Ilustrasi (realis.gift)= |
Kisah ringkas ini berangkat dari pengalaman
seorang isteri yang memilih jodohnya cowok yang usianya terpaut cukup
jauh lebih muda. Tapi true story ini bukan berarti gambaran secara umum,
bahwa setiap pasangan beda usia khususnya kalau suami yang lebih muda,
endingnya dramatis berujung kalang kabut. Mungkin saja, Liana yang tak
beruntung karena suami yang dicintainya berubah jadi playboy.
Sudah berapa tahun sejak merit , pertanyaan ini mengawali
percakapan Ekspresiana dengan Liana (bukan nama sebenarnya), ketika
bertemu di kantor instansi pemerintah di salah satu kota di Sumatera
Utara, awal Mei barusan. Awalnya Liana tak tersentuh untuk cerita.
Wajahnya yang lumayan feminin mirip Febi Febiola membersitkan apatisme.
Dia sesungguhnya tak gentar jika akhirnya perkawinannya dengan Gusta
harus bubar. “Ini jalan tahun ketiga, perkawinan ini saya anggap
kebohongan walau realita.” Ada nuansa amarah yang dipendam dalam nada
suaranya, tapi di sisi lain ia berupaya agar tegar dan arif menghadapi
badai yang singgah di tengah kehidupannya yang sebenarnya baru start.
Tiga tahun lalu, Liana yang berusia 29 tahun bertemu Gusta yang
enam tahun lebih muda (24 tahun). Ketika itu Gusta yang bekerja di
sebuah percetakan menemani ibunya check-up ke RS Horas Insani Pematang
Siantar. Di kursi tunggu poliklinik dokter internist Gusta berkenalan
dengan Liana, yang juga lagi membawa ibunya berobat ke dokter yang sama.
Dari mata turun ke hati, rupanya lirikan-lirikan dan cara pandang Gusta
menggetarkan gawang hati gadis itu. Meski pada saat itu Liana tahu usia
anak muda ganteng itu masih dibawahnya. Percakapan mengalir lancar
hingga saling tanya nomor ponsel dan alamat rumah. Di belakang hari,
Gusta tak hanya bertandang ke kantor tempat kerja Liana, ia juga datang
ke rumahnya sekitar tiga kilo meter di luar kota Siantar arah Medan.
Awalnya ketika Gusta mengungkapkan cintanya, tak ada gayung
bersambut. Liana sadar beda usia mereka terpaut cukup jauh. Ibu Liana
juga mengingatkan anaknya, kuranglah elok jika beda usia cewek terlalu
jauh dari cowok kalau ditujukan untuk mahligai rumah tangga. Sementara
ibunya Gusta tak mempersoalkannya, dengan alasan yang penting sudah
saling mencintai. Banyak contoh pasangan suami isteri beda usia (cowok
lebih muda dari cewek), dan mereka hidup bahagia hingga ke anak cucu.
Liana condong pada pendapat ibu Gusta. Lagian, jika dilihat sepintas tak
begitu nampak perbedaan usia itu dari performance mereka. Kelihatannya
masih sepantaran.
Pacaran tak terlalu lama, hanya sekitar tiga bulan. Pihak keluarga
Gusta pun mengajukan lamaran ke pihak keluarga Liana. Prosesnya tak
rumit ketika orang tua Liana akhirnya meretui pernikahan di bulan
Oktober 2008. Pesta sangat meriah di sebuah wisma di Medan.
Rumah tangga yang dibangun cukup membahagiakan, hingga lahirnya
seorang anak lelaki sebagai buah cinta pasangan ini. Tapi prahara mulai
mengusik, seiring makin kerapnya Gusta pulang sesuai jadual biasanya.
Gusta selalu pulang larut malam, bahkan hingga jelang pagi.Alasan makin
padat pesanan cetakan. Liana bisa memahaminya. Tapi ia mulai bercuriga
kalau di kemudian hari, penampilan Gusta makin beda. Dia makin boros
beli pakaian dengan mode yang lagi trend. Sepeda motornya pun dibuat
makin norak, buka saringan knalpot hingga mengluarkan suara bising
mengganggu tetangga. Sikap Gusta juga diamati Liana jauh berubah. Dia
sering menjawab kasar saat ditanya dari mana, kenapa pulang selalu larut
malam. Pernah Gusta beberapa kali main bentak, tapi tak sampai lalu
tangan. Liana sejauh itu tegar saja, bersabar dengan memaklumi suaminya
masih sulit meninggalkan jiwa muda dan kebiasaannya. Beberapa kali
temannya datang ke rumah Gusta dengan sikap tak sopan. Mereka main gitar
dan nyanyi hingga larut malam di beranda. Tak jarang membawa minuman
keras. Liana tak sabar untuk memprotes tingkah suaminya ” ingat pa, kamu
bukan anak lajang lagi, kau sekarang sudah jadi seorang ayah, tolong
jaga martabat kita.”
Gara-gara diprotes begitu, Gusta yang sudah setengah tenggen
mendorong Liana sampai terjatuh di sofa. ” Sialan kamu dasar mama-mama
sudah tua keriputan lagi, mau ngatur-ngatur orang. Sana kamu urusin anak
aja.”
Sejak itu Liana suka menangis dan termenung? Rasa penyesalan itu
menyergap tapi ia menepisnya. Walau ia merahasiakan hal itu, akhirnya
bocor juga ke kuping ibunya. “Nah, apa ibu bilang. Dulu juga ibu
ingatkan pikir dulu masak-masak memilih suami terlalu muda. Lihat aja
dirimu, baru beranak satu sudah tak karuan tampilanmu, sedangkan suamimu
merasa dirinya masih perjaka. Lihat aja pergaulannya, masak anak-anak
preman simpang sampai anak SMA. Pasti dia itu belum puas menjalani masa
remajanya, dan sekarang itulah yang sedang dijalaninya.” Liana tak
berkata sepatah kata mendengar repetan ibunya.
Hubungan fisik layaknya suami isteri memang masih berlangsung,
walau intensitas dan kualitas tak seperti baru nikah. Gusta masih mau
meminta tapi romantisme sudah jauh berkurang. Liana bersikap lebih
dewasa, ingin membimbing suaminya dalam hal seksual persuamiisterian.
Tapi gairah bercintanya anjlok seratus persen. Ia hanya sekadar merebah,
melayani sebagai isteri mana kala Gusta menginginkan.
Di hari-hari berikutnya, Isu perselingkuhan suaminya dengan mantan
pacar waktu di SMA, berhembus dari kanan kiri.Liana harus menebalkan
muka dan berlagak tuli jika ada orang melapor, telah beberapa kali
melihat Gusta main-main di kafe dan taman bunga dengan aneka macam
cewek. Liana tak tahan lagi akhirnya, mengadukan hal itu pada abangnya
seorang anggota satpam di Medan. Abangnya seorang bertemperamen tinggi
langsung mengajak Liana mengecek isu itu. Dan apa yang mereka lihat
sungguh menyakitkan hati setiap isteri di dunia ini. Gusta sedang asyik
bermesraan dengan dua orang cewek muda di taman bunga. Piring bekas
makanan masih berserakan di atas meja. Gila! Masak di tempat terbuka
meski agak remang, Gusta bermanja dengan dua gadis sekaligus. Yang satu
duduk di pangkuannya, satu lagi disampingnya, tertawa cekikikan. Abang
Liana segera mendatangi Gusta, walau Liana berkeras menghalangi. Gusta
pun dihajar iparnya sampai tunggang langgang. Untung dilerai orang yang
berada di sekitar taman.
Seperti diduga Liana, Persoalan itu membuat hubungan suami isteri
mereka makin parah, makin kelam. Gusta terus menerus mengecam Liana dan
mencetuskan dendam pada iparnya. Ketika suatu waktu Gusta menamparinya
dan mengambil pisau dapur, Liana bertindak cepat mengambil langkah
seribu ke rumah ibunya. Sampai dua bulan tak ada reaksi dari pihak Gusta
membiarkan Liana dan anaknya meninggalkan rumah. Persoalan dibawa ke
forum orang-orang tua. Pihak keluarga Gusta tetap gagal memutuskan
apakah Gusta masih bisa diamankan untuk rujuk lagi. Sedangkan sebagian
keluarga Liana bersikeras tak menerima perlakuan Gusta in person.
Intinya, lebih baik cerai saja.
Liana terombang-ambing tak punya pegangan. Di satu sisi ia masih
mencintai Gusta sebagai ayah dari anak satu-satunya, tapi di pihak lain
ia ngeri membayangkan perilaku Gusta yang tak obahnya seperti anak-anak
muda jaman sekarang, tak beraturan, tak punya etika, tak punya tanggung
jawab sama sekali.
Belakangan Liana menyadari peringatan ibunya yang berulangkali
dicetuskan sebelum pernikahannya dengan Gusta. ” perkawinan itu sering
dibuat samar dengan hanya dalil cinta, tapi pengalaman ibu adalah guru
terbaik. Idealnya seorang gadis dewasa seperti kamu menikah dengan pria
yang juga dewasa, bahkan lebih dewasa darimu. Janganlah rendahkan
martabatmu, ketika suamimu kelak bukannya menjadi suami yang ideal
karena jauh lebih muda, bisa-bisa kamu menjadi seorang ibu yang harus
menekan perasaan bersuamikan seorang lelaki yang terlalu hijau memandang
hidup ini.”
Ibu benar. Bisik Liana menahan air mata, seraya meninabobo anak di
pangkuannya. Ia menempuh jalur pengadilan untuk cerai atas saran semua
keluarga bahkan tetangga. Meski terasa berat, Liana harus memilihnya.
“Akhirnya kami sudah cerai. Aku lebih baik memilih hidup sendiri bang,
dan ke depan aku tak tahu apakah masih ada pilihan lain yang terbaik
bagiku. aku hanya berserah diri pada kodrat hidupku saja.” (Lihat juga:Kompasiana.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar