Ini beberapa sampel batu keluaran Tapanuli Utara, khususnya dari Muara dan Garoga.(Foto By:Leonardo TSS) |
Sebagian dari Komunitas Toba Na Sere, kiri ke kanan: Mananti Tarihoran, N.Sihombing F.Simatupang, PPP L.Tobing, Ir A.Hutagaol, David Panggabean. (Foto By: Leonardo Simanjuntak) |
Naek Sihombing dengan batu produk asal Muara. Tidak kalah kualitas dari daerah lainnya.(Foto By;Leonardo TS Simanjuntak) |
F Simatupang pengusaha TPA Toba Na Sere menunjukkab beberapa sampel batu dari Tapanuli Utara.(Foto By:Leonardo TSS) |
Simamora,teknisi pengolah di TPA Toba Na Sere Tarutung sedang sibuk mendesain. (Foto By:Leonardo Simanjuntak) |
BATAKINDONEWS.COM - Fenomena batu akik se Nusantara masih terus
berlangsung. Meski tak segila di kota lain, fenomena akik itu juga terasa di
wilayah Tapanuli, termasuk Tapanuli Utara, dan secara khusus Tarutung/Silindung
sekitarnya. Awalnya peminat masih sehitungan jaru, lama kelamaan makin
bertambah, dan terus bertambah. Penggemar akik di Tarutung misalnya mulai
membentuk komunitas di beberapa tempat pengolahan. Terbentuknya komunitas itu
terwujud sendiri, menjadi semacam forum diskusi atau tukar informasi seputar
batu akik.
Komunitas pertama yang muncul adalah
di tempat pengolahan yang diberi bendera Tapanuli Gemstone “Toba Na Sere” di
Jalan Smraja Simpang Empat Tarutung (samping Toko Simamikra). Ini juga tempat
pengolahan akik (TPA) paling ramai dikunjungi peminat. Karena banyaknya order
pengolahan, maka Simamora sebagai teknisi pengolah sering harus bekerja
marathon. Sementara manager Toba Na Sere, N. Sihombing dan F.Simatupang harus
bersikap bijak melayani peminat agar bersabar menunggu secara antrean. Menurut
beberapa penggemar batu akik yang sudah mengolah di Toba Na Sere, hasil olahan
di situ lebih bagus dibanding di TPA lainnya. Banyak akik yang sudah diolah di
TPA lain, dibawa ke TPA Toba Na Sere untuk renovasi.
Ada pun TPA dan komunitas lainnya
muncul di kawasan jalan DI Panjaitan, Jalan Hutagalung, Simorangkir, jalan
Sipoholon. Dan belakangan Mual Siregar dan isterinya Poppy br Sinambela membuka
TPA yang mereka namakan “Tapanuli Gemstone”. Seperti juga TPA Toba Na Sere,
Mual Siregar dkk mengutamakan pemunculan batu produk daerah Batak (Tapanuli).
TPA Toba Na Sere yang dimotori
Simatupang dan N Sihombing (Bapak Nando) juga getol melakukan inventarisasi
batu-batu berasal dari Tapanuli, khususnya Tapanuli Utara. Menurut mereka,
beberapa jenis batu khas sudah dihimpun dari kawasan Kecamatan Pahae Julu/Pahae
Jae, Purba Tua, Sipoholon, Tarutung, Adiankoting, Garoga, dan Muara.Dari sekian
banyak batu yang dihimpun di TPA ini, tampaknya batu asal Muara cenderung
menjadi jenis batu yang dapat dijadikan primadona dari Tanah Batak, namun masih
dinantikan kemunculan batu lain yang mungkin lebih bagus dari batu Muara. “Kami
memberi nama serat Toba untuk batu dari Muara,” ujar N Sihombing dalam
wawancara khusus dengan Majalah Online BATAKINDONEWS.COM
Kamis (30/7) di TPA yang ditanganinya bersama Simatupang.
Kekhususan batu serat Toba dimaksud
terdapat pada motif berserat khas, dan kilaunya yang bisa diandalkan. Ada dua
warna pada batu Muara ini, hijau dan merah. Bisa tembus cahaya senter.
“Kami masih lacak bebatuan lainnya
yang kemungkinan masih ada yang lebih bagus dari daerah ini, tapi sementara
itulah yang eksklusif saat ini, serat Toba, suri-suri, dan batu yang dinamakan
sijago-jago,” papar Simatupang didampingi Sihombing. Di atas lemari etalase tampak tulisan "Tersedia
Hampir setiap hari komunitas di TPA
Toba Na Sere ini berkumpul di sana, selain untuk mengolah batu cincin, juga
sharing tentang banyak hal mengenai batu akik yang jumlahnya begitu banyak. Di
komunitas itu ada Pak A.Hutagaol, PPP Lumbantobing, Menanti Tarihoran, Solo
Lumbantobing, David Panggabean, Leonardo Simanjuntak (editor Majalah Online
SARINGAR.Net), dan banyak yang lainnya.
Kini di Tarutung, bukan suatu
pemandangan yang aneh atau mengherankan lagi kalau ada pria yang memakai batu
cincin ukuran jumbo pada jari tangannya lebih dari satu. Ada yang memakai
hingga empat sampai lima, selain juga yang terang-terangan mengenakan liontin
tergantung di dada. Tampaknya batu cincin sudah mengarah menjadi semacam simbol
seni hias pada diri pengguna, atau mungkin menjadi manifestasi kebanggaan
terhadap batu akik yang disukainya untuk diolah. Bukan hal yang mengherankan
pula, kalau sudah ada sejumlah penggemar yang telah mengolah batu puluhan buah.
Mereka adalah kolektor yang memang senang mengoleksi perhiasan jari tangan itu,
meski mungkin ada pula yang gemar mengolah banyak batu untuk bisnis. Yah, itu
sah-sah saja. Tapi apapun itu, cincin berbatu akik apalagi batunya indah
berkilau dengan motif menarik, di sisi
lain mencerminkan kepribadian personal yang unik. Kalau batu akik dari daerah
Batak memang indah kenapa harus membanggakan batu bacan dari Maluku. Sayangnya,
atensi pemerintah daerah terhadap fenomena ini tampaknya minim, atau mungkin
tak ada sama sekali. (Posting by :
Leonardo TS Simanjuntak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar