Senin, 03 November 2014

Ibu Ini Lulus Mengurus Nenek Pikun

Nenek bertubuh kerdil berusia 95 ini dimandikan tiap hari .(Foto: Ekspresiana)

  Di antara beban terberat yang kita pikul dalam hidup ini, mungkin salah satunya adalah mengurus orang tua yang sudah pikun kronis, seperti yang dilakukan ibu Mijah dalam catatan pendek ini. Mengurus orang tua memang kewajiban setiap orang, apalagi saat orang tua sudah memasuki uzur usia. Tapi, terkadang banyak orang yang mengeluh, bahkan menganggap suatu siksaan ketika mengurus orang tua yang usianya sudah sangat larut, sakit-sakitan lagi, dan yang lebih parah pikun berat. Maka tak heran, banyak keluarga yang membawa orang tuanya ke panti jompo. Dalih selalu klasik, “bukan untuk menghindarkan tanggung jawab, semata-mata untuk keselamatan dan ketenangannya menjalani sisa hidup”.
  Bagi siapa yang dengan tekun dan tabah mengurus orang tua yang betapapun tua dan pikunnya, selalu mendapat penghiburan dari orang lain: kamu akan mendapat pahala dan berkat dari Maha Pencipta. Lalu orang yang mendapat wejangan itu akan menjawab,”aaaaminnn…”
  Tapi ada kala kita mendengar kabar tak enak, entah itu lewat media cetak, televisi, atau media online, tentang perilaku anak yang kejam terhadap orang tua yang tak berdaya. Kejadian di Sumatera Utara beberapa waktu lalu seperti dilansir surat kabar, ada orang tua pikun yang terlantar di jalan raya, ditolong polisi lalu lintas dengan membawanya ke sebuah panti jompo. Itu diumumkan dengan iklan di surat kabar, agar dijemput keluarga. Tapi hingga beberapa hari tak ada pihak yang mengetahui hal itu ataukah keluarganya tak ada lagi, kurang jelas. Nenek tua itu meninggal dunia dua minggu kemudian.
  Lain halnya pengalaman ibu Mijah. Dia saat ini berjuang mempertahankan komimen kemanusiaanya mengurus seorang nenek tua berusia 95 tahun, tak lama lagi genap se-abad. Nenek tua bernama Tiamsah itu pun bukan ibu kandung atau mertua kandung ibu Mijah. Nenek itu adalah kakak dari ibu mertuanya (alm).
Cerita ibu Mijah pada kompasianer, nenek Tiamsah dulu tinggal satu rumah dengan mertuanya. Nenek itu janda tanpa anak. Sejak suaminya Pasaribu meninggal, ia pun menjalani kehidupannya menumpang di rumah adiknya di Desa Parbaju, Sumatera Utara. Mereka tinggal bertiga di sebuah rumah di lingkungan desa yang sepi. Tapi pada 2008, adik dan suaminya meninggal dunia. Tinggallah nenek Tiamsah ini sendiri, sementara usia uzur makin menyergap. Lalu, ibu Mijah sang menantu adiknya yang telah meninggal dunia, menampung si nenek setelah bermusyawarah dengan Pak Reynol, suami Mijah. Sejak itulah nenek Tiamsah tinggal di rumah ibu Mijah.
Pada awalnya, nenek itu masih normal pada usia 88 tahun. Sehari-hari nenek berpostur ceking itu pergi jajan ke kedai yang ada di desa, yang memang sudah kebiasaannya. Keluarga ibu Mijah mengurus nenek Tiamsah dengan telaten, layaknya mengurus ibu atau mertua kandung. Diberi makan, minum, sarapan siang, disiapkan pemandian, pakaiannya dicuci, dan lain-lain. Namun pada dua tahun terakhir, sejak tahun 2012, gejala kepikunan itu makin terasa, bahkan belakangan makin berat. Terkadang saat nenek Tiamsah yang dijuluki nenek Parkamar, keluar rumah untuk jajan ke warung, sering tidak ingat lagi pulang. Pernah kejadian, ia salah jalan di jalan raya, berjalan kaki di bawah terik matahari, lebih 15 kilo meter arah Medan. Untung ada orang yang mengenalnya lewat, lalu membawa nenek itu pulang ke rumah ibu Mijah.
“Memang terasa berat mengurus orang tua ini, apa lagi belakangan sering sakit-sakitan, pendengaran makin berkurang, pikiran sudah linglung, tidur tak menentu, sering mengigau tak karuan seperti mengenang masa silamnya,” tutur ibu Mijah saat memandikan nenek pikun itu di pekarangan rumahnya baru-baru ini. Waktu pun terus berlalu, kondisi nenek Tiamsah pun makin berat. Kalau biasanya masih bisa berjalan meski tertatih-tatih, dua bulan terakhir harus dipapah duduk di kursi untuk berjemur di pagi hari. Sekali dua hari ia dimandikan ibu Mijah bersama suaminya (suami ibu Mijah adalah anak dari adik nenek Tiamsah). Terkadang bau menyengat mengepung rumah ini, kalau ia sudah kotoran dan kencing di kasur tempat tidurnya. Baunya bukan main bau, beda dari bau kotoran biasa. Untuk mengimbangi bau itu, ibu Mijah sesekali mengolesi lantai rumah dengan karbol. Sering nenek Tiamsah dikira sudah meninggal, pada pagi hari dilihat ibu Mijah tak bergerak di tempat tidur. Ternyata belum. Benar kata ungkapan lama, sebelum ajal pantang mati. Berbulan-bulan nenek Tiamsah hidup segan mati tak mau. Tapi keluarga ibu Mijah tak menyerah untuk terus mengurus seperti biasa, pada hal nenek itu bukan orang tua kandung. Satu ketika pernah dibawa ke Panti Jompo Siborongborong, 26 kilometer dari desa itu. Tapi tak sampai dua minggu, pihak panti minta nenek itu dibawa pulang.Pasalnya, nenek itu selalu bikin ulah yang menggemparkan seisi panti. Nenek Tiamsah rupanya beberapa kali kotoran langsung ke baskom atau piring temannya sesama jompo. “Maaf, kami tak mampu menampung orang tua yang kelakuannya susah dikontrol,” kata pengurus panti saat ibu Mijah datang dua hari kemudian. Akhirnya nenek itu pun dibawa pulang ke Tarutung.
Banyak pendapat diterima ibu Mijah, siapa tahu nenek itu dulunya ada memegang “ilmu” tersendiri, sehingga susah untuk meninggalkan dunia ini. Kata orang, dulu ada nenek usia 100 di satu desa, barulah meninggal dengan tenang, setelah dicambuk dengan daun kelor. Alternatif lain, salah satu atap seng rumah dibuka, atau dilibas dengkulnya dengan daun bamboo. Tujuan bukan untuk membunuh seseorang yang tersiksa hidupnya di masa tua. Melainkan untuk membersihkannya dari ilmu yang pernah ditanamkan dalam dirinya (kalau benar ada). Meski agak bertentangan dengan keyakinan agama Kristen yang dianutnya, pernah juga ibu Mijah menanyakan hal itu pada orang “pintar”. Jawaban orang pintar itu, nenek Tiamsah memang ada memegang semacam ilmu karuhun, tapi orang pintar itu tak sanggup mengatasi, karena ilmu yang ada di badan nenek itu lebih tinggi.
Ibu Mijah harus berjiwa besar, melapangkan dada, bersabar, hingga akhirnya ada keputusan dari Sang Maha Pencipta. Saban hari, ibu ini kelihatan memapah nenek pikun itu ke teras rumah untuk disinari cahaya matahari. Di situ juga nenek itu diberi minum teh manis kesukaannya, makan kue atau roti. Di situ juga lah nenek itu buang air kecil atau buang kotoran, yang membuat ibu Mijah dan suaminya harus repot menyiram dan mengepel lantai teras. “Pengalaman seperti ini membuat saya seperti sudah lulus ujian mengurus orang tua pikun, sangat melelahkan tapi apa mau dikata, sudah nasib dia harus ada bersama kami,” ujar ibu Mijah sambil menyirami rambut nenek itu suatu pagi. Ibu ini terpaksa menggunakan masker menutupi hidung mulut menangkal bau jika nenek itu sedang menabur kotorannya. Tugasnya mengurus nenek ini melebihi kesabaran dan ketelatenan pengurus panti jompo mana pun di dunia ini.
 Ibu Mijah mengatakan, apa yang dihadapinya saat ini tidak berlatar keinginan mendapat imbalan dari Tuhan yang menyaksikan segala gerak kehidupan di dunia ini. Semata-mata karena ini sudah dianggap takdir, dan harus dijalani dengan tabah, meski terkadang godaan marah atau kesal bisa hadir. Ketika akhirnya nenek Parkamar meninggal dunia dengan tenang tanggal 21 Juni 2014 lalu, banyak yang prihatin dan merasa kehilangan. Banyak yang datang melayat, mendoakan semoga arwahnya diterima Tuhan di sisiNya. (lihat juga Kompasiana/Kompas.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar