Jumat, 17 Oktober 2014

(STORY) Janji Kekasih Misterius




Janji Kekasih Misterius
(LEONARDO TS)==
 


 Di pinggir sungai kota T, mereka berpapasan lagi. Kalau gadis itu tersenyum kecil, maka pemuda itu tersenyum lebar. Kalau gadis itu menahan tawa sambil membekap mulut dengan sebelah tangannya, maka pemuda itu juga tertawa sambil batuk ditahan. Awalnya beberapa kali berpapasan itu tanpa bunyi, tanpa sapa. Lalu, belakangan pemuda bernama Sitor itu yang menegur pertama kali. Itu pun sudah mati-matian.
  “Mau kemana?”
“Mau ke sana.”
Atau bila pertanyaan Sitor “ dari mana”, gadis itu menjawab singkat “ dari sana”. Dan selalu ada bumbu tawa renyah, tawa rincing yang menarik, tawa bugar yang menyehatkan ruang dengar Sitor. Tawa yang berlabuh indah ke ulu hati.
  Itulah yang terjadi hari-hari yang lalu. Dari Januari ke Pebruari. Monoton awalnya, tapi bersayap. Seperti ada sinyal-sinyal ketertarikan satu sama lain.
  Kini, awal Maret. Masih di kota T yang dibelah sungai yang airnya kekuningan dan mulai dangkal. Mereka seperti ditakdirkan dewa-dewi, berpapasan lagi di pinggiran sungai itu. Tapi bukan lagi seperti hari-hari lalu, kalau bertemu saling senyum, saling tertawa, atau saling sapa. Kali ini mereka sudah duduk bersama di sebuah lapak penjual mi sop bertenda plastik biru. Di atas ketertarikan, ada rasa suka. Dari rasa suka tak terlalu rumit lagi menuju rasa sayang, dan dari rasa sayang mengarah rasa cinta. Begitu.
  Saling tanya “dari mana” atau “mau kemana”, sudah silam. Kini intimitas itu makin nyata, ibarat enceng gondok merapat ke perahu layar di Danau Toba. Dialog yang terjadi sudah maju ke tahapan lebih modern, lebih gaul, lebih transparan.
 “Siapa namamu?”
“ Sitor...”
“Dan namamu?”
“ Mince...Mince Katiempo”
Lalu terdengar nada heran yang pemuda.” Lho, seperti nama Manado. Apa kamu orang Manado?”
Datar saja suara Mince menyahuti:” Kalau orang Manado, kenapa?Kok heran?”
“Nggak, ya hanya heran kok di sini ada gadis Manado, dan manis lagi...”, Sitor melepas tawa dengan intonasi suara beratnya.

  “Kalau ada pemuda Batak di Manado sana, apa itu aneh?” Mince menyeruput air putih dari gelas. Sitor juga meneguk kopi manisnya. Terasa kurang gula, tapi tak perlu dikomentari.
  “ Ya, lupakan saja deh soal Manado dan Batak. Kita anggap saja sama-sama orang Indonesia, selesailah sudah. Oke?”
  “Saya bukan orang Manado,kok. Hanya nama saya mirip seperti Katoppo, nama marga Manado. Itu maksudmu kan?” kata Mince kemudian.
  “Baiklah, kita orang Indonesia saja, tuntas sudah,” balas Sitor lembut berirama.
  Mince mengangguk. Tertawa lepas lagi. Suaranya memang tak semerdu Yuni Sara, tapi cukup feminin di telinga Sitor. Percakapan itu berlangsung terus, dalam suasana ceria. Tampaknya sama-sama sudah suka. Atau cinta? Hanya mereka yang pastikan itu. Yang pasti, mereka makin sering bertemu. Dan paling kerap di tepi sungai kota T itu.
  Senja itu, adalah senja yang ke sembilan  mereka bertemu. Juga makan mi sop yang hangat sambil minum juice jeruk. Yang bayar tak selalu Sitor. Untuk yang ketiga kali, Mince yang traktir.
  Dan malam pun merayap perlahan, seiring tenggelamnya nuansa merah jingga di ufuk barat. Bulan sedang menuju padam. Tak seterang seminggu sebelumnya ketika bulan masih menggantung di angkasa raya. Hanya cahaya lampu rumah dekat sungai itu yang menerangi suasana temaram. Sitor mengenakan jeket pilot kumal menutupi kaos oblong bertuliskan Hotel California itu. Mince tampak seksi dengan jelana keeper putih dikombinasi kaos biru liris-liris. Tampak lekuk-liku tubuh montoknya mengundang mata berkolaborasi dengan bokong yang penuh dan melambai-lambai ke kanan kiri ketika berjalan. Sitor tak bosannya memuji kebahenolan Mince walau dalam hati. Maka wajar bayangan erotis itu makin sering menggumpal di depan mata.
  Pada malam tak berbulan ini, mereka cerita ngalor-ngidul ke segala arah, ragam topik. Sitor ingat ini adalah pertemuan ke empat pada malam hari di tanggul sungai itu. Cukup aman dan romantis, terlindung dua batang pohon yang rimbun. Pada pertemuan ketiga, Sitor sudah mencoba mencium bibir Mince, tapi gagal. Bukan bibir yang kena cium melainkan pipi. Pada hal Sitor bercita-cita harus melumat bibir bagus itu sekali. Tapi Mince selalu menolak, dengan dalih sederhana,” sabar bang, ada waktunya”. Sitor penasaran tapi ia merasa tak etis jika terus memaksa. Sudah ke sekian kali Mince berhasil mengelak sehingga ciumannya hanya singgah di pipi.
  Dan malam ini, Sitor masih mencoba. Tapi ketika ia mencoba memalingkan wajah gadis itu ke arahnya, Mince melintangkan jari telunjuknya di bibir, syarat melarang. “Kubilang, sabar...”. Ah, Sitor tak hanya penasaran, tapi sedih.
  Sitor menatap sungai yang mengarus deras dalam kelam. Sitor merasa hatinya juga kelam. Kenapa Mince tak juga mau dicium, hanya sekali saja. Itu kan pertanda atau manifestasi cinta saja. Bukan manifestasi nafsu birahi. Mince membelai rambutnya dari belakang, lalu berbisik,” Penting kalikah abang mau cium aku?”
  Sitor tak segera menjawab. Ia merasa hatinya dilembuti jemari si gadis yang menjelajah rambut semi gondrongnya di bagian belakang. Terasa lembut dan mesra.
  “ Mince sayang, malam ini cinta makin mengepul, tapi tak ada ciuman.”
 Justru Mince tak menanggapi perkataan itu. Ia menunjuk ke depan, berkata,” Air mancur itu indah, lihat bang airnya menari-nari mengikuti irama lagu dari rumah sebelah. Apa abang senang dengan air mancur?” Kelembutan suara Mince membuyarkan kesal di hati Sitor. Dan untuk menutupi perasaan kesalnya, Sitor pun menganggukkan kepala.” Ya, aku senang air mancur.”
  “Senang musiknya juga/” tanya Mince.
 “Ya, tentu. Aku senang musiknya.” Sahut Sitor sekenanya saja, sementara pikirannya masih menerawang entah kemana.
  “Dan bagaimana dengan bunga bougenvil yang di tengahnya”, kata Mince lagi, dan jemarinya masih membelai rambut Sitor. Perasaan Sitor pun seperti melambung ke angkasa oleh belaian yang disukainya itu.
  Lalu, Sitor berkata,” Ya, aku senang dengan bougenvil itu. Indah warnanya...” Pada hal saat itu malam, Sitor tak melihat apa-apa kecuali temperasan air mengalir ke hilir.
  “Abang benar-benar suka bugenvil itu?” kata Mince tertawa.
  Sitor melihat ke arah yang ditunjuk Mince. Busyettt... mana ada bunga mawar di sungai yang kelam itu. Juga, mana ada air mancur di sana. Sitor merasa terbodoh, mengucak-ucak rambutnya. Mana mungkin bunga bougenvil ada di sungai yang mengalir deras. Mengapa aku jadi sebodoh itu, pekiknya dalam hati. Sitor pun ikutan tertawa jadinya. Keduanya tertawa berderai.
  “Abang ngelamun ya,” kata Mince ketika Sitor terdiam beberapa saat, menatap ke sungai yang seperti mendendangkan irama tak beraturan seperti irama kesal di hatinya.
  “Ya...aku tampak melamun ya” ,kata Sitor memalingkan wajahnya ke muka Mince. Dalam remang cahaya lampu jalan, ia melihat bibir manis Mince lagi. Dan makin ingin lagi menguum bibir itu dengan gemas hatinya. Tapi Sitor sudah tahan diri.
  “Tentang apa bang,” suara Mince lirih.
  “Banyak”, kata Sitor.
  “Banyak sekali?” Sitor mengangguk. “Ya aku sedang memikirkan keganjilan-keganjilan dalam kehidupan manusia. Mengapa manusia harus hidup bila ada kematian. Mengapa manusia harus menangis bila ada senyuman. Mengapa manusia berbuat jahat bila ada kebaikan. Mengapa manusia berperang bila ada perdamaian. Dan...mengapa manusia harus bercinta bila tak boleh berciuman. Itulah yang kulamunkan, Mince sayang...”
  Mince tertawa berderai sampai menutup mulut dengan telapak tangannya.” Ah, itu bukanlah suatu lamunan, bang, melainkan ketidakpercayaan atau pesimisme. Abang terlalu dibuai apatisme atau pesimisme yang membuat abang jadi muram semuram cahaya yang menimpa air sungai itu.”
  Sitor tak berkata apa-apa. Tampaknya Mince sedang menggurui dengan filsafat yang sederhana. Soal ketidakpercayaan atau ketidakberdayaan? Tentang apatisme? Tentang pesimisme total? Sitor bukan tak percaya filsafat-filsafat karena ayahnya seorang tokoh adat yang kaya dengan pengetahuan filsafat hidup seperti yang diajarkan Jean Paul Sartre atau Bertrand Russel. Tapi Sitor lebih percaya jika sudah pernah mencium bibir Mince dan melumatnya dengan segenap kasih sayang.
  Sitor menghela nafas pelan, lalu mengempaskan nafas juga pelan.” Baiklah aku percaya semua itu Mince sekarang.”
  “Kenapa bang? Karena aku tanya tentang ketidakpercayaanmu pada janjiku ciuman?”
  Sitor teringat sesuatu kata filsafat yang dibacanya.” Kan menurut Voldwig perempuan adalah gudang kepercayaan. Omongannya lebih bisa dipercaya daripada kaum lelaki.”
  “Oouu, begituuu,” Mince mendehem sekali.
  “Ya, dan aku percaya pendapat Voldwigg itu, dan lebih percaya lagi kalau aku telah mencium bibirmu yang lembut indah ini,” Lalu tangan Sitor merengkuh bahu Mince, menariknya pelan agar condong ke tubuhnya, kemudian melilitkan kedua tangannya memeluk gadis itu. Mince menunduk, dan ketika Sitor mengangkat wajahnya agar menengadah dan hendak mendaratkan bibirnya, Mince mengelak dengan sigap.
  “Tunggu dulu, abang belum selesai bercerita,” kata Mince sedikit terengah.
 Sitor kesal bukan main. Namun diredamnya dengan sekuat hati.” Cerita apa? Ceritaku sudah tamat,” nada Sitor sedikit berubah, ada nuansa ketus yang dikendalikan.
  “  Belum bang,” kata Mince tetap lembut.”Abang misalnya belum beri pendapat tentang musik.”
  “Musik?”
 “Ya, musik. Apa pendapat abang tentang...misalnya...”
  “Aku tak tahu soal musik.”
   “Kalau begitu tentang puisi”.
   “Aku juga mana tahu puisi, aku bukan penyair.”
   “Kalau begitu tentang yang lain un boleh,bang”.
   Sitor mendongkol sudah. Ingin sekal ia menjewer mulut cerewet yang pelit dicium itu.
   “Perenpuan cerewet kamu Mince,” gumamnya kesal di hati.
   Lalu, Sitor berkata dengan suara mendatar.” Kamu aneh Mince.”
   “Aneh? Kenapa aneh bang.”
   “Ya, bagiku kamu aneh Min. Kamu bilang sayang dan cinta padaku, tapi memberi ciuman aja setengah mampus aku membujuk tak juga kesampaian. Apa itu tak aneh...”
   Mince tersenyum. Senyumnya dalam remang cahaya itu manis sekali, bahkan sensual dalam pandangan Sitor.
   Tiba-tiba.” Baiklah bang kalau begitu, aku penuhi keinginanmu...”
   Hati Sitor pun bergolak riang. “Horeeee, akhirnya mau juga,” hatinya berseru girang. Ingin melonjak  saking senang hatinya. Tapi ia menahan diri. Dipegangnya tangan Mince yang lembut seperti tangan bayi. “Begitulah Min, akhirnya kau mengerti...”
  Mince tak bergerak ketika jemarinya dielus-elus Sitor.
 “Pejamkan matamu Mince, aku akan berikan ciuman terindah yang tak kan kau lupakan dalam hidupmu,” bisik Sitor lembut.”
  Mince mendorong pelan tubuh Sitor yang memeluknya.” Sabar dulu bang, maksudku, belum sekarang, tapi besoklah aku memenuhi permintaan abang sayang,”
  Sitor hampir terhenyak, kecewa lagi.”Bah, kenapa ciuman aja pakai besok segala, Min.”
  “Besok dengan sekarang kan sama bang, yang penting kan ciuman itu akhirnya abang dapatkan.” kata Mince. “Sekarang abang peluklah aku, aku merasa kedinginan, kalau pelukan boleh bang, ciuman besok aja yang terindah kuberikan...” Walau masih kesal, Sitor pun memeluk Mince, sebelum mereka berpisah.
   MALAM esok itu pun tiba. Hati Sitor berkibar-kibar seperti merah putih yang berkibar pada perayaan kemerdekaan. Bulan masih belum muncul. Bintang juga entah kemana, sebiji pun tak kelihatan di langit kelam. Setengah jam sudah Sitor menunggu di tempat biasa. Mince belum juga nongol. Sitor gelisah resah. Hampir tiap menit melihat jam tangannya. Sudah satu jam melewati waktu yang disepakati. “Halangan apa lagi dia.” bisik Sitor berbaur bimbang.
  Waktu berjalan terus, detik demi detik. Sitor berdiri, duduk, berdiri, duduk, berdiri, menatap ke semua arah mengharap kemunculan Mince.
  Lalu, dari sudut jalan sana, sosok seorang perempuan muncul melangkah gontai mengarah ke tempat Sitor di balik pohon bunga itu. Sitor bersorak mengira itu adalah Mince. Ternyata ia kecele. Perempuan itu sama sekali bukan Mince.
  Tanpa banyak basa-basi, perempuan berpostur gemuk itu langsung bertanya pada Sitor.” Anda Sitor Si...? Sitor mengangguk penuh harap keajaiban. “Ya saya Sitor, ada apa ya to.”
  Dengan ringkas dan tegas, perempuan gemuk itu mengatakan bahwa Mince tak akan datang menemuinya malam ini, bahkan seterusnya. Sitor merasa dirinya terpental kecebur ke dalam sungai.
  “Kenapa?” Pertanyaan itu ingin diungkapkan seribu kali.
  Lalu perempuan itu berkata pelan,” Mince bukanlah gadis normal seperti anda kira. Mince itu seorang lesbian, itulah sebabnya dia tak mau dicium seorang lelaki. Dia telah menceritakan tentang anda pada saya. Dan supaya anda tahu saja, beberapa waktu belakangan ini dia memang kesepian karena kutinggalkan. Sekarang aku sudah kembali, dia tak kesepian lagi. Maka atas nama kami berdua, kami mohon maaf atas janjinya pada anda. Pulanglah dengan damai, karena ia tak akan datang lagi ke tempat ini.
  Sitor merasa dunia ini jadi gua gelap. Tatap matanya kosong menyaksikan perempuan itu menghilang di tikungan jalan yang diterangi cahaya mercury. (Medan,Okt-SARINGAR.Net/Leonardo TS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar