Di siang terik mandi keringat membuat arang (SARINGAR. Net/LS)= |
SARINGAR.Net- Arang, siapa yang tak tahu apa itu arang. Peribahasa lama pun ada menyebut benda yang satu ini: arang habis besi binasa. Tapi, bagaimana proses pembuatannya hingga jadi siap dibakar, tak semua orang tahu. Prosesnya tampaknya sederhana, tapi butuh energi dan kerja keras. Selain itu harus “siap bermandi keringat’, seperti dituturkan dua orang pembuat arang saat ditemui jurnalis online Leonardo Simanjuntak, di satu tempat di kawasan Desa Sisordak perbatasan Kecamatan Parmonangan-Sipoholon, Sumatera Utara, lebih kurang 250 kilometer dari Medan.
Secara umum, ada dua jenis arang yang biasa dikenal orang. Ada arang keranjang atau biasa juga disebut arang toko. Jenis
arang ini biasa di jual di toko kelontongan. Harga memang lebih mahal,
karena lebih berkualitas, lebih tahan lama, selain kandungan asap lebih
sedikit. Jenis yang kedua adalah arang goni. Sesuai namanya, arang yang
ini dijual per goni, walaupun bisa juga dibeli per kaleng. Jenis arang
goni lebih murah, karena terbuat dari kayu sembarang. Jenis arang goni
juga tidak sekeras arang keranjang, lebih lembek, dan lebih mudah habis.
Jenis arang ini lebih banyak mengeluarkan asap saat pembakaran.
Yang saya
tuturkan sekilas di sini, ya arang goni itu. Biasanya arang yang ini
lebih banyak digunakan para pedagang makanan ringan, yang butuh
pembakaran atau main panggang. Seperti pedagang sate, pedagang jagung
bakar, pemanas bakso, dan lain-lain. Sedangkan arang keranjang karena
dianggap lebih bermutu dan lebih aman dari kepulan asap, biasa dipakai
di resto-resto atau rumah makan yang agak berkelas di kota. Tapi apapun
jenisnya, tetaplah itu namanya arang. Dari dulu hingga kini masih tetap
berperan untuk banyak kebutuhan manusia, meski tentu saja penggunaannya
sudah berkurang pada era kemajuan sekarang ini.
Ada dua
orang pembuat arang yang masih konsisten, bahkan saya sebut militan,
namanya Hokkop Purba dan Purba di Desa itu. Saat saya
jalan-jalan ke Parmonangan, saya ketemu mereka di sebuah areal
perladangan sepi. Saat matahari terik membakar, dan angin seakan
berhenti berembus. Saat suasana begitu lengang, dan para pekebun
sepertinya istirahat dari kesibukan banting tulang di sawah dan ladang.
“Horas,
lae,” kata saya seraya memarkir sepeda motor di jalan tanah. Sapaan
akrab di daerah ini. Kedua pria itu sedang istirahat setelah makan
perbekalan yang dibawa dari rumah. Tak jauh dari jalan tanah itu
kelihatan asap mengepul tebal dari kayu-kayu yang dibakar di sekitar
area perladangan yang tak diusahai. Kami berkenalan, dan namanya orang
tapanuli, tentu saling menyebut marga. “Purba,” kata pria berkulit hitam
yang lebih muda.”Purba juga”, sebut pria yang lebih tua.
Meski
berbeda usia, satu hal terlihat sama. Ketangguhan dua sosok yang saban
hari bergelut diterpa angin pegunungan dan cahaya terik matahari yang
saat kemarau tak kenal ampun membakar apa saja di muka bumi. Bertubuh
kurus dan mata cekung, seperti umumnya penduduk desa kurang gizi. Itu
kesimpulan saya. Sorot mata yang kuyu dan kulit yang legam, menandakan
pekerja keras yang pantang menyerah.
Mereka
bercerita tentang kehidupan ini, apa adanya.”Kami sedang membuat arang,”
ujar Pangaribuan sambil mengisap rokoknya dengan santai, menyandar pada
sebatang kayu ekaliptus yang banyak tumbuh di sana-sini. Hokop Purba
baru menikah, masih beranak satu umur dua tahun. Sedang rekannya punya beberapa anak masih kecil. Selain membuat
arang, keduanya juga berkebun kopi, jagung, dan sesekali tanam cabe.
“Hidup di desa ini sulit, mana sempat santai, kecuali saat begini
istirahat sejenak, sebentar lagi juga sudah harus dipanggang matahari,”
kata Hokop Purba yang berperawakan kecil.
Bagaimana
cara membuat arang? Keduanya bergantian cerita secara terbuka dan
familiar. Untuk membuat arang goni, mereka harus mencari kayu sembarang,
di seputaran hutan di areal itu yang masih cukup luas. Kayu atau dahan
yang seukuran broti tiang hingga yang ukuran tiga kali ukuran tebu,
dipotong-potong dan dikumpulkan dekat tanah yang sudah dilubangi. Ukuran
lubang dibuat sekitar 3x 4 meter, dengan kedalaman satu setengah hingga
dua setengah meter, dibentuk dengan petak segi empat. Selanjutnya
potongan-potongan kayu itu dimasukkan ke dalam lubang dibuat bertingkat,
tak terlalu rapat, setelah di bawahnya dilapisi ranting-ranting dan
dedaunan kering yang mudah terbakar. Setelah itu dilapisi lagi dengan
dedaunan dan ranting kering dari atas. Kalau itu sudah siap, tinggal
membakar. Kalau tak ada minyak tanah, sering juga dibantu dengan
penggalan-penggalan kayu tusam diselipkan di sekitar potongan kayu yang
akan dibakar. Saat mencari kayu sebagai bahan sudah setengah mati,
apalagi kalau lokasinya agak jauh. Mereka harus berjibaku mengangkut ke
lokasi pembakaran. Saat matahari sedang terik, mereka setiap hari harus
bermandikan keringat. Sehelai handuk kecil tak lekang dikalungkan di
leher, untuk mengusap cucuran keringat yang tiada henti.
Setelah
potongan kayu dibakar, bukan berarti tugas selesai. Mereka harus rajin
mengecek apa apinya terus nyala di dalam lubang. Hati galau akan
terjadi, manakala hujan turun. Itu akan mengganggu proses pembakaran
kayu. Apa lagi kalau hujannya deras, bisa membuat lubang banjir jadi
sumur buatan. Makanya, saat pembakaran selalu diwanti-wanti apa cuaca
sedang bersahabat atau tidak. Sukses pembuatan arang hanya terjadi
ketika musim kemarau panjang.
Masih
menurut Purba dan Pangaribuan, proses pembakaran itu biasanya menunggu
tiga hingga empat hari. Pada hari yang ditentukan, mereka meninjau
lokasi pembakaran, membuka tanah dan dedaunan penutup di atas lubang.
Tampaklah kayu sudah pada gosong, tinggal membentuknya menjadi potongan
sesuai ukuran dengan cara dipukuli dengan kayu atau apa saja. Setelah
semuanya selesai, tinggal memilah-milah potongan-potongan yang sudah
jadi arang, dimasukkan ke dalam goni. Potongan-potongan arang terkecil
berserakan pada lantai bawah lubang, itupun dipilih kembali digabung
dengan arang berukuran standar. Lalu pada bagian mulut goni ditutupi
dengan dedaunan bernama daun arsam, sebelum dijahit dengan tali plastik.
Berapa
harga satu goni?” tanya kompasianer yang hobi jalan-jalan ke pedesaan.
“Dulu satu goni itu kami jual ke toke penampung Rp 70 ribu, sekarang
sudah naik jadi Rp 100 ribu per goni,” terang Pangaribuan seraya
menyeruput kopi dingin dari cangkir besar berwarna biru. Tapi kalau
mereka jual ke pedagang yang akan menjual lagi, biasanya dikasi lebih
murah, hanya Rp 70 ribu per goni. Lalu pedagang penjual akan menjualnya
ke pembeli bisa Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu. Ada juga pengguna yang
langsung datang membeli atau memesan ke pembuat arang agar harganya bisa
lebih murah.
Kata Purba,
di daerah ini arang masih berperan penting bagi banyak orang. Khususnya
bagi ibu yang sedang melahirkan. Sesuai kebiasaan leluhur, biasanya ibu
melahirkan di kampong-kampung masih menggunakan arang untuk memanaskan
punggung dan pinggang ibu melahirkan, sekaligus melawan hawa dingin.
Hinggang kini masih ada penduduk desa yang menerapkan cara itu, meski
zaman sudah super modern. Arang dimasukkan ke dalam sebuah kaleng, dan
dua sisi kaleng diberi lubang angin. Lewat lubang angin itu panas yang
ditransfer dari bara arang dalam kaleng akan menghangati punggung ibu
melahirkan.
Memang,
itulah kehidupan manusia. Banyak cara yang dilakukan untuk menjalani dan
mempertahankan hidup. Sementara banyak orang kota tak lagi ingat arang,
toh masih banyak yang menggantungkan usahanya dengan bahan arang.
Lihatlah itu tukang jual sate, dimana pun mereka menjajakan satenya,
harus siapkan arang sebagai bahan bakar utama. Wanginya daging kambing
atau daging sapi saat dibakar dengan arang setelah ditetesi minyak
khusus pewangi, wah…membuat perut ini tiba-tiba lapaaar…!
Sayang sekali bila ajal sudah tiba. Beberapa bulan setelah liputan ini ditayangkan, Hokkop Purba sang pembuat arang itu, terkabar sudah meninggal dunia. Maka berkuranglah salah satu pekerja ulet yang masih mau bermandi keringat membuat arang. (Juga tayang di Kompas.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar