Kamis, 26 Februari 2015

KILAS : SM Simanjuntak, Sosok Wartawan Pejuang Jadi Bupati


Ir Sahala Simanjuntak sosok pengamat dan budayawan Toba, salah satu
putra SM Simanjuntak yg tinggal di Tampahan, Balige.(Foto:Leonardo TSS)

Sia Marinus Simanjuntak (dok.Leonardo TSS)=
 SM Simanjuntak
( Periode 1958-1963)

          Tidak banyak orang berlatar jurnalistik (wartawan) yang bisa menjadi pejabat formal pemerintahan, apalagi menjadi pemimpin formal. Di Indonesia, figur seperti itu masih sehitungan jari. Di level atas sebut misalnya alm Adam Malik, wartawan yang meroket menjadi Wakil Presiden. Harmoko yang menjadi Menteri Penerangan di era kekuasaan rezim Soeharto. Atau sebut juga BM Diah pemilik suratkabar “Merdeka” yang juga pernah menjabat Menteri Penerangan di era Soekarno.
          Di jajaran setingkat Bupati, SM Simanjuntak adalah salah satunya. Mantan Bupati Tapanuli Utara periode 1958-1963 ini di masa mudanya dikenal sebagai praktisi jurnalistik, sebelum terjun menjadi politisi pejuang zaman penjajahan. SM Simanjuntak menjadi redaktur suratkabar “Suara Kita” di P.Siantar (1926-1927), redaktur suratkabar ‘Persatoean” di Tarutung (1929-1930), redaktur suratkabar “Zaman Kita” dan suratkabar “Timboel” di P.Siantar (1934-1941).
          Almarhum yang nama lengkapnya Sia Marinus Simanjuntak bergelar Ompu Taguru Raja II, pada masa mudanya sudah menjunjukkan jiwa patriotisme.Itu dibuktikan dengan sepak terjangnya ikut bergabung dengan tentara pejuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Nama SM Simanjuntak banyak disebut-sebut dalam berbagai tulisan menyangkut perjuangan kemerdekaan di Tapanuli. Dalam buku besar “Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara” yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera Jakarta (1979), nama SM Simanjuntak disebut sebagai salah satu tokoh pejuang yang proaktif sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan RI. Dalam pembentukan KNI (Komite Nasional Indonesia), SM Simanjuntak
ikut punya andil seperti halnya Mr Rufinus Lumbantobing, dr Luhut Lumbantobing, Mr Humala Silitonga, Tagor Lumbantobing, Raja Saul Lumbantobing, Abisai Hutabarat, dan banyak tokoh pejuang lainnya.
        SM Simanjuntak menurut data sejarah pemerintahan Tapanuli Utara menjabat Bupati sejak 1 Agustus 1958 s/d 30 Juni 1963. Sebelumnya, almarhum juga pernah menjadi Ketua DPRD-GR Tapanuli Utara periode 1950 – 1955, dan anggota DPR-RI dan Dewan Konstituante di Jakarta tahun 1955- 1957.
          SM Simanjuntak  lahir pada 1904 di Kampung Sosor Panggabean Lintong Tampahan, Balige. Beliau anak sulung dari 7 (tujuh) bersaudara, dari perkawinan ayahnya Kepala Kampung Raja Jeremias Simanjuntak dan ibu Salonta br Napitupulu. SM Simanjuntak menikah dengan br Siahaan dan br Napitupulu, dan dikaruniai 14 orang anak, dan lebih seratus orang cucu sampai cicit. Dari ke 14 anaknya, seorang di antaranya yakni Ir Sahala DK Simanjuntak yang beristerikan M br Tambunan menetap di Balige, menempati rumah keluarga yang bersejarah di jalan Bukit Barisan III No 18. Dari sekian banyak pomparannya, umumnya berhasil, baik dalam pendidikan dan karier di swasta maupun pemerintahan/TNI. Di antara menantunya adalah DP Tampubolon (alm), Kol.Pol. T.Siahaan (alm), Brigjen TNI BM Hutapea, Drs OBH Sagala. Beberapa dari cucunya juga tergolong orang-orang intelektual, seperti Prof.Dr MP Tampubolon,MM, Drs PM Napitupulu MM, Ir TM Pardede, JP Simanjuntak SH,Mangiring Siahaan SH di Kejati Papua, Mayor CKH TNI-AD DP Sagala SH,MM.

DI BAWAH BENDERA MERAH PUTIH
          Seputar perjalanan hidup dan pengabdian SM Simanjuntak, banyak diceritakan putranya yang ke 12, Ir Sahala Simanjuntak, ketika ditemui penulis/editor di Balige (Rabu, 9 Januari 2008), seraya memberikan catatan berisi memoar singkat almarhum SM Simanjuntak. Sebuah tulisan cukup menarik bertajuk Di bawah Bendera Merah Putih, dituliskan oleh keturunannya (SM Simanjuntak Jr), sebagai catatan kenangan saat peringatan 100 Tahun SM Simanjuntak di Balige tanggal 11 Oktober 2004.
          Toean SM Simanjoentak Soedah Ditangkap”. Demikian headline halaman muka suratkabar Bendera Kita, yang terbit di Pematang Siantar pada 1931. Isi kliping suratkabar tersebut memang sudah sulit dibaca karena kertasnya sudah sangat lusuh, dan sudah berulangkali difotocopi. Namun dari sebagian teks yang masih bisa dibaca, tercermin semangat perlawanan kaum pribumi menentang penjajah Belanda pada masa itu.
          Dengan fasilitas sebagai anak seorang Kepala Kampung, SM Simanjuntak memperoleh rekomendasi dari controleur (konteler) Belanda di Toba untuk masuk HIS di Pematang Siantar pada tahun 1915. Setelah tamat HIS di Siantar pada 1924, beliau memasuki bidang jurnalistik memenuhi panggilan jiwanya. Motif utama menjadi wartawan adalah panggilan semangat juang menentang Belanda. SM Simanjuntak kemudian dipercayakan menjadi anggota redaksi suratkabar Soeara Kita  di P.Siantar tahun 1926, dari sana menjadi redakteur suratkabar Persatoean di Tarutung tahun 1928 sampai 1931.
          Tetapi menjadi wartawan di jaman penjajahan harus menghadapi banyak rintangan. Akibat tulisan-tulisan SM Simanjuntak yang kerap mengkritisi Belanda, ia ditangkap dan dipenjarakan di Tarutung. Keluar dari penjara, SM Simanjuntak tidak lantas jera menjadi jurnalis. Pada tahun 1934, beliau menjadi staf redaksi suratkabar Zaman Kita di P.Siantar sampai tahun 1941, selain ikut menulis di koran Timboel.
          Berikutnya, pada 1941, bersamaan dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia, gerakan para wartawan dikekang bahkan dilarang tentara Jepang, karena mungkin dianggap kegiatan memprovokasi rakyat. Suratkabar Zaman Kita  dan Timboel, dilarang terbit. Sejak itu SM Simanjuntak hanya melakukan pergerakan bawah tanah bersama kawan-kawannya seperjuangan. Menjelang akhir 1941, tentara Jepang membentuk badan pergerakan yang dinamakan Tapanuli Tsyu Hokokay. Ketuanya adalah Dr Ferdinand Lumbantobing dibantu Abdul Hakim dan Patuan Natigor Lumbantobing di Sibolga, ibukota Keresidenan Tapanuli setelah dipindahkan dari Tarutung.Badan tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. SM Simanjuntak ikut dipanggil Dr Ferdinand agar datang ke Sibolga, bergabung dalam badan pergerakan itu.
          Ternyata, sebelum janji kemerdekaan oleh Jepang itu terwujud, Bung Karno dan Bung Hatta telah terlebih dulu memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Tapanuli Tsyu Hokokay  bentukan Jepang kemudian dirobah menjadi Komite Nasional Indonesia (KNI) sesuai instruksi pemerintah pusat, dan menunjuk Dr Ferdinand Lumbantobing tetap sebagai ketua, dan SM Simanjuntak sekretaris.
          Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, tentara Belanda muncul kembali melakukan agresi. Rakyat Indonesia, termasuk di Tapanuli serentak bangkit melawan, dipelopori tokoh-tokoh pejuang militant yang siap mengorbankan nyawa, seperti Dr Ferdinand Lumbantobing, SM Simanjuntak, Mr Rufinus Lumbantobing, Mr Humala Silitonga, Raja Saul Tobing, dan lain-lain. Belakangan, SM Simanjuntak termasuk salah satu tokoh pergerakan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh tentara kerajaan Belanda, sejak periode agresi I tahun 1946 dan agresi II pada 1949.
           Ada satu kejadian yang mengharukan pada akhir tahun 1948, saat isteri SM Simanjuntak meninggal dunia di kampong Sosor Panggabean Balige. Pada saat iringan jenazah almarhumah akan dikebumikan, iringan pengantar jenazah dicegat tentara Belanda dan semua rombongan dirazia. Tentara Belanda jadi kalap karena ternyata SM Simanjuntak yang dicari-cari tak ditemukan di antara rombongan jenazah. Komandan tentara Belanda mengultimatum, kalau SM Simanjuntak tidak menyerahkan diri, jenazah tak boleh dikebumikan. Akhirnya SM Simanjuntak keluar dari dalam sebuah rumah adat yang ada di kampung tersebut dan menyerahkan diri. Beliau kemudian dibawa paksa dan dimasukkan ke penjara di Balige. Dengan penyerahan diri itu, barulah jenazah isterinya diijinkan untuk dikebumikan.
          Setelah penyerahan kedaulatan RI, SM Simanjuntak masih terus bergerak di bidang politik, tapi dengan motif mengisi kemerdekaan dengan pengabdian yang baru. SM Simanjuntak menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Tapanuli Utara, dan kemudian  dipercayakan menjadi Ketua DPRD-GR Tapanuli Utara antara tahun 1950 sampai 1955. Pada Pemilu pertama tahun 1955, PNI memperoleh kemenangan. SM Siamanjuntak dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI sekaligus anggota Dewan konstituante Republik Indonesia tahun 1955 sampai dengan dibubarkannya DPR-RI dan dewan Konstituante oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959.

PANDANGAN SM SIMANJUNTAK
           Almarhum SM Simanjuntak yang meninggal tahun 1986 pada usia 82 tahun, semasa hidupnya tetap memberi perhatian terhadap perkembangan pemerintahan, khususnya Tapanuli Utara, dari periode ke periode. Menurut almarhum, sebagaimana ditirukan putranya Ir Sahala Simanjuntak, berbagai kemajuan telah dicapai dalam era pembangunan di seluruh Indonesia, termasuk Kabupaten Tapanuli Utara.

         Namun ada satu hal yang kerap dikritisi SM Simanjuntak. Menurutnya, seperti dikutip penulis dari penuturan Ir Sahala Simanjuntak, bahwa salah satu kelemahan yang perlu dicermati dalam konteks memajukan Tapanuli Utara (waktu itu Taput masih mencakup Tobasa, Humbang Hasundutan, dan Samosir), adalah kenyataan dimana aktivitas lebih tinggi dari produktivitas. Artinya, produktivitas masih jalan di tempat, sementara aktivitas dalam berbagai bentuk sangat menonjol.
          Menurut SM Simanjuntak,PAD (Pendapatan Asli Daerah) sulit mengalami kenaikan signifikan, karena kurangnya perhatian dan pencermatan, bagaimana menggali potensi-potensi yang ada untuk mendongkrak PAD.” Banyak yang terlena oleh anggaran-anggaran pembangunan, karena hal itu memang hanya sebatas penyaluran atau penggunaan secara operasional, tapi sangat minim upaya untuk meningkatkan PAD”, demikian pandangan SM Simanjuntak seperti dituturkan putranya Ir Sahala Simanjuntak.
          Menurut Ir Sahala Simanjuntak yang saat ini menggeluti seni arsitektur bangunan, pandangan teoritis dari alm ayahnya itu, saat ini menjadi benar kalau dicermati situasi kondisi yang real. Pada waktu ada ribut-ribut soal Peta Kemiskinan Tapanuli, SM Simanjuntak juga menyatakan tak sependapat. Masalah utama, menurutnya, bagaimana supaya potensi-potensi yang ada bisa dibangkitkan untuk meningkatkan PAD, dan jangan terlena hanya oleh suntikan-suntikan dana bantuan dari pusat atau dari provinsi. “Kalau masyarakat Tapanuli Utara kreatif, mau bekerja keras, menghindarkan ketergantungan, mampu mandiri, niscaya kemiskinan itu akan tersisihkan,” begitu pandangannya.
          SM Simanjuntak yang mahir berbahasa Belanda dan Jepang, banyak menelaah bacaan- bacaan tentang perkembangan di luar negeri. Mengenai otonomi daerah, menurut beliau, sesungguhnya otonomi itu akarnya sudah ada di huta (kampung). Di kampung-kampung Batak, otonomi tercermin dari kemampuan warganya mengurus diri sendiri. Justru itu praktek otonomi daerah perlu dilihat dalam sistem kemandirian yang ada di sebuah huta. Keberhasilan otonomi sangat ditentukan kokohnya kesatuan dan persatuan. Dulu, kesatuan dan persatuan itu rawan akibat politik pecah belah Belanda. SM Simanjuntak terobsesi untuk merekatkan persatuan dan kesatuan, saat menjadi pimpinan DPRD-GR dan Bupati Tapanuli Utara.
          Masih menurut Sahala Simanjuntak, pada tahun 1950 an, Dalihan Na Tolu  dimunculkan SM Simanjuntak dan kawan-kawan menjadi sebuah program kerakyatan yang sangat popular, dan ternyata Dalihan Na Tolu menjadi suatu system kultural Batak yang melekat hingga sekarang sebagai filosofi kekerabatan masyarakat Batak.”Bapak almarhum sangat peduli pada masalah-masalah kultur Batak, karena itu sangat getol menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi Dalihan Na Tolu”, tutur Sahala Simanjuntak.
          SM Simanjuntak menurut penuturan banyak kalangan, adalah prototip seorang bapak yang bersahaja, baik dalam lingkungan keluarga maupun sebagai pejabat pemerintahan. Kalau SM Simanjuntak dinilai keras, itu adalah terutama pada hal-hal yang sifatnya menjajah. Sosok yang lebih tepat disebut tegas, idealis, dan konsisten berdiri di koridor falsafah dan pendiriannya. Barangkali itu sebabnya, SM Simanjuntak giat ikut bergerilya bersama tokoh-tokoh sezamannya melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Jepang. Tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri dan keluarga.
          Sia Marinus Simanjuntak, sudah tiada. Tapi nilai-nilai luhur kejuangan yang melekat pada pribadinya, dan pada perjalanan hidupnya fase demi fase, akan senantiasa hadir menghiasi khazanah sejarah negeri Dalihan Na Tolu Tapanuli. (Leonardo TSS)


    Biodata

Nama lengkap    :  Sia Marinus Simanjuntak
Gelar                 : Ompu Taguru Raja II
Lahir                  :  1904, Di Sosor Panggabean, Tampahan, Balige
Isteri                  : Boru Siahaan/ Boru Napitupulu
Anak                  : 14 Orang (4 Laki-laki,10 perempuan)
                                                *           VM br Simanjuntak/DP Tampubolon (+)
                                                *           D.R br Simanjuntak/Kol.Pol.T.Siahaan (+)
                                                *           SA br Simanjuntak/ MHM Siahaan (+)
                                                *           Ir ZP Simanjuntak (+)/Ep br Sianipar
                                                *           OB br Simanjuntak/ NP Pangaribuan (+)
                                                *           TH br Simanjuntak/ SPR Siahaan
                                                *           Salompoan AM Simanjuntak/Yetty Sofietty
                                                *           PU br Smjuntak/ Drs OBH Sagala
                                                *           YR br Simanjuntak/ EL Tobing BcTT
                                                *           SH br Smjuntak/Brigjen TNI BM Hutapea
                                                *           MCJ br Smjuntak/ SM Sibuea
                                                *           Ir Sahala DK Smjuntak/ M br Tamb
                                                *           Drs Monang FS Smjuntak / Ir. R br  Pangaribuan
                                                *           RM br Simjuntak/ Ir TM Napitupulu
Cucu & Cicit                         :   105 orang
Pendidikan/ Karier                :   1915 - Sekolah HIS di P.Siantar
                                                1924 - Lulus HIS P.Siantar
                                                1924 - Klerk ktr Ass Residen P.Siantar
                                                1926 - Redaktur Sk “ Suara Kita” P.Siantar
                                                1929 - Redaktur SK “ Persatoean” Tarutung
                                                1934 - Redaktur Sk “ Zaman Kita”/”Timboel
                                                1945-46           :           Sekr.KNI Tapanuli di Sibolga
                                                1946-49           :           Ketua DPRD Tapanuli
                                                1950-55           :           Ketua DPRD-GR Tapanuli Utara
                                                                        1955-57           :           Angg.DPRRI dan Dewan             Konstituante
                                                                        1957-58           :           Pegawai Kmnterian Antar Daerah Jkt
                                                                        1958                :           Bupati diprbantukan pada Kantor Gubernur Sumut
                                                                        1958- 63          :           Bupati  Kab.Tapanuli Utara
                                                                        1960                :           Pensiun dari PNS
                                                                        1963                :           Pensiun sebagai pegawai    Negara
                                                                        1986                :           Meninggal dunia di Balige


 Catatan: Kilas profil ini sudah diterbitkan Pemkab Tapanuli Utara dalam sebuah buku kumpulan memoar pejabat bupati Tapanuli Utara, meskipun figur yang terangkum belum semua lengkap. (editor SARINGAR.Net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar