Di gunung yang runcing ini anak remaja sering uji nyali hiking. Foto: SARINGAR.Net Leonardo TS= |
Di Kecamatan Nassau Kabupaten Tobasa yang berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, ada beberapa gunung yang punya keunikan tersendiri. Salah satunya yang namanya Dolok (gunung) Batu Manumpak, yang terletak di Desa Batu Manumpak, sekitar 20 kilometer dari Kota Parsoburan, ibu kota Kecamatan Habinsaran. Infra struktur jalan menuju kawasan itu masih buruk, tapi pemerintah setempat sudah mulai membenahi.
Sebenarnya
gunung ini terlihat kecil, bentuknya agak runcing, tingginya
diperkirakan hanya sekitar 150 meter, berada di seputaran hutan yang
ditumbuhi pepohonan dan rumput ilalang lebat (lihat foto). Pada malam
hari, sepintas gunung itu terlihat angker, terutama pada saat bulan
purnama. Banyak penduduk sering dicekam rasa was-was, pada hal menurut
sejumlah warga gunung itu biaasa-biasa saja. Belum pernah ada kejadian
yang membuat gunung ini dianggap “berpenghuni”. Kalau misteri memang
kata leluhur di situ memang ada, tapi apa misteri itu kami juga tak
tahu, kata seorang warga bernama Tampubolon ketika kompasinaer singgah
di sana menunggu hujan reda.
Menurut
cerita seorang nenek di Desa Batu Manumpak, pernah tiga orang anak remaja hilang di sekitar gunung itu.
Warga pun panic mencari dua hari dua malam. Ada yang menganggap
anak-anak itu dilarikan siluman penunggu gunung. Dalam bahasa setempat
disebut “homang”. Dukun pintar pun ditanyai, tapi dukun bilang anak-anak
itu tidak benar dibawa siluman, melainkan sedang bermain-main di salah
satu kota di kawasan itu. Dua hari kemudian ketiga anak muda itu pulang
dalam keadaan segar bugar. Rupanya mereka dari kota Balige tanpa
pemberitahuan pada orang tua.
Gunung
Batu Manumpak, kecil-kecil ternyata punya keunikan atau keistimewaan
tersendiri khususnya bagi kaum muda. Gunung yang tampak kurus ini sering
dijadikan para remaja sebagai ajang uji nyali menjajal keberanian dan
ketrampilan hiking (mendaki gunung). Tak hanya remaja dari desa
itu yang sering berani-beranian naik ke gunung, juga remaja dari desa
lain sekitar Habinsaran. Hal seperti itu kerap dilakukan pada hari
minggu. Tak semua remaja berhasil sampai ke puncak, karena gunung batu
cadas itu terlihat mudah ternyata susah didaki setelah dicoba.
Rerumputan liar di sekitarnya termasuk penghalang membuat banyak remaja
tak mau ikut-ikutan mendaki.
Untuk
apa gunung itu didaki? tanya SARINGAR.NET. Seorang ibu tua menimpali,” ya
namanya anak muda, anggar jago supaya dibilang hebat.” Tapi si
Tampubolon membantah bahwa remaja naik ke gunung karena anggar jago.”
Mereka itu sebenarnya berolah raga meniru-niru yang ada di tv, sekali
gus merasakan kebanggaan telah pernah sampai di puncak,” katanya seraya
menunjuk ke arah gunung.
Sebagai
tanda pernah atau telah mampu “menaklukkan” gunung, anak-anak muda itu
membawa pertanda berupa bendera yang diikatkan pada sebilah kayu,
berukuran dua sampai empat meter. Ketika ada yang sampai ke atas,
bendera itu pun ditancapkan di tempat yang mudah terlihat dari bawah.
Bendera dalam jangka waktu cukup lama tampak berkibar ditiup angin.
“Minggu
lalu masih ada tiga bendera di atas itu, tapi mungkin sudah roboh ditiup
angin atau diterpa hujan deras, bendera itu tak kelihatan lagi,” kata
Tampubolon.
Kesimpulan jurnalis dengan cerita itu, ternyata setidaknya nilai-nilai heroisme
itu realitasnya juga ada di desa pedalaman yang jauh dari kota.
Nilai-nilai heroik itu bisa terpicu dari nonton film, dvd, atau apa
saja. Atau mungkin, karena memang di desa dengan alam orisinilnya,
spirit untuk memperjuangkan sesuatu begitu tinggi. Dalam arti, mereka
masih unggul dalam beberapa hal dari kita yang bermukim dengan ragam
gaya hidup modern di perkotaan. Mungkin ada yang berpikir, orang
menaklukkan Mount Everest, kita menaklukkan Batu Manumpak. Sama saja.
Namanya sama-sama gunung koq! (Simak artikel/berita khas aktual di Blog SARINGAR.Net -leonardotsjoentak.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar