REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA BATAK TOBA
DALAM MENDORONG
PENINGKATAN
PELAYANAN PUBLIK
DI KABUPATEN TAPANULI UTARA
Mauliate Simorangkir
Email
: mauliate_simo@yahoo.com
Abstract
Performance of public service is closely related to the values
underlying the apparatuses as the presence of state in providing services for
the entire communities. All this time, public service has been orientated
towards the fulfillment of the interest of the leaders or superiors, not
orientated towards the fulfillment of satisfaction of the communities served.
This has been aggravated by centralistic cultural values especially the
Javanese culture that becomes the spirit of the public service paradigm.
Consequently, public service all this time cannot be optimum and cannot be felt
ideally by the communities as consumers and as state sovereignty owners. In the
regional autonomy era, regions are granted with authorities and huge room to
develop regions in various aspects of life based on the characteristics owned.
These authorities become an opportunity and even become an access to regional
governments to improve regions one of which in terms of public service. North
Tapanuli Regency as a regency with Batak Toba people as its majority population
adhering to Batak Toba culture has a huge room to lift up the values contained
in the Batak Toba culture so as to enhance public service. This article
endeavors to revitalize the cultural values of Batak Toba contained in the
Batakism as a normative value, Dalihan Na
Tolu (literally translated as Three-Legged Stone Stove) as a social
structure and Bius (literally
translated as kampong / “small state”)
as a political system. This article also constitutes an abstract of research
about the revitalization of the Batak Toba culture in enhancing the quality of
public service in the regional autonomy era (a case study in North Tapanuli
Regency).
Key words: Revitalization, Cultural
Values of Batak, Public Service, North Tapanuli.
Abstrak
Kinerja pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang
mendasari aparatur sebagai kehadiran
negara dalam memberikan pelayanan terhadap seluruh masyarakat. Selama ini,
pelayanan publik didasarkan pada orientasi pemenuhan kepentingan pimpinan atau
atasan, bukan berorientasi pada pemenuhan kepuasan terhadap masyarakat yang
dilayani. Hal tersebut diperparah dengan nilai-nilai budaya yang sentralistik
khususnya budaya Jawa yang menjadi roh dari paradigma pelayanan publik. Akibatnya pelayanan publik selama ini
tidak optimal dan tidak dirasakan secara ideal oleh masyarakat selaku konsumen dan sebagai pemilik kedaulatan negara. Di era otonomi daerah, daerah
diberikan kewenangan dan ruang yang sangat besar untuk membangun daerah di
berbagai aspek kehidupan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Kewenangan
ini menjadi peluang bahkan menjadi ruang
masuk bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki daerah salah satunya dalam hal
pelayanan publik. Kabupaten Tapanuli Utara sebagai kabupaten dengan mayoritas penduduknya
orang Batak Toba menganut budaya Batak Toba memiliki ruang yang sangat besar untuk
mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba guna
meningkatkan pelayanan publik. Artikel ini berupaya melakukan revitalisasi
nilai-nilai budaya Batak Toba yang terkandung dalam Habatahon sebagai nilai normatif, Dalihan Na Tolu sebagai struktur sosial dan Bius
sebagai sistem politik. Artikel ini juga
merupakan intisari dari penelitian mengenai revitalisasi budaya Batak Toba
dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah (studi kasus
di Kabupaten Tapanuli Utara)
Kata Kunci: Revitalisasi, Nilai Budaya
Batak, Pelayanan Publik, Tapanuli Utara
PENGANTAR
Pelayanan publik merupakan salah satu kewajiban yang
harus diselenggarakan oleh negara dalam rangka melayani rakyatnya, sebab
hal ini merupakan kecenderungan keterkaitan antara negara dengan revolusi
sosial. Keberhasilan pelayanan publik terkait erat dengan budaya birokrasi dan ketaatan
aparat terhadap pelaksanaan prosedur tetap (protap) atau Standar Operating
Procedure. Keberadaan SOP sebagai kerangka acuan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik memungkinkan pelayanan publik lebih menjamin
keadilan dalam mengakses pelayanan publik bagi masyarakat. Namun demikian, terdapat bukti-bukti bahwa lembaga publik belum seluruhnya melaksanakan
pelayanan publik berdasaarkan SOP.
Hal tersebut misalnya terlihat dari meningkatnya tindak pidana korupsi. Pada tahun 2010, Transparency International menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,8 atau
berada pada peringkat ke-10 dari 178 negara (Tranparency International dalam Kompas, 27 Oktober 2010).
Bagi Indonesia, peringkat ini merupakan penghambat dan
melemahkan bahkan menjegal Indonesia dalam peningkatan
daya saing. Kondisi tersebut adalah implikasi dari budaya kerja
(etos kerja), transparansi, profesionalitas, kompetensi, konsistensi
dan partisipasi serta tanggung jawab aparatur pemerintah
yang rendah. Bagi Sumatera Utara, budaya pelayanan publik sampai sejauh
ini masih belum seperti yang diharapkan. Demikian juga
pelayanan publik yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Utara yang belum
menunjukkan perbaikan yang memadai.
Kondisi pelayanan publik yang ada di Kabupaten Tapanuli
Utara menunjukkan masih adanya budaya
feodalistik. Hal tersebut tanpa disadari berdampak pada performa kinerja
pemerintahan yang menempatkan posisi kinerja Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi ketiga terkorup dari
33 provinsi (BPK 2011). Secara empiris pembangunan fasilitas publik dari tahun ke
tahun di Tapanuli Utara seolah-olah tidak berpihak pada masyarakat banyak.
Hal ini dapat dilihat dari proporsi alokasi APBD Tapanuli Utara
tidak dilakukan secara proporsional dalam melayani dan memberdayakan masyarakat.
Anggaran yang ada hanya 43% diperuntukan pada pemberdayaan
masyarakat (belanja langsung), sedangkan 57% sisanya
merupakan overhead cost.
Proporsi Dana Alokasi Umum (DAU) Tapanuli Utara dari tahun
2011 sampai dengan 2013 rata-rata 62% diperuntukkan pada overhead cost yaitu belanja pegawai (Dipenloka
Taput, 2013). Proporsi
penganggaran tersebut merupakan cerminan bahwa pemerintahan Tapanuli Utara belum
memberikan perhatian yang besar terhadap rakyat sebagai pemilik kedaulatan dari apa
yang disebut negara.
Tapanuli Utara pada zaman keemasannya telah memberikan
ruang bagi tumbuhnya budaya Batak Toba yang sangat kompatibel dengan kehidupan sosial masyarakat termasuk pada
budaya birokrasi pelayanan publik. Namun
pada era otonomi daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang secara konstitusional memiliki ruang masuk yang sangat besar dalam
pengembangan model pelayanan publik sebagai upaya mendorong tingkat
kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, namun hal tersebut belum dapat
diwujudkan. Tapanuli Utara sebagai pusat budaya Batak Toba seolah-olah tidak
memiliki nilai tambah (added value)
guna mendorong tumbuh kembangnya budaya birokrasi pelayanan publik yang baik
yaitu mudah, murah dan berkualitas, transparan, partisipatif, responsif dan
akuntabel. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, budaya Batak Toba (Habatahon,
Dalihan Na Tolu dan Bius) yang dianut oleh mayoritas masyarakat Kabupaten
Tapanuli Utara memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber nilai dalam
memperbaiki performa pelayanan publik.
Budaya
Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu dan Bius) mengandung
nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yaitu transparan,
partisipasi, dan akuntabel. Unsur-unsur dari nilai-nilai budaya Batak Toba seperti Habatahon (hagabeon, hamoraon, hasangapon),
Dalihan Na Tolu maupun Bius telah membentuk orang Batak
Toba, baik dalam bersikap, berpikir maupun bertindak, bahkan juga ikut
membentuk orang Batak Toba menjadi tangguh, tegas, transparan dan lugas serta
demokratis dalam memperjuangkan hidup menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Hal tersebut
didasarkan pada adanya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba yang mengajarkan
kepada orang Batak Toba tentang bagaimana memutuskan suatu perkara melalui
sidang lembaga peradilan seperti
Majelis Partukkoan, yang
memiliki unsur-unsur, seperti mangaraja adat, mangaraja marga, mangaraja huta, mangaraja
partukkoan, pangituai dll (Simajuntak
,2006).
Budaya Batak
Toba bagi orang Batak Toba sebagai way of life. Oleh karena itu dalam konteks
ini, nilai-nilai budaya Batak sebagaimana disebutkan Simanjuntak
(2006) berpeluang untuk memecahkan kebuntuan yang terjadi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, baik selama Orde Baru maupun pada masa reformasi. Menurut Simanjuntak,
karakteristik orang Batak yang lebih dapat dipercaya, pintar, keras dan demokratis
(terbuka) memungkinkan untuk terciptanya pelayanan publik yang adil dan sesuai
dengan tuntutan reformasi pelayanan publik yang berorientasi pada pelayanan
terhadap warga masyarakat.
Berbagai fenomena sebagaimana diuraikan penulis di atas,
dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat hubungan antara budaya Batak Toba,
baik atau buruknya pelayanan publik di Tapanuli Utara. Sejatinya dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba dan hakekat roh dalam
otonomi daerah, layanan publik seharusnya dapat lebih transparan, partisipatif,
responsif dan akuntabel sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Sebab
otonomi daerah merupakan ruang masuk bagi Tapanuli Utara dalam pengembangan
model pelayanan publik berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebagai upaya kepada terwujudnya good governance sesuai dengan prinsip efektif,
efisien, transparan
dan partisipatif serta akuntabel.
Berdasarkan kenyataan di atas, nilai-nilai yang
terdapat dalam budaya Batak Toba tidak berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat
Batak khususnya masyarakat Tapanuli Utara. Demikian juga, nilai-nilai budaya
Batak Toba tidak terfleksikan dalam performa pelayanan publik oleh aparat
birokrasi di Tapanuli Utara. Berdasarkan fokus tersebut, maka dalam tulisan ini penulis mencoba
mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba untuk mendukung
penyelengaraan pelayanan publik yang baik untuk transparan, partisipatif dan
akuntabel. Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini
yaitu bagaimana revitalisasi nilai-nilai budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius)
dalam mendorong peningkatan pelayanan publik di Kabupaten Tapanuli Utara.
PEMBAHASAN
Budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu dan Bius)
Sebagai sebuah masyarakat (community), orang Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak
dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini
secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi
maupun antropologi. Dari sejumlah uraian buku yang menjelaskan dan
mendeskripsikan kebudayaan Batak Toba, didapati defenisi-defenisi yang sama
tentang kebudayaan Batak Toba yang memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi. Hal
senada diungkapkan Koentjaraningrat (2000) bahwa kebudayaan itu sebagai
ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup
sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar.
Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor
yang menentukan cara kehidupan masyarakat. Disamping lingkungan dan teknologi,
faktor lain adalah organisasi sosial dan politik berpengaruh dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Unsur-unsur itu disebut dengan inti kebudayaan, meliputi
kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Inti kebudayaan
itu, menjelaskan lebih luas dalam mempengaruhi pola kehidupan dalam lingkungan
lokal masyarakat Batak Toba. Para etnosains percaya bahwa ideologi sebuah
masyarakat terhadap prinsip-prinsip itu biasanya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup komunitasnya (Haviland, 1988).
Batak Toba merupakan kelompok etnis Batak terbesar
yang secara tradisional hidup di Sumatera Utara. Kelompok suku Batak ini
terbagi dalam lima kelompok besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing,
Simalungun dan Karo. Kelompok-kelompok suku ini sekarang masih berada di bagian
Provinsi Sumatera Utara dengan memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu, yang
dilihat dari pembagian beberapa marga
yang bermukim menurut daerahnya, bahasa dan pakaian adat dari kelompok-kelompok
ini juga menunjukkan perbedaan. Adat pada budaya Batak Toba dalam kehidupan
kesehariannya merupakan wujud dari sistem nilai kebudayaan yang dijunjung
tinggi.
Budaya Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan
yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap
nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia
adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat
merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Adat merupakan
sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia (Santoso, 2003), sehingga orang
Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut
dengan na so maradat (orang yang
tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang
melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan
terlarang. Misalnya, perkawinan semarga,
perkawinan incest. Mencuri (manakko), pencemaran nama baik dan hal
lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar
(Bruner 1961). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan
ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit
menahun yang tidak kunjung sembuh, dikucilkan, kerugian ekonomis dalam setiap
pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat
hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak
bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap
orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan
nenek moyangnya (Panggabean, 2007; Situmeang, 2007; Simanjuntak, 2007).
Secara umum budaya Batak Toba terdiri atas tiga
konsep umum yaitu Habatahon, Dalihan Na
Tolu dan Bius. Habatahon merupakan konsep budaya Batak yang mengandung
cita-cita dan sekaligus pandangan hidupnya. Namun demikian gejala akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa Habatahon tidak
lagi bermakna bahkan tidak lagi berbuah dalam hidup dan kehidupan orang Batak
Toba sebab ditemukan situasi kontroversial antara nilai budaya dengan
pelaksanaannya di dalam sistem sosial yang dianut. Ada inkonsistensi dan
kontroversi antara budaya ideal dan budaya yang riil, dimana nilai budaya
dihayati dan dikagumi hanya sampai pada tingkat formalitas, yakni bentuk
luarnya saja yang tampak eksis, tetapi isi yang dilaksanakan berbeda (Simanjuntak, 2009).
Habatahon sebagai pittapitta orang
Batak Toba dan terkristalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Hal tersebut misalnya dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan adat seperti pesta perkawinan dan
lain-lain. Habatahon memiliki kepekaan terhadap kearifan budayanya akan
mampu mengembangkan diri menjadi pribadi yang handal. Etos Habatahon tidak pernah bertolak-belakang pada agama. Etos Habatahon sejalan dengan ajaran moral
agama-agama utama dunia. Sebab mengajarkan bonar, tigor, manat, elek (jujur, lurus, berhati-hati, dan santun)
tampak sangat bagus dan memaknai kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi,
organisasi, dan sosial yang kuat dan berhasil.
Habatahon sebagai
representasi nilai hagabeon, hamoraon
dan hasangapon dapat menjadi
inspirasi dalam penciptaan pemerintahan yang baik khususnya sebagai prinsip
dalam mewujudkan pelayanan yang baik di Tapanuli Utara, kendati mayoritas penduduk
Tapanui Utara adalah orang Batak. Hal tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa Habatahon
bagi masyarakat Batak Toba melambangkan kehormatan, kejujuran, dan kekayaan
hati. Habatahon mengandung nilai-nilai,
yang merupakan cita-cita yang dapat dipersepsikan antara lain
nilai-nilai rasa malu dan etos kerja yang tinggi. Hamoraon dalam Habatahon itu
penting, tetapi yang lebih penting adalah mamora
di roha artinya kaya akan moral, etika dan pengetahuan, walaupun kaya akan
harta duniawi menjadi penting tetapi yang sangat penting adalah kaya akan
pengetahuan (parbinotoan) moral dan
etika.
Dalam pratik pelayanan
publik, semangat pelayanan tidak hanya untuk mendapatkan materi dan atau pujian
dari atasan, akan tetapi sebentuk tanggungjawab terhadap tugas-tugas dan
kewajiban yang diberikan kepada seseorang. Sebagai tugas dan kewajiban, maka
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kualitas orang Batak Toba sebagai
abdi negara harus menjunjung tinggi keagungan, pengetahuan, moral dan etika
dalam bekerja.
Sementara itu Dalihan
Na Tolu yang terwujud dalam hubungan
kekerabatan yang sangat kental berdasarkan keturunan darah (genealogis) dan perkawinan yang berlaku
secara turun temurun hingga sekarang ini. Vergouwen
(2004) menyebutkan bahwa Dalihan Na Tolu
adalah unsur kekerabatan warga pada masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis
Batak memiliki garis penghubung satu sama lain. Dalihan Na Tolu dari sisi bahasa berarti tungku yang berkaki tiga,
saling menyokong. Tanpa ada yang lebih tinggi. Bagi
orang Batak Toba salah satu ciri khas Dalihan
Na Tolu yang dinilai tinggi adalah sistem kekerabatan dalam konteks
keluarga luas (umbilineal). Dalam
konteks ini Dalihan Na Tolu berperan
mengatur hubungan sosial diantara tiga kerabat secara fungsional, yaitu kerabat
semarga (dongan tubu), kerabat
penerima istri atau yang disebut dengan istilah boru, dan kerabat pemberi istri atau yang dikenal dengan istilah hulahula. Dalihan Na Tolu menjadi
panduan hidup dalam kehidupan
orang Batak dengan tidak mengenal tempat dan waktu
Bius adalah sebagai
sistem pemerintah. Bius merupakan
status terpenting dalam komunitas masyarakat dalam masyarakat adat Batak,
dengan fungsinya sebagai legalitas formal, yang mampu memutuskan dan
mengendalikan apa yang menjadi tujuan dan harapan dari masyarakatnya, sehingga
status sebagai Bius adalah status
yang sangat strategis dalam menentukan kebijakan dalam peradaban masyarakatnya
namun saat ini semua hal itu menjadi sebutan (Simanjuntak ,2009; Situmorang,
2009). Saat ini Bius di analogikan sebagai tua-tua, baik tua-tua desa, marga
yang fungsinya sebagai raja adat dan raja huta dalam berbagi upacara adat baik adat pernikahan maupun adat
kematian.
Bius berisi
aturan-aturan yang mengikat masyarakat adat Batak di masa lampau. Keberadaan Bius
diyakini sebagai aturan yang berfungsi di semua masyarakat adat Batak Toba dan
antar masyarakat adat. Hubungan antar masyarakat adat telah diatur dengan
berbagai pranata sosial yang termaktub dalam ajaran Bius. Pada masa lalu Bius
diimplementasikan oleh masyarakat dalam budaya Batak Toba dalam hal komitmen
terhadap berbagai aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Seperti
aturan pembagian lahan pertanian, pengolahan pertanian sampai pada pengaturan
air sehingga semua mendapatkan bagian (Simajuntak, 2006;
Situmorang, 2009).
Keberadaan Bius
dalam satu sisi menjadi suatu aturan yang mengikat, namun di sisi lain Bius juga menjadi norma yang mampu
menjadikan sistem demokrasi. Tidak ada perilaku otoriter pada Bius, bahkan dalam semua hal selalu
diawali dengan mendengarkan pendapat berbagai kalangan yang menjadi masyarakat Bius itu sendiri. Dengan demikian,
keberadaan Bius pada prinsipnya
adalah untuk menjalankan roda pemerintahan yang ada di desa.
Berdasarkan
uraian di atas, dalam ketentuan adat ini, Bius
tidak hanya berarti aturan tentang pergaulan dan sistem politik dan pemerintahan pada masyarakat adat Batak,
tetapi juga menjadi medium dalam
mewujudkan kesejahteraan dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Bagi
raja Bius, tugas sebagai pemimpin
tidak hanya tugas kemanusiaan, akan tetapi ia juga merupakan tugas yang
diberikan oleh Tuhan. Bius tidak
hanya berarti pengabdian kemanusiaan, tetapi telah menjadi pengabdian kepada
Tuhan. (Vergouwen, 1986; Simajuntak, 2006; dan
Situmorang, 2009).
Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya
Batak Toba
Nilai menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat (hal-hal) yang
penting atau berguna bagi kemanusiaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1990). Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu
fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau
sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia
bukan fakta yang nyata. Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya
maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan
penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis
(Risieri , 2007).
Nilai
merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi
manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi
kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dalam berinteraksi
dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma-norma dalam kehidupan sosial. Nilai sebagai
sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh
masyarakat. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai, apabila mempunyai kegunaan,
kebenaran, kebaikan, keindahan dan religiositas. Norma merupakan ketentuan yang
berisi perintah-perintah atau larangan-larangan yang harus dipatuhi
warga masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai.
Nilai dan
norma merupakan dua hal yang saling berhubungan dan sangat penting bagi
terwujudnya suatu keteraturan masyarakat. Nilai dalam hal ini adalah ukuran,
patokan, anggapan dan keyakinan yang dianut orang banyak dalam suatu
masyarakat. Keteraturan ini bisa terwujud apabila anggota masyarakat bersikap
dan berperilaku sesuai dan selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku. Nilai dapat dibagi menjadi empat antara lain: (1) Nilai etika
merupakan nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; (2)
Nilai estetika atau nilai keindahan sering dikaitkan dengan benda, orang, dan
peristiwa yang dapat menyenangkan hati
(perasaan); (3) Nilai agama berhubungan antara manusia dengan Tuhan, kaitannya
dengan pelaksanaan perintah dan larangannya; (4) Nilai sosial berkaitan dengan
perhatian dan perlakuan kita terhadap sesama manusia di lingkungan kita. Nilai
ini tercipta karena manusia sebagai makhluk sosial. Manusia harus menjaga
hubungan antara sesamanya, hubungan ini akan menciptakan sebuah keharmonisan
dan sikap saling membantu.
Berdasarkan
uraian di atas, satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu masyarakat
adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral
diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati
dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dimana tindakan tersebut dilakukan. Dalam
sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi ketaatan kepada adat, maka apabila ada
orang yang tidak melaksanakan ritual adat, maka akan menjadi bahan
pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian. Sebaliknya kepada
orang-orang yang dengan patuh terhadap ketentuan adat akan dinilai sebagai
orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani.
Revitalisasi nilai-nilai budaya Batak Toba merupakan upaya untuk menggali, merumuskan
dan mewujudkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Upaya tersebut
dilakukan dengan memperbaiki sistem pelayanan publik yang ada saat ini dengan
mempertimbangkan kecerdasan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Tapanuli Utara. Bertolak
dari sistem pelayanan publik yang ada saat ini, maka dapat dibuat model sistem pelayanan
publik yang dapat menjamin terlaksana prinsip pelayanan publik yang baik yang
bermuara pada terwujudnya good governance
dapat dilihat pada gambar. Seiring dengan perubahan paradigma pelayanan publik
di era reformasi sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 25
tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam peraturan perundang-undangan ini
disebutkan bahwa daerah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kebijakan di
daerah berdasarkan pada keunikan-keunikan yang dimiliki oleh daerahnya. Oleh
karena itu Kabupaten Tapanuli Utara dalam merumuskan kebijakan pelayanan publik
dapat mendasarkan pada nilai-nilai budaya lokal atau kecerdasan lokal yang
selaras dengan nilai-nilai budaya pelayanan publik (transparan, partisipasi dan
akuntabilitas) sebagaimana
terdapat dalam budaya Habatahon, Dalihan
Na Tolu, dan Bius.
Berdasarkan model pelayanan publik di atas, budaya
lokal tidak lagi menjadi subordinat dari sistem pelayanan publik konvensional,
melainkan sebagai satu kesatuan sistem yang saling mengisi. Nilai-nilai yang terkandung
dalam budaya Batak Toba dapat menjadi roh
dalam memberikan pelayanan publik. Prinsip transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas yang terkandung dalam budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius) dapat mendorong terwujudnya
pemberian pelayanan publik yang baik. Hal tersebut disebabkan karena Negara
melalui berbagai peraturan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang terdahulu
telah menempatkan entitas kecerdasan lokal dalam membangun dan menjalankan
pemerintahan daerah.
Nilai-nilai budaya Dalihan Na Tolu yang merepresentasikan
transparansi dan akuntabilitas selaras dengan semangat budaya pelayanan publik
yang menjadi cita-cita dan visi pemberian pelayanan publik yang bermutu.
Demikian juga raja Bius yang telah
bertahan dan menjadi benteng penjaga kebudayaan bagi masyarakat Batak Toba
dapat menjembatani kepentingan pemerintah dan masyarakat di satu sisi dan
menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan pemberian pelayanan baik di sisi
lain.
Hal tersebut didasarkan pada kebijakan peraturan perundang-undangan
yang memposisikan masyarakat tidak hanya sebagai konsumen, melainkan lebih
jauh, masyarakat juga dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Pelibatan
masyarakat di dalam pengambilan keputusan di daerah menjadi keniscayaan jika
merujuk peraturan perundangan. Dalam proses itu pemerintahlah yang
harus proaktif menyediakan ruang partisipasi kepada stakeholder di daerah untuk terlibat secara aktif. Banyak pihak yang pada dasarnya memiliki peran
masing-masing untuk menjalankan dan menjadi problem
solving atas good governance yang
sampai saat ini belum tercapai sepenuhnya. Dalam konteks pelayanan
publik di Tapanuli Utara, pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan
melibatkan raja-raja Bius sebagai
institusi adat yang telah hidup dan dipertahankan di tengah-tengah masyarakat.
Raja Bius
sebagai institusi dipandang sebagai institusi yang mewakili kualitas kecerdasan
lokal yang dipertahankan dan diperlakukan sebagai nilai-nilai luhur bagi
masyarakat Batak. Bagi orang Batak raja Bius
memiliki fungsi sebagai benteng yang menjaga adat istiadat Batak dari pengaruh
budaya modern, dengan begitu harajaon
tetap menjadi pijakan hidup orang Batak, selain juga agama. Dalam konteks ini
konsep harajaon penting untuk
diapresiasikan kembali sesuai kebutuhan bangsa saat ini, mengingat budaya
modern yang dimungkinkan dapat mengerus adat-istiadat Batak dari jiwa generasi
muda mereka.
Pemerintah dapat melibatkan Bius dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat terutama dalam hal
sebagai mitra dalam perumusan kebijakan-kebijakan penting yang terkait dengan
hajat masyarakat. Sebagai institusi adat, raja Bius memiliki peran yang sangat penting dalam mensukseskan
pelayanan publik yang berkeadilan sesuai dengan kerangka tujuan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance).
Model pelibatan masyarakat dalam pengambilan
kebijakan dalam pelayanan publik telah diteliti antara lain oleh Larasati
(2005) dengan mengambil tiga wilayah salah satunya di Kabupaten Sidoarjo. Dalam
format kebijakan pelayanan publik yang dilaksanakan di Sidoarjo, pelibatan atau
partisipasi masyarakatnya diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Sucofindo
(konsultas pelayanan publik) dan PUPUK (Lembaga Swadaya Masyarakat yang di
dalamnya terdiri dari Perkumpulan Usaha Kecil dan Menengah) dengan fasilitas
dan pendanaan dari Asia Foundations. Pemberian ruang partisipasi
masyarakat dalam pengaturan kebijakan pelayanan publik, dimaksudkan untuk
mengakomodasi tuntutan demokrasi dan social wisdom yang berkembang dalam
masyarakat.
Pengalokasian ruang partisipasi masyarakat adat
dalam pengaturan kebijakan pelayanan publik perlu dilakukan sebagai bentuk
akomodasi tuntutan demokrasi dan social wisdom yang berkembang dalam
masyarakat. Dengan diakomodasinya kepentingan demokrasi dan social local
wisdom, serta kebutuhan masyarakat diharapkan akan terbangun komitmen
bersama penyelenggara pelayanan dan masyarakat. Komitmen bersama dapat dibina
dengan mengesampingkan interest dan ego instansional. Pengaturan
kebijakan pelayanan publik yang dibangun dengan komitmen bersama akan
menghasilkan suatu aturan/kebijakan yang mencerminkan moralitas kerjasama,
moralitas rakyat (Nonet dkk, dalam Peters, 1990).
Perilaku penyelenggara pelayanan publik
dan masyarakat pengguna pelayanan publik akan tunduk pada prinsip-prinsip dan
kebijakan yang telah disepakati. Mekanisme pengaturan dan penyelenggaraan
pelayanan publik akan berjalan dalam kondisi yang saling kontrol perilaku
penyelenggara dan masyarakat pengguna dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Model penyedian ruang partisipasi masyarakat dalam pengaturan dan dan kebijakan
pelayanan publik, diharapkan akan mampu memberi pembelajaran kepada masyarakat
untuk lebih bertanggung-jawab dalam proses demokrasi yang sedang berjalan.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, budaya
Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius) merupakan
kekayaan yang dimiliki oleh Kabupaten Tapanuli Utara. Budaya Batak Toba (Habatahon,
Dalihan Na Tolu, dan Bius) mengandung nilai-nilai yang dibutuhkan
untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik secara transparan, partisipasipatif, dan akuntabel.
Namun demikian, nilai-nilai tersebut tidak
mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat Batak Toba,
khususnya bagi masyarakat Kabupaten
Tapanuli Utara sehari-hari. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pemisahan
antara kebudayaan di satu sisi dan kehidupan bernegara di sisi lain.
Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya
Batak Toba tersebut berpotensi untuk dikembangkan dengan metode revitalisasi ke
dalam praktik kehidupan bernegara khususnya dalam pelayanan publik. Nilai-nilai
budaya Batak tidak hanya menjadi nafas dalam ritual-ritual adat, akan tetapi
harus sejalan dan menopang upaya mewujudkan pelayanan publik yang baik. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan menginsiasi pembentukan model sistem pelayanan
publik yang berbasis pada kecerdasan lokal masyarakat Tapanuli Utara yaitu
budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius). Dalam
konsep ini, pemerintah harus memberikan ruang partisipasi yang luas terhadap institusi
adat seperti Raja Bius dalam pengambilan keputusan serta penyelenggaraan
pelayanan publik.
DAFTAR
PUSTAKA
Bruner, 1961, Kerabat dan Bukan Kerabat dalam Pokok-Pokok
Antropologi Budaya, TO Ichromi, Jakarta:
Obor.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Haviland, William A., 1988, Antropologi jilid 1. Terj. R.G. Soekadijo, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Koentjaraningrat,
2000,
Pengantar Ilmu Antropologi,
Jakarta: Radar Jaya Offset.
Larasati, L., 2005, “Pelayanan Publik Dan Demokrasi Dalam Kehidupan Berbangsa Dan
Bernegara”,
Jurnal Dialogue, JIAKP, Vol. 5, No. 1,
Januari 2008.
Panggabean,
HP., 2007, Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya Batak, Dalihan Na-Tolu, Jakarta: Dian
Utama.
Peters, A.A.G. dan
Siswosoebroto, K., 1990, Hukum dan Perkembangan
Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Risieri F., 2007, Filsafat Nilai,
Terj. Cuk Ananta Wijaya, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedarmayanti,
2003, Good
Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah,
Bandung: Mandar Maju.
Simanjuntak, A. B., 2009, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Obor
Indonesia.
Simanjuntak, A.B., 2006, Struktur
Sosial dan Sistem Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Situmorang, S., 2009, Toba Na Sae, Depok: Komunitas Bambu.
Situmeang, D. PL, 2007, Dalihan Na-Tolu, Sistem Sosial
Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta: Dian Utama.
Tranparency
International dalam Kompas, 27 Oktober 2010.
Vergouwen,
J.C. 2004,
Masyarakat dan
Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta:
LKIS
Catatan: Artikel ini dipublikasikan Mauliate Simorangkir di beberapa media beberapa waktu lalu. Artikel ini dimuat di situs web ini karena dipandang sebagai pemikiran menarik yang relevan dengan perkembangan nilai-nilai budaya Batak Toba saat ini/Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar