Selasa, 03 Februari 2015

Pertama di Indonesia: Kenaikan Gaji PNS Jakarta Fantastis!



Gubernur "kontroversial" Ahok saat pelantikan pejabat
DKI Jakarta.(ist)=

  Mungkin gebrakan ini pertama di Indonesia, seperti komentar para pengamat kebijakan. Penaikan gaji PNS di DKI Jakarta tahun ini sangat fantastis. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama membuat kebijakan penaikan gaji beserta tunjangan mulai Rp 5 juta hingga puluhan juta rupiah. Tujuannya adalah meningkatkan profesionalitas kerja, memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, serta memangkas korupsi.

Perkiraan Gubernur Basuki, pada 2015 ini gaji PNS Jakarta beserta tunjangan kinerja daerah (TKD) mencapai Rp 12 juta per bulan untuk pegawai terendah. Pada 2016, Pemprov DKI Jakarta berencana menaikkannya menjadi Rp 25 juta.

Kebijakan semacam ini patut ditiru daerah-daerah lain. Bukan soal program remunerasi pegawai yang bertujuan untuk memberantas korupsi. Program remunerasi sudah bergulir di pemerintahan sejak gerakan reformasi birokrasi 2004. Yang bisa menjadi panutan dari upaya Pemprov DKI Jakarta adalah dalam hal mencari sumber dana penaikan penghasilan pegawai. Hal ini penting mengingat tidak semua pemerintah daerah bisa memanfaatkan APBD secara kreatif.

Gubernur Basuki dan jajarannya cukup cerdas mengotak-atik APBD DKI Jakarta. Penaikan gaji pegawai itu tidak diambil dari pemotongan anggaran pembangunan infrastruktur.

Mencoret anggaran honorarium dan uang pengawasan teknis senilai Rp 2,3 triliun adalah kejelian Basuki. Anggaran honorarium dan pengawasan teknis selama ini ditengarai menjadi incaran banyak pagawai.

Mereka begitu tergiur mendapatkannya karena memang diatur dalam peraturan daerah. Saking tergiur, tak sedikit oknum pegawai, bahkan pejabat, yang mendapatkannya dengan cara tak halal.

Proyek disusun, diusulkan kemudian dikerjakan bukan karena tujuan untuk kepentingan pembangunan, melainkan untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kroni. Tak mengherankan muncul permainan proyek di dalam APBD dan marak praktik pungutan liar maupun komisi.

Dengan pencoretan anggaran honorarium dan pengawasan teknis itu, kini seorang lurah bisa membawa pulang penghasilan Rp 33,7 juta. Gaji dan tunjangan seorang camat bisa mencapai Rp 44 juta, sedangkan seorang Kepala Dinas Provinsi maupun Walikota bisa sampai angka Rp 78 juta.

Langkah Basuki mengalokasikan anggaran honorarium dan uang pengawasan teknis untuk menambah penghasilan pegawai berprestasi sejatinya merupakan upaya membuat lebih transparan ’reward and punishment’ pegawai di lingkup Pemprov Jakarta. Ia tidak sedang menghamburkan uang rakyat dalam APBD untuk sekelompok orang di dalam birokrasi pemerintahannya. Sebaliknya, APBD digunakan seefektif mungkin, bukan hanya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan juga untuk memperbaiki mental birokrat.

Apa yang dilakukan Basuki bukan barang baru di lingkup birokrasi. Kita ingat pada 2007 pemerintah menaikkan tunjangan bagi pegawai di Kementerian Keuangan. Penaikan gaji yang cukup tinggi disebut oleh banyak kalangan tidak berbanding lurus dengan perilaku bersih para pegawai. Apalagi ketika beberapa pegawai pajak di kementerian itu ditangkap Kejaksaan maupun KPK karena kasus korupsi. Padahal, penaikan penghasilan dilakukan bertujuan mewujudkan birokrasi yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berkurangnya perilaku koruptif di kalangan PNS.

Pemprov DKI Jakarta akan mengalami hal serupa. Namun kita optimistis Jakarta bakal berhasil menggapai mimpi menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani rakyat bila sistem penilaian dan pengawasan berjalan ideal. Adalah tugas Basuki dan jajarannya menciptakan sistem dan mengawalnya.

Penilaian kerja berdasarkan kapasitas masing-masing bagian harus dilakukan secara kaku dan cenderung kasar (’zakelijk’). Mereka yang melanggar atau tidak bisa mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik mendapatkan sanksi. Sebaliknya, yang berprestasi akan mendapatkan penghargaan. Hal ini dilakukan dengan tanpa pandang bulu karena dibakukan dalam peraturan yang tegas dan transparan.

Apa yang ditunjukkan Basuki sejak ia menjadi Wakil Gubernur mendapingi Joko Widodo sampai ia duduk di kursi orang nomor satu Jakarta, cukup meyakinkan warga Jakarta bahwa janji Basuki akan mendepak mereka yang tak becus bekerja bukanlah omong kosong belaka. Beberapa pegawai sudah dicopot, mulai dari kepala sekolah, lurah, hingga kepala dinas. Ada juga yang mendapatkan promosi karena prestasi.

Kita menunggu konsistensi Basuki. Dalam rangkaian pemberian ’reward and punishment’ ini, kita pun menjadi mahfum ketika muncul wacana bahwa pegawai yang terlambat bakal didenda hingga Rp 500.000. Denda yang rasanya sangat besar harus dimengerti dalam konteks salah satu bagian penegakan disiplin pegawai.

Besaran denda tak perlu diperdebatkan, mengingat keterlambatan datang ke tempat kerja selama ini dianggap sebagai hal lumrah, bukan sebuah kesalahan. Diperlukan hentakan keras untuk mengubah ’mindset’ seperti ini. Bila hentakan itu adalah uang denda, maka besaran Rp 500.000 rasanya cukup terasa.

Kita mendukung Pemprov DKI yang mengunakan sistem laporan kinerja harian yang menentukan TKD dalam komponen penghasilan pegawai. Semakin rajin PNS maka semakin besar TKD dinamisnya.

PNS juga dinilai dari kehadirannya pada penilaian TKD statis. Termasuk di dalamnya adalah keterlambatan datang ke kantor, lebih cepat pulang, alfa, izin, dan sakit. Waktu setahun ini sekurangnya akan membuktikan apakah program Basuki ini akan berjalan efektif atau tidak.

Kita berharap, pemberian penghargaan layak berupa kenaikan penghasilan akan melahirkan pegawai-pegawai berkualitas karena lahir dari kompetisi di dalam birokrasi yang berdasar profesionalitas. Jaminan rasa keadilan pegawai terpenuhi karena yang berprestasi mendapatkan penghargaan dan yang tercela mendapakan sanksi.

Pada akhirnya penghargaan yang tersistem baik semacam ini akan mengubah sikap dan perilaku birokrat yang sebenarnya adalah pelayan masyarakat. *** ( opini sp/ls)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar