Sabtu, 23 Januari 2016

Manggadong di Medan

Nikmatnya makan gadong kombinasi dengan teh manis =

BATAKINDONEWS.COM -

Manggadong...! Kalau dia orang Batak yang lahirnya masih di seputaran Tanah Batak, tentu tahu apa yang dimaksud dengan "manggadong". Terjemahannya mudah saja, makan ubi yang direbus. Pada zaman dahulu, di pedesaan selalu diawali manggadong dulu sebagai pengantar  makan nasi. Apalagi zaman dulu hidup masih sulit, sering terjadi haleon potir (musim paceklik). Semasa kecil saya sempat melihat sendiri betapa susahnya kehidupan rakyat di desa, manakala saya sesekali berkunjung ke kampung ompung di dusun Nagatimbul. Saat itu sedang haleon potir. Beras sangat langka dan mahal. Untuk mengatasi ancaman lapar, keluarga paman mengambil kebjakan makan nasi cukup satu kali sehari. Itu pun cara masak nasinya dibuat "malala" (setengah dibubur) seperti lontong sate, supaya cukup untuk seluruh keluarga yang jumlahnya lumayan.
"Boasa malala indahan on,nantulang," tanya saya pada isteri paman. Pada hal saya paling anti makan nasi yang malala.
Dengan mimik sendu, nantulang saya itu bilang beras sangat terbatas. Harus pandai-pandai mengatur supaya tercukupi untuk beberapa minggu. Maka caranya, nasi yang dimasak cukup dua atau tiga takar, dan itu jadi banyak kalau dibuat malala. Bah! Sulit sekali saya makan nasi yang setengah dibubur itu, hampir saja saya tak bisa menelan. Tapi karena lapar habis bermain-main dengan anak paman seharian, terpaksalah saya ikut menikmati nasi yang seperti lontong sate itu.
Saya sempat heran, siang jelang sore nantulang memanggil anak-anaknya dan saya untuk manggadong. Itu pun terasa resmi seperti biasanya makan nasi. Duduk melingkar di atas tikar, dan gadong yang masih mengepul ditaruh dalam sebuah panci. Lalu di sebuah piring lainnya ada gulamo (ikan asin) bakar. Tapi yang membuat saya kaget, ketika nantulang menyuguhkan air minum yang dicampur dengan cabe giling. Bah,apaan pula ini. Heran saya jadinya.
Keheranan saya terjawab ketika nantulang mengatakan," supaya enak manggadong makan gulamonya dikir-dikit, dan ini namanya aek na malla sebagai ganti kopi supaya enak makan gadongnya." Aek na malla maksudnya "aek na marlasiak" (air yang diaduk dengan cabe giling). Terasa panas perutku memang karena tak terbiasa. Sedang anak paman (laeku) begitu asyik menyeruputnya seraya melahap gadong. Nikmat sepertinya sadar betul kesulitan yang mendera kehidupan saat itu.
Saya mencermati ketika kehidupan sekarang jauh lebih baik dengan meningkatnya kemajuan perekonomian, apakah masih ada yang merindukan tradisi manggadong seperti dulu? Atau memang belum pernah mengalaminya di kampung? Ataukah setelah menjadi orang penting, kaya raya, hidup mewah, tak ingat lagi apa yang dialami di kampung masa silam. Mungkin juga pura-pura tak mau tahu,atau merasa jadi kolot kalau itu dikenang?
Makanya ketika paribanku marga Sihotang berkunjung ke rumah tumpangan kami di Perumnas Mandala, saya merasakan surprise, ketika saya tahu pariban itu membawa oleh-oleh yang eksklusif: GADONG. 
" Bah, ai adong do gadong di Medan?" saya bertanya.
" Na husuan hami do on anggia, sipata olo do manggadong hami, huboan hami on atik lomo roham asa manggadong jolo hita." kata Sitohang senyum.
" Bah, pasti do lomo rohakku, nunga leleng dang hea be au manggadong, Suman do hapur gadong na binoanmuna on. Alai ingkon tes manis do donganni on asa tabo."
Gadong ukuran besar-besar yang dibawa Sitohang itu pun direbus. Kami menikmatinya dengan dengan sukacita, seraya bernostalgia ingat pengalaman masing-masing soal manggadong. Hanya saat itu tidak ada aek na malla dan gulamo tinutung seperti jaman dulu kucicipi di kampung ompung. Cukup pakai teh manis hangat, terasa plong gadongnya meluncur ke perut... Hah, nunga gabe butong hian au, kataku disambut tawa paribanku baoa dan pariban boru. Manggadong di Medan...

= Gadong Medan yang lezat =


Tidak ada komentar:

Posting Komentar