Disarikan: Sihar Ramses Simatupang *
Kalau soal media massa
terancam, sudah sejak dulu begitu. Media massa nasional, harian
dan majalah pun di Eropa, Asia, dan Amerika mati. Mereka
semua beralih ke daring atau online.
Di Indonesia, media massa
cetak rontok tak terhindarkan. Jalan keluarnya bagi pemiliki modal besar
adalah diversifikasi usaha, membuka penerbitan lain, percetakan, nonmedia
seperti usaha membuka hotel.
Itulah yang terjadi pada
grup Tempo, Femina atau Kompas,
misalnya. Meski itu pun tak terlampau menolong karena media cetaknya tetap saja
kewalahan.
Sementara itu, Sinar Harapan dilihat dari kondisinya tak memiliki modal untuk diversifikasi usaha, melainkan bekerja dengan mengandalkan oplah dan iklan. Beratnya lagi, oplah dikalahkan oleh media massa online dan televisi. Dari segi iklan jatah media massa cetak tergerus televisi yang sekarang banyak jumlahnya dan berekspansi secara kuat. Televisi baik televisi asing, internasional maupun di daerah, berebut kue iklan lokal. Kue yang besar, tapi semutnya pun semakin banyak. Semut raksasa yang berkongkalikong antarsesama pengusaha. Ada juga oligarki politik terlibat di dunia media massa.
Pemerintah pun tak melakukan kebijakan signifikan melindungi dan memproteksi media cetak dan melakukan pembiaran. Padahal, ini bukan natural karena ada permainan konspirasi, oligarki, kongkalikong. Posisi moral media cetak yang mempertahankan idealisme jurnalistik sebagai wakil dari suara publik karena tak berdasarkan rating ini, seharusnya dipertahankan oleh pemerintah. Di antara banyak media massa cetak, sedikit media cetak yang hidup bukan semata berdasarkan tiras, tapi berdasarkan idealisme, adalah Sinar Harapan. Media ini tak berdasarkan tiras, tapi berdasarkan idealisme. Di media lain, tiraslah yang menciptakan isi.
Gugurnya media seperti Sinar Harapan, bukan di luar dugaan saya. Tapi tetap saja merasa pilu, sedih berkepanjangan karena peran dan posisi media ini yang telah ditetapkan selama ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga berkebudayaan, cukup penting. Bersama media lain yang cukup panjang usianya seperti Kompas, sedikit media itulah yang mempertahankan idealisme yang orisinal, asli, sejak awal dipertahankan.
Selain tiras, media massa kuning berusaha bertahan dengan bergantung pada gosip dan sensasi. Sayangnya, keluhuran cita-cita berkebangsaan dan cita-cita berkebudayaan itu harus tumbang dikalahkan represivitas dan ekspansi media modern yang tak peduli lagi dengan idealisme karena yang penting bagi mereka adalah uang, dengan cara apa pun, termasuk mengkhianati ide jurnalistik, fitnah di publik dan masyarakat.
Kematian Sinar Harapan sungguh adalah kematian sebuah gagasan dan kematian kebudayaan. Kendati pantas diresapi, kita tak harus seterusnya meratap tiada habis. Teman Sinar Harapan masih punya idealisme yang kuat, yang saya percaya tak akan berhenti untuk mencoba mencari kaki yang baru untuk gagasan mereka. Bagaimana kita saling membantu untuk itu. Kita harus memelihara harapan dan mudah-mudahan tercipta harapan baru.
Sementara itu, Sinar Harapan dilihat dari kondisinya tak memiliki modal untuk diversifikasi usaha, melainkan bekerja dengan mengandalkan oplah dan iklan. Beratnya lagi, oplah dikalahkan oleh media massa online dan televisi. Dari segi iklan jatah media massa cetak tergerus televisi yang sekarang banyak jumlahnya dan berekspansi secara kuat. Televisi baik televisi asing, internasional maupun di daerah, berebut kue iklan lokal. Kue yang besar, tapi semutnya pun semakin banyak. Semut raksasa yang berkongkalikong antarsesama pengusaha. Ada juga oligarki politik terlibat di dunia media massa.
Pemerintah pun tak melakukan kebijakan signifikan melindungi dan memproteksi media cetak dan melakukan pembiaran. Padahal, ini bukan natural karena ada permainan konspirasi, oligarki, kongkalikong. Posisi moral media cetak yang mempertahankan idealisme jurnalistik sebagai wakil dari suara publik karena tak berdasarkan rating ini, seharusnya dipertahankan oleh pemerintah. Di antara banyak media massa cetak, sedikit media cetak yang hidup bukan semata berdasarkan tiras, tapi berdasarkan idealisme, adalah Sinar Harapan. Media ini tak berdasarkan tiras, tapi berdasarkan idealisme. Di media lain, tiraslah yang menciptakan isi.
Gugurnya media seperti Sinar Harapan, bukan di luar dugaan saya. Tapi tetap saja merasa pilu, sedih berkepanjangan karena peran dan posisi media ini yang telah ditetapkan selama ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga berkebudayaan, cukup penting. Bersama media lain yang cukup panjang usianya seperti Kompas, sedikit media itulah yang mempertahankan idealisme yang orisinal, asli, sejak awal dipertahankan.
Selain tiras, media massa kuning berusaha bertahan dengan bergantung pada gosip dan sensasi. Sayangnya, keluhuran cita-cita berkebangsaan dan cita-cita berkebudayaan itu harus tumbang dikalahkan represivitas dan ekspansi media modern yang tak peduli lagi dengan idealisme karena yang penting bagi mereka adalah uang, dengan cara apa pun, termasuk mengkhianati ide jurnalistik, fitnah di publik dan masyarakat.
Kematian Sinar Harapan sungguh adalah kematian sebuah gagasan dan kematian kebudayaan. Kendati pantas diresapi, kita tak harus seterusnya meratap tiada habis. Teman Sinar Harapan masih punya idealisme yang kuat, yang saya percaya tak akan berhenti untuk mencoba mencari kaki yang baru untuk gagasan mereka. Bagaimana kita saling membantu untuk itu. Kita harus memelihara harapan dan mudah-mudahan tercipta harapan baru.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar