SAMPAI JUMPA KEMBALI. Itulah judul singkat tulisan Aristides Katoppo, salah satu dedengkot Harian Sinar Harapan pada 31 Desember 2015 lalu. Tulisan sederhana tapi sarat makna keprihatinan yang mendalam, seolah mewakili sekian banyak simpatisan koran yang awalnya menyuarakan tema kekristenan itu. Seorang rekan melontar tanya pada saya, kenapa ikhwal matinya sebuah koran Sinar Harapan begitu penting dimuat pada blog Batakindonews? Dengan senyum hambar saya hanya menjawab singkat," semasa muda dulu, saya suka membaca Sinar Harapan, bahkan pernah menyumbang beberapa tulisan feature pada tahun 80an, dan saya pernah menerima beberapa kali honor untuk itu. Saya ikut menundukkan kepala jika koran yang saya nilai terbaik di Indonesia selain Kompas itu, benar-benar sudah tamat setelah beberapa kali jatuh bangun mewarnai romantika persuratkabaran di Indonesia. Tapi mungkin, sekadar menghibur hati siapa saja yang mengalami kesedihan itu saya hanya bisa mengulang satu kalimat stimulans " Kita boleh kehilangan apa saja dalam hidup ini, tetapi bukan harapan." Di bawah ini kami turunkan catatan Aristides Katoppo seutuhnya dicuplik dari Sinar Harapan.Co:
*
Sinar Harapan mulai terbit lebih dari setengah abad
lalu, yakni 27 April 1961, dengan moto “Memperdjoangkan kebenaran dan keadilan,
kebebasan dan perdamaian berdasarkan kasih.” Niatnya waktu itu agar dalam
suasana negara yang dilanda prahara, pelbagai benturan, dan pertikaian; ada
suara sejuk yang tidak hanya menganut paham “politik adalah panglima”.
Sebagai surat kabar, Sinar Harapan merekam
peristiwa dan kejadian dengan sudut pandang memberi suara kepada semua pihak
yang berbeda-beda, termasuk yang tidak disukai pihak yang sedang berkuasa. Sinar
Harapan berupaya bersikap inklusif, menghormati, dan menghargai
keindonesiaan yang multikultural dan pluralistik. Sinar Harapan mengartikan
persatuan bukan sebagai penyeragaman (unity bukan uniformity).
Upaya dan niat sebagai surat kabar agar berperan
serta sebagai katalisator pembaruan kehidupan bangsa dan masyarakat tidak
selalu mulus. Contohnya ketika memprakarsai pentingnya desentralisasi kekuasaan
dari pusat agar perlu ditumbuhkannya otonomi daerah, perimbangan antara
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ternyata ini dianggap prematur.
Akibatnya pada usia 25 tahun (1986), Sinar
Harapan dianggap offside. Selanjutnya harian ini harus terbit dengan
nama baru dan pucuk pemimpin baru. Barulah setelah tumbangnya Orde Baru, waktu
Reformasi, koran ini bisa tampil kembali dengan nama yang tadinya hendak
ditiadakan.
Beberapa bulan lalu, saya diminta hadir pada acara
pemilihan direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bali. Saya dijemput beberapa
pengacara muda, salah satu di antaranya lulusan universitas terkemuka di Jawa.
Ia mengatakan, waktu diminta pulang kampung oleh orang tuanya, orang tuanya
kaget sewaktu mengetahui ia bergabung dengan LBH.
Ia menceritakan, selama di fakultas, selain dilatih
ilmu hukum, ia juga diimbau selalu berdasi, mempersiapkan diri jadi pengacara
yang akan jadi kaya raya, melayani yang berkuasa dan kaya-kaya. Kalau bisa,
bukan cuma punya mobil Jaguar, tapi sampai Bentley. Betapa kagetnya setelah
bergabung dengan LBH, ternyata ia harus melayani masyarakat kere, bahkan harus
memberi sumbangan uang transportasi.
“Pakaian pun disesuaikan, tak patut berjas dan
dasi. Tapi ternyata, saya bukan hanya tertarik. Saya asyik dan senang. Saya belum
kasih tahu orang tua, tapi saya mau tetap lakukan ini,” ucapnya.
Ternyata di antara yang muda, masih ada yang
berkiblat pada panggilan idealisme, siap untuk tidak cepat kaya dan keren; tapi
bangga dengan cita-cita, dedikasi, dan nurani. Memang ini pilihan. Mungkin ini
makin langka. Di tengah arus materialisme yang memburu kekayaan dengan segala
cara, pilihan itu membuat mereka cerah, bangga, dan bahagia.
Sinar Harapan dari dulu
terbuka terhadap sikap dan pilihan itu. Sinar Harapan akrab dan peduli
kepada yang memilih dedikasi, integritas, dan nurani.
Kepuasan diperoleh bukan karena memiliki mobil
Rolls Royce, melainkan karena pengabdian kepada kepentingan umum, yang
kebetulan kebanyakan merupakan lapisan masyarakat jelata yang miskin. Ternyata
tidak sedikit orang kaya mengagumi pilihan sikap itu dan diam-diam menjadi
donatur tetap.
Jelang akhir 2015, sangat disayangkan, di tengah
melajunya komersialisme, Sinar Harapan tidak dapat bertahan dan mulai
tahun depan berhenti terbit sebagai surat kabar harian yang dicetak sore hari.
Banyak pihak kecewa dan menyayangkan. Mereka bertanya: Apa masih ada harapan?
Sebenarnya, dalam pertanyaan itu tersimpul peluangnya.
Syukur dan Terima Kasih
Ada cerita tentang pemberian para dewa kepada
manusia dalam mitologi Yunani. Manusia diberikan bermacam-macam kepintaran,
seperti akal sehat, kemampuan teknologi, melukis yang bagus, menyanyi, dan
menari. Hal yang tidak diberikan adalah segala sifat dan keadaan buruk, seperti
iri hati, cemburu, serakah, ingin berkuasa, ingin kaya raya tanpa bagi-bagi,
egosentris, segala macam penyakit, dan berbagai hal yang membuat manusia
menderita. Para dewa menyimpan segala keburukan itu dalam sebuah kotak di kuil.
Para dewa berpesan kepada manusia untuk tidak
membuka kotak tersebut. Namun, manusia ingin tahu, mereka nakal. Dibukalah
kotak tersebut maka keluarlah segala macam penderitaan, penyakit, dan sifat
buruk. Manusia tersiksa karena perbuatannya sendiri.
Akan tetapi, saking sayangnya para dewa kepada
manusia, masih ada satu yang tersisa dan terakhir dikeluarkan, yaitu harapan.
Harapan sengaja disediakan sebagai perisai ampuh. Pesannya, ketika semua
kondisi buruk melanda, berpeganglah pada harapan. Dengan harapan, manusia bisa
bangkit lagi dan bertahan.
Karena itu, ketika kita dilanda bermacam-macam
krisis, kita selalu diingatkan supaya tidak boleh menghilangkan harapan.
Mungkin suatu saat nanti, hanya itu yang kita miliki. Harapan itu harus dicari,
ditemukan, ditebar, ditumbuhkan, dipupuk, dirawat, dan dikembangkan secara terus-menerus.
Marilah kita mengakhiri tahun 2015 dengan penuh
syukur dan terima kasih. Mohon maaf atas segala kekurangan, kealpaan,
kekhilafan, dan kesalahan. Marilah songsong 2016 dengan doa dan keyakinan bahwa
harapan tetap melambai dan bersinar. Seperti halnya hukum kekekalan energi,
energi tidak bisa dihilangkan, tetapi hanya berubah wujud.
Jika orang Jepang menyebut sayonara, orang Jerman
menyebut auf wiedersehen, orang Inggris mengatakan good bye atau see you again;
Sinar Harapan mengucapkan, “sampai jumpa” 2016. Kita yakin: yang kita
kasihi dan yang mengasihi kita akan selalu bersama kita.
(Aristides Katoppo)
Sumber : Sinar Harapan