Minggu, 10 April 2016

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Batak Toba


 REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA BATAK TOBA
DALAM MENDORONG PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK
DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

Mauliate Simorangkir


Abstract
Performance of public service is closely related to the values underlying the apparatuses as the presence of state in providing services for the entire communities. All this time, public service has been orientated towards the fulfillment of the interest of the leaders or superiors, not orientated towards the fulfillment of satisfaction of the communities served. This has been aggravated by centralistic cultural values especially the Javanese culture that becomes the spirit of the public service paradigm. Consequently, public service all this time cannot be optimum and cannot be felt ideally by the communities as consumers and as state sovereignty owners. In the regional autonomy era, regions are granted with authorities and huge room to develop regions in various aspects of life based on the characteristics owned. These authorities become an opportunity and even become an access to regional governments to improve regions one of which in terms of public service. North Tapanuli Regency as a regency with Batak Toba people as its majority population adhering to Batak Toba culture has a huge room to lift up the values contained in the Batak Toba culture so as to enhance public service. This article endeavors to revitalize the cultural values of Batak Toba contained in the Batakism as a normative value, Dalihan Na Tolu (literally translated as Three-Legged Stone Stove) as a social structure and Bius (literally translated as  kampong / “small state”) as a political system. This article also constitutes an abstract of research about the revitalization of the Batak Toba culture in enhancing the quality of public service in the regional autonomy era (a case study in North Tapanuli Regency).
  
 Key words: Revitalization, Cultural Values of Batak, Public Service, North Tapanuli.
Abstrak
Kinerja pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang mendasari aparatur  sebagai kehadiran negara dalam memberikan pelayanan terhadap seluruh masyarakat. Selama ini, pelayanan publik didasarkan pada orientasi pemenuhan kepentingan pimpinan atau atasan, bukan berorientasi pada pemenuhan kepuasan terhadap masyarakat yang dilayani. Hal tersebut diperparah dengan nilai-nilai budaya yang sentralistik khususnya budaya Jawa yang menjadi roh dari paradigma pelayanan publik. Akibatnya pelayanan publik selama ini tidak  optimal dan tidak dirasakan  secara ideal  oleh  masyarakat selaku konsumen  dan sebagai pemilik kedaulatan  negara. Di era otonomi daerah, daerah diberikan kewenangan dan ruang yang sangat besar untuk membangun daerah di berbagai aspek kehidupan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Kewenangan ini menjadi peluang  bahkan menjadi ruang masuk bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki daerah salah satunya dalam hal pelayanan publik. Kabupaten Tapanuli Utara sebagai kabupaten dengan mayoritas penduduknya orang Batak Toba menganut budaya Batak Toba memiliki ruang yang sangat besar untuk mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba guna meningkatkan pelayanan publik. Artikel ini berupaya melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Batak Toba yang terkandung dalam Habatahon sebagai nilai normatif, Dalihan Na Tolu sebagai struktur sosial  dan Bius sebagai sistem politik. Artikel ini  juga merupakan intisari dari penelitian mengenai revitalisasi budaya Batak Toba dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah (studi kasus di Kabupaten Tapanuli Utara)
  
 Kata Kunci: Revitalisasi, Nilai Budaya Batak, Pelayanan Publik, Tapanuli Utara


PENGANTAR
            Pelayanan publik merupakan salah satu kewajiban yang harus diselenggarakan oleh negara dalam rangka melayani rakyatnya, sebab hal ini merupakan kecenderungan keterkaitan antara negara dengan revolusi sosial. Keberhasilan pelayanan publik terkait erat dengan budaya birokrasi dan ketaatan aparat terhadap pelaksanaan prosedur tetap (protap) atau Standar Operating Procedure. Keberadaan SOP sebagai kerangka acuan dalam penyelenggaraan pelayanan publik memungkinkan pelayanan publik lebih menjamin keadilan dalam mengakses pelayanan publik bagi masyarakat. Namun demikian, terdapat bukti-bukti bahwa lembaga publik belum seluruhnya melaksanakan pelayanan publik berdasaarkan SOP. Hal tersebut misalnya terlihat dari meningkatnya tindak pidana korupsi. Pada tahun 2010, Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,8 atau berada pada peringkat ke-10 dari 178 negara (Tranparency International dalam Kompas, 27 Oktober 2010).
Bagi Indonesia, peringkat ini merupakan penghambat dan melemahkan bahkan menjegal Indonesia dalam peningkatan daya saing. Kondisi tersebut adalah implikasi dari budaya kerja (etos kerja), transparansi, profesionalitas, kompetensi, konsistensi dan partisipasi serta tanggung jawab aparatur pemerintah yang rendah. Bagi Sumatera Utara, budaya pelayanan publik sampai sejauh ini masih belum seperti yang diharapkan. Demikian juga pelayanan publik yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Utara yang belum menunjukkan perbaikan yang memadai.
Kondisi pelayanan publik yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara menunjukkan masih adanya budaya feodalistik. Hal tersebut tanpa disadari berdampak pada performa kinerja pemerintahan yang menempatkan posisi kinerja Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi ketiga terkorup dari 33 provinsi (BPK 2011). Secara empiris pembangunan fasilitas publik dari tahun ke tahun di Tapanuli Utara seolah-olah tidak berpihak pada masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari proporsi alokasi APBD Tapanuli Utara tidak dilakukan secara proporsional dalam melayani dan memberdayakan masyarakat. Anggaran yang ada hanya 43% diperuntukan pada pemberdayaan masyarakat (belanja langsung), sedangkan 57% sisanya  merupakan overhead cost. Proporsi  Dana  Alokasi Umum (DAU) Tapanuli Utara dari tahun 2011 sampai dengan 2013 rata-rata 62% diperuntukkan pada overhead cost yaitu belanja pegawai (Dipenloka Taput, 2013). Proporsi penganggaran tersebut merupakan cerminan bahwa pemerintahan Tapanuli Utara belum memberikan perhatian yang besar terhadap rakyat sebagai pemilik  kedaulatan  dari apa yang disebut negara.
Tapanuli Utara pada zaman keemasannya telah memberikan ruang bagi tumbuhnya budaya Batak Toba yang sangat kompatibel dengan  kehidupan sosial masyarakat termasuk pada budaya birokrasi pelayanan publik. Namun  pada era otonomi daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara konstitusional memiliki ruang masuk yang sangat besar dalam pengembangan model pelayanan publik sebagai upaya mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, namun hal tersebut belum dapat diwujudkan. Tapanuli Utara sebagai pusat budaya Batak Toba seolah-olah tidak memiliki nilai tambah (added value) guna mendorong tumbuh kembangnya budaya birokrasi pelayanan publik yang baik yaitu mudah, murah dan berkualitas, transparan, partisipatif, responsif dan akuntabel. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu dan Bius) yang dianut oleh mayoritas masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber nilai dalam memperbaiki performa pelayanan publik.
Budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu dan Bius) mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yaitu transparan, partisipasi, dan akuntabel. Unsur-unsur dari nilai-nilai budaya Batak Toba seperti Habatahon (hagabeon, hamoraon, hasangapon), Dalihan Na Tolu maupun Bius telah membentuk orang Batak Toba, baik dalam bersikap, berpikir maupun bertindak, bahkan juga ikut membentuk orang Batak Toba menjadi tangguh, tegas, transparan dan lugas serta demokratis dalam memperjuangkan hidup menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Hal tersebut didasarkan pada adanya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba yang mengajarkan kepada orang Batak Toba tentang bagaimana memutuskan suatu perkara melalui sidang lembaga peradilan seperti Majelis Partukkoan, yang memiliki unsur-unsur, seperti mangaraja adat, mangaraja marga, mangaraja huta, mangaraja partukkoan, pangituai dll (Simajuntak ,2006).
Budaya Batak Toba bagi orang Batak Toba sebagai way of life.  Oleh karena itu dalam konteks ini, nilai-nilai budaya Batak sebagaimana disebutkan Simanjuntak (2006) berpeluang untuk memecahkan kebuntuan yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, baik selama Orde Baru maupun pada masa reformasi. Menurut Simanjuntak, karakteristik orang Batak yang lebih dapat dipercaya, pintar, keras dan demokratis (terbuka) memungkinkan untuk terciptanya pelayanan publik yang adil dan sesuai dengan tuntutan reformasi pelayanan publik yang berorientasi pada pelayanan terhadap warga masyarakat.
Berbagai fenomena sebagaimana diuraikan penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat hubungan antara budaya Batak Toba, baik atau buruknya pelayanan publik di Tapanuli Utara. Sejatinya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba dan hakekat roh dalam otonomi daerah, layanan publik seharusnya dapat lebih transparan, partisipatif, responsif dan akuntabel sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam  masyarakat Batak Toba. Sebab otonomi daerah merupakan ruang masuk bagi Tapanuli Utara dalam pengembangan model pelayanan publik berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebagai upaya kepada terwujudnya good governance sesuai dengan prinsip efektif, efisien, transparan dan partisipatif serta akuntabel.
Berdasarkan kenyataan di atas, nilai-nilai yang terdapat dalam budaya Batak Toba tidak berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat Batak khususnya masyarakat Tapanuli Utara. Demikian juga, nilai-nilai budaya Batak Toba tidak terfleksikan dalam performa pelayanan publik oleh aparat birokrasi di Tapanuli Utara. Berdasarkan fokus tersebut, maka dalam tulisan ini penulis mencoba mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba untuk mendukung penyelengaraan pelayanan publik yang baik untuk transparan, partisipatif dan akuntabel. Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu bagaimana revitalisasi nilai-nilai budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius) dalam mendorong peningkatan pelayanan publik di Kabupaten Tapanuli Utara.

PEMBAHASAN
Budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu dan Bius)
Sebagai sebuah masyarakat (community), orang Batak Toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini secara keilmuan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi maupun antropologi. Dari sejumlah uraian buku yang menjelaskan dan mendeskripsikan kebudayaan Batak Toba, didapati defenisi-defenisi yang sama tentang kebudayaan Batak Toba yang memiliki dua dimensi yaitu wujud dan isi. Hal senada diungkapkan Koentjaraningrat (2000) bahwa kebudayaan itu sebagai ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari, yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar.
Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara kehidupan masyarakat. Disamping lingkungan dan teknologi, faktor lain adalah organisasi sosial dan politik berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Unsur-unsur itu disebut dengan inti kebudayaan, meliputi kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya yang ada. Inti kebudayaan itu, menjelaskan lebih luas dalam mempengaruhi pola kehidupan dalam lingkungan lokal masyarakat Batak Toba. Para etnosains percaya bahwa ideologi sebuah masyarakat terhadap prinsip-prinsip itu biasanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya (Haviland, 1988).
Batak Toba merupakan kelompok etnis Batak terbesar yang secara tradisional hidup di Sumatera Utara. Kelompok suku Batak ini terbagi dalam lima kelompok besar yaitu Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun dan Karo. Kelompok-kelompok suku ini sekarang masih berada di bagian Provinsi Sumatera Utara dengan memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu, yang dilihat dari pembagian beberapa marga yang bermukim menurut daerahnya, bahasa dan pakaian adat dari kelompok-kelompok ini juga menunjukkan perbedaan. Adat pada budaya Batak Toba dalam kehidupan kesehariannya merupakan wujud dari sistem nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi.
Budaya Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Adat merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia (Santoso, 2003), sehingga orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya,  perkawinan semarga, perkawinan incest. Mencuri (manakko), pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (Bruner 1961). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, dikucilkan, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya (Panggabean, 2007; Situmeang, 2007; Simanjuntak, 2007).
Secara umum budaya Batak Toba terdiri atas tiga konsep umum yaitu Habatahon, Dalihan Na Tolu dan Bius. Habatahon merupakan konsep budaya Batak yang mengandung cita-cita dan sekaligus pandangan hidupnya. Namun demikian gejala akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Habatahon tidak lagi bermakna bahkan tidak lagi berbuah dalam hidup dan kehidupan orang Batak Toba sebab ditemukan situasi kontroversial antara nilai budaya dengan pelaksanaannya di dalam sistem sosial yang dianut. Ada inkonsistensi dan kontroversi antara budaya ideal dan budaya yang riil, dimana nilai budaya dihayati dan dikagumi hanya sampai pada tingkat formalitas, yakni bentuk luarnya saja yang tampak eksis, tetapi isi yang dilaksanakan  berbeda (Simanjuntak, 2009).
Habatahon sebagai pittapitta orang Batak Toba dan terkristalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan adat seperti pesta perkawinan dan lain-lain. Habatahon memiliki kepekaan terhadap kearifan budayanya akan mampu mengembangkan diri menjadi pribadi yang handal. Etos Habatahon tidak pernah bertolak-belakang pada agama. Etos Habatahon sejalan dengan ajaran moral agama-agama utama dunia. Sebab mengajarkan bonar, tigor, manat, elek (jujur, lurus, berhati-hati, dan santun) tampak sangat bagus dan memaknai kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, organisasi, dan sosial yang kuat dan berhasil.
Habatahon sebagai representasi nilai hagabeon, hamoraon dan hasangapon dapat menjadi inspirasi dalam penciptaan pemerintahan yang baik khususnya sebagai prinsip dalam mewujudkan pelayanan yang baik di Tapanuli Utara, kendati mayoritas penduduk Tapanui Utara adalah orang Batak. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Habatahon bagi masyarakat Batak Toba melambangkan kehormatan, kejujuran, dan kekayaan hati. Habatahon mengandung nilai-nilai, yang merupakan  cita-cita  yang dapat dipersepsikan antara lain nilai-nilai rasa malu dan etos kerja yang tinggi. Hamoraon dalam Habatahon itu penting, tetapi yang lebih penting adalah mamora di roha artinya kaya akan moral, etika dan pengetahuan, walaupun kaya akan harta duniawi menjadi penting tetapi yang sangat penting adalah kaya akan pengetahuan (parbinotoan) moral dan etika.
Dalam pratik pelayanan publik, semangat pelayanan tidak hanya untuk mendapatkan materi dan atau pujian dari atasan, akan tetapi sebentuk tanggungjawab terhadap tugas-tugas dan kewajiban yang diberikan kepada seseorang. Sebagai tugas dan kewajiban, maka harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kualitas orang Batak Toba sebagai abdi negara harus menjunjung tinggi keagungan, pengetahuan, moral dan etika dalam bekerja.
Sementara itu Dalihan Na Tolu yang terwujud dalam hubungan kekerabatan yang sangat kental berdasarkan keturunan darah (genealogis) dan perkawinan yang berlaku secara turun temurun hingga sekarang ini.  Vergouwen (2004) menyebutkan bahwa Dalihan Na Tolu adalah unsur kekerabatan warga pada masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak memiliki garis penghubung satu sama lain. Dalihan Na Tolu dari sisi bahasa berarti tungku yang berkaki tiga, saling menyokong. Tanpa ada yang lebih tinggi. Bagi orang Batak Toba salah satu ciri khas Dalihan Na Tolu yang dinilai tinggi adalah sistem kekerabatan dalam konteks keluarga luas (umbilineal). Dalam konteks ini Dalihan Na Tolu berperan mengatur hubungan sosial diantara tiga kerabat secara fungsional, yaitu kerabat semarga (dongan tubu), kerabat penerima istri atau yang disebut dengan istilah boru, dan kerabat pemberi istri atau yang dikenal dengan istilah hulahula. Dalihan Na Tolu   menjadi  panduan  hidup dalam kehidupan orang Batak dengan tidak mengenal tempat dan waktu
Bius adalah sebagai sistem pemerintah. Bius merupakan status terpenting dalam komunitas masyarakat dalam masyarakat adat Batak, dengan fungsinya sebagai legalitas formal, yang mampu memutuskan dan mengendalikan apa yang menjadi tujuan dan harapan dari masyarakatnya, sehingga status sebagai Bius adalah status yang sangat strategis dalam menentukan kebijakan dalam peradaban masyarakatnya namun saat ini semua hal itu menjadi sebutan (Simanjuntak ,2009; Situmorang, 2009).  Saat ini Bius di analogikan sebagai tua-tua, baik tua-tua desa, marga  yang fungsinya sebagai raja adat dan raja huta dalam berbagi upacara adat baik adat pernikahan maupun adat kematian.
Bius berisi aturan-aturan yang mengikat masyarakat adat Batak di masa lampau. Keberadaan Bius diyakini sebagai aturan yang berfungsi di semua masyarakat adat Batak Toba dan antar masyarakat adat. Hubungan antar masyarakat adat telah diatur dengan berbagai pranata sosial yang termaktub dalam ajaran Bius. Pada masa lalu Bius diimplementasikan oleh masyarakat dalam budaya Batak Toba dalam hal komitmen terhadap berbagai aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Seperti aturan pembagian lahan pertanian, pengolahan pertanian sampai pada pengaturan air sehingga semua mendapatkan bagian (Simajuntak, 2006; Situmorang, 2009).
Keberadaan Bius dalam satu sisi menjadi suatu aturan yang mengikat, namun di sisi lain Bius juga menjadi norma yang mampu menjadikan sistem demokrasi. Tidak ada perilaku otoriter pada Bius, bahkan dalam semua hal selalu diawali dengan mendengarkan pendapat berbagai kalangan yang menjadi masyarakat Bius itu sendiri. Dengan demikian, keberadaan Bius pada prinsipnya adalah untuk menjalankan roda pemerintahan yang ada di desa.
Berdasarkan uraian di atas, dalam ketentuan adat ini, Bius tidak hanya berarti aturan tentang pergaulan dan sistem politik dan  pemerintahan pada masyarakat adat Batak, tetapi juga menjadi medium dalam mewujudkan kesejahteraan dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Bagi raja Bius, tugas sebagai pemimpin tidak hanya tugas kemanusiaan, akan tetapi ia juga merupakan tugas yang diberikan oleh Tuhan. Bius tidak hanya berarti pengabdian kemanusiaan, tetapi telah menjadi pengabdian kepada Tuhan. (Vergouwen, 1986; Simajuntak, 2006; dan Situmorang, 2009).

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Batak Toba
Nilai menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis (Risieri , 2007).
Nilai merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dalam berinteraksi dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma-norma dalam kehidupan sosial. Nilai sebagai sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh masyarakat. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai, apabila mempunyai kegunaan, kebenaran, kebaikan, keindahan dan religiositas. Norma merupakan ketentuan yang berisi perintah-perintah atau larangan-larangan yang harus dipatuhi warga masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai.
Nilai dan norma merupakan dua hal yang saling berhubungan dan sangat penting bagi terwujudnya suatu keteraturan masyarakat. Nilai dalam hal ini adalah ukuran, patokan, anggapan dan keyakinan yang dianut orang banyak dalam suatu masyarakat. Keteraturan ini bisa terwujud apabila anggota masyarakat bersikap dan berperilaku sesuai dan selaras dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Nilai dapat dibagi menjadi empat antara lain: (1) Nilai etika merupakan nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; (2) Nilai estetika atau nilai keindahan sering dikaitkan dengan benda, orang, dan peristiwa yang dapat menyenangkan hati (perasaan); (3) Nilai agama berhubungan antara manusia dengan Tuhan, kaitannya dengan pelaksanaan perintah dan larangannya; (4) Nilai sosial berkaitan dengan perhatian dan perlakuan kita terhadap sesama manusia di lingkungan kita. Nilai ini tercipta karena manusia sebagai makhluk sosial. Manusia harus menjaga hubungan antara sesamanya, hubungan ini akan menciptakan sebuah keharmonisan dan sikap saling membantu.
Berdasarkan uraian di atas, satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu masyarakat adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dimana tindakan tersebut dilakukan. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi ketaatan kepada adat, maka apabila ada orang yang tidak melaksanakan ritual adat, maka akan menjadi bahan pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian. Sebaliknya kepada orang-orang yang dengan patuh terhadap ketentuan adat akan dinilai sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani. Revitalisasi nilai-nilai budaya Batak Toba merupakan upaya untuk menggali, merumuskan dan mewujudkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Upaya tersebut dilakukan dengan memperbaiki sistem pelayanan publik yang ada saat ini dengan mempertimbangkan kecerdasan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Tapanuli Utara. Bertolak dari sistem pelayanan publik yang ada saat ini, maka dapat dibuat model sistem pelayanan publik yang dapat menjamin terlaksana prinsip pelayanan publik yang baik yang bermuara pada terwujudnya good governance dapat dilihat pada gambar. Seiring dengan perubahan paradigma pelayanan publik di era reformasi sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam peraturan perundang-undangan ini disebutkan bahwa daerah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kebijakan di daerah berdasarkan pada keunikan-keunikan yang dimiliki oleh daerahnya. Oleh karena itu Kabupaten Tapanuli Utara dalam merumuskan kebijakan pelayanan publik dapat mendasarkan pada nilai-nilai budaya lokal atau kecerdasan lokal yang selaras dengan nilai-nilai budaya pelayanan publik (transparan, partisipasi dan akuntabilitas) sebagaimana terdapat dalam budaya Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius.

Berdasarkan model pelayanan publik di atas, budaya lokal tidak lagi menjadi subordinat dari sistem pelayanan publik konvensional, melainkan sebagai satu kesatuan sistem yang saling mengisi. Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba dapat menjadi roh dalam memberikan pelayanan publik. Prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas yang terkandung dalam budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius) dapat mendorong terwujudnya pemberian pelayanan publik yang baik. Hal tersebut disebabkan karena Negara melalui berbagai peraturan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang terdahulu telah menempatkan entitas kecerdasan lokal dalam membangun dan menjalankan pemerintahan daerah.
Nilai-nilai budaya Dalihan Na Tolu yang merepresentasikan transparansi dan akuntabilitas selaras dengan semangat budaya pelayanan publik yang menjadi cita-cita dan visi pemberian pelayanan publik yang bermutu. Demikian juga raja Bius yang telah bertahan dan menjadi benteng penjaga kebudayaan bagi masyarakat Batak Toba dapat menjembatani kepentingan pemerintah dan masyarakat di satu sisi dan menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan pemberian pelayanan baik di sisi lain.
Hal tersebut didasarkan pada kebijakan peraturan perundang-undangan yang memposisikan masyarakat tidak hanya sebagai konsumen, melainkan lebih jauh, masyarakat juga dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Pelibatan masyarakat di dalam pengambilan keputusan di daerah menjadi keniscayaan jika merujuk peraturan perundangan. Dalam proses itu pemerintahlah yang harus proaktif menyediakan ruang partisipasi kepada stakeholder di daerah untuk terlibat secara aktif. Banyak pihak yang pada dasarnya memiliki peran masing-masing untuk menjalankan dan menjadi problem solving atas good governance yang sampai saat ini belum tercapai sepenuhnya. Dalam konteks pelayanan publik di Tapanuli Utara, pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan raja-raja Bius sebagai institusi adat yang telah hidup dan dipertahankan di tengah-tengah masyarakat.
Raja Bius sebagai institusi dipandang sebagai institusi yang mewakili kualitas kecerdasan lokal yang dipertahankan dan diperlakukan sebagai nilai-nilai luhur bagi masyarakat Batak. Bagi orang Batak raja Bius memiliki fungsi sebagai benteng yang menjaga adat istiadat Batak dari pengaruh budaya modern, dengan begitu harajaon tetap menjadi pijakan hidup orang Batak, selain juga agama. Dalam konteks ini konsep harajaon penting untuk diapresiasikan kembali sesuai kebutuhan bangsa saat ini, mengingat budaya modern yang dimungkinkan dapat mengerus adat-istiadat Batak dari jiwa generasi muda mereka.
Pemerintah dapat melibatkan Bius dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat terutama dalam hal sebagai mitra dalam perumusan kebijakan-kebijakan penting yang terkait dengan hajat masyarakat. Sebagai institusi adat, raja Bius memiliki peran yang sangat penting dalam mensukseskan pelayanan publik yang berkeadilan sesuai dengan kerangka tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Model pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dalam pelayanan publik telah diteliti antara lain oleh Larasati (2005) dengan mengambil tiga wilayah salah satunya di Kabupaten Sidoarjo. Dalam format kebijakan pelayanan publik yang dilaksanakan di Sidoarjo, pelibatan atau partisipasi masyarakatnya diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Sucofindo (konsultas pelayanan publik) dan PUPUK (Lembaga Swadaya Masyarakat yang di dalamnya terdiri dari Perkumpulan Usaha Kecil dan Menengah) dengan fasilitas dan pendanaan dari Asia Foundations. Pemberian ruang partisipasi masyarakat dalam pengaturan kebijakan pelayanan publik, dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan demokrasi dan social wisdom yang berkembang dalam masyarakat.
Pengalokasian ruang partisipasi masyarakat adat dalam pengaturan kebijakan pelayanan publik perlu dilakukan sebagai bentuk akomodasi tuntutan demokrasi dan social wisdom yang berkembang dalam masyarakat. Dengan diakomodasinya kepentingan demokrasi dan social local wisdom, serta kebutuhan masyarakat diharapkan akan terbangun komitmen bersama penyelenggara pelayanan dan masyarakat. Komitmen bersama dapat dibina dengan mengesampingkan interest dan ego instansional. Pengaturan kebijakan pelayanan publik yang dibangun dengan komitmen bersama akan menghasilkan suatu aturan/kebijakan yang mencerminkan moralitas kerjasama, moralitas rakyat (Nonet dkk, dalam Peters, 1990).
Perilaku penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat pengguna pelayanan publik akan tunduk pada prinsip-prinsip dan kebijakan yang telah disepakati. Mekanisme pengaturan dan penyelenggaraan pelayanan publik akan berjalan dalam kondisi yang saling kontrol perilaku penyelenggara dan masyarakat pengguna dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Model penyedian ruang partisipasi masyarakat dalam pengaturan dan dan kebijakan pelayanan publik, diharapkan akan mampu memberi pembelajaran kepada masyarakat untuk lebih bertanggung-jawab dalam proses demokrasi yang sedang berjalan.

SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius) merupakan kekayaan yang dimiliki oleh Kabupaten Tapanuli Utara. Budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius) mengandung nilai-nilai  yang  dibutuhkan  untuk  mewujudkan  pelayanan publik yang baik  secara  transparan, partisipasipatif, dan akuntabel. Namun demikian, nilai-nilai tersebut  tidak  mampu  mempengaruhi kehidupan masyarakat Batak Toba, khususnya  bagi masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara sehari-hari. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pemisahan antara kebudayaan di satu sisi dan kehidupan bernegara di sisi lain.
Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Batak Toba tersebut berpotensi untuk dikembangkan dengan metode revitalisasi ke dalam praktik kehidupan bernegara khususnya dalam pelayanan publik. Nilai-nilai budaya Batak tidak hanya menjadi nafas dalam ritual-ritual adat, akan tetapi harus sejalan dan menopang upaya mewujudkan pelayanan publik yang baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menginsiasi pembentukan model sistem pelayanan publik yang berbasis pada kecerdasan lokal masyarakat Tapanuli Utara yaitu budaya Batak Toba (Habatahon, Dalihan Na Tolu, dan Bius). Dalam konsep ini, pemerintah harus memberikan ruang partisipasi yang luas terhadap institusi adat seperti Raja Bius dalam pengambilan keputusan serta penyelenggaraan pelayanan publik.



DAFTAR PUSTAKA

Bruner, 1961, Kerabat dan Bukan Kerabat dalam Pokok-Pokok Antropologi Budaya, TO Ichromi, Jakarta: Obor.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Haviland, William A., 1988, Antropologi jilid 1. Terj. R.G. Soekadijo, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat, 2000, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Radar Jaya Offset.
Larasati, L., 2005, “Pelayanan Publik Dan Demokrasi Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara”, Jurnal Dialogue, JIAKP, Vol. 5, No. 1, Januari 2008.
Panggabean, HP., 2007, Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Batak, Dalihan Na-Tolu, Jakarta: Dian Utama.
Peters, A.A.G. dan Siswosoebroto, K., 1990, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku III, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Risieri F., 2007, Filsafat Nilai, Terj. Cuk Ananta Wijaya, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedarmayanti, 2003, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju.
Simanjuntak, A. B., 2009, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Obor Indonesia.
Simanjuntak, A.B., 2006, Struktur Sosial dan Sistem Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Situmorang, S., 2009, Toba Na Sae, Depok: Komunitas Bambu.
Situmeang, D. PL, 2007, Dalihan Na-Tolu, Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, Jakarta: Dian Utama.
Tranparency International dalam Kompas, 27 Oktober 2010.
Vergouwen, J.C. 2004, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKIS
Catatan: Artikel ini dipublikasikan Mauliate Simorangkir di beberapa media beberapa waktu lalu. Artikel ini dimuat di situs web ini karena dipandang sebagai pemikiran menarik yang relevan dengan perkembangan nilai-nilai budaya Batak Toba saat ini/Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar