BINDU – 3
Hatinya Marice berbunga-bunga berangkat dengan Berman ke Parapat esok
harinya. Tiga anaknya yang masih kecil diikutkan karena kebetulan dua hari
liburan sekolah. Karena itu hatinya Jenni ikut berbunga. Kalau isteri pamannya
meninggalkan satu saja anak dari suami pertamanya itu, ia bakal repot. Pasti
Marice menugasinya menjaga anak itu seperti sebelumnya kalau perempuan itu
bepergian kemana.
“Hati-hati jaga rumah
baik-baik,jangan pergi kemana-mana.Ingat sekarang banyak orang jahat,” pesan
Marice sesaat sebelum berangkat.
“Ya nantulang,” kata Jenni. Lalu
kemudian bertanya,” Tapi apa boleh saya panggil Ida nemani aku selama nantulang
tak di sini?”
Marice berpikir sejurus, sebelum menyahuti “ Oke lah kalau si Ida bolehlah,
tapi kalian jangan undang cowok ke rumah. Aku tak suka.”
Jenni tahu kenapa Marice berkata
begitu. Dulu pernah ada anak tetangga bernama Jonggi rajin main-main ke rumah
pamannya ketika paman dan isterinya sedang tak di rumah. Sebenarnya tak
berduaan dengan Jenni. Ada Bornok dan Ida juga. Mereka bernyanyi sampai malam
di teras. Anak bawaan Marice paling besar bernama Riko memberitahu hal itu pada
mamanya. Marice marah besar. “Oooh, kamu sudah berani bawa anak lelaki ke rumah
kalau aku lagi pergi ya. Apa kamu tidak takut kalau kamu diapa-apain sama dia.
Lihat tuh si Intan anak gadisnya Pak Riwan sana, suka main-main sama cowok di
rumahnya, akhirnya ketahuan bunting... Jangan-jangan...” Marice uring-uringan
setengah harian pada Jenni. Jenni merasa sakit hati dituding yang macam-macam.
“Kami hanya main di teras aja
nantulang, lagian ada Bornok dan Ida,” kata Jenni membela diri.
Mendengar nama Bornok, Marice malah berang.” Nah Bornok lagi, aku paling
tak suka kamu berteman sama dia. Dia itu bukan gadis baik-baik, nanti kamu bisa
dijualnya bulat-bulat.”
Jenni kaget mendengarnya. Setahunya Bornok itu salah satu anak gadis
terbaik di kompleks bernama PINGGIRAN itu. Dia ikut kumpulan muda-mudi gereja,
rajin latihan koor remaja. Bahkan pernah jadi guru sekolah minggu. Kenapa
Marice bilang tak suka dan bilang Bornok bukan gadis baik-baik? Pasti ada udang
di balik batu. Tapi Marice diam saja. Tak sudi berbantah dengan isteri baru
pamannya.
Jenni menghela nafas. Ia duduk bersandar di kursi menghidupkan tv. Saat
suasana lengang seperti ini perasaannya nyaman. Ia akan mereguk kebebasan meski
sadar itu tak akan lama. Jenni mengutak-atik Black Berry nya, mengirim sms pada
Ida.
“ Mereka semua pergi, kamu lagi di mana Ida, temani aku dong.”
Ida lagi nyetrika kain di rumahnya. Juga lagi sendiri. Pada hal baru satu
jam sebelumnya Jonggi dari rumahnya curhat tentang isi hatinya pada Jenni. Jonggi
minta agar Ida menyampaikan kepada Jenni kalau dia suka pada ponakan Berman
itu.
Ida membaca sms Jenni, langsung
dibalasnya: “Ntar sore atau malam aja ya Jen, aku lagi banyak kerjaan. Atau
kalau bisa, Jenni aja deh yang datang ke rumahku. Kebetulan aku lagi sendiri
juga seperti kamu...dan kebetulan sekali Jonggi baru dari sini...”
Jenni membalas sms Ida.” Kenapa
dengan Jonggi? Kok kamu kaitkan ke aku?”
Ida membalas,” Ah sudahlah Jen,
tampaknya dia naksir kali sama kamu. Dia tadi bilang lagi sama aku, kirim salam
sama Jen, cuma belum sempat karena aku banyak kerjaan di rumah. Oke Jen, kalau
kamu sempat datang aja kemari yah.”
Jarak rumah pamannya ke rumah Ida
tak terlalu jauh. Paling sekitar 700 meter, tapi agak masuk ke dalam sebuah
gang. Jenni mengunci rumah sebelum pergi ke rumah Ida. Tapi ia balik lagi baru
beberapa langkah meningggalkan halaman. Teringat anjing hitam kesayangan
pamannya harus diberi dulu makan.” Sini kau mofiiii, ini makananmu, aku pergi
sebentar ya, kamu jagai rumah.”
Anjing hitam yang dinamai si Mofi
muncul dari samping rumah, mengibaskan ekornya, mengikuti Jenni ke arah dapur.
Susanti, nyonya pemilik rumah di
seberang, sedang membuka jendela melongok keluar. Dia itu teman kompaknya
Marice satu arisan. Ia melihat Jenni berjalan menyusuri jalan berbatu ke arah
timur. Jenni sempat menoleh melihat
perempuan itu, dan perasaannya tak enak. Itu perempuan paling usil di komplek
ini. Suka meramu gosip, sama halnya dengan Marice.
“ Waduh, aku dilihatnya, aku tak boleh lama di rumah Ida, nanti macam-macam
pula laporannya,” gumam Jenni resah.
Komplek Pinggiran itu lumayan ramai terutama tiga tahun terakhir. Awalnya
daerah ini merupakan area persawahan. Tapi sawah itu dijual pemilik dan secara
bertahap mulai ditimbun untuk keperluan rumah pemukiman. Komplek itu diapit
tiga dusun, tapi berdiri sendiri menjadi sebuah kompleks yang tak terkait
dengan area dusun. Kebanyakan penghuni di sana para pendatang dengan ragam
profesi. Ada PNS, pedagang, karyawan, dan entah apa lagi. Sekitar empatpuluhan
rumah sudah berdiri di sana. Sesuai
dengan pprofesi penghuni yang berbeda status, bentuk rumah juga berbeda satu
sama lain. Dari rumah yang kategori cukup elit hingga rumah biasa terbuat dari
papan. Tapi para penghuni kompak satu sama lain. Tak ada di sana yang namanya
raja huta, karena mereka semua pendatang yang membeli tanah dan membangun
rumah. Belakangan ada terbentuk semacam kumpulan STM (Serikat Tolong Menolong),
untuk membina kerukunan di komplek tersebut. Kumpulan STM itu juga untuk dilengkapi
seksi-seksi, di antaranya seksi remaja. Jenni termasuk salah satu anggotanya. Bahkan
ia dipilih menjadi sekretarisnya, walau nantulangnya Marice awalnya tak setuju
karena khawatir Jenni jadi banyak keluar rumah urusan seksi remaja. Tapi karena
semua meminta, akhirnya Marice menerima juga.
Ida melihat Jenni dari jendela. Ida
juga salah satu bunga mawar di kompleks Pinggiran, tak kalah cantik menarik
dari Jenni. Bersama Bornok mereka jadi tiga sekawan yang populer. Cuma bedanya,
Bornok dan Ida punya kebebasan, sedang Jenni terbatas ruang gerak. Kalau mereka
sudah jalan bertiga, semua orang akan memandang kagum. Ida, Bornok, Jenni,
sungguh memiliki daya tarik sebagai gadis yang sedang tumbuh oleh proses waktu.
Banyak anak lelaki di kompleks dan seputaran dusun harus menekan perasaan
terpendam pada ketiga gadis ini. Bahkan anak muda dari kawasan kota juga makin muncul
di kawasan itu naik sepeda motor, dan seperti umumnya gaya anak muda sekarang
mereka suka pamer membunyikan mesin motornya meraung-raung sehingga terkadang
suasana jadi bising.
Itu sebenarnya semua ulah Jonggi yang banyak bergaul dengan anak kota.
Jonggi memberitahu teman-temannya bahwa di tempatnya sekarang banyak cewek
cantik yang bisa diperli. Itu sebabnya anak-anak kota – beberapa di antaranya
tergolong anak orang kaya – sering mondar-mandir ke komplek Pinggiran. Mereka
memasang aksi masing-masing, berusaha menarik perhatian khusus dari gadis yang
ada di sana. Terkadang mereka ramai-ramai memborong minuman di kedai Paragat,
main gitar, nyanyi ramai-ramai hingga larut malam. Tapi sejauh itu belum ada
memang yang dapat pacar. Baru sekedar aksi jual tampang, mengundang perhatian.
Bornok dan Ida sudah diincar dua pemuda kota bertampang lumayan ganteng.
Belum ada hubungan khusus. Masih sebatas pendekatan. Tapi ketika ada anak kota
yang bilang naksir bangat sama Jenni, Jonggi yang keberatan. “Dia itu berat,
susah didekati, karena pingitan,” begitu dalih Jonggi menghalangi Ronni
mendekati Jenni.
Tapi Ronni tak percaya begitu saja.
Dia mengendus aroma kecemburuan dari sinar mata Jonggi.
“Ahaaa...bilang aja kamu memang sudah terpendam sama dia,” Ronni tertawa
ngakak. Jonggi tersipu merasa kena sodok.
“Yalaah, Jonggi memang cintrong bangat sama Jenni,” kata Ida menimpali.
“ Tapi kan belum ada apa-apa, Jenni masih belum punya siapa-siapa kok,”
tukas Bornok nimbrung.
Jonggi kesal jadi bahan olokan. Tapi dalam hati ia sudah bersumpah pada
diri sendiri,” Tak akan boleh siapapun mendekati Jenni, biar hantu balau
sekalipun akan kuhalangi.”
Di antara rimbun pepohonan bambu yang menjadi batas komplek dengan
dusun-dusun sekitarnya, ada seorang pemuda bernama Marco yang mengamati semua
geliat yang terjadi di sana. Tak seorang pun memperhatikan siapa Marco. Dia
pemuda berusia 28 tahunan yang baru tiga bulan pulang kampung dari Surabaya,
karena sakit malaria. Orangnya tak banyak bicara, jarang keluar rumah. Dengan
wajah tampan dan perawakan yang tegap, seharusnya Marco menjadi pujaan anak
gadis. Tapi ia hanya tersenyum hambar ketika ada anak gadis bahkan ibu-ibu muda
mengundang canda padanya. Kebanyakan orang yang tahu keberadaan Marco di sana
berpendapat Marco seorang pemuda yang ramah, santun, tapi tak banyak bicara.
Tapi bagi orang yang kenal dekat dengan Marco, akan berpikir tujuh kali untuk
bicara main-main dengannya, karena tahu siapa Marco di Surabaya.
“Marco itu katanya tukang pukul dan tahan ditikam ya,” ada mulut usil
mengungkapkan kemisteriusan Marco.
“Ah yang benar kamu, dari mana pula
kamu tau, hati-hati mulutmu,” tukas seorang ibu pada anaknya.
“Aku tau dari keluarga dekatnya Bu, Marco itu kelihatannya diam-diam
begitu, rupanya dia itu bekas preman di Surabaya. Apa benar ya, ih ngeri Bu
liatin tatto di punggung dan dadanya...”
“ Dari mana pula kamu tahu ada tato segala.”
“Pernah kuliat dia berjemur depan rumahnya, aku tak berani liat mukanya,
sepertinya menikam ke jantung,” makin dibumbui lagi.
“Kalau begitu menjauhlah dari dia,” kata ibu si anak.
Tapi Marco tak pernah tahu kalau dirinya belakangan dipergunjingkan warga seputar. Marco setiap hari menjalani kehidupannya dengan tenang, nyaris tanpa emosi, dan tak begitu tertarik dengan suasana di sekitarnya. (Next-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar