Sereida Tambunan (ist)= |
JAKARTA BATAKINDONEWS.Com - NeKalau ditanya orang-orang normal, mereka pasti tidak mau sakit.
Demikian juga keluarga mereka, maunya sehat-sehat terus tak pernah
sakit.
"Namun,
harapan seperti itu tentu hampir mustahil bagi setiap manusia. Bisa
disebut hanya segelintir orang saja manusia yang hidup di dunia ini,
yang tak pernah sakit. Selebihnya, pernah mengalami sakit, baik
ringan, sedang, bahkan sakit berat atau sakit kritis," kata
anggota DPRD DKI Jakarta, Sereida Tambunan kepada SP di Jakarta, Selasa (24/2).
Jika
penyakit datang, tentu si penderita dan keluarganya akan berusaha
mengobati penyakit itu. Bagi yang punya uang, tentu tak ada masalah.
Namun, bagi orang tak berpunya, bisa disebut penyakit adalah
malapetaka.
"Tak
sedikit warga tak berpunya harus berakhir hidupnya karena penanganan
kesehatan yang sangat minim. Mereka ditolak dari satu rumah sakit ke
rumah sakit lainnya. Kalaupun ada yang menampung, mereka sering kali
tak ditangani dengan segera, meskipun mereka pemegang kartu program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), atau pemegang kartu kesehatan yang
diselenggarakan pemerintah daerah," katanya.
Menurut
Ketua Departemen Kesehatan DPP PDI Perjuangan itu, hingga era Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah dimulai,
penolakan-penolakan pasien kerak kali terjadi. Padahal, dalam program
BPJS, masyarakat miskin berhak memperoleh subsidi premi dari
pemerintah sebesar Rp 19.225 per bulan per orang. Dengan menjadi
peserta JKN, masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dari tingkat
puskesmas sampai rumah sakit.
"Menurut
slogannya, ’Cukup dengan menunjukkan kartu BPJS Kesehatan, akan
mendapat layanan kesehatan.’ Namun, fakta di lapangan sangat jauh
berbeda," katanya.
Dikatakan,
sebagai relawan bidang kesehatan, Sereida sering mendengar dan
menyaksikan pasien yang ditelantarkan pihak rumah sakit lantaran
tidak punya biaya berobat. Karena ruang kelas III bagi masyarakat
tidak mampu masih sedikit jumlah kamarnya. Tidak jarang mereka hanya
ditempatkan di ruang UGD. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh Rumah
Sakit Umum (RSU) pemerintah.
Realita
di atas merupakan bukti belum adanya keberpihakan bagi masyarakat
kecil dalam hal pelayanan kesehatan. Sudah sangat jelas, sesuai
Undang-undang Kesehatan dan Rumah Sakit dinyatakan bahwa, rumah sakit
yang menolak pasien bisa dipidanakan. Demikian juga bagi rumah sakit
yang meminta uang muka (DP) sebelum melakukan upaya penanganan.
Tapi
sampai saat ini belum ada sosialisasi persoalan-persoalan tersebut
dengan baik. Alhasil, masyarakat selalu menjadi orang paling
menderita.
"Itu
terjadi karena masyarakat masih miskin akan informasi," katanya.Tidak
jarang bila berobat ke rumah sakit mereka selalu ditawarkan apakah
masuk pasien umum atau Kartu Jakarta Sehat (KJS) atau Jaminan
Persalinan (Jampersal). Kalau memilih KJS atau Jampersal, sering kali
pasien dipimpong.
Khusus
program Jampersal harusnya setiap anggota masyarakat yang melahirkan
bisa mendapatkan Jampersal setelah mendapatkan rujukan dari
Puskesmas. Tapi karena ketidaktahuan masyarakat terkadang membuat
anaknya harus ditahan di rumah sakit sementara orangtuanya sudah
pulang.
"Dalam
kondisi saat ini, ’otak’ pengelola rumah sakit harus diubah. Jangan
pandang pasien sebagai objek komersialisasi. Tetapi setiap rumah
sakit, wajib menyediakan fasilitas kesehatan bagi semua pasien, tanpa
melihat kemapuan ekonomi mereka," katanya. [sp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar