Nenek bertubuh kerdil berusia 95 ini dimandikan tiap hari .(Foto: Ekspresiana) |
Di
antara beban terberat yang kita pikul dalam hidup ini, mungkin salah
satunya adalah mengurus orang tua yang sudah pikun kronis, seperti yang
dilakukan ibu Mijah dalam catatan pendek ini. Mengurus orang tua memang
kewajiban setiap orang, apalagi saat orang tua sudah memasuki uzur usia.
Tapi, terkadang banyak orang yang mengeluh, bahkan menganggap suatu
siksaan ketika mengurus orang tua yang usianya sudah sangat larut,
sakit-sakitan lagi, dan yang lebih parah pikun berat. Maka tak heran,
banyak keluarga yang membawa orang tuanya ke panti jompo. Dalih selalu
klasik, “bukan untuk menghindarkan tanggung jawab, semata-mata untuk
keselamatan dan ketenangannya menjalani sisa hidup”.
Bagi
siapa yang dengan tekun dan tabah mengurus orang tua yang betapapun tua
dan pikunnya, selalu mendapat penghiburan dari orang lain: kamu akan
mendapat pahala dan berkat dari Maha Pencipta. Lalu orang yang mendapat
wejangan itu akan menjawab,”aaaaminnn…”
Tapi ada
kala kita mendengar kabar tak enak, entah itu lewat media cetak,
televisi, atau media online, tentang perilaku anak yang kejam terhadap
orang tua yang tak berdaya. Kejadian di Sumatera Utara beberapa waktu
lalu seperti dilansir surat kabar, ada orang tua pikun yang terlantar di
jalan raya, ditolong polisi lalu lintas dengan membawanya ke sebuah
panti jompo. Itu diumumkan dengan iklan di surat kabar, agar dijemput
keluarga. Tapi hingga beberapa hari tak ada pihak yang mengetahui hal
itu ataukah keluarganya tak ada lagi, kurang jelas. Nenek tua itu
meninggal dunia dua minggu kemudian.
Lain
halnya pengalaman ibu Mijah. Dia saat ini berjuang mempertahankan
komimen kemanusiaanya mengurus seorang nenek tua berusia 95 tahun, tak
lama lagi genap se-abad. Nenek tua bernama Tiamsah itu pun bukan ibu
kandung atau mertua kandung ibu Mijah. Nenek itu adalah kakak dari ibu
mertuanya (alm).
Cerita
ibu Mijah pada kompasianer, nenek Tiamsah dulu tinggal satu rumah dengan
mertuanya. Nenek itu janda tanpa anak. Sejak suaminya Pasaribu
meninggal, ia pun menjalani kehidupannya menumpang di rumah adiknya di
Desa Parbaju, Sumatera Utara. Mereka tinggal bertiga di sebuah rumah di
lingkungan desa yang sepi. Tapi pada 2008, adik dan suaminya meninggal
dunia. Tinggallah nenek Tiamsah ini sendiri, sementara usia uzur makin
menyergap. Lalu, ibu Mijah sang menantu adiknya yang telah meninggal
dunia, menampung si nenek setelah bermusyawarah dengan Pak Reynol, suami
Mijah. Sejak itulah nenek Tiamsah tinggal di rumah ibu Mijah.
Pada
awalnya, nenek itu masih normal pada usia 88 tahun. Sehari-hari nenek
berpostur ceking itu pergi jajan ke kedai yang ada di desa, yang memang
sudah kebiasaannya. Keluarga ibu Mijah mengurus nenek Tiamsah dengan
telaten, layaknya mengurus ibu atau mertua kandung. Diberi makan, minum,
sarapan siang, disiapkan pemandian, pakaiannya dicuci, dan lain-lain.
Namun pada dua tahun terakhir, sejak tahun 2012, gejala kepikunan itu
makin terasa, bahkan belakangan makin berat. Terkadang saat nenek
Tiamsah yang dijuluki nenek Parkamar, keluar rumah untuk jajan ke
warung, sering tidak ingat lagi pulang. Pernah kejadian, ia salah jalan
di jalan raya, berjalan kaki di bawah terik matahari, lebih 15 kilo
meter arah Medan. Untung ada orang yang mengenalnya lewat, lalu membawa
nenek itu pulang ke rumah ibu Mijah.
“Memang
terasa berat mengurus orang tua ini, apa lagi belakangan sering
sakit-sakitan, pendengaran makin berkurang, pikiran sudah linglung,
tidur tak menentu, sering mengigau tak karuan seperti mengenang masa
silamnya,” tutur ibu Mijah saat memandikan nenek pikun itu di pekarangan
rumahnya baru-baru ini. Waktu pun terus berlalu, kondisi nenek Tiamsah
pun makin berat. Kalau biasanya masih bisa berjalan meski
tertatih-tatih, dua bulan terakhir harus dipapah duduk di kursi untuk
berjemur di pagi hari. Sekali dua hari ia dimandikan ibu Mijah bersama
suaminya (suami ibu Mijah adalah anak dari adik nenek Tiamsah).
Terkadang bau menyengat mengepung rumah ini, kalau ia sudah kotoran dan
kencing di kasur tempat tidurnya. Baunya bukan main bau, beda dari bau
kotoran biasa. Untuk mengimbangi bau itu, ibu Mijah sesekali mengolesi
lantai rumah dengan karbol. Sering nenek Tiamsah dikira sudah meninggal,
pada pagi hari dilihat ibu Mijah tak bergerak di tempat tidur. Ternyata
belum. Benar kata ungkapan lama, sebelum ajal pantang mati.
Berbulan-bulan nenek Tiamsah hidup segan mati tak mau. Tapi keluarga ibu
Mijah tak menyerah untuk terus mengurus seperti biasa, pada hal nenek
itu bukan orang tua kandung. Satu ketika pernah dibawa ke Panti Jompo
Siborongborong, 26 kilometer dari desa itu. Tapi tak sampai dua minggu,
pihak panti minta nenek itu dibawa pulang.Pasalnya, nenek itu selalu
bikin ulah yang menggemparkan seisi panti. Nenek Tiamsah rupanya
beberapa kali kotoran langsung ke baskom atau piring temannya sesama
jompo. “Maaf, kami tak mampu menampung orang tua yang kelakuannya susah
dikontrol,” kata pengurus panti saat ibu Mijah datang dua hari kemudian.
Akhirnya nenek itu pun dibawa pulang ke Tarutung.
Banyak
pendapat diterima ibu Mijah, siapa tahu nenek itu dulunya ada memegang
“ilmu” tersendiri, sehingga susah untuk meninggalkan dunia ini. Kata
orang, dulu ada nenek usia 100 di satu desa, barulah meninggal dengan
tenang, setelah dicambuk dengan daun kelor. Alternatif lain, salah satu
atap seng rumah dibuka, atau dilibas dengkulnya dengan daun bamboo.
Tujuan bukan untuk membunuh seseorang yang tersiksa hidupnya di masa
tua. Melainkan untuk membersihkannya dari ilmu yang pernah ditanamkan
dalam dirinya (kalau benar ada). Meski agak bertentangan dengan
keyakinan agama Kristen yang dianutnya, pernah juga ibu Mijah menanyakan
hal itu pada orang “pintar”. Jawaban orang pintar itu, nenek Tiamsah
memang ada memegang semacam ilmu karuhun, tapi orang pintar itu tak
sanggup mengatasi, karena ilmu yang ada di badan nenek itu lebih tinggi.
Ibu
Mijah harus berjiwa besar, melapangkan dada, bersabar, hingga akhirnya
ada keputusan dari Sang Maha Pencipta. Saban hari, ibu ini kelihatan
memapah nenek pikun itu ke teras rumah untuk disinari cahaya matahari.
Di situ juga nenek itu diberi minum teh manis kesukaannya, makan kue
atau roti. Di situ juga lah nenek itu buang air kecil atau buang
kotoran, yang membuat ibu Mijah dan suaminya harus repot menyiram dan
mengepel lantai teras. “Pengalaman seperti ini membuat saya seperti
sudah lulus ujian mengurus orang tua pikun, sangat melelahkan tapi apa
mau dikata, sudah nasib dia harus ada bersama kami,” ujar ibu Mijah
sambil menyirami rambut nenek itu suatu pagi. Ibu ini terpaksa
menggunakan masker menutupi hidung mulut menangkal bau jika nenek itu
sedang menabur kotorannya. Tugasnya mengurus nenek ini melebihi
kesabaran dan ketelatenan pengurus panti jompo mana pun di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar