Selasa, 05 Januari 2016

Pilkades di Tanah Batak, Isu Calon Beristeri Dua Hingga Politik Dinasti



Gaya kampanye calon kepala desa di Tarutung, jalan kaki door to door. Gaya kampanye
yang elegan, tapi sayang banyak warga lebih memilih calon yang bagi-bagi uang dari
pada kepentingan perubahan.


Majalah Online Batakindonews.Com - Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Tanah Batak, khususnya Kabupaten Tapanuli Utara, sudah berlangsung, Rabu (4/11). Ada 197 desa awalnya yang dijadualkan melaksanakan pilkades,tapi belakangan ada yang batal karena bermasalah. Minat menjadi kepala pemerintahan desa tampaknya menguat, dengan munculnya calon-calon muda. Apalagi proses pencalonan juga katanya tak dipungut pemerintah biaya. Tapi calon incumbent juga masih banyak yang nongol. Sepertinya belum tega memberi kesempatan pada orang lain menggantikan kedudukannya. Adanya kebijakan pemerintah “menggratiskan” proses pendaftaran calon kades, cukup signifikan memicu semangat banyak warga untuk ikut berkompetisi. Selain, santernya iming-iming pemerintah mendrop banyak dana untuk mempercepat kemajuan desa.
Beberapa warga berkomentar,”Enak juga mau jadi kades sekarang. Pemerintah akan melipatgandakan kontribusi dana ke desa. Apa lagi mencalonkan jadi kades tak seperti biasanya, sudah gratis.”
Menggiurkan. Itulah yang terkesan dari gemuruh pencalonan kades di Taput sejak awal. Ada desa yang calonnya sampai 7 (tujuh) orang, seperti di Kecamatan Sipoholon, ada yang lima, empat, dan hanya tiga calon. Dan sesuai ketentuan yang dibuat Pemkab setempat, lebih dari lima calon harus dilakukan testing. Maksimal calon hanya lima orang.
Ramainya calon yang mendaftar bukan hanya menyangkut semangat banyak warga untuk uji tanding di desanya. Ragam persoalan juga mencuat ke permukaan, menandai dinamika pilkades di wilayah ini. Dari isu soal ketidakjelasan domisili calon, hingga tudingan tentang calon yang beristeri dua. Selain juga munculnya komentar miring tentang politik mempertahankan dinasti seperti di Desa Hutabarat Parbaju. Dari kakek ke anak cucu, berambisi mempertahankan “singgasana”. Apa lagi di Tanah Batak, menjadi kepala desa itu dulunya dianggap “harajaon” (kerajaan bertanda kutip), atau hasangapon (martabat). Sekali menjadi kepala kampung maka selamanya akan menyandang predikat “kappung”. Tetapi soal mengawetkan status kepala dengan politik dinasti, akhirnya tak menjadi hambatan karena tak ada peraturan atau undang-undang yang membatasi hak keturunan mencalonkan diri.
Bagaimana gambaran umum pasca pilkades 4 Nopember lalu itu. Ragam persoalan yang muncul ke permukaan, seperti dikatakan staf ahli Bupati Taput Humala Hutauruk yang membidangi pemerintahan. Dari tudingan tentang konspirasi kades incumbent menyangkut pembentukan panitia pemilihan kepala desa, soal surat panggilan yang diatur menurut selera oknum tertentu, soal adanya penggelembungan suara seperti di Desa Pansurnapitu, sampai permainan klasik tentang money politics. Itu semua mengemuka setelah pilkades usai. Dan sesuai hak demokrasi (yang sekarang makin disadari rakyat), laporan atau pengaduan mengenai kejanggalan-kejanggalan itu diajukan ke tingkat kecamatan hingga kabupaten. Yang berbau politik uang tentu digiring ke kepolisian.
Masyarakat yang tidak puas menyangkut kecurangan dalam pemilihan, tentunya berharap laporan/pengaduan mereka direspon dengan wajar. Jangan kiranya ada pula money politic dalam penyelesaian. Pemerintah harus menegakkan keadilan dalam penyelesaian tanpa dipengaruhi faktor-faktor khusus sekali pun. Dengan demikian pemerintah memberi pelajaran berdemokrasi yang lebih baik di masa mendatang.
Salah satu contoh soal yang ramai diberitakan media cetak sebelum berlangsungnya pilkades di Tapanuli Utara, adalah soal calon beristeri dua. Sudah ditandaskan oleh Ketua DPRD Taput Ottoniyer Simanjuntak maupun Kepala Bapemdes Taput Binhot Aritonang, bahwa calon kades beristeri dua itu tak dibolehkan.” Kalau ada calon ketahuan beristeri dua, itu harus dibatalkan,” tegas Ottoniyer Simanjuntak seperti dilansir media. Tapi nyatanya, oknum calon yang disebut beristeri dua itu masih lolos juga ikut pemilihan. Hal seperti ini bisa membuat masyarakat apatis, dan di kemudian hari pesimis bila masalah-masalah seputar pilkades dilaporkan.
Lalu bagaimana soal ambisi mempertahankan kades dinasti dan pengaruh “hepeng” ( uang) dalam konteks berdemokrasi yang sehat. Istilah serangan fajar sudah lama dikenal rakyat Indonesia dalam setiap event pemilihan, khususnya pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, dan pilkades. Tampaknya kata-kata guyon tentang “he-bat peng-aruhnya” (kepanjangan HEPENG), sudah menjadi fenomena terburuk di tengah masyarakat. Sulit dibuktikan, tapi bisa diyakini. Masyarakat sepertinya tidak mau tahu soal memilih pemimpin yang dianggap pantas atau tak pantas untuk membawa perubahan di desanya. Ada desa yang selama puluhan tahun dikepaladesai secara turun temurun, tapi apa pun perubahan dianggap tidak ada. Nah masyarakat bilang, sudah waktunya ada perubahan. Tapi giliran tiba pemilihan kades, ternyata sebagian besar warga tidak memiliki prinsip perubahan itu. Malah masih cenderung mempertahankan kepemimpinan dinastial. Ada isu berembus, ada permainan uang, dan ada warga yang mengakui menerimanya untuk memilih salah satu kandidat. Selain itu ada indikasi kesengajaan panitia yang tidak menyebarkan surat panggilan kepada warga yang dicurigai pro kades lain. Teori konspirasi dimainkan oknum yang sudah berpengalaman bermanuver dalam event serupa.
Di sisi lain, pilkades di Tanah Batak rawan perpecahan karena faktor “partubu” (kedekatan marga dari segi silsilah). Istilah “sitorop partubu” (mayoritas marga tertentu di satu desa) tampaknya masih kuat. Makanya kelompok “siotik partubu” (kelompok marga minoritas) dianggap tak pantas memegang tongkat kepemimpinan desa. Apa lagi kalau calon yang tampil dari kalangan boru (pihak perempuan menurut konteks Dalihan Natolu). Jika kelompok minoritas atau boru memenangkan suatu pemilihan, sangat rentan mengganggu pilar kesatuan persatuan di desa bersangkutan. Jangan-jangan berpengaruh pada proses adat di lingkungan bersangkutan. Hal ini sudah serin mengemuka dikritisi para tetua Batak bahkan dilansir di media.
Solusi dari kompleksitas permasalahan ini apa. Pemerintah harus melakukan pencerahan secara intensif kerjasama dengan tetua desa, tokoh adat, maupun agama, merumuskan upaya-upaya meminimalisir hal-hal negatif tersebut ke depan jangan terus membudaya atau makin tajam di masa mendatang. Pembelajaran demokrasi memang butuh proses terutama di tengah masyarakat desa. Soal tidak puas dalam proses berdemokrasi itu merupakan bagian dari demokrasi itu sendiri, tapi yang terpenting pilar kesatuan persatuan di desa tidak sampai goyah. Netralitas pemerintah dengan tetap mengedepankan keadilan, mutlak diterapkan untuk lebih mendewasakan pemahaman rakyat tentang hukum dan demokrasi.
Dinamika pilkades juga terlihat dari munculnya demo-demo. Protes mengkiritisi adanya kesewenang-wenangan oknum tertentu, atau adanya backing-backingan oknum berpengaruh, selain tudingan money politics seperti di Desa Parbaju Julu Tarutung. Tapi, toh pemerintah kabupaten tampaknya tak mau menuai risiko preseden di lain waktu. Banyak pengaduan atau komplain itu dianggap sepi. Maka pelantikan pun berlanjut. Tempat pelantikan juga diarahkan ke pegunungan, ke lokasi Salib Kasih di Siatas Barita. Tampaknya agar lebih aman dan kondusif. Nah, mau bilang apa lagi, kalau sudah dilantik. Suka tak suka kepada yang terlantik, ya terima sajalah dengan dada longgar...

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                


Tidak ada komentar:

Posting Komentar