Selasa, 24 Februari 2015

Penyakit Bagi si Miskin Identik Dengan Malapetaka




Sereida Tambunan (ist)=

 JAKARTA BATAKINDONEWS.Com - NeKalau ditanya orang-orang normal, mereka pasti tidak mau sakit. Demikian juga keluarga mereka, maunya sehat-sehat terus tak pernah sakit.
"Namun, harapan seperti itu tentu hampir mustahil bagi setiap manusia. Bisa disebut hanya segelintir orang saja manusia yang hidup di dunia ini, yang tak pernah sakit. Selebihnya, pernah mengalami sakit, baik ringan, sedang, bahkan sakit berat atau sakit kritis," kata anggota DPRD DKI Jakarta, Sereida Tambunan kepada SP di Jakarta, Selasa (24/2).
Jika penyakit datang, tentu si penderita dan keluarganya akan berusaha mengobati penyakit itu. Bagi yang punya uang, tentu tak ada masalah. Namun, bagi orang tak berpunya, bisa disebut penyakit adalah malapetaka.
"Tak sedikit warga tak berpunya harus berakhir hidupnya karena penanganan kesehatan yang sangat minim. Mereka ditolak dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Kalaupun ada yang menampung, mereka sering kali tak ditangani dengan segera, meskipun mereka pemegang kartu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), atau pemegang kartu kesehatan yang diselenggarakan pemerintah daerah," katanya.
Menurut Ketua Departemen Kesehatan DPP PDI Perjuangan itu, hingga era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah dimulai, penolakan-penolakan pasien kerak kali terjadi. Padahal, dalam program BPJS, masyarakat miskin berhak memperoleh subsidi premi dari pemerintah sebesar Rp 19.225 per bulan per orang. Dengan menjadi peserta JKN, masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dari tingkat puskesmas sampai rumah sakit.
"Menurut slogannya, ’Cukup dengan menunjukkan kartu BPJS Kesehatan, akan mendapat layanan kesehatan.’ Namun, fakta di lapangan sangat jauh berbeda," katanya.
Dikatakan, sebagai relawan bidang kesehatan, Sereida sering mendengar dan menyaksikan pasien yang ditelantarkan pihak rumah sakit lantaran tidak punya biaya berobat. Karena ruang kelas III bagi masyarakat tidak mampu masih sedikit jumlah kamarnya. Tidak jarang mereka hanya ditempatkan di ruang UGD. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh Rumah Sakit Umum (RSU) pemerintah.
Realita di atas merupakan bukti belum adanya keberpihakan bagi masyarakat kecil dalam hal pelayanan kesehatan. Sudah sangat jelas, sesuai Undang-undang Kesehatan dan Rumah Sakit dinyatakan bahwa, rumah sakit yang menolak pasien bisa dipidanakan. Demikian juga bagi rumah sakit yang meminta uang muka (DP) sebelum melakukan upaya penanganan.
Tapi sampai saat ini belum ada sosialisasi persoalan-persoalan tersebut dengan baik. Alhasil, masyarakat selalu menjadi orang paling menderita.
"Itu terjadi karena masyarakat masih miskin akan informasi," katanya.Tidak jarang bila berobat ke rumah sakit mereka selalu ditawarkan apakah masuk pasien umum atau Kartu Jakarta Sehat (KJS) atau Jaminan Persalinan (Jampersal). Kalau memilih KJS atau Jampersal, sering kali pasien dipimpong.
Khusus program Jampersal harusnya setiap anggota masyarakat yang melahirkan bisa mendapatkan Jampersal setelah mendapatkan rujukan dari Puskesmas. Tapi karena ketidaktahuan masyarakat terkadang membuat anaknya harus ditahan di rumah sakit sementara orangtuanya sudah pulang.
"Dalam kondisi saat ini, ’otak’ pengelola rumah sakit harus diubah. Jangan pandang pasien sebagai objek komersialisasi. Tetapi setiap rumah sakit, wajib menyediakan fasilitas kesehatan bagi semua pasien, tanpa melihat kemapuan ekonomi mereka," katanya. [sp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar