Minggu, 15 Februari 2015

Ke Burjer Aja, Kenapa Harus ke Mall...

Pasar "Burjer" di seputaran Sambu,Medan (Foto:SARINGAR.Net)
Mau beli yang bermutu harga murah? Ke burjer aja, kenapa harus ke mall... kata seorang ibu yang tinggal di kawasan Koserna Medan, ketika diajak temannya shoping pakaian ke mall/plaza.
 Istilah "burjer" memang hanya populer di kalangan orang dari Hitaan (Tapanuli Utara) sejak era 80 an. Konon asal istilah itu dari singkatan "buruk-buruk ni Jerman" (pakaian bekas dari Jerman). Pada masa itu ceritanya sering ada sumbangan pakaian bekas dari Jerman mengalir ke berbagai negara yang diklsifikasikan "miskin", termasuklah Indonesia. Secara khusus hubungan gereja Batak yang kental dengan negaranya Adolf Hitler itu memberi perhatian khusus mengalirkan sumbangan lewat pintu kegerejaan. Sebenarnya, awalnya ditujukan untuk panti-panti asuhan. Pada acara-acara penting HKBP misalnya, seperti rapat pendeta dan sinode, sering terlihat ada pakaian-pakaian bekas terutama jas yang digelar di sana. Tapi, belakangan itu menjadi komoditi bisnis yang mengundang banyak peminat. Rupanya pakaian"burjer" yang awalnya berupa sumbangan atau partisipasi, berubah menjadi barang dagangan yang diminati banyak orang hingga sekarang.
 Di daerah lain istilah burjer itu kurang dikenal atau dipahami. Di Medan misalnya, sebutan untuk barang bekas itu adalah monza (asalnya dari Mongonsidi Plaza), karena di jalan Mongonsidi awalnya pasar pakaian terbesar di Medan. Kalau di Jakarta barang bekas ini sudah lama ada, jauh sebelum barang eks luar negeri itu muncul. Istilahnya di Jakarta disebut "Pasar Loak". Entah dari mana pula sumber nama aneh itu.
 Istilah pakaian bekas itu sebenarnya sudah kurang pas. Karena tak lagi sebatas pakaian saja yang bisa dicari di pasar burjer. Dulunya hanya sebatas, pakaian pria jas dan aneka pakaian wanita, sampai bh, celdam, kaos kaki, sprei, taplak meja, sarung bantal,kain gordijn dan sebagainya. Belakangan berkembang lagi, ada topi, sepatu, ikat pinggang, dan macam-macam. Lebih tepat disebut Pasar Barang Bekas.
 Jangan dikira pasar barang bekas itu hanya diminati orang ekolem. Fakta menunjukkan, lebih banyak orang-orang berduit, orang gedongan, bahkan keluarga pejabat sekalipun yang doyan shopping ke sana. Alasannya? Pakaian atau berang bekas yang ada di sana umumnya "made in luar negeri", dengan kualitas bagus. Banyak yang ada di pasar bekas ini belum tentu ada di mall atau plaza. Tak heran kalau kita suatu saat melongok ke pasar barang bekas di Medan,Siantar, Tebing, Balige, atau Tarutung, banyak wanita yang lalu lalang di sana ternyata isteri atau anak gadisnya orang tergolong The Haves. Mereka lalu lalang mencari kesana kemari, terkadang biar terik matahari menyengat, tak dirasakan saking asyiknya mencari dan membeli banyak-banyak.  Tak jarang ada yang memborong banyak sekaligus, dari celana, rok,sprei, gordijn, sepatu, sampai bh dan celana dalam. Sekali belanja sampai juta-jutaan.
 Dari satu sisi, kehadiran barang bekas ini memberi rejeki bagi orang yang bertalenta bisnis barang bekas. Mereka itu gigih, ulet, siap tempur, memperjuangkan hidup keluarganya dari bisnis yang terkadang menghadapi tantangan dari aparat pemerintah daerah. Memang belakangan, banyak pakaian bekas itu tak lagi selalu dari Eropah, sudah banyak yang dari Cina,Korea, Jepang, Singapura, bahkan dari Indonesia sendiri. Itu mudah ditandai para pembeli yang sudah ahli dalam menilai dan membedakan.
 Ya, betul juga kata ibu yang di Koserna tadi. Ngapaian belanja ke mall atau plaza, orang ke sana hanya karena gengsi, dan mata silau melihat semarak indahnya tempat dengan hiasan lampu yang membuat orang seakan tersihir oleh rasa bangga dan prestise belaka. Sementara harganya? Siap-siaplah berdompet tebal kalau shopping ke mall. Beda kalau ke pasar barang bekas. Sudah kualitasnya bagus, harga jauh di bawah, dan bisa pula nego...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar