BATAKINDONEWS.COM - Bermodal tata letak sederhana
dengan satu foto di halaman pertama, pada Kamis sore 27 April 1961, koran Sinar
Harapan mulai dijual, bersanding dengan koran sore lain, Warta Bhakti.
Koran yang memiliki moto “Memperdjoangkan kemerdekaan dan keadilan, kebenaran
dan perdamaian berdasarkan kasih” ini, pada awal penerbitannya tidaklah menarik
perhatian. Namun seiring berjalannya waktu, isi berita dan tampilannya mulai
dilirik banyak orang.
Waktu itu, Presiden Soekarno kerap mendengungkan tiga unsur penting yang hidup
dalam masyakarat Indonesia. Ketiga unsur itu adalah nasionalis, agama, dan
komunis yang disingkat nasakom. Unsur ini juga merasuk ke dunia pers. Situasi
negara medio 1959-1960 memungkinkan dunia pers memilih ketiga unsur tersebut.
Golongan nasionalis memiliki surat kabar di Jakarta bernama Suluh Indonesia,
sementara golongan komunis mempunyai Harian Rakyat dan Warta Bhakti.
Golongan agama pun berpeluang mendirikan surat kabar, selain Duta Masyarakat
yang didirikan Nahdlatul Ulama.
Dalam perjalanannya, pemerintah menutup banyak surat kabar beraliran “kanan”
hingga kemudian koran beraliran “kiri” atau komunis menguasai dunia pers. Dunia
pers saat itu memasuki masa suram. Akhirnya kalangan militer memberi angin
kepada masyarakat untuk membuat surat kabar bernapaskan keagamaan, untuk
mengimbangi harian yang berafiliasi komunis sekaligus untuk memperkuat barisan
Pancasila. Seorang dokter berpangkat mayor Angkatan Laut Republik Indonesia
(ALRI), Komang Makes, ingin menerbitkan surat kabar bernapaskan agama. Seperti
dikutip dari buku Awal Perjuangan Sinar Harapan, 1981, dr Makes
menghubungi beberapa rekannya yang memiliki dasar kekristenan kuat. Mereka
adalah para pendeta, seperti Roesman Moeljodwiatmoko, Soesilo (pendeta
ALRI), Prof Dr Soedarmo, Simon Marantika (Sekjen Dewan Gereja-gereja di
Indonesia/DGI), dan Prof JL Ch Abineno (Ketua DGI).
Dokter Makes kemudian menghubungi orang-orang dari Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) dan tokoh masyarakat Kristen, antara lain Dr Johannes Leimena (Wakil
Perdana Menteri Pertama), JCT Simorangkir SH (Parkindo) dan rekannya WJ
Rumambi; serta Darius Marpaung, Sahelangi, dan Ny B Simorangkir. Kelompok
ketiga yang diajak bergabung dari kalangan pengusaha dan pers seperti Indra D
Pontoan, ARSD Ratulangi, HG Rorimpandey, JB Andries, Simon Toreh, Supardi, dan
Lengkong. Terakhir yang dihubungi adalah Soehardhi yang pernah menggawangi
mingguan Hidup dan Berita Minggu.
Setelah itu, bergabung Subagyo Pr (RRI), Liek Soemantoro (eks mingguan Hidup),
Poernawan Tjondronegoro, dan Subekti (eks Pedoman). Bergabung pula
Surjanto Kodrat (eks Indonesia Observer), Max Karundeng (eks Merdeka
dan Pedoman), Aristides Katoppo (eks AP/PIA), Daisy Nelwan, SWG
Awuy, Bram AD Tuapatinaja, David Hutabarat, Rheinhardt Simanjuntak, Benny
Ticoalu, Ahmad, dan Sutilah. Turut bergabung pula eks wartawan dan karyawan
surat kabar Pos Indonesia, seperti Tukiran, Suprapto, Oey Yu Sin,
Budiono, Victor Sihite, Robert Gouw, SM Madja, Wengki, J Budisatria, dan Setiadi
Purnama.
Nama dan “Warna”
Sebelum menentukan pelaksana redaksi, terjadi diskusi untuk menentukan “warna”
harian yang akan diterbitkan. Mereka setuju mendirikan surat kabar bernapaskan
kekristenan. Awalnya, Leimena menyangsikan keberhasilan mereka menerbitkan
koran harian, mengingat minimnya pengalaman dan persoalan permodalan. Leimena
kemudian menganjurkan penerbitan majalah atau surat kabar mingguan.
Namun kemudian, dr Makes mampu meyakinkan Leimena agar mendirikan koran harian.
Setelah beberapa kali diskusi, muncullah nama Sinar Harapan yang
merupakan usulan dr Makes. Moto “Memperdjoangkan kemerdekaan dan keadilan,
kebenaran dan perdamaian berdasarkan kasih” merupakan usulan Rumambi yang
kemudian dijadikan tagline.
Surat kabar ini tidak berpredikat Kristen, tapi bernapaskan kekristenan; terbit
di bawah komando HG Rorimpandey sebagai pemimpin umum dan ketua dewan redaksi
JCT Simorangkir SH, serta pelaksana redaksi dipimpin Soehardhi. Untuk badan
penerbit, dibentuklah PT Sinar Harapan yang selanjutnya berganti menjadi PT
Sinar Kasih.
Surat Izin Terbit (SIT) atas nama Rorimpandey sudah dikenal di Departemen
Penerangan, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya, maupun Penguasa
Perang Tertinggi (Peperti). Ia pernah menjadi Pemimpin Umum maupun Pemimpin
Redaksi Buletin Ekonomi Keuangan, serta memimpin mingguan Dunia
Ekonomi, mingguan Pewarta Djakarta, dan sempat menjadi wartawan
mingguan Republik. Sebelum mengajukan SIT, diputuskanlah Sinar
Harapan menjadi harian sore dengan pertimbangan harian sore Pos
Indonesia yang diterbitkan PT Kinta diberangus pemerintah.
Dalam perjalanannya, Sinar Harapan menjadi harian umum dan koran
sekuler, bukan berpredikat Kristen. Para pendiri dan pengelolanya sepakat
menerbitkan koran tanpa dicampuri pihak mana pun. Sikap ini justru menarik
lembaga kekristenan yang semula tidak melirik koran ini.
Awalnya, Sinar Harapan memang menjadi bagian Parkindo, menyusul niatan
pemerintah mengontrol pers. Pemerintah dianggap sebagai penguasa dan mewajibkan
semua media massa berafiliasi kepada partai politik. Apabila tidak, SIT-nya
dicabut. Namun, pada masa Orde Baru, Sinar Harapan melepaskan diri dari
partai.
Pada 1973, dalam SIT yang dikeluarkan Departemen Penerangan, Sinar Harapan
adalah harian umum independen. Sinar Harapan menjadi media yang bebas
dan berhasil menjadi besar dalam kancah pers di Tanah Air pada 1980-an. Kendati
kerap menghadapi penghentian operasional hingga pencabutan SIT pada 1965, 1973,
1978, sampai penutupan Sinar Harapan yang kemudian diganti menjadi Suara
Pembaruan pada 1986-1987, perjuangan para wartawan dan karyawannya tidak
pernah padam.
Banyak nama besar di republik ini lahir dari koran yang bertiras awal hanya
2.500 eksemplar, tapi kemudian menjadi 200.000 eksemplar tiap hari itu. Tiras
tersebut adalah yang tertinggi di antara semua media massa cetak di Indonesia
kala itu. (Ray Soemantoro)
Sumber : Sinar Harapan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar