Senin, 29 Februari 2016

Sinar Harapan Koran Yang Tiarap Tanpa Hilang Harapan


















 SAMPAI JUMPA KEMBALI. Itulah judul singkat tulisan Aristides Katoppo, salah satu dedengkot Harian Sinar Harapan pada 31 Desember 2015 lalu. Tulisan sederhana tapi sarat makna keprihatinan yang mendalam, seolah mewakili sekian banyak simpatisan koran yang awalnya menyuarakan tema kekristenan itu. Seorang rekan melontar tanya pada saya, kenapa ikhwal matinya sebuah koran Sinar Harapan begitu penting dimuat pada blog Batakindonews? Dengan senyum hambar saya hanya menjawab singkat," semasa muda dulu, saya suka membaca Sinar Harapan, bahkan pernah menyumbang beberapa tulisan feature pada tahun 80an, dan saya pernah menerima beberapa kali honor untuk itu. Saya ikut menundukkan kepala jika koran yang saya nilai terbaik di Indonesia selain Kompas itu, benar-benar sudah tamat setelah beberapa kali jatuh bangun mewarnai romantika persuratkabaran di Indonesia. Tapi mungkin, sekadar menghibur hati siapa saja yang mengalami kesedihan itu saya hanya bisa mengulang satu kalimat stimulans " Kita boleh kehilangan apa saja dalam hidup ini, tetapi bukan harapan." Di bawah ini kami turunkan catatan Aristides Katoppo seutuhnya dicuplik dari Sinar Harapan.Co:

 *
Sinar Harapan mulai terbit lebih dari setengah abad lalu, yakni 27 April 1961, dengan moto “Memperdjoangkan kebenaran dan keadilan, kebebasan dan perdamaian berdasarkan kasih.” Niatnya waktu itu agar dalam suasana negara yang dilanda prahara, pelbagai benturan, dan pertikaian; ada suara sejuk yang tidak hanya menganut paham “politik adalah panglima”.

Sebagai surat kabar, Sinar Harapan merekam peristiwa dan kejadian dengan sudut pandang memberi suara kepada semua pihak yang berbeda-beda, termasuk yang tidak disukai pihak yang sedang berkuasa. Sinar Harapan berupaya bersikap inklusif, menghormati, dan menghargai keindonesiaan yang multikultural dan pluralistik. Sinar Harapan mengartikan persatuan bukan sebagai penyeragaman (unity bukan uniformity).

Upaya dan niat sebagai surat kabar agar berperan serta sebagai katalisator pembaruan kehidupan bangsa dan masyarakat tidak selalu mulus. Contohnya ketika memprakarsai pentingnya desentralisasi kekuasaan dari pusat agar perlu ditumbuhkannya otonomi daerah, perimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ternyata ini dianggap prematur.

Akibatnya pada usia 25 tahun (1986), Sinar Harapan dianggap offside. Selanjutnya harian ini harus terbit dengan nama baru dan pucuk pemimpin baru. Barulah setelah tumbangnya Orde Baru, waktu Reformasi, koran ini bisa tampil kembali dengan nama yang tadinya hendak ditiadakan.

Beberapa bulan lalu, saya diminta hadir pada acara pemilihan direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bali. Saya dijemput beberapa pengacara muda, salah satu di antaranya lulusan universitas terkemuka di Jawa. Ia mengatakan, waktu diminta pulang kampung oleh orang tuanya, orang tuanya kaget sewaktu mengetahui ia bergabung dengan LBH.

Ia menceritakan, selama di fakultas, selain dilatih ilmu hukum, ia juga diimbau selalu berdasi, mempersiapkan diri jadi pengacara yang akan jadi kaya raya, melayani yang berkuasa dan kaya-kaya. Kalau bisa, bukan cuma punya mobil Jaguar, tapi sampai Bentley. Betapa kagetnya setelah bergabung dengan LBH, ternyata ia harus melayani masyarakat kere, bahkan harus memberi sumbangan uang transportasi.

“Pakaian pun disesuaikan, tak patut berjas dan dasi. Tapi ternyata, saya bukan hanya tertarik. Saya asyik dan senang. Saya belum kasih tahu orang tua, tapi saya mau tetap lakukan ini,” ucapnya. 

Ternyata di antara yang muda, masih ada yang berkiblat pada panggilan idealisme, siap untuk tidak cepat kaya dan keren; tapi bangga dengan cita-cita, dedikasi, dan nurani. Memang ini pilihan. Mungkin ini makin langka. Di tengah arus materialisme yang memburu kekayaan dengan segala cara, pilihan itu membuat mereka cerah, bangga, dan bahagia. 

Sinar Harapan dari dulu terbuka terhadap sikap dan pilihan itu. Sinar Harapan akrab dan peduli kepada yang memilih dedikasi, integritas, dan nurani.

Kepuasan diperoleh bukan karena memiliki mobil Rolls Royce, melainkan karena pengabdian kepada kepentingan umum, yang kebetulan kebanyakan merupakan lapisan masyarakat jelata yang miskin. Ternyata tidak sedikit orang kaya mengagumi pilihan sikap itu dan diam-diam menjadi donatur tetap.

Jelang akhir 2015, sangat disayangkan, di tengah melajunya komersialisme, Sinar Harapan tidak dapat bertahan dan mulai tahun depan berhenti terbit sebagai surat kabar harian yang dicetak sore hari. Banyak pihak kecewa dan menyayangkan. Mereka bertanya: Apa masih ada harapan? Sebenarnya, dalam pertanyaan itu tersimpul peluangnya.

Syukur dan Terima Kasih
Ada cerita tentang pemberian para dewa kepada manusia dalam mitologi Yunani. Manusia diberikan bermacam-macam kepintaran, seperti akal sehat, kemampuan teknologi, melukis yang bagus, menyanyi, dan menari. Hal yang tidak diberikan adalah segala sifat dan keadaan buruk, seperti iri hati, cemburu, serakah, ingin berkuasa, ingin kaya raya tanpa bagi-bagi, egosentris, segala macam penyakit, dan berbagai hal yang membuat manusia menderita. Para dewa menyimpan segala keburukan itu dalam sebuah kotak di kuil.

Para dewa berpesan kepada manusia untuk tidak membuka kotak tersebut. Namun, manusia ingin tahu, mereka nakal. Dibukalah kotak tersebut maka keluarlah segala macam penderitaan, penyakit, dan sifat buruk. Manusia tersiksa karena perbuatannya sendiri.

Akan tetapi, saking sayangnya para dewa kepada manusia, masih ada satu yang tersisa dan terakhir dikeluarkan, yaitu harapan. Harapan sengaja disediakan sebagai perisai ampuh. Pesannya, ketika semua kondisi buruk melanda, berpeganglah pada harapan. Dengan harapan, manusia bisa bangkit lagi dan bertahan.

Karena itu, ketika kita dilanda bermacam-macam krisis, kita selalu diingatkan supaya tidak boleh menghilangkan harapan. Mungkin suatu saat nanti, hanya itu yang kita miliki. Harapan itu harus dicari, ditemukan, ditebar, ditumbuhkan, dipupuk, dirawat, dan dikembangkan secara terus-menerus.

Marilah kita mengakhiri tahun 2015 dengan penuh syukur dan terima kasih. Mohon maaf atas segala kekurangan, kealpaan, kekhilafan, dan kesalahan. Marilah songsong 2016 dengan doa dan keyakinan bahwa harapan tetap melambai dan bersinar. Seperti halnya hukum kekekalan energi, energi tidak bisa dihilangkan, tetapi hanya berubah wujud. 

Jika orang Jepang menyebut sayonara, orang Jerman menyebut auf wiedersehen, orang Inggris mengatakan good bye atau see you again; Sinar Harapan mengucapkan, “sampai jumpa” 2016. Kita yakin: yang kita kasihi dan yang mengasihi kita akan selalu bersama kita. 
(Aristides Katoppo)

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar