Sabtu, 30 Agustus 2014

(Struggle for Life) Gadis Ini Kuliah di UI Sambil Jual Gorengan

Amye Hutagalung gadis tangguh

  Rasa malu,sesungguhnya manusiawi. Setiap manusia tak terlepas dari rasa malu. Itulah kelebihan manusia sebagai homo sapiens dibanding makhluk hidup lainnya. Kalau seseorang, berbuat sesuatu yang melanggar hukum,etika, nilai moralitas, tak lagi punya rasa malu,itu lain soal. Mereka bakal dapat julukan “orang tak tahu malu”. Lalu, ada pula orang yang karena gengsi, malu melakukan sesuatu yang dianggapnya mencederai harga diri. Di kalangan orang Batak pernah ada istilah “BIMAS”, kependekan dari “Biarlah mati asal stan (bergaya). Bermakna, lebih baik tak jadi apa-apa kalau syaratnya harus
melakukan hal-hal yang bisa mengundang cemohan orang.
Prinsip itulah yang membedakan seorang Amye Dedio Hutagalung S.Kep,putri Selamat Hutagalung, seorang aktivis jurnalistik/LSM yang membedakannya dari banyak generasi muda yang dililit gengsi gede-gedean,sehingga tak berani melakukan
sesuatu yang menurut pendapatnya adalah hal yang memalukan. Amye (22) mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK), menyelesaikan program S-1 di universitas terdepan di negeri ini,Universitas Indonesia (UI), setelah melintasi ragam kesulitan sepanjang jalan perjuangan hingga akhirnya berujung sukacita. “Tak
banyak orang bercita-cita dan mau menjadi seorang perawat, alasannya sepele bahwa menjadi perawat itu dianggap profesi rendahan, gaji biasa-biasa saja,bahkan tergolong minimal.” Begitu kata Amye mengungkapkan dalam sebuah tulisan pribadinya dikisahkan sang ayah,Selamat Hutagalung, kepada kompasianer yang menulis artikel ini.
Lantas, Amye sendiri kenapa bercita-cita jadi perawat. “Saya ingin menjadi seorang perawat professional,handal dan mengutamakan caring ketika merawat dan membantu proses penyembuhan pasien yang sakit. Itulah landasan pikiran saya saat melanjutkan pendidikan di FIK UI,” tandas Amye,menepis anggapan profesi perawat itu rendahan. Justru baginya, perawat itu pekerjaan mulia.
Kilas balik perjuangan Amye selama proses perkuliahan memang penuh pahit getir. Tapi semangatnya yang membara meredam apapun rintangan yang dihadapi.
Dari banyak siswa peserta seleksi masuk UI se-Tapanuli pada 2009, hanya Amye yang lolos. Namun sukacita itu dihadang pula tantangan yang harus diatasi.  Selain bersaing dengan jutaan calon mahasiswa, dan membayar mahal formulir pendaftaran, Amye juga membuat pusing keluarga karena faktanya biaya pendidikan di UI sangat mahal, di mana saat itu
harus membayar iuran Rp 12.600.000. Bagaimana mungkin keluargaku yang tergolong tak mampu dengan penghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan, bisa menanggulanginya. Pada hal keluarga harus menanggung 7 anggota keluarga lain,
seorang isteri dan 6 anak. Awalnya semua keluarga menolak tak mendukung masuknya Amye  ke UI. Nyaris saja Amye depresi. Sudah bersusah payah bisa lulus seleksi masuk UI, faktanya terkendala dana.
Tapi, way out akhirnya ada
berkat doa Amye,orang tua, dan dorongan moral dari orang yang bersimpati pada Amye. Ada seberkas cahaya memudarkan mendung ketika itu. Di luar dugaan,pihak
akademik FIK UI menelpon Amye karena Amye belum melakukan registrasi ulang. Amye tanpa sungkan menceritakan kesulitan keluarga menyangkut dana. Rupanya
pihak FIK-UI tersentuh dengan keterusterangan Amye. Mereka member dispensasi berupa potongan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) menjadi Rp 7.700.000 (uang pangkal Rp 4.200.000, dan BOP persemester Rp 3.500.000). Setelah direpoti
pengisian bermacam prosedur administratif, Amye dan kelurga berupaya memenuhi segala persyaratan yang masih harus ditempuh.
Meski sudah ada aba-aba keringanan, keluarga Amye tetap saja tersandung kesulitan melunasi tagihan BOP itu. Amye berpaling ke Pemkab Tapanuli Utara, seakan dapat inspirasi. Amye mengajukan permohonan beasiswa kepada Bupati. Puji Tuhan! Amye bersorak riang. Pada acara pemberangkatan UN
bagi siswa-I SMA se Tapanuli Utara di Lapangan Tangsi Tarutung pada 2009, bupati menjanjikan bagi 3 (tiga) orang pertama yang masuk PTN akan diberikan bantuan beasiswa. “Terima kasih kepada Pak Bupati, beasiswa itulah yang selama empat
tahun ini menutupi uang BOP saya hingga saya lulus sekarang,” ungkap Amye terharu. Meski nominalnya hanya mampu menutupi BOP saja, namun Amye bersyukur, dan tak akan melupakan pertolongan yang datang dari Pemkab Tapanuli Utara.
JUAL GORENGAN-
Dengan beasiswa Rp 8.000.000 dari Pemkab Taput, Amye dan keluarga harus mencari dana untuk menutupi biaya sehari-hari,plus uang
kontrakan di Depok. Amye putar otak mencari solusi,hingga dapat ide berjualan kecil-kecilan di lingkungan kampus.” Saya tak malu berjualan gorengan di kampus, berjualan kosmetik, seraya mengikuti lomba kewirausahaan demi
memperoleh uang tambahan menutupi kebutuhan saya, papar Amye secara
terbuka. Susah memang membagi waktu dan pikiran, antara kuliah sambil cari dana sampingan. Namun itu dilakukan Amye sadar akan kondisi keluarga dan demi meraih
cita-cita yang sudah di depan mata. Tak memiliki fasilitas yang selayaknya bagi mahasiswa (Hp, laptop, computer), memang mempengaruhi prestasi belajar Amye pada awal semester. Pada semester 1 IPK Amye sangat minimal. Namun Amye tetap optimis dengan terus mencari dana tambahan demi satu target kecil,sebuah laptop kecil.
Problema lain muncul pada semester 3 tahun 2010. Amye didiagnosa
menderita appendict (usus buntu) yang sudah perforasi,harus dioperasi. Kecut pada biaya operasi yang mahal di Jakarta, Amye pulang ke Tarutung agar operasinya di sana. Toh di kampung halaman juga biayanya mahal mencapai Rp 8 jutaan. Hal itu tentu memberatkan pihak keluarga,yang mengandalkan kerja sebagai  petani biasa menjalani hidup. Setelah dioperasi, Amye dihadapkan pilihan sulit beristirahat di kampung, berbahaya kalau langsung kembali ke Depok. Hal itu akan menunda pendidikan S-1 Amye selama setahun. Namun dengan hati bulat dan dukungan keluarga, Amye memutuskan melanjutkan kuliah. Dalam kondisi bekas operasi belum sembuh dan hampir mengalami infeksi, Amye bisa mengurusi diri sendiri seraya mengikuti kuliah. Amye menyerahkan diri pada Tuhan, dan masa-masa sulit bisa dilalui.
Sambil terus berjualan gorengan, Amye akhirnya bisa membeli sebuah
laptop pada 2011,tepat ketika adik keduanya masuk kuliah bersamanya di Depok. Amye dan adiknya menggunakan laptop itu bergantian. Nilai Amye setiap semester meningkat,grafiknya selalu naik. Pada semester berikutnya Amye dan keluarga
harus mendapatkan dana ekstra karena adiknya butuh uang kuliah dan keperluan lain. Hidup sederhana harus diterapkannya bersama adik, meminimalisir pengeluaran, mengontrak rumah lebih murah,memasak sendiri, dan berjalan kaki ke
kampus. Pada semester itu Amye sudah punya jadual praktik di beberapa rumah sakit dan panti, pengeluaran pun bertambah untuk berbagai keperluan. Ditambah lagi biaya riset kesehatan sebagai prasyarat membuat skripsi berbiaya sangat besar. Pada saat pembuatan skripsi, Amye masih mengupayakan dana dengan
mengikuti proyek Riset Kesehatan dasar Dinkes RI 2013 di garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Sebagai gantinya jadual kuliahnya dipadatkan dari Senin sampai Sabtu,
dan harus double shift pada praktik di panti werdha,sidang skripsi dipercepat. Semuanya dilakukan Amye dengan tekun dan semangat tinggi. Alhasil dengan honor proyek riset 11 hari, Amye bisa melunasi biaya pembuatan skripsi, selain bayar kontrakan.
Kini, Amye sedang mengikuti kuliah program Profesi/Ners lanjutan program S-1 Keperawatan selama di UI satu tahun ke depan.Biayanya lebih mahal dari BOP saat mengikuti program S-1. Amye harus bayar uang pangkal Rp 3 juta, uang klinik Rp 2,6 juta dan BOP Profesi Rp 4,5 juta per semester, ditambah lagi biaya transportasi dan kontrakan yang lebih besar dari biaya BOP karena setiap bulan Amye harus pindah kontrakan sesuai jadual pergantian rumah sakit tempat
praktik yang ditentukan UI.”Jujur saya masih kebingungan mencari dana sebesar itu. Sedangkan sepengetahuan saya beasiswa dari Pemkab Taput atas nama saya telah dihentikan,karena hanya disediakan bagi mahasiswa program S-1 saja, bukan
untuk program profesi. Orangtua saya menawarkan solusi mengutang ke bank,
dengan mengagunkan sertifikat sawah nenek, namun pinjaman yang didapat pun sangat minim.
Amye tidak putus asa. Dia pun masih berharap Pemkab Taput bisa lagi membantu, dan untuk itu Amye melayangkan surat permohonannya kepada Bupati Taput yang dikenal sangat perduli dan concern pada perjuangan seorang anak menggapai cita-cita yang mulia.Sang ayah, Slamat Hutagalung dengan nada haru mengatakan, percaya sepenuhnya pada pertolongan Tuhan Maha Pengasih, apa yang dipinta dengan hati tulus dan percaya akan dikabulkan.Ketika kompasianer minta fotonya Amye, sang ayah bilang Amye itu tak begitu suka gambarnya dipublikasi.”Tapi nanti saya usahakan untuk melengkapi,” ujar ayah yang beberapa kali terjun bertanam cabai di kampungnya untuk bisa membantu anaknya selagi bisa. (LeonardoTS/Lihat juga Kompasiana/Kompas.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar