Amye Hutagalung gadis tangguh |
Rasa
malu,sesungguhnya manusiawi. Setiap manusia tak terlepas dari rasa
malu. Itulah kelebihan manusia sebagai homo sapiens dibanding makhluk
hidup lainnya. Kalau seseorang, berbuat sesuatu yang melanggar
hukum,etika, nilai moralitas, tak lagi punya rasa malu,itu lain soal.
Mereka bakal dapat julukan “orang tak tahu malu”. Lalu, ada pula orang
yang karena gengsi, malu melakukan sesuatu yang dianggapnya mencederai
harga diri. Di kalangan orang Batak pernah ada istilah “BIMAS”,
kependekan dari “Biarlah mati asal stan (bergaya). Bermakna, lebih baik
tak jadi apa-apa kalau syaratnya harus
melakukan hal-hal yang bisa mengundang cemohan orang.
Prinsip itulah yang membedakan seorang Amye Dedio Hutagalung
S.Kep,putri Selamat Hutagalung, seorang aktivis jurnalistik/LSM yang
membedakannya dari banyak generasi muda yang dililit gengsi
gede-gedean,sehingga tak berani melakukan
sesuatu yang menurut pendapatnya adalah hal yang memalukan. Amye
(22) mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK), menyelesaikan program
S-1 di universitas terdepan di negeri ini,Universitas Indonesia (UI),
setelah melintasi ragam kesulitan sepanjang jalan perjuangan hingga
akhirnya berujung sukacita. “Tak
banyak orang bercita-cita dan mau menjadi seorang perawat,
alasannya sepele bahwa menjadi perawat itu dianggap profesi rendahan,
gaji biasa-biasa saja,bahkan tergolong minimal.” Begitu kata Amye
mengungkapkan dalam sebuah tulisan pribadinya dikisahkan sang
ayah,Selamat Hutagalung, kepada kompasianer yang menulis artikel ini.
Lantas, Amye sendiri kenapa bercita-cita jadi perawat. “Saya ingin
menjadi seorang perawat professional,handal dan mengutamakan caring
ketika merawat dan membantu proses penyembuhan pasien yang sakit. Itulah
landasan pikiran saya saat melanjutkan pendidikan di FIK UI,” tandas
Amye,menepis anggapan profesi perawat itu rendahan. Justru baginya,
perawat itu pekerjaan mulia.
Kilas balik perjuangan Amye selama proses perkuliahan memang penuh
pahit getir. Tapi semangatnya yang membara meredam apapun rintangan yang
dihadapi.
Dari banyak siswa peserta seleksi masuk UI se-Tapanuli pada 2009,
hanya Amye yang lolos. Namun sukacita itu dihadang pula tantangan yang
harus diatasi. Selain bersaing dengan jutaan calon mahasiswa, dan
membayar mahal formulir pendaftaran, Amye juga membuat pusing keluarga
karena faktanya biaya pendidikan di UI sangat mahal, di mana saat itu
harus membayar iuran Rp 12.600.000. Bagaimana mungkin keluargaku
yang tergolong tak mampu dengan penghasilan kurang dari Rp 1 juta per
bulan, bisa menanggulanginya. Pada hal keluarga harus menanggung 7
anggota keluarga lain,
seorang isteri dan 6 anak. Awalnya semua keluarga menolak tak
mendukung masuknya Amye ke UI. Nyaris saja Amye depresi. Sudah bersusah
payah bisa lulus seleksi masuk UI, faktanya terkendala dana.
Tapi, way out akhirnya ada
berkat doa Amye,orang tua, dan dorongan moral dari orang yang
bersimpati pada Amye. Ada seberkas cahaya memudarkan mendung ketika itu.
Di luar dugaan,pihak
akademik FIK UI menelpon Amye karena Amye belum melakukan
registrasi ulang. Amye tanpa sungkan menceritakan kesulitan keluarga
menyangkut dana. Rupanya
pihak FIK-UI tersentuh dengan keterusterangan Amye. Mereka member
dispensasi berupa potongan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) menjadi Rp
7.700.000 (uang pangkal Rp 4.200.000, dan BOP persemester Rp
3.500.000). Setelah direpoti
pengisian bermacam prosedur administratif, Amye dan kelurga berupaya memenuhi segala persyaratan yang masih harus ditempuh.
Meski sudah ada aba-aba keringanan, keluarga Amye tetap saja
tersandung kesulitan melunasi tagihan BOP itu. Amye berpaling ke Pemkab
Tapanuli Utara, seakan dapat inspirasi. Amye mengajukan permohonan
beasiswa kepada Bupati. Puji Tuhan! Amye bersorak riang. Pada acara
pemberangkatan UN
bagi siswa-I SMA se Tapanuli Utara di Lapangan Tangsi Tarutung pada
2009, bupati menjanjikan bagi 3 (tiga) orang pertama yang masuk PTN
akan diberikan bantuan beasiswa. “Terima kasih kepada Pak Bupati,
beasiswa itulah yang selama empat
tahun ini menutupi uang BOP saya hingga saya lulus sekarang,”
ungkap Amye terharu. Meski nominalnya hanya mampu menutupi BOP saja,
namun Amye bersyukur, dan tak akan melupakan pertolongan yang datang
dari Pemkab Tapanuli Utara.
JUAL GORENGAN-
Dengan beasiswa Rp 8.000.000 dari Pemkab Taput, Amye dan keluarga harus mencari dana untuk menutupi biaya sehari-hari,plus uang
kontrakan di Depok. Amye putar otak mencari solusi,hingga dapat ide
berjualan kecil-kecilan di lingkungan kampus.” Saya tak malu berjualan
gorengan di kampus, berjualan kosmetik, seraya mengikuti lomba
kewirausahaan demi
memperoleh uang tambahan menutupi kebutuhan saya, papar Amye secara
terbuka. Susah memang membagi waktu dan pikiran, antara kuliah
sambil cari dana sampingan. Namun itu dilakukan Amye sadar akan kondisi
keluarga dan demi meraih
cita-cita yang sudah di depan mata. Tak memiliki fasilitas yang
selayaknya bagi mahasiswa (Hp, laptop, computer), memang mempengaruhi
prestasi belajar Amye pada awal semester. Pada semester 1 IPK Amye
sangat minimal. Namun Amye tetap optimis dengan terus mencari dana
tambahan demi satu target kecil,sebuah laptop kecil.
Problema lain muncul pada semester 3 tahun 2010. Amye didiagnosa
menderita appendict (usus buntu) yang sudah perforasi,harus
dioperasi. Kecut pada biaya operasi yang mahal di Jakarta, Amye pulang
ke Tarutung agar operasinya di sana. Toh di kampung halaman juga
biayanya mahal mencapai Rp 8 jutaan. Hal itu tentu memberatkan pihak
keluarga,yang mengandalkan kerja sebagai petani biasa menjalani hidup.
Setelah dioperasi, Amye dihadapkan pilihan sulit beristirahat di
kampung, berbahaya kalau langsung kembali ke Depok. Hal itu akan menunda
pendidikan S-1 Amye selama setahun. Namun dengan hati bulat dan
dukungan keluarga, Amye memutuskan melanjutkan kuliah. Dalam kondisi
bekas operasi belum sembuh dan hampir mengalami infeksi, Amye bisa
mengurusi diri sendiri seraya mengikuti kuliah. Amye menyerahkan diri
pada Tuhan, dan masa-masa sulit bisa dilalui.
Sambil terus berjualan gorengan, Amye akhirnya bisa membeli sebuah
laptop pada 2011,tepat ketika adik keduanya masuk kuliah bersamanya
di Depok. Amye dan adiknya menggunakan laptop itu bergantian. Nilai
Amye setiap semester meningkat,grafiknya selalu naik. Pada semester
berikutnya Amye dan keluarga
harus mendapatkan dana ekstra karena adiknya butuh uang kuliah dan
keperluan lain. Hidup sederhana harus diterapkannya bersama adik,
meminimalisir pengeluaran, mengontrak rumah lebih murah,memasak sendiri,
dan berjalan kaki ke
kampus. Pada semester itu Amye sudah punya jadual praktik di
beberapa rumah sakit dan panti, pengeluaran pun bertambah untuk berbagai
keperluan. Ditambah lagi biaya riset kesehatan sebagai prasyarat
membuat skripsi berbiaya sangat besar. Pada saat pembuatan skripsi, Amye
masih mengupayakan dana dengan
mengikuti proyek Riset Kesehatan dasar Dinkes RI 2013 di garut,
Tasikmalaya dan Ciamis. Sebagai gantinya jadual kuliahnya dipadatkan
dari Senin sampai Sabtu,
dan harus double shift pada praktik di panti werdha,sidang skripsi
dipercepat. Semuanya dilakukan Amye dengan tekun dan semangat tinggi.
Alhasil dengan honor proyek riset 11 hari, Amye bisa melunasi biaya
pembuatan skripsi, selain bayar kontrakan.
Kini, Amye sedang mengikuti kuliah program Profesi/Ners lanjutan
program S-1 Keperawatan selama di UI satu tahun ke depan.Biayanya lebih
mahal dari BOP saat mengikuti program S-1. Amye harus bayar uang pangkal
Rp 3 juta, uang klinik Rp 2,6 juta dan BOP Profesi Rp 4,5 juta per
semester, ditambah lagi biaya transportasi dan kontrakan yang lebih
besar dari biaya BOP karena setiap bulan Amye harus pindah kontrakan
sesuai jadual pergantian rumah sakit tempat
praktik yang ditentukan UI.”Jujur saya masih kebingungan mencari
dana sebesar itu. Sedangkan sepengetahuan saya beasiswa dari Pemkab
Taput atas nama saya telah dihentikan,karena hanya disediakan bagi
mahasiswa program S-1 saja, bukan
untuk program profesi. Orangtua saya menawarkan solusi mengutang ke bank,
dengan mengagunkan sertifikat sawah nenek, namun pinjaman yang didapat pun sangat minim.
Amye tidak putus asa. Dia pun masih berharap Pemkab Taput bisa lagi
membantu, dan untuk itu Amye melayangkan surat permohonannya kepada
Bupati Taput yang dikenal sangat perduli dan concern pada perjuangan
seorang anak menggapai cita-cita yang mulia.Sang ayah, Slamat Hutagalung
dengan nada haru mengatakan, percaya sepenuhnya pada pertolongan Tuhan
Maha Pengasih, apa yang dipinta dengan hati tulus dan percaya akan
dikabulkan.Ketika kompasianer minta fotonya Amye, sang ayah bilang Amye
itu tak begitu suka gambarnya dipublikasi.”Tapi nanti saya usahakan
untuk melengkapi,” ujar ayah yang beberapa kali terjun bertanam cabai di
kampungnya untuk bisa membantu anaknya selagi bisa. (LeonardoTS/Lihat juga Kompasiana/Kompas.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar