|
Ir Sahala Simanjuntak sosok pengamat dan budayawan Toba, salah satu putra SM Simanjuntak yg tinggal di Tampahan, Balige.(Foto:Leonardo TSS) |
|
Sia Marinus Simanjuntak (dok.Leonardo TSS)= |
SM Simanjuntak
( Periode
1958-1963)
Tidak banyak orang berlatar jurnalistik (wartawan) yang bisa menjadi
pejabat formal pemerintahan, apalagi menjadi pemimpin formal. Di Indonesia,
figur seperti itu masih sehitungan jari. Di level atas sebut misalnya alm Adam
Malik, wartawan yang meroket menjadi Wakil Presiden. Harmoko yang menjadi
Menteri Penerangan di era kekuasaan rezim Soeharto. Atau sebut juga BM Diah
pemilik suratkabar “Merdeka” yang juga pernah menjabat Menteri Penerangan di
era Soekarno.
Di
jajaran setingkat Bupati, SM Simanjuntak adalah salah satunya. Mantan Bupati
Tapanuli Utara periode 1958-1963 ini di masa mudanya dikenal sebagai praktisi
jurnalistik, sebelum terjun menjadi politisi pejuang zaman penjajahan. SM
Simanjuntak menjadi redaktur suratkabar “Suara Kita” di P.Siantar (1926-1927),
redaktur suratkabar ‘Persatoean” di Tarutung (1929-1930), redaktur suratkabar
“Zaman Kita” dan suratkabar “Timboel” di P.Siantar (1934-1941).
Almarhum yang nama
lengkapnya Sia Marinus Simanjuntak bergelar Ompu Taguru Raja II, pada masa
mudanya sudah
menjunjukkan jiwa patriotisme.Itu dibuktikan dengan sepak terjangnya ikut bergabung dengan tentara
pejuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Nama SM Simanjuntak banyak disebut-sebut
dalam berbagai tulisan menyangkut perjuangan kemerdekaan di Tapanuli. Dalam
buku besar “Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara” yang diterbitkan Forum
Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera Jakarta (1979), nama SM
Simanjuntak disebut sebagai salah satu tokoh pejuang yang proaktif sebelum
maupun sesudah proklamasi kemerdekaan RI. Dalam pembentukan KNI (Komite
Nasional Indonesia), SM Simanjuntak
ikut punya andil seperti halnya Mr Rufinus
Lumbantobing, dr Luhut Lumbantobing, Mr Humala Silitonga, Tagor Lumbantobing,
Raja Saul Lumbantobing, Abisai Hutabarat, dan banyak tokoh pejuang lainnya.
SM Simanjuntak menurut data sejarah pemerintahan Tapanuli Utara menjabat
Bupati sejak 1 Agustus 1958 s/d 30 Juni 1963. Sebelumnya, almarhum juga pernah
menjadi Ketua DPRD-GR Tapanuli Utara periode 1950 – 1955, dan anggota DPR-RI
dan Dewan Konstituante di Jakarta tahun 1955- 1957.
SM
Simanjuntak lahir pada 1904 di Kampung
Sosor Panggabean Lintong Tampahan, Balige. Beliau anak sulung dari 7 (tujuh)
bersaudara, dari perkawinan ayahnya Kepala Kampung Raja Jeremias Simanjuntak
dan ibu Salonta br Napitupulu. SM Simanjuntak menikah dengan br Siahaan dan br
Napitupulu, dan dikaruniai 14 orang anak, dan lebih seratus orang cucu sampai
cicit. Dari ke 14 anaknya, seorang di antaranya yakni Ir Sahala DK Simanjuntak
yang beristerikan M br Tambunan menetap di Balige, menempati rumah keluarga
yang bersejarah di jalan Bukit Barisan III No 18. Dari sekian banyak pomparannya,
umumnya berhasil, baik dalam pendidikan dan karier di swasta maupun
pemerintahan/TNI. Di antara menantunya adalah DP Tampubolon (alm), Kol.Pol.
T.Siahaan (alm), Brigjen TNI BM Hutapea, Drs OBH Sagala. Beberapa dari cucunya
juga tergolong orang-orang intelektual, seperti Prof.Dr MP Tampubolon,MM, Drs
PM Napitupulu MM, Ir TM Pardede, JP Simanjuntak SH,Mangiring Siahaan SH di
Kejati Papua, Mayor CKH TNI-AD DP Sagala SH,MM.
DI BAWAH BENDERA MERAH PUTIH
Seputar
perjalanan hidup dan pengabdian SM Simanjuntak, banyak diceritakan putranya
yang ke 12, Ir Sahala Simanjuntak, ketika ditemui penulis/editor di Balige
(Rabu, 9 Januari 2008), seraya memberikan catatan berisi memoar singkat
almarhum SM Simanjuntak. Sebuah tulisan cukup menarik bertajuk Di bawah
Bendera Merah Putih, dituliskan oleh keturunannya (SM Simanjuntak Jr),
sebagai catatan kenangan saat peringatan 100 Tahun SM Simanjuntak di Balige
tanggal 11 Oktober 2004.
“Toean SM Simanjoentak Soedah
Ditangkap”. Demikian headline halaman muka suratkabar Bendera Kita,
yang terbit di Pematang Siantar pada 1931. Isi kliping suratkabar tersebut
memang sudah sulit dibaca karena kertasnya sudah sangat lusuh, dan sudah
berulangkali difotocopi. Namun dari sebagian teks yang masih bisa dibaca,
tercermin semangat perlawanan kaum pribumi menentang penjajah Belanda pada masa
itu.
Dengan
fasilitas sebagai anak seorang Kepala Kampung, SM Simanjuntak memperoleh
rekomendasi dari controleur (konteler) Belanda di Toba untuk masuk HIS di
Pematang Siantar pada tahun 1915. Setelah tamat HIS di Siantar pada 1924, beliau
memasuki bidang jurnalistik memenuhi panggilan jiwanya. Motif utama menjadi
wartawan adalah panggilan semangat juang menentang Belanda. SM Simanjuntak
kemudian dipercayakan menjadi anggota redaksi suratkabar Soeara Kita di P.Siantar tahun 1926, dari sana menjadi
redakteur suratkabar Persatoean di Tarutung tahun 1928 sampai 1931.
Tetapi
menjadi wartawan di jaman penjajahan harus menghadapi banyak rintangan. Akibat
tulisan-tulisan SM Simanjuntak yang kerap mengkritisi Belanda, ia ditangkap dan
dipenjarakan di Tarutung. Keluar dari penjara, SM Simanjuntak tidak lantas jera
menjadi jurnalis. Pada tahun 1934, beliau menjadi staf redaksi suratkabar Zaman
Kita di P.Siantar sampai tahun 1941, selain ikut menulis di koran Timboel.
Berikutnya, pada 1941, bersamaan dengan masuknya tentara Jepang ke
Indonesia, gerakan para wartawan dikekang bahkan dilarang tentara Jepang,
karena mungkin dianggap kegiatan memprovokasi rakyat. Suratkabar Zaman Kita dan Timboel, dilarang terbit. Sejak itu
SM Simanjuntak hanya melakukan pergerakan bawah tanah bersama kawan-kawannya
seperjuangan. Menjelang akhir 1941, tentara Jepang membentuk badan pergerakan
yang dinamakan Tapanuli Tsyu Hokokay. Ketuanya adalah Dr Ferdinand Lumbantobing
dibantu Abdul Hakim dan Patuan Natigor Lumbantobing di Sibolga, ibukota
Keresidenan Tapanuli setelah dipindahkan dari Tarutung.Badan tersebut
dimaksudkan untuk mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. SM Simanjuntak
ikut dipanggil Dr Ferdinand agar datang ke Sibolga, bergabung dalam badan pergerakan
itu.
Ternyata,
sebelum janji kemerdekaan oleh Jepang itu terwujud, Bung Karno dan Bung Hatta
telah terlebih dulu memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 di Jakarta. Tapanuli Tsyu Hokokay bentukan Jepang kemudian dirobah menjadi
Komite Nasional Indonesia (KNI) sesuai instruksi pemerintah pusat, dan menunjuk
Dr Ferdinand Lumbantobing tetap sebagai ketua, dan SM Simanjuntak sekretaris.
Tak
lama setelah proklamasi kemerdekaan, tentara Belanda muncul kembali melakukan
agresi. Rakyat Indonesia, termasuk di Tapanuli serentak bangkit melawan,
dipelopori tokoh-tokoh pejuang militant yang siap mengorbankan nyawa, seperti
Dr Ferdinand Lumbantobing, SM Simanjuntak, Mr Rufinus Lumbantobing, Mr Humala
Silitonga, Raja Saul Tobing, dan lain-lain. Belakangan, SM Simanjuntak termasuk
salah satu tokoh pergerakan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh
tentara kerajaan Belanda, sejak periode agresi I tahun 1946 dan agresi II pada
1949.
Ada satu kejadian yang mengharukan pada akhir
tahun 1948, saat isteri SM Simanjuntak meninggal dunia di kampong Sosor
Panggabean Balige. Pada saat iringan jenazah almarhumah akan dikebumikan,
iringan pengantar jenazah dicegat tentara Belanda dan semua rombongan dirazia.
Tentara Belanda jadi kalap karena ternyata SM Simanjuntak yang dicari-cari tak
ditemukan di antara rombongan jenazah. Komandan tentara Belanda mengultimatum,
kalau SM Simanjuntak tidak menyerahkan diri, jenazah tak boleh dikebumikan.
Akhirnya SM Simanjuntak keluar dari dalam sebuah rumah adat yang ada di kampung
tersebut dan menyerahkan diri. Beliau kemudian dibawa paksa dan dimasukkan ke
penjara di Balige. Dengan penyerahan diri itu, barulah jenazah isterinya
diijinkan untuk dikebumikan.
Setelah
penyerahan kedaulatan RI, SM Simanjuntak masih terus bergerak di bidang
politik, tapi dengan motif mengisi kemerdekaan dengan pengabdian yang baru. SM
Simanjuntak menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Tapanuli
Utara, dan kemudian dipercayakan menjadi
Ketua DPRD-GR Tapanuli Utara antara tahun 1950 sampai 1955. Pada Pemilu pertama
tahun 1955, PNI memperoleh kemenangan. SM Siamanjuntak dilantik sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat RI sekaligus anggota Dewan konstituante Republik Indonesia
tahun 1955 sampai dengan dibubarkannya DPR-RI dan dewan Konstituante oleh
Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959.
PANDANGAN SM SIMANJUNTAK
Almarhum SM
Simanjuntak yang meninggal tahun 1986 pada usia 82 tahun, semasa hidupnya tetap
memberi perhatian terhadap perkembangan pemerintahan, khususnya Tapanuli Utara,
dari periode ke periode. Menurut almarhum, sebagaimana ditirukan putranya Ir
Sahala Simanjuntak, berbagai kemajuan telah dicapai dalam era pembangunan di
seluruh Indonesia, termasuk Kabupaten Tapanuli Utara.
Namun ada satu hal yang kerap dikritisi SM Simanjuntak. Menurutnya,
seperti dikutip penulis dari penuturan Ir Sahala Simanjuntak, bahwa salah satu
kelemahan yang perlu dicermati dalam konteks memajukan Tapanuli Utara (waktu
itu Taput masih mencakup Tobasa, Humbang Hasundutan, dan Samosir), adalah
kenyataan dimana aktivitas lebih tinggi dari produktivitas. Artinya,
produktivitas masih jalan di tempat, sementara aktivitas dalam berbagai bentuk
sangat menonjol.
Menurut
SM Simanjuntak,PAD (Pendapatan Asli Daerah) sulit mengalami kenaikan
signifikan, karena kurangnya perhatian dan pencermatan, bagaimana menggali
potensi-potensi yang ada untuk mendongkrak PAD.” Banyak yang terlena oleh
anggaran-anggaran pembangunan, karena hal itu memang hanya sebatas penyaluran
atau penggunaan secara operasional, tapi sangat minim upaya untuk meningkatkan
PAD”, demikian pandangan SM Simanjuntak seperti dituturkan putranya Ir Sahala
Simanjuntak.
Menurut
Ir Sahala Simanjuntak yang saat ini menggeluti seni arsitektur bangunan,
pandangan teoritis dari alm ayahnya itu, saat ini menjadi benar kalau dicermati
situasi kondisi yang real. Pada waktu ada ribut-ribut soal Peta Kemiskinan
Tapanuli, SM Simanjuntak juga menyatakan tak sependapat. Masalah utama,
menurutnya, bagaimana supaya potensi-potensi yang ada bisa dibangkitkan untuk
meningkatkan PAD, dan jangan terlena hanya oleh suntikan-suntikan dana bantuan
dari pusat atau dari provinsi. “Kalau masyarakat Tapanuli Utara kreatif, mau
bekerja keras, menghindarkan ketergantungan, mampu mandiri, niscaya kemiskinan
itu akan tersisihkan,” begitu pandangannya.
SM
Simanjuntak yang mahir berbahasa Belanda dan Jepang, banyak menelaah bacaan-
bacaan tentang perkembangan di luar negeri. Mengenai otonomi daerah, menurut
beliau, sesungguhnya otonomi itu akarnya sudah ada di huta (kampung).
Di kampung-kampung Batak, otonomi tercermin dari kemampuan warganya mengurus
diri sendiri. Justru itu praktek otonomi daerah perlu dilihat dalam sistem
kemandirian yang ada di sebuah huta. Keberhasilan otonomi sangat ditentukan
kokohnya kesatuan dan persatuan. Dulu, kesatuan dan persatuan itu rawan akibat
politik pecah belah Belanda. SM Simanjuntak terobsesi untuk merekatkan
persatuan dan kesatuan, saat menjadi pimpinan DPRD-GR dan Bupati Tapanuli
Utara.
Masih
menurut Sahala Simanjuntak, pada tahun 1950 an, Dalihan Na Tolu dimunculkan SM Simanjuntak dan kawan-kawan
menjadi sebuah program kerakyatan yang sangat popular, dan ternyata Dalihan Na
Tolu menjadi suatu system kultural Batak yang melekat hingga sekarang sebagai
filosofi kekerabatan masyarakat Batak.”Bapak almarhum sangat peduli pada
masalah-masalah kultur Batak, karena itu sangat getol menghidupkan nilai-nilai
yang terkandung dalam filosofi Dalihan Na Tolu”, tutur Sahala Simanjuntak.
SM
Simanjuntak menurut penuturan banyak kalangan, adalah prototip seorang bapak
yang bersahaja, baik dalam lingkungan keluarga maupun sebagai pejabat
pemerintahan. Kalau SM Simanjuntak dinilai keras, itu adalah terutama pada
hal-hal yang sifatnya menjajah. Sosok yang lebih tepat disebut tegas, idealis, dan konsisten berdiri di koridor falsafah dan pendiriannya. Barangkali itu sebabnya, SM Simanjuntak giat
ikut bergerilya bersama tokoh-tokoh sezamannya melakukan perlawanan terhadap
Belanda dan Jepang. Tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri dan keluarga.
Sia Marinus
Simanjuntak, sudah tiada. Tapi nilai-nilai luhur kejuangan yang melekat
pada pribadinya, dan pada perjalanan hidupnya fase demi fase, akan senantiasa
hadir menghiasi khazanah sejarah negeri Dalihan Na Tolu Tapanuli. (Leonardo TSS)
Biodata
Nama lengkap : Sia
Marinus Simanjuntak
Gelar : Ompu Taguru Raja II
Lahir : 1904, Di Sosor Panggabean, Tampahan, Balige
Isteri : Boru Siahaan/ Boru Napitupulu
Anak : 14 Orang (4 Laki-laki,10 perempuan)
* VM br Simanjuntak/DP Tampubolon (+)
* D.R br Simanjuntak/Kol.Pol.T.Siahaan
(+)
* SA br Simanjuntak/ MHM Siahaan (+)
* Ir ZP Simanjuntak (+)/Ep br Sianipar
* OB br Simanjuntak/ NP Pangaribuan (+)
* TH br Simanjuntak/ SPR Siahaan
* Salompoan AM Simanjuntak/Yetty
Sofietty
* PU br Smjuntak/ Drs OBH Sagala
* YR br Simanjuntak/ EL Tobing BcTT
* SH br Smjuntak/Brigjen TNI BM Hutapea
* MCJ br Smjuntak/ SM Sibuea
* Ir Sahala DK Smjuntak/ M br Tamb
* Drs Monang FS Smjuntak / Ir. R
br Pangaribuan
* RM br Simjuntak/ Ir TM Napitupulu
Cucu & Cicit : 105 orang
Pendidikan/ Karier : 1915 - Sekolah HIS di P.Siantar
1924
- Lulus HIS P.Siantar
1924
- Klerk ktr Ass Residen P.Siantar
1926
- Redaktur Sk “ Suara Kita” P.Siantar
1929
- Redaktur SK “ Persatoean” Tarutung
1934
- Redaktur Sk “ Zaman Kita”/”Timboel
1945-46 : Sekr.KNI
Tapanuli di Sibolga
1946-49 : Ketua
DPRD Tapanuli
1950-55 : Ketua
DPRD-GR Tapanuli Utara
1955-57
: Angg.DPRRI dan Dewan Konstituante
1957-58
: Pegawai Kmnterian Antar Daerah Jkt
1958 :
Bupati diprbantukan pada Kantor
Gubernur Sumut
1958-
63 : Bupati Kab.Tapanuli
Utara
1960 :
Pensiun dari PNS
1963 :
Pensiun sebagai pegawai Negara
1986 :
Meninggal dunia di Balige
Catatan: Kilas profil ini sudah diterbitkan Pemkab Tapanuli Utara dalam sebuah buku kumpulan memoar pejabat bupati Tapanuli Utara, meskipun figur yang terangkum belum semua lengkap. (editor SARINGAR.Net)