Sabtu, 04 Juli 2015

Tapanuli Gemstone dan Toba Na Sere Hadir di Tarutung



Tapanuli Gemstone di Jalan Smraja Tarutung ikut berkiprah menyahuti fenomena
akik di Indonesia. (Leonardo Smjoentak)


Seorang perajin akik bernama Lubis di Tapanuli Gemstone di Tarutung, sedang
asyik mendesain batu akik sesuai pesanan. (Foto:Leonardo)

Sebagian pendukung Tapanuli Gemstone, dari kiri ke kanan Lizbeth Situmorang
Lambas JJ Matondang, Sianturi, Mual Siregar, Poppy Sinambela, Lubis (teknisi).
(Foto: Leonardo Simanjuntak)
 
Sebagian batu asli (original) bersumber dari Tapanuli yang diolah sebagai sampel
di Tapanuli Gemstone dengan ragam keunikan dan ciri khas. (Foto: SARINGAR/
Leonardo Simanjuntak)

  Batu akik sedang booming di Indonesia. Ya, faktanya begitu. Khususnya sejak awal 2015, fenomena akik itu tak lagi sekadar berita yang diberitakan media, tapi lebih dahsyat lagi diberitakan lewat mulut ke mulut. Maka cerita seputaran akik pun menggurita di mana-mana, dan ke mana-mana. Luar biasa!
 Hampir tiap kota yang disinggahi kompasianer di Sumatera Utara (Sumut) ikut "terlibat" menyahuti fenomena ini. Tak hanya di Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia. Di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Binjai, Sibolga, Padang Sidempuan, dan kota kategori kecil seperti Balige dan Siborongborong, tak mau ketinggalan. Para perajin atau tukang olah batu akik bermunculan di berbagai sudut kota. Dan Tarutung, salah satu kota terbesar di kawasan Tapanuli selain Sibolga dan Sidempuan, dalam beberapa bulan terakhir ikut berkiprah menyemarakkan "gila-gilaan" batu akik yang memang sedang mewabah di seantero negeri ini.
 Awalnya perajin akik di kota ini hanya satu orang di Jalan DI Panjaitan. Orang pun langsung berkerumun, ingin tahu. Kerumunan itu tiap hari bertambah ramai, ibarat menonton pedagang obat kaki lima. Belakangan banyak warga di seputaran Tarutung datang dengan mengusung bongkahan batu masing-masing. Entah dari mana batu itu didapat, dialah yang tahu. Lalu bongkahan batu itu disuruh olah oleh sang perajin. Harga setiap batu cincin yang diolah Rp 40 ribu. Kalau ditambah cincin pengikat yang dinamakan cangkang, Rp 70.000 - Rp 80.000, maka setiap peminat harus merogoh kocek: kena Rp 120.000. Begitu cincin sudah siap, biasanya langsung kenakan di jari manis atau tengah tergantung diameter. Tak jarang si pemesan asyik mengggosok-gosok batu cincinnya dan tak henti-hentinya memandang indah atau tidaknya batu yang baru diolah. "Paten juga batuku ini bah," kata seorang pria paruh baya pada temannya seraya menunjukkan batu cincin yang belakangan dia tahu namanya jenis raflesia Bengkulu.
 Lalu dari hanya satu orang awalnya, dalam tempo sebulan sejak Maret tahun ini, mulai bermunculan pengolah batu lainnnya di berbagai sudut. Tak harus di area perkotaan, di kawasan pinggiran bahkan kawasan desa, perajin akik bermunculan. Setidaknya, hingga akhir Juni lalu, di daerah ini sudah ada sekitar 15 perajin batu akik. Ada yang tampil single, tapi ada juga yang membuka lapak khusus agar kelihatan lebih bonafid, dilengkapi atalase tempat menggelar ragam batu dan cangkang siap olah. Maka tempat yang lebih bonafid ini pun ramai dikunjungi orang. Ada yang cuma sekadar menonton tata cara pengolahan, ada juga yang sengaja membawa batunya untuk dikerjai si perajin. Ragam komentar hingga yang beraroma "bual" pun sering terdengar di tempat pengolahan ini. Setiap hari, semua tempat pengolahan batu akik tak pernah sepi, kecuali pada hari minggu.
 Di pusat kota muncul salah satu usaha perajin akik yang diberi nama Gemstone Toba Na Sere. Pengusahanya patungan terdiri dari beberapa orang pesaham, yakni Naek Sihombing, Fajar Simatupang, Siburian, Sianturi. Di sini pengolahan batu jarang bisa cepat karena harus antre saking banyaknya pesanan. Mereka terobsesi andaikan di kota ini ada yang menggagas diadakannya pameran akik seperti sudah dilakukan Pemda di berbagai daerah. "Kami sedang mencermati secara intensif kalau sudah ada ditemukan bongkahan akik yang benar-benar spesifik dari Tanah Batak, tapi depositnya hendaknya lumayan banyak. kalau itu sudah ada kita pun sudah berani mengadakan pameran." ujar Naek Sihombing bangga. Ia menyebut sudah banyak batu temuan dari daerah Pahae, Garoga, Sipoholon, yang ditemukan, tapi belum ada yang benar-benar berdeposit besar.
 Tak hanya Toba Na Sere. Belakangan, Mual Siregar dan isterinya Poppy br Sinambela di kawasan Simaung-maung Jalan Sisingamangaraja Tarutung, ikutan membuka usaha pengolahan dan bisnis akik yang namanya keren "Tapanuli Gemstone". Mereka menegaskan, usahanya itu mengutamakan pengolahan batu produk Tapanuli, apakah itu dari Sidempuan, Sibolga, atau Toba Samosir dan Tapanuli Utara. Menurut Mual Siregar didampingi Lambas Matondang dan Sianturi, dia telah melalukan perburuan batu ke berbagai pelosok di Tanah Batak. Antara lain, ke Bakkara kampung Raja Sisingamangaraja, kawasan Dolok Pinapan, Dolok Margu, Batu Harang Lintong Ni Huta, dan seputaran Rura Silindung. Dari hasil perburuan itu, Mual menyimpulkan ternyata banyak jenis batu unik dan berkualitas yang bisa diolah menjadi perhiasan, dan jenis batu itu belum tentu ada di daerah lain. "Inilah yang kami coba angkat ke permukaan, dan kita rintis semacam komunitas pecinta batu asal Tapanuli melalui usaha pengolahan ini," kata Mual Siregar.
 Lalu, siapa saja peminat yang menonjol menyangkut hobi batu akik penghias jemari ini? Tak sebatas warga biasa. Para PNS juga banyak. Bahkan dari kalangan anggota Polri dan TNI, ada juga penyuka batu akik, bahkan mengkoleksinya.
 Namun para penggemar akik sudah makin jeli menilai, mana tukang olah yang piawai dan mana yang kerjanya asal-asalan. Artinya, bagi para penggemar yang berpengalaman dalam hal akik, tukang olah batu yang piawai itu setidaknya punya jiwa seni agar bisa memuaskan pemesan. Jeli dan cermat melihat dari sisi mana batu itu diolah supaya nilai estetikanya menonjol. Biasanya pengolah yang sudah ahli, paham betul cara mengolah yang baik. Sedangkan pengolah yang kurang ahli, kebanyakan hanya asal menggerinda batu dan membentuk sesuai ukuran dan tak begitu memahami kemauan pemesan. Hal ini sering membuat pemesan kecewa, sehingga merenovasi batu cincinnya lagi ke tempat lain.
 "Ini hanya hobi semata, karena ini merupakan seni yang menimbulkan rasa senang," ujar seorang kolektor akik di Tarutung. Ragam jenis batu dan keindahannya dianggap kekayaan alam yang pantas disyukuri dan dikembangkan menjadi salah satu asesoris untuk penampilan siapa saja. Nah! Boleh juga tuh pendapat. (Lihat juga tulisan yang sama di Kompasiana/Kompas.Com- Leonardo Ts Simanjuntak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar