Minggu, 06 Maret 2016

Kekasihku Preman Pinggiran (6)

Bindu 6 - Novel: Leonardo TSS

Jenni susah tidur malam itu. Dia terbawa arus pikiran tak karuan. Dicobanya melupakan momen sekejap tadi, ketika Ronni tiba-tiba nyelonong ke rumahnya. Jenni tahu itu kerjaan Ida dan Bornok, sengaja membawa Ronni yang membuatnya kaget. Jenni kesal, tapi di balik itu hatinya juga resah. Merasa serba salah. Ia mengoreksi sikapnya tadi menghadapi pemuda berkulit hitam manis itu. Apakah aku tak cukup ramah terhadap pemuda itu? Jenni kuatir kalau ia dinilai gadis yang angkuh atau cuek.
 Jenni meninggalkan tempat tidurnya, membuka pintu dapur. Di situ di bawah pohon alpukat yang rindang ada kursi kayu yang biasa didudukinya saat senggang. Jenni menatap langit yang gelap tak berbintang. Saat-saat duduk sendirian di kursi kayu itu hatinya sedih, mengenang semua masa lampau yang penuh kenangan saat ibunya masih ada. Jenni teringat ibu yang begitu baik dan peduli padanya. Jenni teringat kala masih di SMA empat tahun lalu, ia nyaris seorang gadis yang dimanjakan ibunya. Jenni tak pernah mengalami keletihan seperti sekarang. Jenni sudah terbiasa dengan air mata, dan terbiasa pula untuk tidak terlena oleh kesedihan.
 Ida dan Bornok berusaha menghiburnya. Jangan larut terus oleh kesedihan. Air mata tak pernah menyelesaikan kesedihan, kecuali menyuburkan perasaan apatis makin menjadi. "Yakinlah, waktu selalu akan merobah semuanya dalam hidup kita. Biasakanlah melawan kesedihan dengan tersenyum, dan jangan mau didera perasaan menyesali apapun yang telah kau alami."
 Bahkan satu ketika Ida mengusulkan, " Jika kamu merasa hidupmu hanya akan menderaikan air mata di rumah ini, ya kenapa kamu tak mau mengambil tindakan berani. Kamu punya hak atas dirimu, dan punya hak penuh untuk menentukan hari esokmu."
 Jenni tertegun menatap Ida." Maksudmu?" ia cepat menyambut dengan tanya.
 Ida menjawab, serius." Yah pergi tinggalkan rumah ini, jangan biarkan dirimu selamanya bernafas dalam lumpur kesedihan tak bertepi."
 "Jadi aku kemana," kata Jenni seperti pada diri sendiri. Menatap langit tak berbintang. Menatap langit yang seakan mengasihani dirinya.
 Ida menghela nafas, mengelus tangan Jenni." Tapi jangan bilang aku menghasutmu ya Jen. Aku hanya tak tega melihat keadaanmu terus bersedih seperti terpasung di sini. Kalau saja rumahku bukan di komplek ini, aku akan membawamu ke rumahku saja. Orang tuaku pasti tidak keberatan."
 "Ya, tapi aku mau ke mana, kalau misalnya aku pergi dari rumah pamanku ini," Jenni mengulangi pertanyaannya.
 " Lho, coba saja. misalnya mencari kerja kek,kamu kan sudah punya ijazah SMA dan sudah punya sertifikat kursus komputer seperti aku. Itu kan sudah bisa modal cari pekerjaan."
 " Tapi kerja di mana hanya lulusan SMA."
 " Ya siapa tau ada lowongan tenaga honor misalnya, atau kerja perusahaan kek, entah kerja di percetakan atau wartel."
 "Wartel? Seperti si Riris?" Jenni mengeritkan dahi.
"Ya, kenapa. Apa salahnya sementara seperti Riris sebagai batu loncatan. Sekarang Riris kan sudah kerja meskipun honor di kantor pemerintah." Ida memberi penjelasan.
Jenni pun terdiam.
"Pikirkan sajalah itu Jen. Dan ingat, kamu itu tak terikat apa-apa dengan keluarga di rumah ini, kecuali karena ini rumah pamanmu. Aku tau kamu tertekan bathin karena isteri pamanmu tak sebaik nantulangmu mendiang."
 "Tapi aku takut Ida, tak enak nanti pada paman kalau..."
" Jangan terlalu berpikir sentimentil Jen. Kamu di sini kan hanya sebagai persinggahan sementara ketika situasi kehidupan menggiringmu harus tinggal bersama pamanmu. Tapi bukan berarti kamu telah bergantung harus di sini selamanya. Kita sebagai orang Batak tetap menghormati paman kita, tapi bukan berarti menghormati membuat kita harus kehilangan kemerdekaan pribadi."
Semua ucapan Ida itu selalu terngiang di ruang telinga Jenni. Dibolak-balik baik buruknya, pantas tidaknya. Tapi lama kelamaan Jenni menggarisbawahi satu kata simpul dari Ida , tentang kemerdekaan pribadi yang tak harus terikat pada ikatan-ikatan apapun dengan yang lain."
 Jenni menutup pintu dapur, beringsut pelan kembali ke kamar. Direbahkannya diri seraya mencoba membuat hatinya setenang malam yang bergerak lambat menuju fajar.
 Ia ingin melupakan tentang kunjungan seorang pemuda bernama Ronni tadi. Jenni merasa tak tertarik seandainya pun perkenalan itu mau dirajut ke jenjang lebih jauh. Jenni takut menjalin hubungan dengan pria, karena rasa tidak merdeka mengingatkannya untuk menepis pergaulan lebih jauh kecuali dengan sebatas teman anak gadis. 
 Dan terutama, Jenni takut jika suatu hubungan cinta menambah beban tekanan terhadap dirinya. Isteri pamannya Marice, pasti akan membuat situasi bertambah buruk.
 "Ouuuuhhhhh nasiiiiib..." keluh Jenni seraya mengatupkan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar