Kapal Jepang Patah Dua di Bom Tentara Sekutu
Tidak
mudah menemukan orang Sumatera di Maluku Utara. Perasaan asing
menyergap, tatkala saya mendarat pertama kali di Bandara Sultan
Babullah, Ternate, dalam perjalanan ke Indonesia Timur baru-baru ini.
Komunikasi lisan pun terkesan agak tersendat,menyangkut logat bahasa
setempat. Meski bahasa orang Maluku Utara tak terlalu jauh dari bahasa
Ambon, tapi di sana-sini masih banyak perbedaan.
Inilah kapal Jepang yang patah dua dibom tentara Sekutu di Laut Halmahera Utara,bangkai kapal masih ada disana lebih 70 tahun.(Foto: Leonardo TS) |
Adakah
orang Batak atau orang Sumatera lainnya di Ternate,atau di
Halmahera?,tanya saya sepintas pada seorang penumpang Batavia Air yang
mendaratkan kami ke negeri berjuta kelapa itu. Sambil senyum, bapak itu
mengatakan ada tapi jarang. Sebelum kemerdekaan, nyaris tak ada orang
Batak di wilayah ini. Tapi seiring perkembangan masa, sejak dekade 70-an
sudah lumayan orang Sumatera khususnya Batak yang datang ke Maluku
Utara, khususnya di Ternate, Jailolo, Tobelo, Kao. Meski pun mereka itu
kebanyakan adalah pejabat atau PNS,yang ditugaskan ke sana. Lebih
bersifat temporer.
Saya
bertolak dari Polonia Medan suatu sore akhir Januari lalu,naik Batavia
Air,tiba di Jakarta jelang malam. Transit di Jakarta lebih kurang 6 jam,
kemudian dengan pesawat berbeda bertolak pukul 01.35 pagi ke Ternate.
Perjalanan naik pesawat ke Ternate membutuhkan waktu tiga setengah jam.
Saat pesawat landing di Bandara Sultan Babullah, hari sudah terang
benderang. Beda waktu dengan Sumatera dengan Maluku lebih 2 jam. Dalam
jarak dekat saya melihat Gunung Gamalama yang sering menakutkan warga
saat memuntahkan lahar dingin yang membuat warga pulau itu kalang kabut.
Kota Ternate difoto dari kapal feri (Leonardo TS) |
Untuk
keluar dari Ternate ke pulau Halmahera, ada dua pilihan. Naik feri atau
speedboat,ke Sofifi ibu kota baru Maluku Utara. Naik feri memakan waktu
lebih satu jam, sedangkan naik speed butuh sekitar 40 menit. Ketika
menaiki boat, saya sungguh cemas. Bayangkan,dengan
kecepatan maksimal boat mengarungi Laut Halmahera rasanya terlalu lama
tiba di pantai Sofifi. Dari Sofifi menuju Malifut sekitar 85 km,dan dari
Malifut ke Tobelo sekitar 90 km. Tapi,kondisi jalan di wilayah ini
sangat mengagumkan. Dari awal hingga ujung tampak mulus,nyaris tak ada
lobang.
Selama
dua minggu berada di Halmahera Utara, banyak hal menarik perhatian.
Meski Maluku Utara (Malut) pernah dilanda kerusuhan pada 1999 silam,
kondisinya kini sudah normal, walau sesekali masih ada gesekan kecil
yang berpotensi merusak kebersamaan. Masyarakat mulai terjaga dari
kemungkinan adanya gesekan berbau SARA. Suasana rukun antarumat beragama
selalu didambakan mewarnai kehidupan warga. Di Malifut misalnya,
suasana itu tampak terbungkus keakraban dalam berbagai even tertentu.
Apakah saat ada hajatan,maupun komunikasi sehari-hari.
Keingintahuan
tentang keberadaan orang Batak di pulau ini menguat saat saya berada di
Sosol Kecamatan Malifut yang dihuni mayoritas umat Muslim. Tak jauh
dari pantai Sosol, saya tertarik melihat ada bangkai sebuah kapal
terlihat patah dua. Saat air laut surut, kapal itu bisa didekati dalam
jarak sekitar 20 meter. Ternyata bangkai kapal perang yang patah itu
menyiratkan kisah tersendiri bagi warga Malifut dan Kao. Sekitar tahun
1944 sebelum kemerdekaan, kapal perang berbendera Jepang sedang
berkeliaran di perairan Halmahera. Kapal itu mengangkut
puluhan serdadu Jepang, termasuk sejumlah laskar Heiho (tentara pribumi
bentukan Jepang). Di antara Heiho itu ada sejumlah orang dari Sumatera,
bermarga Pasaribu, Hasibuan,Siregar, dan Lubis. Diperkirakan direkrut
Jepang dari Sibolga dan Mandailing Tapanuli Selatan..
Tiba-tiba
pesawat sekutu muncul, langsung membombardir kapal tersebut, sampai
patah dua (lihat foto). Suasana panik pun terjadi. Banyak serdadu Jepang
tewas,jasadnya berserakan di dalam kapal maupun mengapung di permukaan
laut. Namun ada juga sebagian yang berhasil menyelamatkan diri, berenang
menuju pantai Malifut dan Kao. Di antara yang selamat dari gempuran
pesawat sekutu, tercatat beberapa orang Batak tadi. Serdadu Jepang yang
selamat dan beberapa orang Batak ditangkap petugas keamanan Indonesia di
Kao. Bahkan, orang Batak yang jadi Heiho itu sempat ditahan,meski
belakangan mereka berhasil menjebol ruang tahanan dan lari berpencar. Di
antaranya,Zainuddin Pasaribu, Siregar, Hasibuan, Lubis. Ada yang lari
ke arah Tobelo,yakni Hasibuan dan Siregar. Hingga kini mereka
sudah beranak pinak di Halmahera. Ada yang lupa asalnya atau
silsilahnya, mungkin karena orang tua mereka semasa hidup kurang
bercerita tentang hal itu.
Nurahma
boru Pasaribu salah seorang anak perempuan Zainuddin Pasaribu,
menuturkan hal itu ketika saya temui di rumahnya di Desa Kao. Perempuan
berusia 60-an ini kawin dengan Guraci, pria asal Kao. Sedangkan saudara
lelakinya ada yang jadi guru di daerah itu. “Saya rasa ayah saya dan
kawan-kawannya yang selamat itulah orang Batak pertama yang datang ke
pulau ini,” tutur Nurahma boru Pasaribu. Perempuan yang sudah bercucu
ini tak bisa lagi berbahasa Batak,bahkan seperti pengakuannya tak tahu
lagi jelas silsilahnya. Yang dia masih ingat berdasarkan tuturan ayahnya
sebelum meninggal, bahwa mereka berasal dari sekitar Barus
di Tapanuli Tengah. Dia kelihatan sangat senang saat tahu orang yang
datang menemuinya hari itu adalah orang dari Sumatera.”Sangat
senang,sangat senang, sebab jarang bertemu orang Sumatera apa lagi orang
Batak,” katanya saat muncul menyuguhkan teh untuk saya. Dia menyebut,
rekan ayahnya yang lolos dari kapal Jepang itu juga sudah meninggal.
Tapi keturunannya masih ada di Halmahera Utara. Antara lain di Tobelo
dan mungkin di Galela. Nurahma dan saudara-saudaranya sudah menyatu
dengan kultur suku yang ada di Halmahera. Hanya karena pesan orang
tuanya mereka tahu bahwa mereka keturunan Batak dari Sumatera. Mereka
memiliki tanah cukup luas, hidup seperti halnya penduduk setempat.
Bahkan marga Pasaribu itu masih melekat kalau kebetulan bertutur tentang
asal muasal.
Orang Sumatera Utara lainnya
yang ada di Halmahera ada marga Lubis yang beristerikan perempuan
setempat. Uniknya, istri Lubis bernama Ida Sosol itu justru adalah
kepala suku di sana. Katanya, dia sudah ditabalkan jadi boru
Pardede,saat pernah tinggal di Pekanbaru,Riau. Dia juga mahir berbahasa
Batak berkat pengajaran suaminya. Bahkan, Ida sangat tertarik dengan
silsilah orang Batak.” Huajarhon do tu dakdanak i, asa unang lupa nasida
marmarga Lubis,jala asa diboto tarombona,” ujar Ida saat saya ajak
berbincang.Bahasa Bataknya cukup kental,tak terkesan bahwa dia perempuan
asli Halmahera. Maksudnya, saya selalu ajarkan pada anak-anak
agar jangan lupa bahwa mereka marga Lubis, dan supaya mereka tahu
silsilahnya setelah dewasa kelak.
Kapal
perang Jepang yang terkapar dan patah dua di Pantai Sosol, tampak
bagaikan sebuah monumen bersejarah,khususnya bagi warga Kao dan Malifut.
“Itu sudah jadi sebuah tanda bersejarah dari kecamuk perang dunia yang
pernah berkobar di daerah ini,” ujar Reynold Simanjuntak,yang sudah
puluhan tahun tinggal di Halmahera,bahkan sudah beristrikan wanita
Halmahera. Saat senja dan malam menyergap, bangkai kapal perang itu
tampak menyeramkan.Tapi warga setempat tak terusik oleh kisah-kisah gaib
dari keberadaan kapal tersebut. Sayang sekali, tampaknya belum ada ide
atau upaya dari Pemprop Maluku Utara atau Pemkab Halmahera Utara untuk
menjadikan kawasan seputar kapal perang itu,menjadi sebuah obyek wisata
sejarah. Mungkin suatu saat itu bakal terjadi. Beberapa catatan tentang
sisi lain dari wilayah ini diturunkan pada penerbitan mendatang.
Tampaknya
warga sekitar Kecamatan Malifut dan Kao kurang berani menginjakkan
kakinya ke kapal yang sudah 70 tahun terlantar di Laut Halmahera.
Beberapa orang pemuda ketika saya tanya apa mereka pernah jalan-jalan ke
kapal patah itu, dijawab dengan mimik kecut.” Takut bang, katanya pada
malam hari sering ada suara orang menangis di sana,” kata Aren Joy
pemuda setempat sambil geleng kepala. Pada suatu pagi saya ditemani Aren
Joy menyusuri pinggiran laut ketika sedang surut, memotret kapal itu
dari jarak sekitar 30 meter. Saya sendiri ingin melihat keadaan kapal
yang kena bom itu lebih dekat, tapi niat itu saya batalkan. (Leonardo
Joentaknamo)
Enak juga ya bisa jalan-jalan dan bisa melihat sejarah dunia
BalasHapus