Rabu, 08 Oktober 2014

(HUMORIA) Batak Tembak Langsung (BTL), Apa Pula Itu...












Ilustrasi kota, sering bikin pendatang bingung (by leonardo ts)
BTL (Batak Tembak Langsung). Istilah BTL dulunya muncul ke permukaan, sebagai ilustrasi tentang anak kampung yang “tembak langsung” berangkat ke Jakarta. Tak singgah dulu di Medan atau kota lain seperti  Siantar, langsung ke pelabuhan Belawan naik kapal laut. Itu namanya BTL.
Sering juga ada anekdot seputar BTL ini. Terkadang mengundang kesan lucu, membuat orang tertawa terbahak, minimal senyum-senyum.
Salah satunya mungkin ini, si Marudut yang termasuk tiba di ibukota negara secara BTL. Ke Medan saja seumur-umur belum pernah,tiba-tiba ada inspirasi berkelebat harus langsung ke Jakarta. Kepada ortunya Marudut memompakan semangat optimistis, kalau di Jakarta nasibnya akan berubah.”Banyak orang tanpa sekolah pun sukses di Jakarta,” kata Marudut ketika itu, sekitar tahun 80 an.
Maka Marudut tibalah di Jakarta. Dia teringat cerita temannya sekampung si Charles dan si Yosep, yang kini sukses di Jakarta hanya dengan membuka usaha tempel ban di bilangan Cempaka Putih.”Kami memang harus banting tulang sambil kuliah. Di Jakarta semuanya bisa terjadi. Orang paling susah bisa kaya mendadak kalau sudah direstui Dewi Fortuna. Sebaliknya orang kaya pun bisa dalam sekejap kecebur masuk lumpur kemiskinan kalau nasibnya lagi apes.” Begitu cerita si Yosep. Dan Marudut ingin menerapkan yang seperti itu. Asalkan jangan jadi pengemis aja, kerja apa pun mau ia lakukan. Yang penting sudah resmi penduduk Jakarta.
Hampir tiap hari Marudut mencari-cari temannya yang dua itu, tak juga ketemu. Maklum henpon pun waktu itu belum ada. Tapi Marudut lumayan masih ada seorang bibinya menampung penginapan di Kalideres. Bibinya itu juga orang susah, harus banting tulang jualan goreng ubi kesana-kemari untuk menafkahi tga orang anaknya. Marudut punya pengertian, tak mau menambah beban famili yang susah. Yang penting ada tempat menginap sudah syukur.
Marudut jalan kaki kesana-kemari seraya mempelajari situasi kota. Terkadang berani-beranian juga naik metro mini. “Setidaknya aku sudah berjuang. Soal mau jualan koran kek, mau kerja kocok semen kek, tak apa, asal ada saja kerja yang halal,” kata hatinya seraya mengusap keringat mengucur membasahi bajunya. Bau ketiaknya pun tak ketulungan amisnya. Sampai-sampai ada beberapa perempuan yang duduk di metro mini harus menutup hidung dengan sapu tangan mengelakkan aroma tak sedap terbawa angin dari ketiak Marudut, apalagi saat bus bergerak angin pun berhembus seolah membagi aroma Marudut ke semua orang.
Sambil jalan-jalan melihat bangunan-bangunan bertingkat menjulang ke langit di sana-sini, Marudut mulai kehabisan tenaga. Dia terduduk di satu emperan toko, sambil meneruskan angan-angan ingin seperti Charles dan Yosep. “Jalan kaki berkilometer juga termasuk sudah berjuang, tapi hasilnya belum ada. Entah dimana kucari kedua orang itu, di kota sebesar ini,” keluhnya sambil meneguk air putih dalam botol limun yang tadi dibawanya dari rumah bibi. Bibirnya seperti retak-retak oleh sengatan panas matahari siang.
Beberapa saat kemudian Marudut meneruskan langkahnya jalan-jalan itu, dan sampailah dia di kawasan Tanah Abang. Ia mulai bingung, tak tahu lagi mau kemana. Dia juga tak tahu bus yang mana akan membawanya pulang ke rumah bibinya. Marudut sadar ia sudah terlanjur jauh melangkah. Marudut pun memutuskan mengaso lagi di sebuah kaki lima yang ada pohonnya. Tak berapa lama kemudian seorang pria mendekatinya.
“Maaf saya orang baru di sini, saya baru datang dari Jawa,” kata laki-laki itu.
“Bah, selamat datanglah kawan ke Jakarta. Kenalkan namaku Marudut, artinya bersambung dalam bahasa Indonesia. Aku asalnya dari Tarutung sana.”
Mereka berbicang beberapa saat. Pria itu bertanya,” Apa itu Tarutung? Nama desa atau kota.” Tanya pria yang tampak juga sedang kecapaian berjalan kaki.
“Ya itu nama kota di Sumatera, arti Tarutung itu durian, tapi di kampungku itu tak ada durian, hanya satu batang yang tumbuh, umurnya sudah ratus tahun,” terang Marudut.
“Tarutung itu di Medan ya,” tanya laki-laki itu lagi, duduk di samping Marudut.
“Botullah itu kawan, tapi Tarutung itu lebih besar dari Medan,” kata Marudut asal ceplos saja. Karena ia sendiri tak tahu Medan itu sepert i apa, dusunkah atau kota.
“Aku mau bertanya mas,” kata pria itu beberapa saat setelah terdiam.
Marudut tiba-tiba curiga. Orang ini jangan-jangan penjahat dikiranya aku punya banyak mas, sedang makan pun sudah teransam, kata hatinya.
“Mas? Ah mana ada, makan aja pun belum, nanya mas segala,” kata Marudut dan diam-diam menyiapkan kuda-kuda melawan kalau pria itu macam-macam.
Laki-laki itu tertawa. “Mas itu dalam bahasa kami berarti abang, adik atau pengganti kata saudara. Bukannya aku mau tanya mas. Emangnya aku penadah mas atau apa…”
Marudut menghempaskan nafas perlahan.’ Oooo, begituuuuu ya…”
Laki-laki itu kembali bertanya:” Ini tanah abang ya …”
Marudut sedikit tersinggung, merasa ada nada pelecehan pada dirinya. “Cemmana pula kau ini kawan, aku saja baru datang dan orang susah pula, sungguh aku tak bohong…”
“Maksud abang?” si laki-laki sedikit heran melihat wajah masam Marudut.
“Bah, telmi kali pun kamu ini. Aku kan baru di Jakarta ini, mana tahu aku ini tanah siapa.”, Marudut geleng-geleng kepala.
Laki-laki itu cengar-cengir.” Maksudku bukan itu bang, maksudku apakah tempat ini sudah termasuk kawasan Tanah Abang?” Abang yang salah mengerti maksudku.”
Tensi Marudut yang sempat tak beraturan, barulah normal kembali. Dia tertawakan dirinya sendiri, merasa malu. Ah, dasar batak tembak langsung aku, Tanah Abang pun tak tahu aku apa itu, katanya dalam hati. Marudut pun melepas tawanya, laki-laki itu ikut nimbrung tertawa.
Akhirnya keduanya jadi teman. Sama-sama mencari kerja, dan sama-sama diterima di sebuah perusahaan ekspedisi di Glodok. Dan sekarang sudah punya usaha sendiri, hidup tenteram, punya anak bini, tak terlalu kaya tapi tak juga miskin. Ini hanya sekilas anekdot yang diceritakan kembali pada kompasianer. (dari Kompasiana/Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar