Gusti Kanjeng Ratu Hemas = |
[JAKARTA-EKSPRESIANA)- Info ini tidak main-main, karena setidaknya mengindikasikan situasi terpendam yang tak dilihat mata tapi dilihat hati terkait birokrasi di negeri ini. Adalah
Wakil Ketua DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyatakan dirinya
mendapat banyak keluhan dari kepala-kepala daerah yang takut
melaksanakan proyek pembangunan di daerah karena sering diganggu
aparat penegak hukum setempat.
“Pemerintah
harus segera mengatasi masalah kelemahan penegakan hukum di daerah
yang mengakibatkan program pembangunan terhambat. Banyak
gubernur, walikota, dan bupati saat ini takut melaksanakan proyek
pembangunan karena dibayangi oleh modus asal tuduh dan asal periksa
oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, daripada mendatangkan masalah,
banyak yang memilih menunda pekerjaan,” kata
Ratu
Hemas di ruang kerjanya di
Jakarta, Selasa
(6/1). Statemen tokoh wanita ini sungguh ironis dan memprihatinkan, jika hal itu benar-benar kenyataan.
Menurut
Hemas, para kepala daerah ini mengaku sangat mendukung upaya
pemberantasan korupsi, namun dalam praktik di daerah hal itu sering
dilaksanakan secara berlebihan.
“Cukup
dengan satu surat kaleng terhadap satu proyek, seorang kepala daerah
sudah bisa menjadi terperiksa dan disidik secara intensif. Hal ini
bukan saja sangat mengganggu pekerjaan, tapi ditenggarai merupakan
cara oknum aparat hukum memeras kepala daerah,” katanya.
Bila
tidak segera diatasi, Hemas mengatakan, maka kepala daerah rawan
dijadikan ATM dan pembangunan dapat terbengkalai.
Untuk
itu, pemerintah perlu segera mengambil langkah memberdayakan badan
atau lembaga tertentu yang dapat melakukan pengawasan terhadap
prilaku penegak hukum di daerah. Baik tingkat propinsi, kabupaten,
maupun kota.
Hemas mencontohkan, untuk
kejaksaan ada Komisi Kejaksaan yang mempunyai tugas melakukan
pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan
pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya maupun di
luar tugas.
Sedangkan
di kepolisian ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang
melaksanakan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas
anggota dan pejabat Polri. Kedua lembagai ini dapat ditingkatkan
pemberdayaannya.
Bila
dianggap masih kurang berdaya, sebagaimana kesan umum masyarakat saat
ini terhadap kedua lembaga tersebut, maka pemerintah dapat mendorong
Ombusdman Republik Indonesia (ORI) meningkatkan fokus pengawasan pada
prilaku aparat hukum di seluruh daerah.
Sesuai UU Nomor 73 Tahun 2008,
ORI merupakan lembaga pengawas eksternal yang independen dengan
kewenangan pengawasan pelayanan publik. Lembaga ini dibentuk dengan
tujuan mencapai cita-cita tata pemerintahan yang baik (good
governance).
Karena
itu, ORI memungkinkan diberdayagunakan mengawasi kerja aparat hukum
di daerah, terutama dalam hal yang mengindikasikan adanya modus atau
motif memeras kepala daerah atau tujuan menyimpang lainnya.
ORI selama
ini terkesan hanya dimanfaatkan masyarakat untuk melaporkan kinerja
aparat dalam hal pelayanan publik. Namun, laporan tahunan ORI
menunjukkan adanya pengaduan dari instansi juga. Dalam
hal ini, para kepala daerah dapat memanfaatkan keberadaan ORI.
Hal
ini dapat terus ditingkatkan dengan dukungan kuat Pemerintah pusat.
Apalagi, ORI juga dapat melakukan investigasi atas prakarsa sendiri.
Informasinya bisa melalui media atau pemberi informasi dari dalam
(whistle blower). Rekomendasinya pun, sesuai Pasal 38 ayat 1
UU No.37/2008, bersifat mengikat secara moral dan hukum.
Menurut Hemas, mengingat
mendesaknya keperluan mengatasi kelemahan penegakan hukum ini,
pemerintah juga dapat menggunakan atau membentuk badan tersendiri.
Tujuan
utamanya ialah agar penciptaan pemerintah yang bersih melalui
pemberantasan korupsi tidak disalahgunakan sebagai alat korupsi pihak
tertentu. [sumber:sp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar