri seraya berkata” sebentar kuambilkan bolunya ya sayang…”
Janter cuma mengangguk.
Setelah potongan bolu hangat itu tersaji di meja, Janter manggut-manggut “yeah, lezat amat sayang”. Dikunyahnya bolu itu tergesa seperti kelaparan sampai empat potong. Tiur senang melihat suaminya makan bolu buatannya dengan lahap. Tapi wajah senang itu berubah menjadi wajah kecewa, ibarat langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Janter tak mengerti. Sesekali diangkat-angkatnya bibir atasnya dengan maksud bisa mengundang perhatian Tiur. Bukankah kumis itu tak ada lagi sesuai permintaannya? Heran!
Usai makan potongan bolu yang kelima, Janter mengambil rokoknya. Dia lalu beringsut mencari asbak. Biasanya asbak ada di atas lemari buffet dekat tv. Sekarang asbak itu sudah pindah ke meja dekat jendela.” Ah, kupikir asbak sudah hilang, kenapa tempatnya pindah?”
Tiur menunjukkan sikap kesal. Warna merah jambu muncul di kedua pipinya. Mulutnya cemberut. Sementara itu Janter menyadari perubahan di sekitar ruangan. Meja dekat jendela itu semula di sudut dekat pintu dapur, pesawat tv semula dekat pintu kamar sekarang berada di depan dinding pembatas ruang tamu dengan dapur, lemari hias mini dekat pintu juga sudah bergeser letak dekat pintu kamar tengah. Bah! Janter merasakan suasana yang beda. Lebih nyaman dan lebih rapi. Semua benda letaknya sudah bergeser.
“Kapan semua ini kau robah sayang. Aku suka yang begini, rasanya lebih rapi dan romantis”, Janter memuji spontan. “wah, sungguh suatu perobahan yang menyenangkan, betul-betul dilakukan seorang perempuan berjiwa seni”.
Tiur bersandar di tiang pintu dengan wajah merengut. “Abang tak pernah memperhatikan dengan cepat apa yang kulakukan untuk membuat abang senang. Aku telah capek sejak pagi menggeser semua perabotan ini, atas kemauan abang… tapi masya baru sekarang abang menyadarinya…oh abang egois…”, lalu Tiur masuk kamar langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Dia menelungkupkan wajahnya di bantal. Segera Janter mendekatinya, membelai rambut isterinya dengan kasih sayang.
“Jangan terus marah dong sayang, aku minta maaf kalau aku terlambat memperhatikan perobahan yang kamu buat di rumah kita ini. Tapi lihat juga sayang, ada apa di bawah hidungku”. Janter membalikkan tubuh Tiur agar telentang. Tiur menatap suaminya dengan mata lebar-lebar. “Ah, abang sudah cukur kumisnya? Ab…abang …mencukurnya?” Tiur membekap mulutnya dengan kedua tangan terus menatap Janter.
Dan Janter berkata pelan:” Nah sekarang stand jadi satu satu. Kau yang menyuruhku tadi pagi kalau pulang ke rumah sore ini, jangan kamu lihat lagi kumisku. Nah kumis itu sudah kucukur bersih, tapi sebegitu lama tak ada reaksimu melihat perobahan yang kau inginkan”.
Perempuan itu menatap wajah Janter tak berkedip. Dan tiba-tiba Tiur terloncat ke pelukan suaminya, membenamkan wajahnya di dada Janter yang bidang.” Oh, maafkan aku abang sayang, aku telah salah menilai kumismu…sebenarnya abang lebih ganteng dan lebih jantan kalau berkumis…aku menyesal telah menyuruh abang mencukurnya, aku hanya mau lihat perbandingan, mana yang lebih cocok buat abangku tersayang, berkumis atau tanpa kumis. Ternyata tanpa kumis itu wajah abang jadi lucu, lucu kali, sepertinya abang bukan lagi Janter yang semalam di tempat tidur ini…”
Janter tersenyum geleng kepala.” Jadi dik Tiur menyuruhku mencukur kumis ini untuk membuat perbandingan? Dulu Tiur bilang tak suka lihat aku berkumis seperti aktor zaman dulu Clark Gable yang begitu ganteng dan jantan dengan kumisnya. Jadi Tiur sekarang lebih suka kalau abang seperti Clark Gable yang kamu lihat di Wikipedia?"
Tiur menganggukkan kepala, seraya jari tangannya mengusap lembut kulit kelimis di bawah hidung Janter. “Jangan bang, jangan dicukur lagi, biarlah abangku seperti Clark Gable itu, aku lebih suka abang cium pakai kumis, biar ada yang menggelitik membuatku merasa geli dan…terangsang!” Tiur merebahkan kepala di dada suaminya.
Janter memegang tangan isterinya, berbisik:” Berarti kumisku harus tumbuh dulu, baru kamu bergelora seperti semalam, hah?”. Tiur hanya menonjok-nonjok dada Janter, lalu menyeret suaminya ke pelukannya. Keduanya bergulingan di tempat tidur sambil menghamburkan tawa. (Lihat juga di Kompasiana.Com)

TIPS: Hafal Lyrik Lagu, Perlambat Pikun









Beragam trik dipublish menyangkut upaya mencegah kepikunan terlalu awal. Ternyata zaman serba modern sekarang, tak hanya faktor usia yang membuat manusia pikun. Pola hidup yang cenderung forsir dalam banyak hal, berdampak pada percepatan proses kepikunan. Sedikitnya waktu yang diluangkan untuk rileks, sangat mempengaruhi seseorang lekas pikun pada hal usia belum terlalu uzur.
 Motinggo Boesye novelis terkemuka Indonesia, dalam suatu wawancara dengan wartawan asing mengatakan, sekalipun ia banyak menumpahkan waktu dan pikiran menulis ratusan novel dan melukis, ia tak merasakan adanya kelambanan dalam berpikir dan berkarya. Salah satu trik dari pengarang yang gaya bahasanya selalu dipuji kritikus sastra HB Yassin ini, selain rajin berolahraga jalan pagi, juga berimpresi dengan seni musik." Saya bukan penyanyi, tapi saya senang musik dan lagu. Dengan mengutip pendapat pengarang drama Samuel Becket, saya rajin menghafal lyrik satu lagu, seraya menyanyikannya pelan-pelan atau hanya dalam hati. Lyrik lagu itu saya hafal sampai benar-benar hafal ketika menyanyikannya, dan kalau ada yang salah saya tinjau lagi catatan lyrik yang saya buat," demikian Boesye tercover di media beberapa waktu silam.

 Banyak keuntungan yang didapatkan dari memiliki ingatan yang baik dan kuat. Di usia muda, ingatan yang kuat dapat membantu kemampuan belajar lebih baik, sementara di usia dewasa, ingatan yang kuat bisa membuat kita lebih produktif dalam bekerja.
Namun seringkali tanpa disadari, kemampuan otak untuk mengingat perlahan bisa mengalami penurunan. Dan baru disadari ketika seseorang sudah sulit mengingat nama, wajah, nomor telepon, tanggal ulang tahun, dan barang-barang yang perlu dibeli.
Menurunnya kemampuan mengingat dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti kekurangan nutrisi untuk otak, ketidakseimbangan senyawa kimia di otak, usia, dan pernah memiliki pengalaman, pemikiran, perasaan yang membuat penurunan kemampuan otak, misalnya stres berat atau trauma.
Nah, sebelum penurunan kemampuan mengingat semakin menurun, perlu dilakukan perubahan kebiasaan untuk mengembalikan kemampuan otak untuk mengingat. Apa saja itu?
Menurut Ayurveda, teknik pengobatan alternatif dari India, perubahan-perubahan kecil pada pola makan dapat memperbaiki kemampuan daya ingat, selain trik alami menghafal lyrik lagu seperti dikatakan Motinggo Boesye.
Perubahan pola makan itu, antara lain:
- Makan lebih banyak sayuran segar dan organik
- Makan wortel dan bit setiap hari
- Konsumsi lebih banyak kacang almond atau minyak almond
- Hindari makanan yang terlalu pedas dan berbau
- Hindari alkohol, kafein, gula buatan, dan makanan berat seperti daging dan keju
- Minum susu sapi lebih banyak
- Tambahkan lebih banyak bumbu alami seperti lada dan kunyit ke dalam masakan
Selain itu, perubahan gaya hidup juga mampu memperbaiki kemampuan daya ingat. Dimulai dengan berolahraga untuk meningkatkan aliran darah ke otak, serta membantu mengeluarkan racun dari sistem tubuh. Latihan otak juga dapat juga dilakukan seperti mengerjakan game otak, kuis, membaca atau aktivitas lain yang merangsang kerja otak. Tidur cukup dan menghindari stres juga perlu dilakukan sebisa mungkin. (Sumber bacaan lainnya: Kompas.Com)

Rabu, 27 Agustus 2014

( KULINER ) Bagaimana Kalau Andaliman Punah dari Bumi Batak?

Andaliman wajar harganya mahal, memetiknya juga harus ekstra
hati-hati,kalau tidak siaplah jari berdarah


 SARINGAR.Net - Orang Batak umumnya pasti  kenal andaliman. Itu adalah salah satu tumbuhan pelengkap masakan khas Batak. Masakan khas semisal na ni arsik, jagal sangsang, na niura, dan lain-lain, tidak klop,tanpa andaliman. Sebuah hajatan (pesta) adat Batak, selalu menyajikan ikan mas arsik, demikian halnya jagal (daging hewan) yang bumbu utamanya,ya itu tadi:andaliman. Begitu juga rumah makan Batak.Pasti selalu menyiapkan andaliman, sebagai resep utama. Kuliner Batak tanpa andaliman bisa kehilangan spesifikasinya.
         Orang Batak yang tersebar di berbagai daerah, bahkan mancanegara, selalu mengungkapkan kerinduannya terhadap makanan Batak yang dibumbui andaliman. Seperti dicetuskan Raymond Pasaribu, warga asal Sibolga yang lama menetap di Sidney, Australia.”Ai adong dope andaliman di hitaan? Nunga tung masihol dila mandai dekke arsik dohot jagal na marandaliman”, (masih adakah andaliman di kampung kita. Sudah rindu rasanya lidah ini mencicipi ikan yang diresep dengan andaliman). Ungkapan serupa, sering terdengar dari orang-orang Batak di rantau. Lumayan, di kota seperti Medan, Jakarta, Pekan Baru, orang Batak belum kesulitan mendapatkan bumbu yang satu ini. Meskipun memang, harganya lumayan mahal. Konon, di Jakarta, satu kilo andaliman pernah mencapai Rp 200 ribu. Normalnya sekarang, antara Rp 50 ribu- Rp 100 ribu, per kilo.
         Tapi terkadang harga andaliman juga bisa anjlok.Tak jarang, harganya menukik hanya Rp 5 ribu perkilo.
         Andaliman, termasuk tanaman langka. Tak di sembarang tanah bisa tumbuh. Di Tapanuli Utara misalnya, tanaman ini normalnya tumbuh di Kecamatan Parmonangan, Pangaribuan, Sipahutar,Siborongborong,Pagaran, dan seputaran Muara. Di kawasan Tobasa, adalah di seputaran Parsoburan.Andaliman, diakui dulunya termasuk tanaman liar. Tapi sejak diketahui manfaatnya begitu penting melengkapi cita rasa masakan Batak, banyak warga yang membudidayakannya. Tanaman ini konon cocok ditanami di tanah bertebing, tanah bersemak di sekitar jurang. Sedang di kawasan Humbang, andaliman justru tumbuh di sekitar adaran (padang penggembalaan) kerbau. Sulit berandai-andai sejak kapan tanaman berduri ini dijadikan leluhur sebagai bumbu peracik menggiurkan. Dua ratus tahun? Tiga ratus? Atau sejak Raja Batak hadir pertama kali di Pusuk Buhit kah?
            Nai Rouli boru Siburian, sudah lima belas tahun khusus berniaga andaliman, antara Tano Batak- Pekan Baru – Jakarta.”Saya akui, untung cukup besar berdagang andaliman. Anakku empat jadi sarjana dari untung berdagang andaliman. Memang capek berjualan jauh-jauh, tapi karena untung besar, terasa ringan juga”, katanya terkekeh saat bercerita dengan SARINGAR.Net, di Tarutung, pekan lalu. Makanya, kata ibu paruh baya ini, kalau sempat andaliman punah dari Tano Batak, dialah salah satu yang paling berduka.”Semua orang Batak kurasa akan merasa rugi besar, karena masakan Batak tak enak lagi dimakan…ha-ha-ha…makanya, aku pun selalu berharap, janganlah sampai andaliman punah dari Tano Batak ini”, umbarnya lagi.
            Sekadar catatan, dari 15 kecamatan di Taput, hanya enam kecamatan yang memproduksi andaliman. Itu pun jumlah produksi tak sebanyak dulu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Taput tahun 2007, luas tanaman andaliman produktif hanya 16 hektare, dari 21 hektare yang terdata. Produksi pada 2005 tercatat 5,64 ton, naik jadi 7,53 ton pada 2006. Rata-rata produksi 470 kilogram per hektare. Kecamatan Parmonangan, Pangaribuan, Siborongborong, menjadi produsen andaliman terbesar, yang bertahan hingga kini. Menyusul Kecamatan Pagaran dan Muara.Data itu belum berbeda jauh dengan kondisi sekarang.
            Melihat besarnya potensi pasar andaliman, sejak lama muncul pertanyaan: Mengapa Pemkab Taput tak pernah terpikir untuk memprogram, agar andaliman, menjadi salah satu komoditas unggulan dari daerah ini? Hingga saat ini andaliman masih di anggap warga sebatas komoditas sampingan, belum mengarah menjadi komoditas penting dalam konteks kuliner Batak. Maka pertanyaan yang kemudian muncul," Bagaimana kalau andaliman suatu saat punah dari Tanah Batak?" Dengan santai beberapa orang penikmat masakan khas Batak menjawab," Bah, dang tabo be antong lompa-lompa ni hita Batak...ha-ha-ha..." (Tak enak lagi lah nanti cita rasa masakan kita Batak).

Selasa, 26 Agustus 2014

Suka Suasana Riuh? Datang ke Pantai Parbaba,Pulau Samosir








 
Beginilah suasana riuhnya keramaian ribuan pengunjung di Pantai
Pasir Putih, Parbaba, Samosir setiap liburan
Duduk lesehan di atas tikar menikmati suasana riuh pengunjung
Pengunjung foto santai dengan latar belakang hempasan ombak danau
Toba
Lain Tuktuk,lain Tomok, lain lagi Pantai Parbaba di Pulau Samosir. Pantai Parbaba yang juga disebut Pasir Putih, kini menjadi obyek kunjungan paling ramai khususnya pada masa libur panjang hari besar keagamaan atau tahun baru dan lebaran Idul Fitri. Ribuan orang bakal mengalir deras mengunjungi pantai yang belum dibenahi dengan baik ini.
Debur ombak danau yang menghempas tak henti-hentinya pagi siang dan malam, pasir putih berkilau ditimpa cahaya matahari terik, dan riuh rendah tawa ribuan pengunjung yang mengalir dari berbagai penjuru, menjadi panorama wisata yang menebarkan sukacita di Pantai Parbaba, Samosir, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Pantai Pasir Putih.
Inilah obyek wisata lokal yang lama tak terangkat ke permukaan karena kurangnya atensi pemerintah daerah untuk meroketkannya menjadi destinasi area andalan di kawasan Danau Toba kesohor itu. Saya sendiri awalnya tak begitu paham apa dan di mana itu Pantai Pasir Putih. Semula saya agak malas meninggalkan penginapan di Tuktuk, karena kurang tertarik diajak ke sana. Tapi setelah kemudian saya tiba di pantai yang aslinya disebut Parbaba, saya terperangah melihat suasana yang “wah, amazing” di situ. Dan lebih terperangah melihat pengunjung yang membeludak memenuhi sepanjang pantai berpasir itu. Saat saya dan rekan tiba di sana, parkir mobil saja sudah susah saking banyaknya kenderaan yang nangkring di sana-sini. Para juru parker juga sampai kewalahan, karena nyaris tiada ruang untuk tempat parker kenderaan yang datang siang hari.”Maunya datang agak pagi lae, kalau sudah jam sore begini, padat amat,” kata seorang juru parkir.
Penuh sesaknya pengunjung di pantai pasir putih ini, tercatat pada hari minggu, dan lebih padat lagi pada saat liburan panjang seperti bulan Juli dan Desember. Pada perayaan Imlek juga kini tempat itu sudah mulai jadi suatu pilihan. Rekan saya bilang, pantai itu menjadi primadona wisata Danau Toba terkini yang digandrungi wisatawan lokal dan mancanegara. Tak lagi focus hanya ke Tuktuk dan Tomok. Lokasi yang terletak tak jauh dari Kota Pangururan, ibu kota Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, sangat ideal untuk piknik remaja pacaran dan wisata keluarga. Saya melihat saat itu bukan ratusan tapi ribuan anak-anak menyebar di sana-sini mewarnai suasana pantai yang panjangnya lebih kurang satu kilometer.
Lalu, apa sesungguhnya yang mengundang banyak orang datang ke pantai pasir putih ini. Sepintas hanya panorama Danau Toba dan pegunungan yang tampak di kejauhan. Tapi bukan itu spesifikasi lokasi ini. Yang paling menarik adalah debur ombak yang menghempas tak henti-hentinya dari pagi hingga malam. Untuk main ski atau berselancar juga memenuhi syarat karena ketinggian ombak sering mencapai dua sampai tiga meter. Di pantai ini tersedia boat-boat khusus dan sepeda air bagi mereka yang punya nyali bercengkerama dengan ayunan ombak. Riuh rendah suasana terpadu antara debur ombak dan suara-suara pengunjung yang berseliweran di sana-sini. Terasa agak gaduh memang, tapi itulah spesifikasi pantai ini. Keriuhan yang kombinasi dengan permainan ombak yang bergulung-gulung berkejaran. Aneka tingkah tampak di sini, menyatu dengan ragam kuliner ringan khas warga pribumi, dari kue gorengan, kacang-kacangan, mi gomak atau spaghetti khas Samosir. Sementara di sana-sini juga ada restoran-restoran yang tak hanya menyediakan makanan, tapi juga menyewakan tikar untuk para pengunjung yang ingin lesehan atau tiduran di bawah pepohonan rindang yang tumbuh di pantai.
Beberapa pengunjung yang sudah beberapa kali datang ke sini menyebut, Pantai Parbaba akan lebih berkembang lagi jika dikelola secara profesional oleh pemerintah setempat. Perlu ada pengaturan atau penataan tempat terutama lokasi parkir sehingga pengunjung merasa nyaman.
Saya kemudian punya catatatan tersendiri tentang pantai ini. Kalau Tuktuk menyenangkan sebagai lokasi yang indah, tenang, dan nyaman, maka Pantai Parbaba ini adalah special tempat untuk bersukaria, berhiruk pikuk, melepas tawa sebanyak-banyaknya, seraya menceburkan diri (kalau berani) menerobos ombak deras yang menggebu sepanjang hari. Kalau bosan atau jenuh dengan kesendirian di Tuktuk, kalau mau menikmati keramaian manusia yang menyatu dengan gedebar-gedebur ombak, atau kalau ingin sesekali tiduran menggelar tikar di atas pasir putih menjauhkan diri dari kesunyian dan ketenangan, datanglah ke Parbaba, pasti anda merasakan bahwa suasana ramai juga sangat menghibur dan inspiratif.

Nenek Tahan Banting Jalan Kaki Puluhan Km Jual Tape



Nenek penjual tape yang tahan banting jalan kaki puluhan kilometer
menjajakan jualannya
 

  Ada saja pertemuan tak dirancang menjadi sebuah tulisan. Bahwa hidup ini penuh lika-liku romantika sungguh banyak contohnya. Hidup ini terlalu enak bagi sebagian orang, misalnya para pejabat, anggota legislative, pengusaha, yang dengan entengnya bisa menghabiskan puluhan juta rupiah dalam sekejap. Tapi pasti lebih banyak lagi yang untuk mencari sesuap nasi saja harus pontang-panting memeras keringat setiap hari, dan mungkin apa kehidupan glamour di kota hanya pernah hadir dalam mimpinya.
Dalam perjalanan ke Sibolga, saya lihat perempuan tua itu berjalan kaki terseok-seok di pinggir jalan raya menjunjung keranjang berisi jualannya. Saya dan teman berhenti di bawah pohon rindang istirahat sebentar berlindung dari panas matahari menyengat. Saya melambaikan tangan pada perempuan itu, dan saya tanyakan,” jualan apa ibu,” ia jawab dengan suara agak parau,” ini ada tape (tapai) dan keripik singkong.” Saya bantu dia menurunkan keranjangnya. Saya beli tape dan keripik yang disebutnya “piar-piar” itu Rp 10.000. Tampaknya ia senang bangat. Tawa ceria menghiasi wajahnya yang hitam berkeriput.
Sambil menikmati tape yang rasanya gurih, saya perhatikan ibu tua ini. Tubuh kurus dibalut baju warna hijau yang sudah kusam, keringat masih membasahi leher, dan sorot mata yang mulai lemah.
“Dari mana kampungnya ibu,” tanya teman saya.
“ Kampung saya di Pintu Bosi, di Sipoholon,” katanya seraya duduk di rerumputan tepi jalan. Mengembuskan nafasnya melepas lelah.
“ Jauh kampungnya ya bu, berapa jauh dari sini,” saya tanya lagi.
Ia terdiam sejenak, berpikir.” Kalau dari sini ke kampung saya jauh amatlah, mungkin ada lima belas kilometer,” katanya sambil menyimpan uang yang saya berikan, dimasukkan ke sebuah tas kain kecil.
“ Ibu jalan kaki ke sini?”
“Ya, saya jalan kaki, tak mungkin jualan di dalam mobil,” katanya terkekeh. Tampak giginya yang mulai rapuh.
“ Jam berapa ibu berangkat dari rumah,” bincang-bincang berjalan santai.
“Pagi-pagi kadang pukul delapan, kadang pukul sembilan,”
“Wah, capek dong ibu, kalau bolak balik bisa sejauh 30 kilometer?”
“ Tidaklah pak, kalau pulang sudah terlalu sore, saya naik angkot, itupun tak setiap saat ada angkot ke kampong kami, terpaksa pulang jalan kaki juga. Kalau jualan saya cepat habis, saya cepat pulangnya. Masih ada opelet”.
Kami geleng kepala mencoba membayangkan betapa jauhnya perjalanan ibu ini tiap hari berjualan tape dan keripik singkongnya. Kata ibu ini, tape itu hasil buatan sendiri, demikian juga keripik singkongnya. Sudah 15 tahun lebih usaha ini digeluti. Pada usia menjelang 70 tahun, ibu ini sudah punya 16 cucu. Anak-anak semua pergi merantau. Kebanyakan bekerja sebagai buruh.
“Saya dipanggil orang Ompu Mariana, karena cucu saya paling besar namanya Mariana,” katanya ketika saya tanya nama panggilannya.
“Kalau semua jualan ibu ini habis terjual, ada berapa nilai uangnya?”
“Ah, berapalah  paling dapat seratus ribu atau seratus lima puluh ribu, untung sedikit saja pokoknya ada usaha,” katanya polos. Jualan ibu ini jarang tidak habis terjual, Jualan ke kantor bupati juga sering, karena ada juga pegawai wanita suka jajan tape. Kalau di kantor-kantor pemerintah tak laku, dibawa lagi keliling keliling, terkadang hingga sore. Untuk mengantisipasi pulang kesorean, ompu Mariana selalu membawa bekal makanan dari rumah. Setiap lewat rumah yang dilewati, nenek ini terdengar berseru "tape...tape...karupuk...". Sering juga jualannya sudah laku banyak baru setengah rute perjalanan.
Entah berapa lama lagi nenek ini tahan berjualan seperti itu. “Ya selama masih diberi Tuhan kesehatan dan kekuatan, akan terus berjualan seperti ini. Namanya juga cari makan agar terus bisa bertahan hidup,” katanya. Ibu itu menjelang akhir pertemuan minta dibantu mengangkat keranjang jualannya dijunjung di atas kepala. Saya memberikannya Rp 20 ribu, ia terkekeh menerimanya.” Ah kenapa kasi uang lagi, tadi tapenya sudah dibayar,” Saya katakan, hanya sekedar ongkos kalau pulang kesorean nanti.
Saya menyempatkan bertanya, siapa nanti calon presiden yang akan dipilihnya dalam pemilihan. Ia tertawa menjawab,” tak tahulah bapak, siapapun itu ya ditusuk aja nanti, kami orang kampung paling hidupnya begini-begini terus.” Lalu waktu pemilihan anggota legislatif hari itu, nenek ini ada dengar cerita banyak caleg yang bagi-bagi uang kesana-kemari. “Heran ya dari mana uang begitu banyak dibagi-bagi, bagaimana kalau tak menang siapa yang kasi gantinya.”
“Saya pergi dulu, mumpung belum hujan, siapa tau masih ada pembeli,” kata ompu Mariana beranjak dari duduknya. Matahari sore mulai berkurang panasnya. Semburat merah mulai membayang di ufuk Barat.
Struggle for life. Betul sekali, perjuangan hidup yang sesungguhnya hanya dapat dipotret dari kehidupan orang desa. Masih begitu banyaknya warga yang miskin, berjuang keras banting tulang di sawah ladang, jadi buruh musiman, dan ragam bentuk usaha lainnya. Sudah sejauh manakah upaya pemerintah meningkatkan taraf hidup rakyat kecil sebagaimana didengung-dengungkan saat kampanye merebut jabatan.
Pastinya, masih banyak Ompu Mariana-Ompu Mariana lainnya bertebaran di pelosok Nusantara yang luas ini. Begitu banyak orang yang tak tahu atau tak sempat memperdulikan pergolakan politik para elit bangsa. Toh hidup terus berjalan apa adanya. Tanpa perlu bekoar.(Lihat juga: Kompasiana/Kompas.Com)

Wah,Zombie Benaran? Mayat Keluar Dari Kantong Mayat di Brasil

 

Rumah Sakit di Salvador melakukan penyelidikan serius tentang mayat
yang keluar dari kantong mayat


SALVADOR, — Seorang pria Brasil keluar dalam keadaan hidup dari kantong mayat sekitar dua jam setelah dinyatakan meninggal dunia.

Peristiwa ini terjadi pada Valdelúcio de Oliveira Gonçalves, 54 tahun, yang menderita kanker.

Ia dibawa ke rumah sakit ketika mengalami kesulitan napas. Tim dokter di rumah sakit negara bagian Bahia mengatakan kepada keluarga pasien bahwa Gonçalves telah meninggal dunia setelah mengalami dua kali serangan jantung.

Mereka menandatangani surat kematian dan mengirim jenazah ke kamar mayat di rumah sakit.

Namun, dua jam kemudian, saudara laki-laki Gonçalves mendapati kantong mayat bergerak-gerak. Ia kemudian berlari dan menyelamatkan Gonçalves.

Rumah sakit yang terletak di ibu kota negara bagian Bahia, Salvador, langsung meluncurkan penyelidikan atas peristiwa tersebut.

Sejumlah anggota keluarga Gonçalves mengatakan, doa mereka telah terkabul.

Peristiwa serupa terjadi di Amerika Serikat pada Maret lalu. Walter Williams, seorang pria asal Mississippi, ditemukan dalam keadaan hidup dalam kantong mayat di rumah duka setelah dinyatakan meninggal.

Para pekerja bersiap membalsem Williams, tetapi "jenazah" tiba-tiba menendang-nendang dalam kantong mayat. Tapi, bukan di Brasil dan Amerika Serikat saja peristiwa sensasional ini terjadi. Pada era 60 an, di Tarutung juga pernah kejadian seorang bernama Siahaan yang bekerja sehari-harinya sebagai mandor bus, tiba-tiba hidup kembali pada hal sudah tiga hari tiga malam disemayamkan menjelang saat penguburan. Konon, saat Siahaan sudah dimasukkan ke dalam peti mati, tiba-tiba terdengar ada suara mengetuk-ngetuk dari dalam. Warga yang ada di sana terkejut setengah mati sekaligus ketakutan. Mereka kemudian membuka peti, dan benar saja Siahaan yang sudah dinyatakan meninggal dunia itu, hidup kembali. Sontak warga di seputaran tempat tinggal Siahaan heboh. Kejadian ini menjadi topik pemberitaan hangat media terbitan Medan ketika itu. Lebih kurang dua tahun lamanya Siahaan hidup kembali sperti sediakala, sebelum kemudian benar-benar meninggal dunia. Demikian dicatat Ekpresiana dari cerita orang yang tahu betul kejadian langka itu.(Kompas.Com)


Tikus Raksasa Mirip Babi Muncul di Kutai

 
Tkus raksasa mirip babi ditemukan di Kutai Timur. Bah. bahaya ini.
SANGATTA, — Hewan mirip babi yang ditangkap warga Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur, Selasa, 19 Agustus lalu, diduga tikus raksasa yang termasuk hewan langka dan nyaris punah.

"Saya belum dapat laporan, tapi kalau berwarna putih itu tikus raksasa," kata Kepala Balai Taman Nasional Kutai (BTNK), Erly Sukrismanto, Minggu (24/8/2014). 

Erly Sukrismanto juga mengaku akan memerintahkan stafnya untuk mengecek ke lokasi penemuan demi mengetahui persis jenis hewan tangkapan warga Teluk Lingga itu. "Saya akan perintahkan staf saya, Senin (25/8/2014) ke TKP untuk melihat hewan itu," ujar dia.

Senada dengan yang dikatakan Erly, dokter hewan Cut Meutia mengungkapkan, hewan itu termasuk jenis tikus raksasa yang sudah jarang ditemukan, bahkan salah satu hewan langka di dunia.

Menurut Cut Meutia, binatang ini dikenal dengan nama Solenodon, yang termasuk hewan langka yang memiliki bisa seperti ular. Solenodon ini akan mengeluarkan racun dari dalam tubuhnya jika merasa terancam. "Racun dari hewan ini jika mengenai tubuh bisa menyebabkan kelumpuhan dan hingga kematian. Oleh karena itu, sebaiknya tidak mendekatinya di saat tertentu," kata Cut Meutia yang mengaku telah melihat hewan tersebut.

Cut Meutia menyebutkan, berdasarkan penelusuran, hewan ini berasal dari Cuba, memiliki bulu yang berwarna putih, mempunyai hidung yang panjang sekitar 25 cm, dan berbau. "Hewan ini termasuk unik," kata wanita yang bekerja di bagian Pengolahan Hasil Peternakan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Timur ini.

Sebelumnya, Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Peternakan Diah Ningrum pun mengatakan bahwa hewan tersebut merupakan hewan langka dan beracun. Hewan tersebut adalah mamalia kecil mirip tikus besar dan mirip babi dengan mulut moncong panjang dan ekor panjang bersisik.

"Hewan Solenodon ini memiliki air liur beracun berbisa sehingga bisa menyuntik mangsanya hingga menyebabkan kematian," ujar Diah pula.(Kompas.Com/sumber:Antara)





Sabtu, 23 Agustus 2014

(CERMIN) Gulamo Na Tinutung


Masih banyak warga harus menjelajahi jalan sulit menuju
pasar membawa hasil buminya. Foto diambil di satu desa
di kawasan Parsoburan,Tobasa

Seorang anak kerja keras di ladang sunyi membantu orang tua
sepulangnya dari sekolah.Foto diambil di di satu desa di
Parmonangan,Tapanuli Utara
  Warga yang hidup di perkotaan, boleh-boleh saja menikmati apa saja, sejalan dengan geliat kemajuan zaman Mau makan enak di restoran Tionghoa dengan racikan mi pangsit,fuyunghai, atau jajan Kentucky Fried Chicken atau hamburger. Mau makan rendang di warung Minang. Ataukah mau cari menu khas Batak, sangsang na margota,(daging cincang masak darah), ikan mas arsik, atau tanggo-tanggo. Tinggal melangkah saja beberapa meter, itu pasti tersedia. Kalau di kota, asal ada duit, mau makan apa pun gampang.
 Ataukah Anda seorang pejabat pemerintahan/swasta, PNS yang punya “meja basah”, rekanan pemborong, anggota legislative, atau pemeriksa atau auditor satu jawatan yang sering turun memeriksa-meriksa ke bawah. Apa susahnya mau makan apa saja, dan di mana suka. Tinggal berpikir sejenak, untuk menentukan kemauan. Lalu hidupkan mesin mobil atau sepeda motor, langsung meluncur ke tempat tujuan. Mau ke resto, mau ke kafe, mau ke warung tradisional yang menyajikan tuak lengkap dengan tambulnya.
Maka, kata orang, wajar kalau orang kota, apa lagi yang punya pendapatan mencukupi, lebih bugar di banding orang yang hidup di desa. Logikanya, kata orang lagi, wajar kalau orang di kota lebih sehat dari pada orang desa. Bahkan, masih kata orang, (tak jelas siapa orangnya), wajar kalau orang-orang di kota hidupnya lebih bahagia dari orang yang hidup di desa. Apalagi kalau desanya terpencil seperti di Kecamatan Parmonangan, Garoga, Pangaribuan, Adian Koting,yang konon di kalangan PNS dianggap “tempat buangan” kalau dimutasikan atasan ke sana.
“Itu tak benar”, bantah Linggom Sianturi, seorang perantau asal Lintong, yang kini bermukim di Batam. Saat berbincang dengan Ekspresiana pada keramaian pameran Hari Jadi Tapanuli Utara ke-68 di Tarutung, menurut Linggom, bahagia ukurannya bukan duit atau hidup di kota. Banyak orang desa yang hidupnya bahagia, tidak ditakar dari seberapa pendapatannya menjual cabai, tomat, atau sayur bayam. Tapi, bahagia, karena bias menyekolahkan anak-anak, lalu satu saat anak itu “jadi orang” di satu tempat. Bisa mengirim alakadarnya ke kampung, atau saat pulang bertahun baru, membawa sesuatu. Dan sesuatu itu, ujar Linggom, tak harus uang.”Melainkan seorang parumaen atau hela”, tukasnya seraya tertawa, dan meneguk tuak asli yang disajikan di salah satu stan kecamatan.
Bagi Linggom, semua orang Batak, dulunya adalah parhuta-huta (orang kampung). Dulu mana ada kota. Satu tempat permukiman, yang lama-lama membesar, dan warga terus bertambah. Jadilah itu sebuah kota. Tapi memang, mereka yang kebetulan berdomisili di kota turun temurun, bolehlah beruntung, karena predikatnya jadi warga kota. Sebagai warga kota, mereka lebih dulu menikmati jalan aspal, lampu listrik, nonton bioskop, punya radio, nonton televisi, dan segala macam. Sementara orang kampung, harus pasrah dengan pemandangan sehari-hari, yakni sawah, pegunungan, hutan belantara, ladang, kolam ikan, dan lampu botol yang membuat lobang hidung jadi hitam saat bangun pagi hari.
Sebagai seorang parhuta-huta, yang kemudian merasa berhasil jadi orang, Linggom menyebut, kedua orang tuanya hidup bahagia.” Dulunya semasa kecil, saya ke sekolah berjalan kaki sekian kimometer. Ayah saya orang sipogos-pogos (miskin). Dia digaji orang menggembala horbo (kerbau), dengan imbalan uang sekian persen setelah horbo laku terjual. Makanya saya lama dibesarkan di punggung horbo, karena sepulang sekolah, saya langsung membantu ayah menggembala. Dan saya senang sekali setiap kali saya duduk di punggung horbo”, tutur karyawan salah satu pabrik elektronik Batam itu, bernostalgia.
Amang Boru (suami dari saudara perempuan ayah) Linggom ada di Tarutung. Seorang toke haminjon (kemenyan). Tapi seumur-umur, ayah Linggom tak pernah marborngin (menginap) di rumah iparnya yang orang kota itu, bahkan sampai ayah Linggom meninggal. Kenapa? Alasannya, tak ingin tidur di ranjang, pakai kasur. Juga karena kata ayahnya, tak selera makan dengan masakan ibotonya (saudara perempuannya), istri toke haminjon itu. Pasalnya, makanan kota tak cocok dengan lidahnya, karena selalu ikan atau daging digulai, digoreng, disambal. Pernah satu kali ayah Linggom makan di rumah amang borunya itu.”Dang adong gulamo na tinutung” (apa tak ada ikan asin bakar), justru itu yang diminta ayahnya. Karena ayah tak sudi makanan yang sudah tersaji di meja, dan namborunya juga tak pernah belanja gulamo, akhirnya namboru minta dari tetangga.
“Bayangkan, setelah gulamo bakar itu sudah hadir di meja, ayahku langsung makan dengan lahapnya…ha-ha-ha…jea do pogos, molo dang hea mamora´(runyam jadi orang miskin kalau tak pernah hidup kaya). Linggom Sianturi tertawa terpingkal-pingkal.Lantas, dia pun membuat kesimpulan sendiri.”Nah, itu contohnya bahwa tak semua orang bisa hidup di kota, apalagi dikaitkan dengan istilah bahagia. Mungkin ayah saya tak sendiri. Masih banyak orang parhuta-huta yang modelnya seperti ayahku. Di bawa ke kota pun tak mau betah lama-lama, terus minta pulang ke huta. Seolah-olah harumnya gulamo na tinutung, selalu menggoda selera makannya. Aneh kan, tapi nyata”. Linggom kembali tergelak. Orang-orang yang berada di sekitar salah satu stan pameran kecamatan itu, ikut tertawa.
 Apa pun gambaran yang diberikan Linggom, tapi yang jelas keluarga seperti itu mungkin boleh disebut bahagia dengan kehuta-hutaannya. Bayangkan. Pagi, belum lagi matahari muncul di ufuk Timur, ayahnya sudah berangkat ke ladang. Di punggungnya tergantung sebilah goluk (parang), pakai sarung yang setia tersandang di bahunya. Tak dirasakannya bila hujan gerimis semalam telah membangunkan para limatok (pacat), yang selalu siaga menempel kaki manusia yang lewat di rerumputan. Tapi, menurut Linggom, kehidupan rutin semacam itu adalah potret kebahagiaan banyak warga di desa. Pasrah, rupanya tak selalu berarti ketidakberdayaan. Hidup dengan gulamo na tinutung, bukan berarti minderwardigheids complex, rendah diri, seperti istilah orang Belanda.
 TAPI, barangkali lain ilustrasi yang dibuat Linggom, bisa lain pula gambaran yang dipetik Ekspresiana yang sering berjalan-jalan ke desa. Benarkah, bahwa gulamo na tinutung, tak harus merupakan gambaran kondisi kemiskinan, ketidakmampuan, atau ketakberdayaan seseorang atau sekelompok orang di desa?
Kemiskinan? Ternyata, banyak orang Batak yang malu-malu kucing dengan realita kemiskinan. Pada suatu hari, Ekspresiana singgah di satu desa tak jauh dari Dolok Imun di kawasan Sipoholon/Parmonangan.
Hujan yang tiba-tiba deras, membuat Ekspresiana terpaksa berlindung di sebuah rumah penduduk. Suasana di dusun itu sepi. Tapi di emperan rumah kecil itu, tampak dua anak kecil sedang makan dengan asyiknya. Nasi di piring kaleng itu tampak kering, seadanya, tanpa sayuran. Kecuali, ada secuil ikan asin yang terlihat hitam mosok (hangus) di atas nasinya. Anak itu baru pulang sekolah.Baju dinasnya masih dikenakan, dengan kancing sudah terbuka. Dia seakan acuh dengan kehadiran penulis di sana. Saking laparnya barangkali, dia hanya sekali mendongak, lalu makan lahap lagi. Sesekali jari tangannya mencomot gulamo baker itu, menempelkan pada gumpalan nasi yang baru disuapkan ke mulut. Wah, nikmat sekali makan anak ini.
 “Aha do puang ikkanmu kawan (apa laukmu itu kawan), sapa blogger Ekspresiana sekadar membuka percakapan.
 “Gulamo doi tulang” (ini ikan asin, tulang), sahutnya dengan mulut masih dipenuhi nasi. Anak itu melirik sekali, kemudian melanjutkan makannya, Diteguknya sekali air dalam cangkir butut di sisinya. Berkumur beberapa kali, seolah melancarkan jalannya nasi ke tenggorokan.
 “Tabo do gulamo na tinutung,ate”(enak ikan asin bakarnya ya), sambung penulis lagi, seraya duduk dekat si anak. Anak itu tersenyum lirih.”Tabo do i tulang, nga male” ( enak tulang, sudah lapar), katanya datar, tak ada kesan malu.
 “Marsogot aha muse ikkanmu” (besok apa lagi lauknya), Tanya penulis. Langsung dia jawab “tong do songon on tulang, gulamo na tinutung do torus´ (ikan asin juga terus, tulang). Sekilas kelihatan kedua kaki anak itu penuh bekas bisulan yang sudah mengering. Pada tangan kirinya juga, ada bekas luka bisul yang sudah kering. Bekas bisul itu tampaknya akan membekas lama.
Tak lama kemudian, muncul sosok pria berusia paruh baya. Pria berkulit keras kehitaman itu tersenyum kepada penulis, lalu meletakkan cangkulnya di sisi rumah. Dia tampak basah terkena guyuran air hujan. “Bah, di taon hamu udan i, amang” (Bah, kenapa hujan diterobos), sapa penulis. “Boa bahenon, nga male siubeon” ( apa boleh buat, perut sudah lapar).
 Pria itu menyebutkan marganya (belakangan ketika tahu penulis seorang wartawan, dia melarang nama dan marganya jangan disebut, kalau mau menulis perbincangan dengannya). Dia mengajak blogger masuk ke rumah, bahkan mengajak makan.”Mauliate, amang, baru dope mangan” (terima kasih, saya baru makan), balas SARINGAR.Net, seraya mengikuti langkah bapak itu masuk ke dalam rumah sempit, yang berukuran sekitar 6x3 meter.
Pria ramah itu kemudian makan, di sehelai tikar plastik yang agak lusuh. Gulamo na tinutung ukuran kecil tampak di pinggiran piringnya. Tangannya begitu kekar meraup nasi dari piring, dan sesekali mencomot ikan asin yang agak mosok (gosong). Sambil cerita-cerita betapa payahnya berjuang hidup di desa. Tapi karena tahu teman bicaranya wartawan, dan dilihatnya mencatat-catat di sehelai kertas, ia berkata:”Santabi lae, unang pola surat hamu goarhu ate, maila iba” (maaf lae, tak usah ditulis nama saya, malu).
Pokok yang mau ditulis, ya itu tadi: potret kehidupan sebagian warga di Tano Batak. Dengan setting di huta-huta, pola makannya, lauk apa saja yang dominan, dan keluh kesahnya.
“Songon on ma lae,marpogos torus.Loja daging mula-ulaon,asal ma boi nian marsikola angka dakdanak i “, (beginilah lae, miskin terus. Capek bekerja seharian, asal anak-anak bisa sekolah), katanya polos. Dia seperti menunjuk gulamo na tinutung itu bukti dari kemiskinan yang terus melilit kehidupannya. Dia punya empat anak. Yang sulung masih kelas 4 SD.
Dari raut wajah dan kondisi tubuhnya, nyata sekali ayah dan anak itu (maaf), kekurangan gizi. Tulang rahang dan jakunnya tampak meruncing. Tulang rusuknya juga membayang di balik kaos kumal yang dipakainya.”gulamo pe adong nunga mauliate, unang apala sira i ma nigugut dongan ni indahan” (ikan asin saja ada sudah syukur, dari pada garam), katanya mengakui bagian dari susahnya hidup sebagai orang dusun yang jauh dari kebisingan kota.
Potret serupa banyak ditemui di berbagai desa di Tano Batak, kalau mau dituturkan satu demi satu. Tentang nikmatnya gulamo na tinutung, meski pun itu tak bergizi bagi pekerja keras. Tentang saatnya paimbar dai (tukar menu), di saat ada undangan ke pesta adat. Rupanya istilah paimbar dai itu, cukup kental bagi sebagian warga di desa. Bila terus menerus makan gulamo dari hari ke hari, minggu ke minggu, maka ada saatnya baru makan yang berminyak-minyak di pesta. “Disi pe asa songon na marmiak nihilala daging oní”(saat itulah terasa tubuh ini berminyak).
 Di satu dusun sepi di Kecamatan Sipoholon, atau di satu dusun perladangan di Kecamatan Parmonangan, tak begitu jauh dari Dolok Imun, potret kehidupan seperti itu banyak ditemukan SARINGAR.Net. Mereka, para petani, para pekebun, begitu akrab dengan gulamo na tinutung. Hampir tiada hari tanpa gulamo. Itu pun kadang gulamo yang harganya paling murah. Ada gulamo yang namanya sese,perak-perak, sihunti batu. Tapi gulamo sihunti batu pun jarang dibeli, karena harganya lebih mahal. Yang paling umum dimakan sebagian warga adalah, sese dan perak-perak. Ukurannya lebih kecil.
 Lalu, bagaimana dengan lauk lainnya. Seperti ikan laut, daging, telor. Bukannya tak pernah dinikmati, tapi jarang. Sesekali saat mau ke onan di Siborongborong atau Parmonangan, adakala beli ikan rebus, ikan laut. Atau kalau mau tukar menu yang praktis, beli satu atau dua indomie, tinggal direbus.
 Warga pekebun di Parmonangan, Sipoholon, dan mungkin daerah lainnya, punya kebiasaan pergi ramai-ramai setiap ada pesta di kampung. Tak heran, kalau di satu dusun perladangan, suasana jadi senyap, ketika ada pesta di pusat kampung. Tua muda, besar kecil, tumplek ke sana. Bukan karena mau makanannya, tapi menjadi kebiasaan yang melekat. Sekaligus melihat hiburan musik kibod dan manortor. Kalau toh, ada yang menyebut pergi ramai-ramai ke pesta untuk “tukar menu”, mungkin hanya cetusan humor dari orang kampung. Atau, mungkin bisa jadi sungguhan? Antara gulamo dengan jagal pesta (daging sajian pesta), jaraknya bisa jadi dekat.
 Di satu dusun perladangan seputaran Parmonangan, blogger bertemu anak berusia empat tahun. Juga sedang makan dengan lahap dengan gulamo na tinutung. Di emperan salah satu gubuk, si anak seolah tak mau tahu, apakah selain gulamo masih ada yang lebih enak. Soalnya, terlalu sering makan nasi dengan ikan asin baker, membuat si anak begitu akrab dengan menu seperti itu.
“Tabo na i gulamo na tinutung i, ate” ( enak sekali ikan asin bakar itu ya), sapa blogger. Si anak hanya mendongak sekali, lalu perhatiannya tertuju lagi ke piring di hadapannya. Nikmat sekali makannya, sampai nasi tak lagi tersisa.
Begitulah. Catatan perjalanan ini, sama sekali tak berniat merendahkan martabat sekelompok warga berdasarkan pola dan menu makanan sehari-hari yang akrab dengan kehidupan sebagian penduduk miskin di desa. Catatan ini, minimal ingin memberi gambaran, bahwa di saat sebagian orang di kota, dengan aneka ragam posisinya, saban hari bergelimang makanan enak, bahkan mungkin berlebihan, maka di sudut-sudut lain, masih banyak orang yang melihat ayam goreng atau ikan ditauco, pun jarang.
Para petinggi di negeri ini bisa saja mengklaim, telah berbuat banyak mensejahterakan rakyatnya. Bahwa pertanian di seantero makin maju, bahwa negeri ini sudah mampu swasembada pangan, bahwa infrastruktur jalan sudah dibenahi sampai ke desa terpencil, dan bahwa pendidikan di desa makin meningkat, listrik sudah masuk ke mana-mana, air minum terus dialirkan, dan lain sebagainya. Tapi, membanggakan kemajuan, tanpa pernah melihat ke rusuk-rusuk wilayah, begitu mudahnya bagi banyak orang. Seolah mengklaim itu tanpa beban apa-apa.
 Pada era 1980-an, koran Sinar Harapan, menurunkan tim wartawannya bersafari melongok keadaan wilayah Tapanuli, setelah pemerintah Orde Baru menggulirkan program pembangunan lima tahunan (Pelita). Hasilnya? Tim menuliskan reportase perjalanannya dengan judul “Tapanuli, Peta Kemiskinan di Sumatera”. Sontak, pejabat di Sumut ketika itu seolah kebakaran jenggot. Ramai-ramai membuat bantahan melalui berbagai suratkabar. Mulai dari Gubernur (waktu itu EWP Tambunan), Bupati Taput (waktu itu Drs Salmon Sagala, alm), sampai walikota dan camat, membantah, bahwa daerahnya peta kemiskinan.
“Tak benar Tapanuli, apalagi Tapanuli Utara disebut peta kemiskinan. Itu kesimpulan keliru”, sanggah Salmon Sagala, seperti tertera pada satu arsip yang ditemukan penulis. Lalu Bupati memaparkan ragam proyek yang diluncurkan membangun penjuru wilayah yang dipimpinnya. Bahwa income perkapita dan PDRB terus melejit. Dan bahwa infrastruktur jalan sudah menjangkau kemana-mana, gedung sekolah dibangun sampai ke pelosok, produksi pertanian terus berlipat ganda, dan sebagainya. Bupati-bupati pelanjut Salmon juga seperti risau daerahnya diberi stigma miskin. Cenderung berdalih pada kekayaan potensi yang dikandung daerah. Kalaupun ada yang mengakui sebagian warga masih dibelit kemiskinan, tak sepenuh hati. Antara ragu dan membenarkan.
 Polemik. Itulah yang mewarnai opini masyarakat ketika itu.Toh jarang yang pernah mengakui dengan jujur dan polos, bahwa di wilayah anu masih ada desa terisolir, bahwa di desa anu masih ada warga yang kurang gizi, atau di desa anu masih banyak orang yang belum menikmati listrik atau air minum.
Setiap Gubernur, Bupati, Walikota, atau Camat, selalu rajin mengklaim hasil kinerjanya, khususnya dalam menyejahterakan rakyat. Sementara orang makan gulamo na tinutung (bukan karena hobi, tapi karena ketidakmampuan), tetap menjadi sebuah potret yang tak pernah diberi bingkai atau catatan garis bawah untuk diperhatikan.
 Kesimpulan: lain ayah Linggom, lain lagi ayah si Husor atau ayah si Sihol di desa lain, di sudut wilayah, yang katanya Peta Kemiskinan ini. Tapi, apa salahnya kalau kemiskinan itu diakui. Dengan catatan, itulah yang harus diberantas seperti istilah yang pernah digunakan bupati Torang Lumbantobing (Toluto) setiap anjangsana ke dusun.Parhaseang tikki, asa dao ma pogos (manfaatkan waktu, agar kemiskinan menjauh). Jangan malas, jangan terlalu banyak nongkrong di kedai, sementara kaum ibu banting tulang di sawah ladang. Ungkapan Toluto itu lebih fair, dari pada berkelit terus menolak sebutan miskin. (SARINGAR.Net)