BINDU (4) - Novel: Leonardo TSS -
LAPO Paragat tergolong kedai tuak paling laris di
kawasan lembah itu. Disebut Paragat, karena Monang awalnya memang yang mengolah
langsung pohon bagot (enau) dan kelapa di perbukitan pinggiran itu. Dulunya ia
yang mensuplai tuak untuk beberapa kedai di perkotaan. Karena rasa tuak
racikannya paten sehingga digemari banyak pecandu, banyak kedai berebutan
melangganinya. Tapi lama-lama Monang berpikir untuk membuka usaha kedai
sendiri. Dia mulai usaha sederhana di komplek Pinggiran. Lama kelamaan kedainya
populer sekali, mengundang banyak orang tiap sore datang ke kedainya. Bahkan
anak muda dari kota makin banyak menjadi langganannya. Apalagi Monang
melengkapi makanan khas B1 dan sop kaki B2 dua kali seminggu. Makin ramailah
pelanggannya berdatangan. Kalau dulunya Monang yang memanjat dan mengurus pohon
enau meracik tuaknya, sekarang dia sudah mengggaji orang menggantikannya. Gelar
Lapo Paragat pun makin merambat sampai ke luar kota, Siborongborong, Balige,
Porsea, bahkan ke Siantar.
Sudah tiga minggu terakhir ini lapo
Paragat selalu ramai dengan rombongan anak muda dari kota. Tak semua memang
suka tuak. Ada juga yang mau minum bir sambil mau makan tambul dangket-dangket
atau B1 masakan Monang dan isterinya. Kadang mulai sore hingga malam anak muda
itu baru pulang. Mereka main gitar dan menyanyi ramai-ramai, membuat suasana di
komplek itu makin hidup. Untung juga kedainya Monang tak terlalu berdekatan
dengan rumah-rumah sekitar, sehingga tak terlalu mengganggu ketertiban.
Awalnya Monang dan isterinya mengira
kedatangan anak muda yang makin kerap hanya karena suka dengan tuak dan tambul
racikannya. Tetapi belakangan barulah Monang tahu kalau anak muda itu mengincar
anak-anak gadis yang ada di komplek pinggiran.
“Mereka itu pasti berebutan
mendapatkan cewek-cewek yang ada di komplek kita ini. Bapak tahu kan ada gadis
cantik seperti Jenni ponakan Berman, ada Bornok, ida, Jespi. Pantasanlah anak
muda kota rame datang tiap hari ke sini,” kata isteri Monang.
“Ah, biarkan sajalah Mami Ee, itu
bukan urusan kita. Yang penting kan
kedai kita makin ramai... kenapa harus persoalkan mau apa mereka datang
ke sini.” Kata Monang sambil mencincang daging B1 yang mau dimasak untuk lauk
peminum tuak malam hari.
“Aku juga tak bilang jadi urusan
kita Pak Ee, maksudku baru kutahu kalau mereka rupanya melirik-lirik gadis
cantik di komplek kita ini. Lihat saja si Jenni sudah mukanya cantik badannya
pun bagus macam pramugari di pesawat Garuda yang kita tumpangi hari itu.”
“He-he-he Mak Ee ini ada-ada saja.
Pokoknya jangan ada ribut-ribut di sini lah, aku tak suka kalau kedai kita
membuat ada onar.”
Sore itu, kedai Paragat belum lagi
kedatangan langganan. Tamu pertama yang datang adalah Jonggi dan Roni, anak
muda dari kampung sebelah. Mereka duduk ngobrol sambil menghirup tuaknya
pelan-pelan.
“Belum masak tambulnya namboru?”
tanya Jonggi.
“Belum lagi, baru saja amangborumu selesai mencincang.” Sahut isteri Monang
dari dapur.
Jonggi berkata pada Roni.” Okelah Ron aku tahu kamu naksir sekali sama Jenni,
aku rela mundur asal dia mau sama kau. Kalau aku dapat Ida atau Bornok pun
sudah syukur.”
Ronni terkekeh. Mengisap rokoknya
seraya meniup lingkaran asap berbentuk huruf O ke langit-langit kedai.
“Persoalannya sekarang, sudah banyak
saingan yang muncul,” kata Ronni.
Jonggi menatap Ronni.”Maksudmu?”
“Yah kau lihat belakangan ini makin banyak anak kota yang datang kemari
juga tujuannya sama dengan kita, mengincar Jenni Bornok atau Ida.” Ronni
mengembuskan asap rokoknya lagi. Tapi lingkaran asap berbentuk O buyar ditiup
angin berembus dari luar.
Jonggi tertawa mendehem. “Ah, itu
aja kamu pikirin. Memangnya kita harus kalah biarpun mereka dari kota.”
“Bukan soal kalah atau memang Jonggi, tapi taulah kita ini pengangguran, sedang
yang datang ke sini itu anak orang-orang lumayan, dan ada yang sudah pegawai
negeri. Biar bagaimana pun perasaanku tak enak juga.”
Tertawa lagi Jonggi.
“ Itu namanya kau sudah patah sebelum bertanding. Kan ibarat pemancing
ikan, semua berhak bikin pancingnya dimana suka, ya umpan siapa yang termakan
ikan dialah yang bakal dapat.”
Isteri Monang Monang muncul dari
dapur, setelah membatuk beberapa kali. Di tangannya ada piring kecil berisi
daging masak yang masih mengepul.
“Benar katamu itu Jonggi, biar
banyak partandang si Jenni datang kenapa takut kalah? Ya pasang aja pancing
kalian siapa tau kalian yang disukai gadis itu...”
Ronni tersenyum lebar menanggapi. “Ya
nantulang, kami hanya cerita anak muda aja, rupanya nantulang dengar dari
dapur.”
Isteri Monang meletakkan piring
berisi daging cincang di meja depan Ronni.” Ini cincangnya baru masak. Apa
kalian mau pakai nasi?”
“ Aku sudah makan tadi, cincangnya aja nantulang cukuplah,” kata Ronni.
“Aku juga sudah makan namboru, biar
cincang aja kawan tuak ini,” Jonggi menimpali.
Isteri Monang masih berdiri di samping meja, berkata dengan suara perlahan.”
Tapi kalau tak salah ya, dengar-dengar anak muda dari kota yang namanya Hengki
dan Bernad itu bukannya mengincar Jenni,
melainkan Bornok dan Ida. Kudengar-dengar mereka sudah kompak sekali sekarang.”
Ronni menengadah menatap perempuan
itu.
“Kalau si Jenni kira-kira siapa yang dekati dia nantulang.”
Perempuan itu mengernyitkan kening. Menggeleng kepala.” Setahuku Jenni
belum ada dekat siapa-siapa. Lagi pula susah kalau si Jenni. Dia itu kan
pingitan tak sembarang bisa keluar rumah, karena isteri pamannya yang baru itu
dengar-dengar galaknya seperti herder Pak Nikon.”
“Oooh gitu ya nantulang. Berarti
masih singel dia ya.” Jonggi mengedip mata ke Ronni.
Isteri Monang mengangguk.” Ya aku yakin kalau Jenni masih single, tapi
entahlah ya diluar sepengetahuanku ada yang diam-diam sudah dekat dengan dia.”
Percakapan itu terhenti karena dua pengendara sepeda motor Yamaha matic
berhenti di halaman warung. Jonggi dan Ronni tahu itu dua di antara kelompok
anak muda kota yang belakangan sering minum di kedai Paragat.
“Sudah ada tuak yang baru inang?” tanya salah satunya.
“Sudah,sudah dari tadi...” sahut isteri Monang yang muncul di pintu dapur.
“Tambul cincang B1 juga sudah ada,” kata Monang bersuara dari dapur.
“Oh cocok kali lah itu tulang, kebetulan aku juga mau makan,” kata anak
muda yang satu lagi. Keduanya duduk di meja paling sudut.
“Jadi kalian dua-dua mau makan,” tanya isteri Monang.
“Ya nantulang, kami sudah lapar ini,” sahut anak muda bernama Santo
mengelus perutnya. Dia seorang pemuda berambut pendek dengan badan kekar.
Sehingga kaos oblong yang dikenakannya begitu pas membuat dadanya tampak
menonjol dengan otot yang kuat.
“ Kalau tuaknya nantilah inang, menunggu kawan yang lain datang.” Kata pemuda
temannya bernama Rudi.
Jonggi dan Ronni merasa tak enak juga. Keduanya belum pernah berkenalan
dengan Santo dan Rudi. Tapi mereka tak ingin memperkenalkan diri duluan.
Justru Santo yang menegur duluan.” Mari kita sama makan lae,”
Ronni dan Jonggi menyambut dengan senyum dan anggukan kepala.” Terima ksih
lae, kami sudah makan cincangnya aja.”
“Tambah untuk lae-lae ini nantulang,” kata Rudi dengan ramah.
Itu sikap pendekatan yang simpatik.
Jonggi langsung memintas,”Ya sudah cukup lae, sudah cukup buat kami.”
Mereka pun berkenaan saling menyebut marga.
“Bah benar-benar kita ini panggil lae, mamaku semarga dengan lae,” kata Santo
yang berambut pendek.
Mereka berjabatan tangan. Bahkan akhirnya jadi gabung duduk berempat.
Isteri Monang senang melihatnya dari pintu dapur.
Tiba-tiba pandangan merekA berempat
serempak tertuju ke luar, ke jalanan. Dua gadis cantik tampak melintas di sana. Terdengar tawa kikik manja dua gadis dengan lenggok berjalan yang menarik. Yang satunya menutup mulut seperti menahan tawa karena sesuatu yang lucu dicanda teman di sampingnya.
Jonggi dan Ronni diam tak bereaksi. Hanya Santo yang memperdengarkan
suara desisan seperti lazimnya anakmuda melihat anak gadis.”Piiiiiissssst...”
Salah satunya gadis yang tak lain
dari Ida sempat menoleh sekilas, tapi terus melangkah berdampingan dengan
Jenni. Tawa terkikih itu kembali terdengar dari Jenni kembali menutupi mulut dengan sebelah tangannya. Anggun sekali.
Ronni menunggu reaksi kedua anak muda kota itu. Ternyata mereka juga tak
banyak komen.
Paling Rudi yang nyeletuk,” Cantik juga anak gadis di pinggiran ini ya...”
Jonggi dan Ronni tersenyum. Isteri pemilik kedai mendehem dari dapur. "Hayo berlomba lah kalian anak muda itu siapa duluan mendapat."
Santo dan Rudi memperdengarkan tawa berderai, seraya mencicipi daging sangsang yang masih mengepul ke mulut.
"Tolong nantulanglah yang urus ah," komen Rudi tertawa.
Isteri Monang nyeletuk," Ussss, jaman sekarang mana ada lagi sistim diurus-urus, sudah kuno. Siapa berani dan terampil itu aja kuncinya."
"Betul juga ya namboru," tukas Santo sambil menyeruput tuak dari gelas. Tapi matanya diam-diam mencuri pandang kedua gadis yang melenggang makin jauh dan lenyap di tikungan sebuah rumah.
(NEXT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar