Sabtu, 20 Februari 2016

Kekasihku Preman Pinggiran (3)




 BINDU – 3

Hatinya Marice berbunga-bunga berangkat dengan Berman ke Parapat esok harinya. Tiga anaknya yang masih kecil diikutkan karena kebetulan dua hari liburan sekolah. Karena itu hatinya Jenni ikut berbunga. Kalau isteri pamannya meninggalkan satu saja anak dari suami pertamanya itu, ia bakal repot. Pasti Marice menugasinya menjaga anak itu seperti sebelumnya kalau perempuan itu bepergian kemana.
 “Hati-hati jaga rumah baik-baik,jangan pergi kemana-mana.Ingat sekarang banyak orang jahat,” pesan Marice sesaat sebelum berangkat.
 “Ya nantulang,” kata Jenni. Lalu kemudian bertanya,” Tapi apa boleh saya panggil Ida nemani aku selama nantulang tak di sini?”
Marice berpikir sejurus, sebelum menyahuti “ Oke lah kalau si Ida bolehlah, tapi kalian jangan undang cowok ke rumah. Aku tak suka.”
 Jenni tahu kenapa Marice berkata begitu. Dulu pernah ada anak tetangga bernama Jonggi rajin main-main ke rumah pamannya ketika paman dan isterinya sedang tak di rumah. Sebenarnya tak berduaan dengan Jenni. Ada Bornok dan Ida juga. Mereka bernyanyi sampai malam di teras. Anak bawaan Marice paling besar bernama Riko memberitahu hal itu pada mamanya. Marice marah besar. “Oooh, kamu sudah berani bawa anak lelaki ke rumah kalau aku lagi pergi ya. Apa kamu tidak takut kalau kamu diapa-apain sama dia. Lihat tuh si Intan anak gadisnya Pak Riwan sana, suka main-main sama cowok di rumahnya, akhirnya ketahuan bunting... Jangan-jangan...” Marice uring-uringan setengah harian pada Jenni. Jenni merasa sakit hati dituding yang macam-macam.
 “Kami hanya main di teras aja nantulang, lagian ada Bornok dan Ida,” kata Jenni membela diri.
Mendengar nama Bornok, Marice malah berang.” Nah Bornok lagi, aku paling tak suka kamu berteman sama dia. Dia itu bukan gadis baik-baik, nanti kamu bisa dijualnya bulat-bulat.”
Jenni kaget mendengarnya. Setahunya Bornok itu salah satu anak gadis terbaik di kompleks bernama PINGGIRAN itu. Dia ikut kumpulan muda-mudi gereja, rajin latihan koor remaja. Bahkan pernah jadi guru sekolah minggu. Kenapa Marice bilang tak suka dan bilang Bornok bukan gadis baik-baik? Pasti ada udang di balik batu. Tapi Marice diam saja. Tak sudi berbantah dengan isteri baru pamannya.
Jenni menghela nafas. Ia duduk bersandar di kursi menghidupkan tv. Saat suasana lengang seperti ini perasaannya nyaman. Ia akan mereguk kebebasan meski sadar itu tak akan lama. Jenni mengutak-atik Black Berry nya, mengirim sms pada Ida.
“ Mereka semua pergi, kamu lagi di mana Ida, temani aku dong.”
Ida lagi nyetrika kain di rumahnya. Juga lagi sendiri. Pada hal baru satu jam sebelumnya Jonggi dari rumahnya curhat tentang isi hatinya pada Jenni. Jonggi minta agar Ida menyampaikan kepada Jenni kalau dia suka pada ponakan Berman itu.
 Ida membaca sms Jenni, langsung dibalasnya: “Ntar sore atau malam aja ya Jen, aku lagi banyak kerjaan. Atau kalau bisa, Jenni aja deh yang datang ke rumahku. Kebetulan aku lagi sendiri juga seperti kamu...dan kebetulan sekali Jonggi baru dari sini...”
 Jenni membalas sms Ida.” Kenapa dengan Jonggi? Kok kamu kaitkan ke aku?”
 Ida membalas,” Ah sudahlah Jen, tampaknya dia naksir kali sama kamu. Dia tadi bilang lagi sama aku, kirim salam sama Jen, cuma belum sempat karena aku banyak kerjaan di rumah. Oke Jen, kalau kamu sempat datang aja kemari yah.”
 Jarak rumah pamannya ke rumah Ida tak terlalu jauh. Paling sekitar 700 meter, tapi agak masuk ke dalam sebuah gang. Jenni mengunci rumah sebelum pergi ke rumah Ida. Tapi ia balik lagi baru beberapa langkah meningggalkan halaman. Teringat anjing hitam kesayangan pamannya harus diberi dulu makan.” Sini kau mofiiii, ini makananmu, aku pergi sebentar ya, kamu jagai rumah.”
 Anjing hitam yang dinamai si Mofi muncul dari samping rumah, mengibaskan ekornya, mengikuti Jenni ke arah dapur.
 Susanti, nyonya pemilik rumah di seberang, sedang membuka jendela melongok keluar. Dia itu teman kompaknya Marice satu arisan. Ia melihat Jenni berjalan menyusuri jalan berbatu ke arah timur.  Jenni sempat menoleh melihat perempuan itu, dan perasaannya tak enak. Itu perempuan paling usil di komplek ini. Suka meramu gosip, sama halnya dengan Marice.
“ Waduh, aku dilihatnya, aku tak boleh lama di rumah Ida, nanti macam-macam pula laporannya,” gumam Jenni resah.
Komplek Pinggiran itu lumayan ramai terutama tiga tahun terakhir. Awalnya daerah ini merupakan area persawahan. Tapi sawah itu dijual pemilik dan secara bertahap mulai ditimbun untuk keperluan rumah pemukiman. Komplek itu diapit tiga dusun, tapi berdiri sendiri menjadi sebuah kompleks yang tak terkait dengan area dusun. Kebanyakan penghuni di sana para pendatang dengan ragam profesi. Ada PNS, pedagang, karyawan, dan entah apa lagi. Sekitar empatpuluhan rumah sudah berdiri di  sana. Sesuai dengan pprofesi penghuni yang berbeda status, bentuk rumah juga berbeda satu sama lain. Dari rumah yang kategori cukup elit hingga rumah biasa terbuat dari papan. Tapi para penghuni kompak satu sama lain. Tak ada di sana yang namanya raja huta, karena mereka semua pendatang yang membeli tanah dan membangun rumah. Belakangan ada terbentuk semacam kumpulan STM (Serikat Tolong Menolong), untuk membina kerukunan di komplek tersebut. Kumpulan STM itu juga untuk dilengkapi seksi-seksi, di antaranya seksi remaja. Jenni termasuk salah satu anggotanya. Bahkan ia dipilih menjadi sekretarisnya, walau nantulangnya Marice awalnya tak setuju karena khawatir Jenni jadi banyak keluar rumah urusan seksi remaja. Tapi karena semua meminta, akhirnya Marice menerima juga.
 Ida melihat Jenni dari jendela. Ida juga salah satu bunga mawar di kompleks Pinggiran, tak kalah cantik menarik dari Jenni. Bersama Bornok mereka jadi tiga sekawan yang populer. Cuma bedanya, Bornok dan Ida punya kebebasan, sedang Jenni terbatas ruang gerak. Kalau mereka sudah jalan bertiga, semua orang akan memandang kagum. Ida, Bornok, Jenni, sungguh memiliki daya tarik sebagai gadis yang sedang tumbuh oleh proses waktu. Banyak anak lelaki di kompleks dan seputaran dusun harus menekan perasaan terpendam pada ketiga gadis ini. Bahkan anak muda dari kawasan kota juga makin   muncul di kawasan itu naik sepeda motor, dan seperti umumnya gaya anak muda sekarang mereka suka pamer membunyikan mesin motornya meraung-raung sehingga terkadang suasana jadi bising.
Itu sebenarnya semua ulah Jonggi yang banyak bergaul dengan anak kota. Jonggi memberitahu teman-temannya bahwa di tempatnya sekarang banyak cewek cantik yang bisa diperli. Itu sebabnya anak-anak kota – beberapa di antaranya tergolong anak orang kaya – sering mondar-mandir ke komplek Pinggiran. Mereka memasang aksi masing-masing, berusaha menarik perhatian khusus dari gadis yang ada di sana. Terkadang mereka ramai-ramai memborong minuman di kedai Paragat, main gitar, nyanyi ramai-ramai hingga larut malam. Tapi sejauh itu belum ada memang yang dapat pacar. Baru sekedar aksi jual tampang, mengundang perhatian.
Bornok dan Ida sudah diincar dua pemuda kota bertampang lumayan ganteng. Belum ada hubungan khusus. Masih sebatas pendekatan. Tapi ketika ada anak kota yang bilang naksir bangat sama Jenni, Jonggi yang keberatan. “Dia itu berat, susah didekati, karena pingitan,” begitu dalih Jonggi menghalangi Ronni mendekati Jenni.
 Tapi Ronni tak percaya begitu saja. Dia mengendus aroma kecemburuan dari sinar mata Jonggi.
“Ahaaa...bilang aja kamu memang sudah terpendam sama dia,” Ronni tertawa ngakak. Jonggi tersipu merasa kena sodok.
“Yalaah, Jonggi memang cintrong bangat sama Jenni,” kata Ida menimpali.
“ Tapi kan belum ada apa-apa, Jenni masih belum punya siapa-siapa kok,” tukas Bornok nimbrung.
Jonggi kesal jadi bahan olokan. Tapi dalam hati ia sudah bersumpah pada diri sendiri,” Tak akan boleh siapapun mendekati Jenni, biar hantu balau sekalipun akan kuhalangi.”
Di antara rimbun pepohonan bambu yang menjadi batas komplek dengan dusun-dusun sekitarnya, ada seorang pemuda bernama Marco yang mengamati semua geliat yang terjadi di sana. Tak seorang pun memperhatikan siapa Marco. Dia pemuda berusia 28 tahunan yang baru tiga bulan pulang kampung dari Surabaya, karena sakit malaria. Orangnya tak banyak bicara, jarang keluar rumah. Dengan wajah tampan dan perawakan yang tegap, seharusnya Marco menjadi pujaan anak gadis. Tapi ia hanya tersenyum hambar ketika ada anak gadis bahkan ibu-ibu muda mengundang canda padanya. Kebanyakan orang yang tahu keberadaan Marco di sana berpendapat Marco seorang pemuda yang ramah, santun, tapi tak banyak bicara. Tapi bagi orang yang kenal dekat dengan Marco, akan berpikir tujuh kali untuk bicara main-main dengannya, karena tahu siapa Marco di Surabaya.
“Marco itu katanya tukang pukul dan tahan ditikam ya,” ada mulut usil mengungkapkan kemisteriusan Marco.
 “Ah yang benar kamu, dari mana pula kamu tau, hati-hati mulutmu,” tukas seorang ibu pada anaknya.
“Aku tau dari keluarga dekatnya Bu, Marco itu kelihatannya diam-diam begitu, rupanya dia itu bekas preman di Surabaya. Apa benar ya, ih ngeri Bu liatin tatto di punggung dan dadanya...”
“ Dari mana pula kamu tahu ada tato segala.”
“Pernah kuliat dia berjemur depan rumahnya, aku tak berani liat mukanya, sepertinya menikam ke jantung,” makin dibumbui lagi.
“Kalau begitu menjauhlah dari dia,” kata ibu si anak.
Tapi Marco tak pernah tahu kalau dirinya belakangan dipergunjingkan warga seputar. Marco setiap hari menjalani kehidupannya dengan tenang, nyaris tanpa emosi, dan tak begitu tertarik dengan suasana di sekitarnya. (Next-)

   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar