Nahum Situmorang, Sang Maestro = |
Seorang pemain gitar begitu piawai mengiringi empat pria lainnya membawakan lagu Lissoy
yang terkenal. Mereka tampak bernyanyi penuh perasaan, seolah tak acuh
suasana sekitar. Sambil sesekali meneguk tuaknya, silih berganti lagu
karya Nahum dilantunkan.
“ Kenapa semua lagunya Guru Nahum?”, tanya penulis ketika para parmitu itu jedah sejenak.
Salah seorang menjawab, hanya kebetulan semacam acara mengenang
komponis besar Nahum Situmorang,mendorong mereka kumpul di kedai itu.
“Almarhum guru Nahum Situmorang adalah komponis Batak terbesar yang
pernah dilahirkan,meski pun masih ada beberapa komponis Batak lainnya
yang hampir setara dengan Nahum,” jelas pria bermarga Purba sambil mengajak penulis mencicipi sedikit tuak bagot
(jenis tuak dari pohon enau) yang tersaji dalam sebuah kendi di atas
meja. Ternyata ke empat pria itu bukan warga setempat. Mereka hanya
kebetulan singgah dalam perjalanan dari Siantar menuju Sibolga. Saat itu
hujan gerimis, dan mereka memutuskan singgah sebentar. “Kami lihat ada
gitar, yah langsung saja dimainkan”, ujarnya tertawa lepas.
Purba mengatakan, Nahum Situmorang adalah “pendekar seni musik”(maestro)
Batak yang telah menciptakan ratusan lagu yang tetap popular hingga
kini. Bahkan banyak lagu ciptaan Nahum belum sempat dirilis, sampai ia
meninggal pada 1969. Kepiawaian Nahum mencipta lagu, setara dengan
komponis Batak lainnya seperti Ismail Hutajulu, Guru Sidik Sitompul
(S.Dis), Tilhang Gultom. Sejumlah lagu ciptaan Nahum yang terkenal, di
antaranya Lissoy,Tabo Dekke Niura,Boha PandungdungBulung,Sombuma roham
,Dijou
au mulak tu Rura Silindung, O Luat Pahae,Pulo Samosir do, Ketabo tu
Sidimpuan i, Marragam-ragam, Dekke Jahir, Marsahit Lungun , Bunga na Bontar,
dan banyak lainnya yang terlalu banyak disebut satu persatu. Semua lagu
Nahum sudah dirilis dalam format album kaset, kepingan vcd/dvd, dengan
penyanyi berbeda. Mulai dari Trio Lasidos, hingga vokal grup yang
berunculan dari waktu ke waktu.
Dari beberapa referensi, bukan rahasia lagi kalau Nahum Situmorang
sampai akhir hayatnya memilih hidup sendiri (melajang),konon karena
patah hati. Tak jelas ceritanya siapa gadis yang dulu begitu
dicintainya, sehingga sampai usia 60 lebih, ia tidak kawin. Tapi menurut
cerita, si gadis yang membuatnya patah hati adalah seorang gadis
rupawan, dan masih cicit seorang tokoh pahlawan nasional. Gadis jelita
yang kemudian kawin dengan seorang dokter itu, pernah diwawancarai
wartawan di Tuktuk,Samosir, menyangkut kedekatannya dengan Nahum di masa
muda. Namun dia menepis anggapan bahwa ia pernah dekat dengan Nahum
dalam arti spesial.”Mungkin saja dia (Nahum) memendam cinta pada saya,
namun tak pernah diungkapkan,” tutur wanita yang rambutnya sudah ubanan
ketika itu. Dia menyebut semasa muda dulu di Tarutung, sering
beramai-ramai marguru ende (latihan koor) ke gereja. Nahum sering ikut menghidupkan suasana dengan main gitar dan menyanyikan lagu-lagu ciptaannya.
Nahum Situmorang yang nama samarannya “Humstrong”, lahir di Sipirok,
Tapanuli Selatan, pada 13 Februari 1908. Semasa hidupnya ia sempat
mengecap pendidikan di Kwekschool Gunung Sahari, Jakarta.Tapi kemudian
Belanda menutup sekolah itu karena dianggap berbahaya. Dari sana Nahum
melanjut ke Lembang Bandung pada 1927, tamat 1928. Tapi ia tidak
diterima mengajar di sekolah negeri karena dianggap sebagai pejuang yang
memusuhi Belanda. Nahum kembali ke Sibolga dan mengajar di Particuliere
HIS van Batakse Studifonds. Sejak itulah panggilannya sehari-hari
disebut “Guru Nahum”. Dari Sibolga, Nahum lama menetap di Tarutung. Dia
menciptakan banyak lagu semasa di Tarutung. Salah seorang adiknya
mengajar di SMP Nommensen Sigompulon. SMP itu belakangan tutup.
Sejak remaja bakatnya menyanyi dan mencipta lagu sudah kelihatan. Tapi
bakat itu makin menonjol setelah Nahum pindah ke Medan 1950. Keindahan
alam Tapanuli terutama Danau Toba dan Lembah Silindung mengundang banyak
inspirasinya mencipta lagu. Di antaranya lagu Rura Silindung,Pulo Samosir,Sitogol-Sitogol,Tao Toba, Marina (pernah menghiasi film Marina pada 1960 an). Selain itu Nahum juga mencipta lagu Lontung Sisiamarina,yang melukiskan sejarah sembilan marga turunan Raja Lontung, termasuk marga Situmorang.
Menurut Purba, semasa hidupnya Guru Nahum sering menghabiskan waktunya bergaul dengan rekannya sesama penyanyi di lapo-lapo tuak di Tarutung, Siborongborong, Sibolga, Medan . Di sana ia bertemu parmitu,abang
beca, bahkan pemain judi. Dari pergaulannya dengan ragam manusia Nahum
makin produktif mencipta lagu. Guru Nahum sering memainkan gitar buatan
Sipoholon, yang menurutnya tak kalah dari gitar buatan luar negeri.
Pernah suatu malam pada Oktober 1959, Nahum melintas di jalan Ambon,
Medan . Tiba-tiba ia tertegun mendengar tangisan bayi dari sebuah rumah.
Nahum tertarik mendekat untuk memantau situasi di rumah itu. Rupanya si
bayi sedang rewel tak mau tidur walau ibunya berusaha meninabobonya
dalam ayunan. Sang ibu menggerutu, karena suaminya belum pulang larut
malam. Dari situlah Nahum mendapat ilham menciptakan lagunya berjudul Modom ma damang ucok.
Salah satu lagu sentimental yang disukai perempuan Batak. Lagu itu
pernah dinyanyikan Nia Daniaty dalam album lagu Batak produksi Akurama
Record. Syair lagu itu melukiskan kesetiaan dan perjuangan seorang
perempuan Batak mengasuh anaknya, sementara saang suami asyik di kedai tuak atau main judi.
Diduga, karena Nahum begitu sibuknya mencipta lagu, sehingga ia sering
begadang. Faktor kurang tidur, membuat kesehatannya cepat menurun di
hari tuanya. Nahum mulai sakit-sakitan, namun dalam keadaan sakit pun ia
tetap mencipta lagu. Ketika akhirnya Nahum meninggal dunia di Medan
pada 20 Oktober 1969, suasana terasa memilukan. Karena sampai akhir
hidupnya tak ada isteri atau anak-anak yang melepas kepergiannya. Ia
telah memilih hidup sendiri dengan jiwa seninya. Nahum Situmorang
dimakamkan di pekuburan Jalan Gajah Mada,Medan. Makamnya
menjadi salah satu obyek wisata bagi para pengagumnya, menyimak kembali
aspek kesejarahan komponis besar itu. Banyak generasi muda sekarang tak
tahu lagi persis siapa dan bagaimana guru Nahum melintasi kehidupannya
di masa silam, tapi mereka mau meluangkan waktunya ikut membuka lembaran
sejarah, seraya mengumandangkan ragam lagu ciptaan Nahum yang memang
memiliki karakteristik tersendiri, tentang alam Tanah Batak, tentang
panorama indah Danau Toba, tentang Lembah Silindung yang dicintainya,
tentang kehidupan masa silam yang tak terbandingkan lagi dengan nuansa kekinian.
Pada masa mudanya, Nahum lama bergaul di Tarutung. Ia menyukai alam dan
masyarakatnya yang solider. Marga- marga Situmorang merasa bangga,
karena dalam salah satu lagu ciptaannya, Nahum menguntai syair molo masihol ho tu Silindung, endehon ma ende ni Situmorang (
Kalau rindu ke Silindung nyanyikanlah lagunya Situmorang). “ Terus
terang saya bangga, karena Silindung itu bukan kampung halamannya marga
Situmorang tapi nyanyian untuk Silindung justru lagu Situmorang”, kata
Martua Situmorang, seorang pensiunan guru STM Pansurnapitu . Lagu Rura Silindung
memang salah satu lagu rakyat berirama sentimental,yang sering
dinyanyikan dalam berbagai event penting. Tak heran kalau alm KK
Mangatas Panggabean mengatakan lagu tersebut sudah seperti “lagu
kebangsaan” bagi warga Silindung.
Sebagai kenangan dan penghargaan atas jasa Nahum Situmorang dalam
pengembangan lagu rakyat khas Batak, Pemda Tapanuli Utara telah
menabalkan namanya menjadi nama sebuah jalan di kawasan Sigompulon
Tarutung, ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Prasasti abadi untuk sang maestro.
Seorang
komponis boleh saja sudah tiada, tapi lagu ciptaannya akan abadi
sepanjang masa. Tapi menjadi pertanyaan sekarang, akankah masih ada
lahir komponis dengan talenta, visi, dan misi Guru Nahum di tengah
semarak kemunculan para pengarang lagu dan penyanyi asal Tapanuli?
Sejarah juga yang akan mencatat. (Leonardo TS / diperkaya berbagai sumber/lihat juga Kompasiana.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar