Jumat, 12 Februari 2016

Kekasihku Preman Pinggiran


 (BINDU 2)- Novel: Leonardo TSS
 _____________________________________
TETAPI hidup ini mau tak mau harus tetap dijalani, karena hidup terlanjur ada. Jenni berpikiran seperti itu, melawan galau yang kerap menyergap. Perasaan tertawan di rumah pamannya membuatnya berang. Tapi golak perasaan itu dipunahkannya dengan satu kata: SABAR!
 Jenny sejatinya gadis low profile. Lincah, periang, bijak, pintar, rajin, dan entah apa lagi parameter untuk kebaikan seorang gadis masa kini. Pokoknya Jenni soepel. Ia menempa diri dalam keteraniayaan nasib yang kejam, seraya berharap agar Tuhan yang bermukim di hatinya segera menatapnya dan memberinya way out. Jenni belajar lebih tabah, jangan mudah cengeng, jangan lagi menabur air mata yang tak berguna.
Isteri pamannya bernama Marice, dibiarkannya memperagakan akting munafiknya tatkala pamannya lagi di rumah. Manis senyum dan sikap Marice membuat Jenni mau muntah. Bah, wanita macam apa ini, dari mana pamannya menemukan perempuan selicin ini.
“Jenniiiii, jangan terlalu forsir kerja, bisa sakit kau,” seru Marice ketika Jenni sedang cuci pakaian di kamar mandi. Banyaknya pakaian kotor hampir satu mobil pikap. Marice sengaja menimbun pakaian kotor sebanyak-banyaknya setiap hari. Pada hal ada baju yang baru sebentar dipakai sudah ditaruh di keranjang pakaian kotor.
Jenni mendengar teriakan itu dengan hati ditusuk. Itu perangai Marice yang biasa, saat paman ada di rumah.
“Kamu dengar kata nantulangmu itu Jen,” kata Berman, pamannya dari teras belakang. Berman sedang membaca koran. Menyimak kalau ada kode teka-teki togel.
Jenni pun menyahuti, tidak dari hati,” Ya tulang, aku tak capek kok.”
Jenni membayangkan Marice senyum senang. Lalu dari celah pintu kamar mandi Jenni melihat Marice beringsut ke teras, berkata pada Berman.” Itulah ponakanmu ini Pak E, macam hari itu dia demam karena keliwat forsir kerja, maunya kerja terus tak kenal lelah.”
Berman mengangkat kaca mata plusnya sedikit menoleh ke isterinya.” Yah, kalau itu kemauan dia biarkan sajalah, bukannya mama yang paksa dia harus kerja keras. Ya kan?”
“Yalah Pak E, kubilang pun sama Jenni kalau nyuci pakaian jangan sekaligus, kan itu menguras tenaga.” Jenni mau muntah mendengar ucapan Marce itu. Lidah perempuan itu sungguh berbahaya. Lebih berbisa dari kobra.
Lalu didengarnya lagi suara Marice,” Aku mau nagih janjimu Pak E, lusa kan libur karena hari Imlek, Pak E janji kita piknik ke Parapat.”
Mau muntah lagi Jenni setiap mendengar sebutan “Pak E” itu. Entah dari mana ide perempuan itu menjadikannya panggilan baku pada pamannya.
Berman menanggalkan kacamatanya, menyandar pada kursi rotan Jepara yang mulai lusuh. Diletakkannya koran di meja, kemudian mengempaskan nafas.
“Kita liat besok aja dulu, apa toke Liong mau kasi pinjaman yang kuminta tadi. Lagian aku pening, tebakan togelku terus meleset sebulan ini.”
Marice pun mengomel.” Itulah kau Pak E, untuk togel jutaan pun ludes tak masalah, kalau untuk bawa aku piknik uang tak ada. Awas Pak E ya, ntar malam jangan ganggu aku...huh...”
Jenni menghentikan tangannya yang sedang mengucak baju dalam ember. Ucapan Marice itu tak sekali dua kali lagi didengarnya. Jenni sudah dewasa. Tahu betul makna perkataan Marice. Bukankah itu semacam ancaman isteri tak melayani suami di ranjang? Pehhh, jijik aku dengarnya... gumam Jenni.
Didengarnya Marice masuk kamar. Lalu didengarnya langkah kaki pamannya masuk ke rumah melewati kamar mandi sehingga Jenni melihatnya. Jenni mendengar ketika Berman seperti biasa menyuarakan rayuan yang memanjakan isterinya itu.
“Itulah kau Ma, belum apa-apa sudah merajuk. Kan belum kubilang tak bisa pergi. Tenanglah kau Ma, besok uangnya pasti ada.”
Lalu terdengar desah manja Marice yang sudah berada dalam kamar.” Jadi kita lusa jadi ke Parapat Pak E ya? Kita nginap di sana kah? Aku senang sekarang Pak E, memang Pak E suami terbaik yang selalu mengerti aku...kwk kwk kwk....uuuuhhh, jangan dulu Pak E aku belum mandi ah, gimana sih Pak E ini, ntar malam kan lebih....”
Jenni tahu pamannya rupanya sudah menyusul ke kamar lalu menggodai isterinya. Mereka biasa seperti itu. Terkadang merajuk tapi sekejap sudah bercanda ria di kamar. Jenni bahkan pernah memergoki paman dan Marice isteri barunya itu beradegan panas ketika Jenni tak sengaja masuk kamar mau ambil kain cucian.  Jenni tersipu malu sendiri mundur teratur. Untung paman dan isterinya tak tahu kalau ia masuk dan melihatnya walau sepintas. Jenni dalam penglihatan sepintas melihat geliat ganas perempuan itu, engahan nafasnya, dan remasan jarinya yang kuat di punggung pamannya.
Jenni sering bertanya sendiri: Dari mana dulunya perempuan bernama Marice ini. Apa paman memungutnya dari warung remang-remang sana, kenapa paman tak memilih perempuan yang lebih tenang kalau memang harus kawin lagi.
Paling bencinya lagi Jenni, kalau isteri pamannya itu seolah menganggap sepele pada dirinya. Tak pernah sungkan bicara porno pada paman walau Jenni ada di situ. Jenni merasa dianggap seperti sandal jepit yang tak perlu disegani sedikit pun.
“Pak E, ini telor setengah matangmu, sudah direbus Jenni tadi. Pak E kan perlu protein pengganti yang semalam, biar jangan loyo kerja hari ini.”
Jenni tahu memaknai kalimat itu. Jenni bukan anak kecil lagi. Tapi Jenni merendam rasa muaknya dengan menyibukkan diri dengan apa saja.
“Jenni, kamu jangan lupa siram bunga bugenvil yang kutanam kemarin ya.” Marice terbiasa dengan nada memerintah ketika Berman sudah keluar rumah.
“Ya ... nan...tulang,” kadang lidah  Jenni kelu mengucap sebutan “nantulang” pada perempuan beringas itu. Sepertinya terpaksa ia harus menyebutnya. Karena bagaimanapun itu sudah isteri pamannya. Suka tak suka Jenni harus menerima kenyataan.
Pagi, siang, malam, sama saja. Bagi Jenni jarum waktu tak membedakan apa-apa. Risau, resah, gerah, entah apa lagi nama perasaan tak nyaman lainnya. Malam hari ia tak bisa langsung masuk ke kamar, pada hal rasa penat membuatnya ingin segera menggeletak di ranjang. Terkadang Marice membangunkannya saat mata Jenni sudah minta istirahat.
 Jenni jangan terus tidur melulu dong, kek kamu aja nyonya di rumah ini. Buatkan dulu nasi goreng buat kami, yang enak ya, jangan terlalu asin.”
“Belikan dulu sate ke simpang sana, yang banyak dagingnya ya...”
“Seterika dulu bajuku yang sudah kering, kamu tau kan besok aku mau arisan marga...”
 Kalau ada permen karet paling kenyal yang bisa menutup ruang dengarnya, itulah yang akan dilakukan Jenni. Ia paling alergi mendengar tiap urutan kata yang meloncat dari mulut perempuan itu. Gayanya lebih pas menjadi isteri seorang pengusaha besar atau isteri pejabat, minimal isteri seorang camat.
 Marice tak suka kalau ada orang memuji Jenni cantik menarik. Ada ibu-ibu searisan Marice terpana memandang Jenni ketika giliran di rumah itu arisan bona taon punguan (syukuran awal tahun) biasanya Januari.
 “Bah, cantik kali gadis ini, siapa ini Mama Jodi,” cetus salah seorang ibu.
 Jenni tahu Marice tak sudi kalau dirinya dibilang orang cantik. Jenni pernah menduga, satu saat Marice akan menyahut,” Ah, itu pembantu rumah.”
 Tapi ternyata tidak.
Marice jujur bilang,” Itu keponakanku.”
Lalu Marice dengan nada antara iseng dan canda berkata,” Cantik apa dia, keliatan aja cantik tapi dia malas, doyan tidur...”
 Sakit hati Jenni mendengarnya. Tapi hatinya terlalu lembut untuk menentang arus. Jenni hanya senyum malu kucing dengan sebatang anak panah menancap di dada.
Dan semua kata dan sikap ketus Marice hanya terjadi, bila mana Berman paman Jenni tidak ada di rumah. Mana kala Berman sudah pulang, sikap Marice pun sontak berubah seratus delapan puluh derajat atau lebih. Tiba-tiba saja sinisnya disunglap begitu cepat jadi lembut.
 “Mana Jenni,” tanya Berman sambil membuka kaos kakinya.
 “Dia istirahat Pak E, jangan disuruh ngapa-ngapain lagi, kita harus mengerti anak gadis sebesar dia pantasnya tiduran sambil pencet-pencet henpon...”
“ Ah memang kamu selalu bela Jenni terus. Aku bukannya mau nyuruh dia malam begini, Cuma tanya dia di mana,” balas Berman.
 “Ya biarin aja Pak E, dia istirahat kali di kamar. Kalau mau buatkan makanmu tak usah harus Jenni, aku kan isterimu, aku yang wajib meladeni, bukan hanya di ranjang...he-he-he...”
 Dan Berman mencubit lengan perempuan itu.
“Kita jadi ke Parapat Pak E?”
Berman tersenyum.” Kamu memang bernasib bagus. Aku dapatkan uangnya dari Toke Liong.”
Marice seperti mau melonjak girang.” Horeee, Pak E sih orangnya...”
Berman menarik tangan perempuan itu. “Semua anak kita sudah tidur kan?”
Marice melirik ke kamar bagian tengah. “Sudah dari tadi usai belajar. Memangnya kenapa Pak E...”
Berman tertawa senang.” Kok bertanya... seperti tak tau aja mauku apa.”
Marice tertawa ngikik lalu menutupi mulut dengan sebelah tangan.” Oooo yang itu, Pak E memang tak pernah cukup ya. Baru dua malam sudah...”
Berman berbisik ke telinga perempuan itu,” Kamu...kamu Ice yang buat aku jadi begitu, kamu hebat, kamu luar biasa...” Nada kata Berman berubah romantis. Marice menggelinjang dipegangi bahunya.
Di kamarnya Jenni hanya bisa menekan perasaan. Tapi dalam hati ia merasa bersukacita mendengar paman dan isterinya mau ke Parapat. Pada saat seperti itulah Jenni merasa merdeka. Ia bisa bertemu bercanda dengan teman dekatnya Bornok dan Ida. Atau, ia bisa bercengkerama dengan Bistok, pemuda tampan yang kata Bornok sangat pintar main gitar dan nyanyi.
“Pergilah, berangkatlah kalian segera, aku tak sabaran sendiri di sini,” berdentum-dentum suara dari lubuk hatinya sambil bergulingan di atas ranjang.
 Malam itu Jenni tertidur pulas dengan bermacam mimpi...( Kawasan Tanjung Tokong Pulau Pinang Malaysia, 13 Feb 2016)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar