Gaya kampanye calon kepala desa di Tarutung, jalan kaki door to door. Gaya kampanye yang elegan, tapi sayang banyak warga lebih memilih calon yang bagi-bagi uang dari pada kepentingan perubahan. |
Majalah Online Batakindonews.Com - Pemilihan Kepala Desa (Pilkades)
serentak di Tanah Batak, khususnya Kabupaten Tapanuli Utara, sudah berlangsung,
Rabu (4/11). Ada 197 desa awalnya yang dijadualkan melaksanakan pilkades,tapi
belakangan ada yang batal karena bermasalah. Minat menjadi kepala pemerintahan
desa tampaknya menguat, dengan munculnya calon-calon muda. Apalagi proses pencalonan
juga katanya tak dipungut pemerintah biaya. Tapi calon incumbent juga masih
banyak yang nongol. Sepertinya belum tega memberi kesempatan pada orang lain
menggantikan kedudukannya. Adanya kebijakan pemerintah “menggratiskan” proses
pendaftaran calon kades, cukup signifikan memicu semangat banyak warga untuk
ikut berkompetisi. Selain, santernya iming-iming pemerintah mendrop banyak dana
untuk mempercepat kemajuan desa.
Beberapa warga berkomentar,”Enak juga
mau jadi kades sekarang. Pemerintah akan melipatgandakan kontribusi dana ke
desa. Apa lagi mencalonkan jadi kades tak seperti biasanya, sudah gratis.”
Menggiurkan. Itulah yang terkesan dari
gemuruh pencalonan kades di Taput sejak awal. Ada desa yang calonnya sampai 7
(tujuh) orang, seperti di Kecamatan Sipoholon, ada yang lima, empat, dan hanya
tiga calon. Dan sesuai ketentuan yang dibuat Pemkab setempat, lebih dari lima
calon harus dilakukan testing. Maksimal calon hanya lima orang.
Ramainya calon yang mendaftar bukan
hanya menyangkut semangat banyak warga untuk uji tanding di desanya. Ragam
persoalan juga mencuat ke permukaan, menandai dinamika pilkades di wilayah ini.
Dari isu soal ketidakjelasan domisili calon, hingga tudingan tentang calon yang
beristeri dua. Selain juga munculnya komentar miring tentang politik
mempertahankan dinasti seperti di Desa Hutabarat Parbaju. Dari kakek ke anak
cucu, berambisi mempertahankan “singgasana”. Apa lagi di Tanah Batak, menjadi
kepala desa itu dulunya dianggap “harajaon” (kerajaan bertanda kutip), atau hasangapon (martabat). Sekali menjadi
kepala kampung maka selamanya akan menyandang predikat “kappung”. Tetapi soal
mengawetkan status kepala dengan politik dinasti, akhirnya tak menjadi hambatan
karena tak ada peraturan atau undang-undang yang membatasi hak keturunan
mencalonkan diri.
Bagaimana gambaran umum pasca pilkades 4
Nopember lalu itu. Ragam persoalan yang muncul ke permukaan, seperti dikatakan
staf ahli Bupati Taput Humala Hutauruk yang membidangi pemerintahan. Dari
tudingan tentang konspirasi kades incumbent menyangkut pembentukan panitia
pemilihan kepala desa, soal surat panggilan yang diatur menurut selera oknum
tertentu, soal adanya penggelembungan suara seperti di Desa Pansurnapitu,
sampai permainan klasik tentang money
politics. Itu semua mengemuka setelah pilkades usai. Dan sesuai hak
demokrasi (yang sekarang makin disadari rakyat), laporan atau pengaduan
mengenai kejanggalan-kejanggalan itu diajukan ke tingkat kecamatan hingga
kabupaten. Yang berbau politik uang tentu digiring ke kepolisian.
Masyarakat yang tidak puas menyangkut
kecurangan dalam pemilihan, tentunya berharap laporan/pengaduan mereka direspon
dengan wajar. Jangan kiranya ada pula money
politic dalam penyelesaian. Pemerintah harus menegakkan keadilan dalam
penyelesaian tanpa dipengaruhi faktor-faktor khusus sekali pun. Dengan demikian
pemerintah memberi pelajaran berdemokrasi yang lebih baik di masa mendatang.
Salah satu contoh soal yang ramai
diberitakan media cetak sebelum berlangsungnya pilkades di Tapanuli Utara,
adalah soal calon beristeri dua. Sudah ditandaskan oleh Ketua DPRD Taput
Ottoniyer Simanjuntak maupun Kepala Bapemdes Taput Binhot Aritonang, bahwa
calon kades beristeri dua itu tak dibolehkan.” Kalau ada calon ketahuan
beristeri dua, itu harus dibatalkan,” tegas Ottoniyer Simanjuntak seperti
dilansir media. Tapi nyatanya, oknum calon yang disebut beristeri dua itu masih
lolos juga ikut pemilihan. Hal seperti ini bisa membuat masyarakat apatis, dan
di kemudian hari pesimis bila masalah-masalah seputar pilkades dilaporkan.
Lalu bagaimana soal ambisi
mempertahankan kades dinasti dan pengaruh “hepeng” ( uang) dalam konteks
berdemokrasi yang sehat. Istilah serangan fajar sudah lama dikenal rakyat
Indonesia dalam setiap event pemilihan, khususnya pemilihan kepala daerah, pemilihan
legislatif, dan pilkades. Tampaknya kata-kata guyon tentang “he-bat
peng-aruhnya” (kepanjangan HEPENG), sudah menjadi fenomena terburuk di tengah
masyarakat. Sulit dibuktikan, tapi bisa diyakini. Masyarakat sepertinya tidak
mau tahu soal memilih pemimpin yang dianggap pantas atau tak pantas untuk
membawa perubahan di desanya. Ada desa yang selama puluhan tahun dikepaladesai
secara turun temurun, tapi apa pun perubahan dianggap tidak ada. Nah masyarakat
bilang, sudah waktunya ada perubahan. Tapi giliran tiba pemilihan kades,
ternyata sebagian besar warga tidak memiliki prinsip perubahan itu. Malah masih
cenderung mempertahankan kepemimpinan dinastial. Ada isu berembus, ada
permainan uang, dan ada warga yang mengakui menerimanya untuk memilih salah
satu kandidat. Selain itu ada indikasi kesengajaan panitia yang tidak
menyebarkan surat panggilan kepada warga yang dicurigai pro kades lain. Teori
konspirasi dimainkan oknum yang sudah berpengalaman bermanuver dalam event
serupa.
Di sisi lain, pilkades di Tanah Batak
rawan perpecahan karena faktor “partubu” (kedekatan marga dari segi silsilah).
Istilah “sitorop partubu” (mayoritas marga tertentu di satu desa) tampaknya
masih kuat. Makanya kelompok “siotik partubu” (kelompok marga minoritas)
dianggap tak pantas memegang tongkat kepemimpinan desa. Apa lagi kalau calon
yang tampil dari kalangan boru (pihak perempuan menurut konteks Dalihan
Natolu). Jika kelompok minoritas atau boru memenangkan suatu pemilihan, sangat
rentan mengganggu pilar kesatuan persatuan di desa bersangkutan. Jangan-jangan
berpengaruh pada proses adat di lingkungan bersangkutan. Hal ini sudah serin
mengemuka dikritisi para tetua Batak bahkan dilansir di media.
Solusi dari kompleksitas permasalahan
ini apa. Pemerintah harus melakukan pencerahan secara intensif kerjasama dengan
tetua desa, tokoh adat, maupun agama, merumuskan upaya-upaya meminimalisir
hal-hal negatif tersebut ke depan jangan terus membudaya atau makin tajam di
masa mendatang. Pembelajaran demokrasi memang butuh proses terutama di tengah
masyarakat desa. Soal tidak puas dalam proses berdemokrasi itu merupakan bagian
dari demokrasi itu sendiri, tapi yang terpenting pilar kesatuan persatuan di
desa tidak sampai goyah. Netralitas pemerintah dengan tetap mengedepankan
keadilan, mutlak diterapkan untuk lebih mendewasakan pemahaman rakyat tentang
hukum dan demokrasi.
Dinamika pilkades juga terlihat dari
munculnya demo-demo. Protes mengkiritisi adanya kesewenang-wenangan oknum
tertentu, atau adanya backing-backingan oknum berpengaruh, selain tudingan
money politics seperti di Desa Parbaju Julu Tarutung. Tapi, toh pemerintah
kabupaten tampaknya tak mau menuai risiko preseden di lain waktu. Banyak pengaduan
atau komplain itu dianggap sepi. Maka pelantikan pun berlanjut. Tempat
pelantikan juga diarahkan ke pegunungan, ke lokasi Salib Kasih di Siatas
Barita. Tampaknya agar lebih aman dan kondusif. Nah, mau bilang apa lagi, kalau
sudah dilantik. Suka tak suka kepada yang terlantik, ya terima sajalah dengan
dada longgar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar