BINDU 1 -( NOVEL : LEONARDO TSS) *
JENNI Rohani sudah enam kali menatap kalender di dinding papan itu.
Mula-mula ia tak tahu mengapa ia selalu menatap kalender begitu serius. Matanya
yang bening selalu terpaku pada angka 28, tepat hari Rabu. Sekarang Senin,
berarti dua hari lagi Rabu. Jenni terpana berulang menatap.
Jenni berdiri mengambil balpoin dari rak buku di sudut ruang tamu. Angka 28
itu digoresnya dengan garis bulat seperti telor lonjong. Ditatapnya coretan
bulat pada angka itu sambil perlahan berjalan mundur kembali ke kursi rotan.
Kedua matanya yang bagus seperti giok biru itu berkaca-kaca. Jenni sedang
mengenang sesuatu yang membuatnya miris.
“Andai mama masih ada, aku akan pesta ulang tahun,” kata hatinya.
Jenni memastikan hitungan kalender menetapkan 28 Agustus tahun 2008 itu
isyarat usianya sudah 22 tahun. Dulu, dua tahun lalu, ia masih berulang tahun
ke 20. Ibunya rela mengusahakan dari mana saja uang demi menyenangkan hatinya.
Tiga tahun berturut sejak usia sweet
seven ten, ibunya selalu memesan kue tart dari toko roti di simpang empat
kota. Tart itu berhias manisan kue merangkai huruf Jenni sweet seven ten. Lalu barisan lilin merah sebanyak 17 biji. Jenni
pun mengundang teman sebayanya, bersukaria, bernyanyi diiringi gitar oleh teman
laki-laki, Juda. Ramai, penuh tawa. Lalu nyanyi bareng “potong kuenya, potong
kuenya, potong kuenya sekarang juga...”
Jenni menghela nafas.Kini sadar dirinya sudah semakin dewasa. Semua orang
selalu bilang dirinya cantik dan seksi. Postur tubuhnya bertumbuh perlahan
membentuk bodi yang sintal, kencang. Terkadang Jenni malu sendiri ketika keluar
rumah, semua mata lelaki menatapnya seakan menelanjangi dan menelannya
bulat-bulat. Dasar lelaki...
Bila Jenni bercermin di kamarnya, ia mengamati diri seksama. Benarkah aku seksi?
Dipandanginya payudaranya yang menonjol padat. Ditatapnya bagian-bagian
wajahnya mulai dahi, alis, mata, hidung, bibir, dagu, lalu rambut ikal yang
tergerai lepas sebatas payudara panjangnya. Apanya yang seksi? Dia sendiri yang
menganalisa. Kata temannya Bornok dan Ida, bukan hanya dadanya yang menonjol
kencang itu yang bikin mata lelaki bergairah. Tapi juga hidung, mata, dan
bibir. Apa sih artinya sensual...katanya pada Bornok. Dan Bornok ketawa
terpingkal mendengar pertanyaannya. “Kamu memang gadis kampung yang lugu,”
jewer Bornok dan Ida.
“ Dan aku tambahkan lagi, bokongmu itu sampai bentuk kakimu. Aku kadang
jadi ngiri sama kamu,” tukas Ida, entah canda atau serius.
Kata teman-temannya, usia 22 buat seorang gadis merupakan momentum
peralihan signifikan ketika gairah kewanitaan hadir lebih intens.
“Itu kata dokter Herbert Crowel lho, kubaca di majalah wanita. Hasil riset
dengan ratusan responden,” ujar Bornok.
Jenni hanya senyum mesem tapi bagaimana pun ia merasa tersanjung juga.
Jenni teringat saat kelas terakhir SMA, ia terpilih menjadi juara favorit
berbusana feminin yang diadakan dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan. Tak jadi
juara umum memang, tapi di jalur nominasi favorit, Jenni sudah terbukti
memiliki nilai plus. Banyak teman yang kagum, tapi banyak pula yang cemburu.
Sifat manusiawi yang normal. Pada hal Jenni orangnya pemurah, rendah hati,
polos, apa adanya. Paling tak suka ada orang tak menyukainya.
Itu kilas balik tiga tahun lalu.
Dan sekarang 2008. Angka 22 pada dirinya kini melekat erat. Rasanya
masih seperti biasa, tak ada perubahan berarti. Kalau ada yang berubah, adalah
ketika Jenni menyadari tak ada lagi kue tart, tak ada lagi gelak tawa
ramai-ramai dengan teman, tak ada lagi nyanyi dan disko.
Perubahan itu terjadi sejak ibunya meninggal dua tahun lalu akibat serangan
kanker ganas. Jenni pun merasa kehilangan dunia, merasa dirinya ikut lenyap
dari muka bumi. Ayahnya cuma seorang sopir truk lintas Medan – Pekanbaru.
Ketika ibu Jenni harus berobat ke Medan, kondisi keuangan tak memungkinkan.
Semua sudah terjual. Juga tanah sepetak satu-satunya di kampung. Akhirnya
ibunya dibawa berobat ke orang pintar di kampung. Malah makin parah. Sampai
akhirnya perempuan itu mengembuskan nafas penghabisan dalam pelukan Jenni.
Cita-cita Jenni untuk kuliah kandas sudah. Hanya sempat mengikuti kursus
komputer beberapa bulan di Siantar.
Jenni menatap kalender itu lagi untuk ke sekian kalinya. Tahun depan
usianya 23. Jarum waktu akan terus berputar.
Belum setahun setelah ibunya meninggal, Jenni harus menahan nafas ketika
ayahnya memutuskan kawin lagi dengan seorang janda. Awalnya ibu tirinya itu
bersikap baik. Tapi pada bulan ketiga, sikapnya berubah drastis jadi sinis.
Jenni dan adik laki-lakinya Guntur memilih hengkang ke rumah pamannya. Tak rela
jadi bulan-bulanan kerewelan perempuan beranak tiga itu.
Tetapi hidup sering berliku, penuh tanjakan dan jurang menganga. Pamannya
memang baik. Beda dengan isterinya yang doyan uring-uringan. Meski Jenni dan
Guntur sudah begitu baik membantu semua urusan keluarga itu, toh seperti tak
berguna. Jenni merasakan tekanan isteri paman makin menghunjam ke ulu hati.
Jenni sering menangis. Hal itu diketahui pariban (kakak) mamanya di Jambi.
Jenni diminta datang ke Jambi. Tapi pamannya melarang. Alasan tenaganya masih
dibutuhkan menjagai anak bawaan perempuan yang dikawininya itu. Jenni merasa
tak lebih sebagai baby sitter di rumah itu. Setiap saat ingin menangis sambil
menyebut ibunya. Adiknya Guntur yang akhirnya pergi ke Jambi. Guntur pun disekolahkan
pariban ibunya di Jambi.
Rasa nyaman hanya bisa direguk Jenni bila kebetulan rumah itu sedang sepi.
Pamannya sedang keluar kota, isterinya ke pesta adat, dan dua anaknya yang
masih kelas 6 SD sedang di sekolah. Anak sulungnya sudah sekolah SMA di
Perdagangan di rumah famili dekat isteri paman.
Jenni menatap kalender itu lagi. Hatinya serasa diiris sembilu. Suasana
terasa aman di kawasan itu. Warga pada sibuk di sawah ladang. Hanya suara kicau
burung di pepohonan sesekali mengusik kesunyian. Jenni menikmati hembusan angin
pagi yang membelai rambut panjangnya. Kini Jenni merasa sudah kehilangan
segalanya. Bahkan juga kehilangan kasih sayang ayahnya. Satu-satunya orang yang
seharusnya jadi benteng hidupnya. Berbulan-bulan tak ada kabar dari ayahnya.
Dia seakan terhipnotis kehadiran isteri barunya. Pamannya pemabuk berat, yang ketika pulang tengah malam selalu berujung gaduh.
Jenni lama-lama memikirkan satu hal. Memikirkan bakal bagaimana akhirnya sikapnya
dengan kerumitan ini. Akankah aku bertahan di rumah yang seperti neraka ini. Ada
saran dari ibu-ibu tetangga di situ, sebaiknya Jenni jangan bertahan di rumah
pamannya. Lalu mau ke mana? Ya, pergilah merantau, cari kerjaan. Zaman sekarang
anak gadis sudah berpikiran maju. Tamat SMA banyak yang pergi ke Jakarta,
Batam, Bandung, dan banyak kota besar lainnya.
Jenni bingung mendengar saran itu. Beranikah aku? Tapi mau ke mana. Atau ke
Jambi menyusul adiknya Guntur. Ah tidak. Aku tak boleh lagi membebani pariban
mama. Mereka sudah begitu baik menyekolahkan Guntur.
Jenni merasa tercekik dilematika. Air matanya menetes. (NEXT/LEONARDO TSS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar