Ilustrasi kota, sering bikin pendatang bingung (by leonardo ts) |
BTL (Batak Tembak Langsung). Istilah BTL dulunya
muncul ke permukaan, sebagai ilustrasi tentang anak kampung yang “tembak
langsung” berangkat ke Jakarta. Tak singgah dulu di Medan atau kota
lain seperti Siantar, langsung ke pelabuhan Belawan naik kapal laut.
Itu namanya BTL.
Sering juga ada anekdot seputar BTL ini. Terkadang mengundang kesan lucu, membuat orang tertawa terbahak, minimal senyum-senyum.
Salah satunya mungkin ini, si Marudut yang termasuk
tiba di ibukota negara secara BTL. Ke Medan saja seumur-umur belum
pernah,tiba-tiba ada inspirasi berkelebat harus langsung ke Jakarta.
Kepada ortunya Marudut memompakan semangat optimistis, kalau di Jakarta
nasibnya akan berubah.”Banyak orang tanpa sekolah pun sukses di
Jakarta,” kata Marudut ketika itu, sekitar tahun 80 an.
Maka Marudut tibalah di Jakarta. Dia teringat
cerita temannya sekampung si Charles dan si Yosep, yang kini sukses di
Jakarta hanya dengan membuka usaha tempel ban di bilangan Cempaka
Putih.”Kami memang harus banting tulang sambil kuliah. Di Jakarta
semuanya bisa terjadi. Orang paling susah bisa kaya mendadak kalau sudah
direstui Dewi Fortuna. Sebaliknya orang kaya pun bisa dalam sekejap
kecebur masuk lumpur kemiskinan kalau nasibnya lagi apes.” Begitu cerita
si Yosep. Dan Marudut ingin menerapkan yang seperti itu. Asalkan jangan
jadi pengemis aja, kerja apa pun mau ia lakukan. Yang penting sudah
resmi penduduk Jakarta.
Hampir tiap hari Marudut mencari-cari
temannya yang dua itu, tak juga ketemu. Maklum henpon pun waktu itu
belum ada. Tapi Marudut lumayan masih ada seorang bibinya menampung
penginapan di Kalideres. Bibinya itu juga orang susah, harus banting
tulang jualan goreng ubi kesana-kemari untuk menafkahi tga orang
anaknya. Marudut punya pengertian, tak mau menambah beban famili yang
susah. Yang penting ada tempat menginap sudah syukur.
Marudut jalan kaki kesana-kemari
seraya mempelajari situasi kota. Terkadang berani-beranian juga naik
metro mini. “Setidaknya aku sudah berjuang. Soal mau jualan koran kek,
mau kerja kocok semen kek, tak apa, asal ada saja kerja yang halal,”
kata hatinya seraya mengusap keringat mengucur membasahi bajunya. Bau
ketiaknya pun tak ketulungan amisnya. Sampai-sampai ada beberapa
perempuan yang duduk di metro mini harus menutup hidung dengan sapu
tangan mengelakkan aroma tak sedap terbawa angin dari ketiak Marudut,
apalagi saat bus bergerak angin pun berhembus seolah membagi aroma
Marudut ke semua orang.
Sambil jalan-jalan melihat
bangunan-bangunan bertingkat menjulang ke langit di sana-sini, Marudut
mulai kehabisan tenaga. Dia terduduk di satu emperan toko, sambil
meneruskan angan-angan ingin seperti Charles dan Yosep. “Jalan kaki
berkilometer juga termasuk sudah berjuang, tapi hasilnya belum ada.
Entah dimana kucari kedua orang itu, di kota sebesar ini,” keluhnya
sambil meneguk air putih dalam botol limun yang tadi dibawanya dari
rumah bibi. Bibirnya seperti retak-retak oleh sengatan panas matahari
siang.
Beberapa saat kemudian Marudut
meneruskan langkahnya jalan-jalan itu, dan sampailah dia di kawasan
Tanah Abang. Ia mulai bingung, tak tahu lagi mau kemana. Dia juga tak
tahu bus yang mana akan membawanya pulang ke rumah bibinya. Marudut
sadar ia sudah terlanjur jauh melangkah. Marudut pun memutuskan mengaso
lagi di sebuah kaki lima yang ada pohonnya. Tak berapa lama kemudian seorang pria mendekatinya.
“Maaf saya orang baru di sini, saya baru datang dari Jawa,” kata laki-laki itu.
“Bah, selamat datanglah kawan ke
Jakarta. Kenalkan namaku Marudut, artinya bersambung dalam bahasa
Indonesia. Aku asalnya dari Tarutung sana.”
Mereka berbicang beberapa saat. Pria
itu bertanya,” Apa itu Tarutung? Nama desa atau kota.” Tanya pria yang
tampak juga sedang kecapaian berjalan kaki.
“Ya itu nama kota di Sumatera, arti
Tarutung itu durian, tapi di kampungku itu tak ada durian, hanya satu
batang yang tumbuh, umurnya sudah ratus tahun,” terang Marudut.
“Tarutung itu di Medan ya,” tanya laki-laki itu lagi, duduk di samping Marudut.
“Botullah itu kawan, tapi Tarutung
itu lebih besar dari Medan,” kata Marudut asal ceplos saja. Karena ia
sendiri tak tahu Medan itu sepert i apa, dusunkah atau kota.
“Aku mau bertanya mas,” kata pria itu beberapa saat setelah terdiam.
Marudut tiba-tiba curiga. Orang ini
jangan-jangan penjahat dikiranya aku punya banyak mas, sedang makan pun
sudah teransam, kata hatinya.
“Mas? Ah mana ada, makan aja pun
belum, nanya mas segala,” kata Marudut dan diam-diam menyiapkan
kuda-kuda melawan kalau pria itu macam-macam.
Laki-laki itu tertawa. “Mas itu dalam
bahasa kami berarti abang, adik atau pengganti kata saudara. Bukannya
aku mau tanya mas. Emangnya aku penadah mas atau apa…”
Marudut menghempaskan nafas perlahan.’ Oooo, begituuuuu ya…”
Laki-laki itu kembali bertanya:” Ini tanah abang ya …”
Marudut sedikit tersinggung, merasa
ada nada pelecehan pada dirinya. “Cemmana pula kau ini kawan, aku saja
baru datang dan orang susah pula, sungguh aku tak bohong…”
“Maksud abang?” si laki-laki sedikit heran melihat wajah masam Marudut.
“Bah, telmi kali pun kamu ini. Aku kan baru di Jakarta ini, mana tahu aku ini tanah siapa.”, Marudut geleng-geleng kepala.
Laki-laki itu cengar-cengir.”
Maksudku bukan itu bang, maksudku apakah tempat ini sudah termasuk
kawasan Tanah Abang?” Abang yang salah mengerti maksudku.”
Tensi Marudut yang sempat tak
beraturan, barulah normal kembali. Dia tertawakan dirinya sendiri,
merasa malu. Ah, dasar batak tembak langsung aku, Tanah Abang pun tak
tahu aku apa itu, katanya dalam hati. Marudut pun melepas tawanya,
laki-laki itu ikut nimbrung tertawa.
Akhirnya keduanya jadi teman.
Sama-sama mencari kerja, dan sama-sama diterima di sebuah perusahaan
ekspedisi di Glodok. Dan sekarang sudah punya usaha sendiri, hidup
tenteram, punya anak bini, tak terlalu kaya tapi tak juga miskin. Ini
hanya sekilas anekdot yang diceritakan kembali pada kompasianer. (dari Kompasiana/Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar