Sabtu, 03 Januari 2015

Masak Alame (Dodol) Tradisi Tahun Baru Yang Sudah Raib

     Tradisi memasak alame (dodol Batak) saat merayakan tahun baru, sudah mulai pudar atau mungkin sudah
   raib, sejalan dengan kemajuan zaman, dengan semakin majunya perkembangan kue-kue instan yang  bisa   dibeli dengan mudah di toko-toko. Pada saat Kabupaten Tapanuli Utara masih dipimpin Bupati Torang Lumbantobing, sehingga dirasa perlu menyelenggarakan lomba memasak alame seperti terlihat pada gambar di atas. Lomba memasak dodol dilaksanakan Dinas Pariwisata dalam rangka peringatan Hari Jadi (HUT) Kabupaten Tapanuli Utara.
      Bernostalgia tentang suasana tahun baruan, memang banyak pernak-pernik suasana tahun baru masa silam yang perlahan tapi pasti, sudah menghilang, sejalan dengan pergeseran nilai yang menghadirkan pernak-pernik baru berbau modern.
      Tak hanya kebiasaan memasak alame itu yang sudah langka ditemukan sekarang. Juga tradisi mainan meriam bambu pada malam-malam memeriahkan tahun baru sudah ikut raib. Sebagai gantinya kini sudah mewabah mainan petasan atau mercon dengan ragam model dan variasi percik pijar apinya mewarnai angkasa raya. Anak-anak di dusun paling sepi pun tak nampak main meriam bambu lagi, yang dulu sangat menghebohkan malam-malam tahun baru. Kini di dusun paling terpencil pun sudah disemarakkan kembang api dari yang harganya termurah sampai yang harganya "wah". Tapi itulah pergeseran yang secara alami telah terjadi di mana-mana termasuk di Tanah Batak. Saat diselidiki kenapa tak ada lagi meriam bambu, warga bilang dengan nada datar," Yah mana laku lagi main meriam bambu, sudah harga minyak tanah pun mahal, cari bambu juga sulit. Lagi pula main meriam bambu itu sangat berisiko bagi anak-anak, bisa celaka kena sembur api saat meniup-niup lobang bambu dan menyulutkan api, seperti pernah kejadian dulu di satu desa."
      Lalu, masak alame? Ini salah satu ciri khas yang membuat perayaan natal atau tahun baru di kampung-kampung zaman dulu, luar biasa meriahnya. Masih segar dalam ingatan generasi tua sekarang, ketika dulu muda-mudi begitu semangat dan cerianya bergotongroyong memasak alame dengan ragam citarasa yang diciptakan. Terkadang alame dimasak di dalam belanga besar, memakan waktu berjam-jam. Para juru aduk juga gonta-ganti, tiga sampai empat orang satu sesi. Untuk melupakan rasa capek dan keringatan karena panas api kayu bakar, terkadang anak-anak muda itu main gitar sambil menyanyi, menunggu gilirannya mengaduk. "Sekarang tradisi rame-rame masak alame tinggal kenangan, kalau pun masih ada mungkin sudah sulit ditemukan kecuali kalau masih ada di desa terpencil seperti Torhonas misalnya atau Hajoran di Parmonangan," kata Parluhutan Hutauruk saat menjabat Kadis Pariwisata Tapanuli Utara.
      Kebiasaan indah lainnya yang juga hilang, yalah tradisi tukar menu kuliner buatan rumah tangga saat malam pergantian tahun (31 Desember). Saya (penulis) masih ingat dulu masa kecil di tahun 60 an, begitu sirene mengaum tepat pukul 12 tengah malam, dan usai acara doa keluarga, ibu menyuruh kami anak-anaknya mengantar kue buatan ibu seperti kambang layang (kembang loyang), kacang tojin, kue semprit bahkan lampet bulung, ke rumah tetangga-tetangga seputaran kompleks rumah tinggal kami. Dan biasanya sebagai gantinya, tetangga akan mengirimkan pula melalui kami kue buatan mereka. Bisa kue yang jenisnya sama dengan yang kami berikan, bisa juga ada kue yang berbeda. Dan uniknya lagi, kalau kami antar kue buatan ibu lalu si tetangga tak bikin kue, maka sebagai gantinya diberikan beras, ada yang satu liter ada yang dua tiga takar atau muk.
   Pendek kata, suasana tahun baru zaman dulu sungguh indah dan menyemangati siapa saja. Tak ada petasan atau kembang api, kalaupun ada bunyi ledakan sayup-sayup dari jauh itu adalah dentuman meriam bambu yang dipasang anak-anak di desa tertentu. Tergantung besarnya meriam bambunya, begituah juga kerasnya bunyi dentuman. Terkadang mengejutkan sampai ke kota.
  Dulu, karena minimnya pakaian atau sepatu yang keren, selain karena ekonomi masyarakat masih susah di zamannya orde lama, pakai baju atau sepatu baru itu sangatlah membanggakan anak-anak bahkan orang dewasa. Tapi sekarang? Pakaian baru, sepatu baru, tali pinggang baru, seakan bukan hal yang harus dibanggakan lagi. Karena apa. Selain masyarakat umumnya ekonominya makin membaik, juga segala macam jenis dan kualitas pakaian sudah gampang didapatkan. Kehadiran pakaian bekas (burjer) menjadi salah satu faktor, punya pakaian paling keren dengan harga terjangkau mudah didapatkan siapa saja bahkan oleh orang desa. Dulu seorang remaja saat memakai baju baru, pergi jalan-jalan suka larak lirik baju sendiri saking bangga perasaannya. Kalau sekarang? Wah, saking banyaknya pakaian setiap saat gonta-ganti, sampai sering lupa ada yang tak pernah dipakai...ha-ha-ha-ha....perubahan zaman memang luar biasa..(Leonardo TS Joentak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar