Sabtu, 23 Agustus 2014

(CERMIN) Gulamo Na Tinutung


Masih banyak warga harus menjelajahi jalan sulit menuju
pasar membawa hasil buminya. Foto diambil di satu desa
di kawasan Parsoburan,Tobasa

Seorang anak kerja keras di ladang sunyi membantu orang tua
sepulangnya dari sekolah.Foto diambil di di satu desa di
Parmonangan,Tapanuli Utara
  Warga yang hidup di perkotaan, boleh-boleh saja menikmati apa saja, sejalan dengan geliat kemajuan zaman Mau makan enak di restoran Tionghoa dengan racikan mi pangsit,fuyunghai, atau jajan Kentucky Fried Chicken atau hamburger. Mau makan rendang di warung Minang. Ataukah mau cari menu khas Batak, sangsang na margota,(daging cincang masak darah), ikan mas arsik, atau tanggo-tanggo. Tinggal melangkah saja beberapa meter, itu pasti tersedia. Kalau di kota, asal ada duit, mau makan apa pun gampang.
 Ataukah Anda seorang pejabat pemerintahan/swasta, PNS yang punya “meja basah”, rekanan pemborong, anggota legislative, atau pemeriksa atau auditor satu jawatan yang sering turun memeriksa-meriksa ke bawah. Apa susahnya mau makan apa saja, dan di mana suka. Tinggal berpikir sejenak, untuk menentukan kemauan. Lalu hidupkan mesin mobil atau sepeda motor, langsung meluncur ke tempat tujuan. Mau ke resto, mau ke kafe, mau ke warung tradisional yang menyajikan tuak lengkap dengan tambulnya.
Maka, kata orang, wajar kalau orang kota, apa lagi yang punya pendapatan mencukupi, lebih bugar di banding orang yang hidup di desa. Logikanya, kata orang lagi, wajar kalau orang di kota lebih sehat dari pada orang desa. Bahkan, masih kata orang, (tak jelas siapa orangnya), wajar kalau orang-orang di kota hidupnya lebih bahagia dari orang yang hidup di desa. Apalagi kalau desanya terpencil seperti di Kecamatan Parmonangan, Garoga, Pangaribuan, Adian Koting,yang konon di kalangan PNS dianggap “tempat buangan” kalau dimutasikan atasan ke sana.
“Itu tak benar”, bantah Linggom Sianturi, seorang perantau asal Lintong, yang kini bermukim di Batam. Saat berbincang dengan Ekspresiana pada keramaian pameran Hari Jadi Tapanuli Utara ke-68 di Tarutung, menurut Linggom, bahagia ukurannya bukan duit atau hidup di kota. Banyak orang desa yang hidupnya bahagia, tidak ditakar dari seberapa pendapatannya menjual cabai, tomat, atau sayur bayam. Tapi, bahagia, karena bias menyekolahkan anak-anak, lalu satu saat anak itu “jadi orang” di satu tempat. Bisa mengirim alakadarnya ke kampung, atau saat pulang bertahun baru, membawa sesuatu. Dan sesuatu itu, ujar Linggom, tak harus uang.”Melainkan seorang parumaen atau hela”, tukasnya seraya tertawa, dan meneguk tuak asli yang disajikan di salah satu stan kecamatan.
Bagi Linggom, semua orang Batak, dulunya adalah parhuta-huta (orang kampung). Dulu mana ada kota. Satu tempat permukiman, yang lama-lama membesar, dan warga terus bertambah. Jadilah itu sebuah kota. Tapi memang, mereka yang kebetulan berdomisili di kota turun temurun, bolehlah beruntung, karena predikatnya jadi warga kota. Sebagai warga kota, mereka lebih dulu menikmati jalan aspal, lampu listrik, nonton bioskop, punya radio, nonton televisi, dan segala macam. Sementara orang kampung, harus pasrah dengan pemandangan sehari-hari, yakni sawah, pegunungan, hutan belantara, ladang, kolam ikan, dan lampu botol yang membuat lobang hidung jadi hitam saat bangun pagi hari.
Sebagai seorang parhuta-huta, yang kemudian merasa berhasil jadi orang, Linggom menyebut, kedua orang tuanya hidup bahagia.” Dulunya semasa kecil, saya ke sekolah berjalan kaki sekian kimometer. Ayah saya orang sipogos-pogos (miskin). Dia digaji orang menggembala horbo (kerbau), dengan imbalan uang sekian persen setelah horbo laku terjual. Makanya saya lama dibesarkan di punggung horbo, karena sepulang sekolah, saya langsung membantu ayah menggembala. Dan saya senang sekali setiap kali saya duduk di punggung horbo”, tutur karyawan salah satu pabrik elektronik Batam itu, bernostalgia.
Amang Boru (suami dari saudara perempuan ayah) Linggom ada di Tarutung. Seorang toke haminjon (kemenyan). Tapi seumur-umur, ayah Linggom tak pernah marborngin (menginap) di rumah iparnya yang orang kota itu, bahkan sampai ayah Linggom meninggal. Kenapa? Alasannya, tak ingin tidur di ranjang, pakai kasur. Juga karena kata ayahnya, tak selera makan dengan masakan ibotonya (saudara perempuannya), istri toke haminjon itu. Pasalnya, makanan kota tak cocok dengan lidahnya, karena selalu ikan atau daging digulai, digoreng, disambal. Pernah satu kali ayah Linggom makan di rumah amang borunya itu.”Dang adong gulamo na tinutung” (apa tak ada ikan asin bakar), justru itu yang diminta ayahnya. Karena ayah tak sudi makanan yang sudah tersaji di meja, dan namborunya juga tak pernah belanja gulamo, akhirnya namboru minta dari tetangga.
“Bayangkan, setelah gulamo bakar itu sudah hadir di meja, ayahku langsung makan dengan lahapnya…ha-ha-ha…jea do pogos, molo dang hea mamora´(runyam jadi orang miskin kalau tak pernah hidup kaya). Linggom Sianturi tertawa terpingkal-pingkal.Lantas, dia pun membuat kesimpulan sendiri.”Nah, itu contohnya bahwa tak semua orang bisa hidup di kota, apalagi dikaitkan dengan istilah bahagia. Mungkin ayah saya tak sendiri. Masih banyak orang parhuta-huta yang modelnya seperti ayahku. Di bawa ke kota pun tak mau betah lama-lama, terus minta pulang ke huta. Seolah-olah harumnya gulamo na tinutung, selalu menggoda selera makannya. Aneh kan, tapi nyata”. Linggom kembali tergelak. Orang-orang yang berada di sekitar salah satu stan pameran kecamatan itu, ikut tertawa.
 Apa pun gambaran yang diberikan Linggom, tapi yang jelas keluarga seperti itu mungkin boleh disebut bahagia dengan kehuta-hutaannya. Bayangkan. Pagi, belum lagi matahari muncul di ufuk Timur, ayahnya sudah berangkat ke ladang. Di punggungnya tergantung sebilah goluk (parang), pakai sarung yang setia tersandang di bahunya. Tak dirasakannya bila hujan gerimis semalam telah membangunkan para limatok (pacat), yang selalu siaga menempel kaki manusia yang lewat di rerumputan. Tapi, menurut Linggom, kehidupan rutin semacam itu adalah potret kebahagiaan banyak warga di desa. Pasrah, rupanya tak selalu berarti ketidakberdayaan. Hidup dengan gulamo na tinutung, bukan berarti minderwardigheids complex, rendah diri, seperti istilah orang Belanda.
 TAPI, barangkali lain ilustrasi yang dibuat Linggom, bisa lain pula gambaran yang dipetik Ekspresiana yang sering berjalan-jalan ke desa. Benarkah, bahwa gulamo na tinutung, tak harus merupakan gambaran kondisi kemiskinan, ketidakmampuan, atau ketakberdayaan seseorang atau sekelompok orang di desa?
Kemiskinan? Ternyata, banyak orang Batak yang malu-malu kucing dengan realita kemiskinan. Pada suatu hari, Ekspresiana singgah di satu desa tak jauh dari Dolok Imun di kawasan Sipoholon/Parmonangan.
Hujan yang tiba-tiba deras, membuat Ekspresiana terpaksa berlindung di sebuah rumah penduduk. Suasana di dusun itu sepi. Tapi di emperan rumah kecil itu, tampak dua anak kecil sedang makan dengan asyiknya. Nasi di piring kaleng itu tampak kering, seadanya, tanpa sayuran. Kecuali, ada secuil ikan asin yang terlihat hitam mosok (hangus) di atas nasinya. Anak itu baru pulang sekolah.Baju dinasnya masih dikenakan, dengan kancing sudah terbuka. Dia seakan acuh dengan kehadiran penulis di sana. Saking laparnya barangkali, dia hanya sekali mendongak, lalu makan lahap lagi. Sesekali jari tangannya mencomot gulamo baker itu, menempelkan pada gumpalan nasi yang baru disuapkan ke mulut. Wah, nikmat sekali makan anak ini.
 “Aha do puang ikkanmu kawan (apa laukmu itu kawan), sapa blogger Ekspresiana sekadar membuka percakapan.
 “Gulamo doi tulang” (ini ikan asin, tulang), sahutnya dengan mulut masih dipenuhi nasi. Anak itu melirik sekali, kemudian melanjutkan makannya, Diteguknya sekali air dalam cangkir butut di sisinya. Berkumur beberapa kali, seolah melancarkan jalannya nasi ke tenggorokan.
 “Tabo do gulamo na tinutung,ate”(enak ikan asin bakarnya ya), sambung penulis lagi, seraya duduk dekat si anak. Anak itu tersenyum lirih.”Tabo do i tulang, nga male” ( enak tulang, sudah lapar), katanya datar, tak ada kesan malu.
 “Marsogot aha muse ikkanmu” (besok apa lagi lauknya), Tanya penulis. Langsung dia jawab “tong do songon on tulang, gulamo na tinutung do torus´ (ikan asin juga terus, tulang). Sekilas kelihatan kedua kaki anak itu penuh bekas bisulan yang sudah mengering. Pada tangan kirinya juga, ada bekas luka bisul yang sudah kering. Bekas bisul itu tampaknya akan membekas lama.
Tak lama kemudian, muncul sosok pria berusia paruh baya. Pria berkulit keras kehitaman itu tersenyum kepada penulis, lalu meletakkan cangkulnya di sisi rumah. Dia tampak basah terkena guyuran air hujan. “Bah, di taon hamu udan i, amang” (Bah, kenapa hujan diterobos), sapa penulis. “Boa bahenon, nga male siubeon” ( apa boleh buat, perut sudah lapar).
 Pria itu menyebutkan marganya (belakangan ketika tahu penulis seorang wartawan, dia melarang nama dan marganya jangan disebut, kalau mau menulis perbincangan dengannya). Dia mengajak blogger masuk ke rumah, bahkan mengajak makan.”Mauliate, amang, baru dope mangan” (terima kasih, saya baru makan), balas SARINGAR.Net, seraya mengikuti langkah bapak itu masuk ke dalam rumah sempit, yang berukuran sekitar 6x3 meter.
Pria ramah itu kemudian makan, di sehelai tikar plastik yang agak lusuh. Gulamo na tinutung ukuran kecil tampak di pinggiran piringnya. Tangannya begitu kekar meraup nasi dari piring, dan sesekali mencomot ikan asin yang agak mosok (gosong). Sambil cerita-cerita betapa payahnya berjuang hidup di desa. Tapi karena tahu teman bicaranya wartawan, dan dilihatnya mencatat-catat di sehelai kertas, ia berkata:”Santabi lae, unang pola surat hamu goarhu ate, maila iba” (maaf lae, tak usah ditulis nama saya, malu).
Pokok yang mau ditulis, ya itu tadi: potret kehidupan sebagian warga di Tano Batak. Dengan setting di huta-huta, pola makannya, lauk apa saja yang dominan, dan keluh kesahnya.
“Songon on ma lae,marpogos torus.Loja daging mula-ulaon,asal ma boi nian marsikola angka dakdanak i “, (beginilah lae, miskin terus. Capek bekerja seharian, asal anak-anak bisa sekolah), katanya polos. Dia seperti menunjuk gulamo na tinutung itu bukti dari kemiskinan yang terus melilit kehidupannya. Dia punya empat anak. Yang sulung masih kelas 4 SD.
Dari raut wajah dan kondisi tubuhnya, nyata sekali ayah dan anak itu (maaf), kekurangan gizi. Tulang rahang dan jakunnya tampak meruncing. Tulang rusuknya juga membayang di balik kaos kumal yang dipakainya.”gulamo pe adong nunga mauliate, unang apala sira i ma nigugut dongan ni indahan” (ikan asin saja ada sudah syukur, dari pada garam), katanya mengakui bagian dari susahnya hidup sebagai orang dusun yang jauh dari kebisingan kota.
Potret serupa banyak ditemui di berbagai desa di Tano Batak, kalau mau dituturkan satu demi satu. Tentang nikmatnya gulamo na tinutung, meski pun itu tak bergizi bagi pekerja keras. Tentang saatnya paimbar dai (tukar menu), di saat ada undangan ke pesta adat. Rupanya istilah paimbar dai itu, cukup kental bagi sebagian warga di desa. Bila terus menerus makan gulamo dari hari ke hari, minggu ke minggu, maka ada saatnya baru makan yang berminyak-minyak di pesta. “Disi pe asa songon na marmiak nihilala daging oní”(saat itulah terasa tubuh ini berminyak).
 Di satu dusun sepi di Kecamatan Sipoholon, atau di satu dusun perladangan di Kecamatan Parmonangan, tak begitu jauh dari Dolok Imun, potret kehidupan seperti itu banyak ditemukan SARINGAR.Net. Mereka, para petani, para pekebun, begitu akrab dengan gulamo na tinutung. Hampir tiada hari tanpa gulamo. Itu pun kadang gulamo yang harganya paling murah. Ada gulamo yang namanya sese,perak-perak, sihunti batu. Tapi gulamo sihunti batu pun jarang dibeli, karena harganya lebih mahal. Yang paling umum dimakan sebagian warga adalah, sese dan perak-perak. Ukurannya lebih kecil.
 Lalu, bagaimana dengan lauk lainnya. Seperti ikan laut, daging, telor. Bukannya tak pernah dinikmati, tapi jarang. Sesekali saat mau ke onan di Siborongborong atau Parmonangan, adakala beli ikan rebus, ikan laut. Atau kalau mau tukar menu yang praktis, beli satu atau dua indomie, tinggal direbus.
 Warga pekebun di Parmonangan, Sipoholon, dan mungkin daerah lainnya, punya kebiasaan pergi ramai-ramai setiap ada pesta di kampung. Tak heran, kalau di satu dusun perladangan, suasana jadi senyap, ketika ada pesta di pusat kampung. Tua muda, besar kecil, tumplek ke sana. Bukan karena mau makanannya, tapi menjadi kebiasaan yang melekat. Sekaligus melihat hiburan musik kibod dan manortor. Kalau toh, ada yang menyebut pergi ramai-ramai ke pesta untuk “tukar menu”, mungkin hanya cetusan humor dari orang kampung. Atau, mungkin bisa jadi sungguhan? Antara gulamo dengan jagal pesta (daging sajian pesta), jaraknya bisa jadi dekat.
 Di satu dusun perladangan seputaran Parmonangan, blogger bertemu anak berusia empat tahun. Juga sedang makan dengan lahap dengan gulamo na tinutung. Di emperan salah satu gubuk, si anak seolah tak mau tahu, apakah selain gulamo masih ada yang lebih enak. Soalnya, terlalu sering makan nasi dengan ikan asin baker, membuat si anak begitu akrab dengan menu seperti itu.
“Tabo na i gulamo na tinutung i, ate” ( enak sekali ikan asin bakar itu ya), sapa blogger. Si anak hanya mendongak sekali, lalu perhatiannya tertuju lagi ke piring di hadapannya. Nikmat sekali makannya, sampai nasi tak lagi tersisa.
Begitulah. Catatan perjalanan ini, sama sekali tak berniat merendahkan martabat sekelompok warga berdasarkan pola dan menu makanan sehari-hari yang akrab dengan kehidupan sebagian penduduk miskin di desa. Catatan ini, minimal ingin memberi gambaran, bahwa di saat sebagian orang di kota, dengan aneka ragam posisinya, saban hari bergelimang makanan enak, bahkan mungkin berlebihan, maka di sudut-sudut lain, masih banyak orang yang melihat ayam goreng atau ikan ditauco, pun jarang.
Para petinggi di negeri ini bisa saja mengklaim, telah berbuat banyak mensejahterakan rakyatnya. Bahwa pertanian di seantero makin maju, bahwa negeri ini sudah mampu swasembada pangan, bahwa infrastruktur jalan sudah dibenahi sampai ke desa terpencil, dan bahwa pendidikan di desa makin meningkat, listrik sudah masuk ke mana-mana, air minum terus dialirkan, dan lain sebagainya. Tapi, membanggakan kemajuan, tanpa pernah melihat ke rusuk-rusuk wilayah, begitu mudahnya bagi banyak orang. Seolah mengklaim itu tanpa beban apa-apa.
 Pada era 1980-an, koran Sinar Harapan, menurunkan tim wartawannya bersafari melongok keadaan wilayah Tapanuli, setelah pemerintah Orde Baru menggulirkan program pembangunan lima tahunan (Pelita). Hasilnya? Tim menuliskan reportase perjalanannya dengan judul “Tapanuli, Peta Kemiskinan di Sumatera”. Sontak, pejabat di Sumut ketika itu seolah kebakaran jenggot. Ramai-ramai membuat bantahan melalui berbagai suratkabar. Mulai dari Gubernur (waktu itu EWP Tambunan), Bupati Taput (waktu itu Drs Salmon Sagala, alm), sampai walikota dan camat, membantah, bahwa daerahnya peta kemiskinan.
“Tak benar Tapanuli, apalagi Tapanuli Utara disebut peta kemiskinan. Itu kesimpulan keliru”, sanggah Salmon Sagala, seperti tertera pada satu arsip yang ditemukan penulis. Lalu Bupati memaparkan ragam proyek yang diluncurkan membangun penjuru wilayah yang dipimpinnya. Bahwa income perkapita dan PDRB terus melejit. Dan bahwa infrastruktur jalan sudah menjangkau kemana-mana, gedung sekolah dibangun sampai ke pelosok, produksi pertanian terus berlipat ganda, dan sebagainya. Bupati-bupati pelanjut Salmon juga seperti risau daerahnya diberi stigma miskin. Cenderung berdalih pada kekayaan potensi yang dikandung daerah. Kalaupun ada yang mengakui sebagian warga masih dibelit kemiskinan, tak sepenuh hati. Antara ragu dan membenarkan.
 Polemik. Itulah yang mewarnai opini masyarakat ketika itu.Toh jarang yang pernah mengakui dengan jujur dan polos, bahwa di wilayah anu masih ada desa terisolir, bahwa di desa anu masih ada warga yang kurang gizi, atau di desa anu masih banyak orang yang belum menikmati listrik atau air minum.
Setiap Gubernur, Bupati, Walikota, atau Camat, selalu rajin mengklaim hasil kinerjanya, khususnya dalam menyejahterakan rakyat. Sementara orang makan gulamo na tinutung (bukan karena hobi, tapi karena ketidakmampuan), tetap menjadi sebuah potret yang tak pernah diberi bingkai atau catatan garis bawah untuk diperhatikan.
 Kesimpulan: lain ayah Linggom, lain lagi ayah si Husor atau ayah si Sihol di desa lain, di sudut wilayah, yang katanya Peta Kemiskinan ini. Tapi, apa salahnya kalau kemiskinan itu diakui. Dengan catatan, itulah yang harus diberantas seperti istilah yang pernah digunakan bupati Torang Lumbantobing (Toluto) setiap anjangsana ke dusun.Parhaseang tikki, asa dao ma pogos (manfaatkan waktu, agar kemiskinan menjauh). Jangan malas, jangan terlalu banyak nongkrong di kedai, sementara kaum ibu banting tulang di sawah ladang. Ungkapan Toluto itu lebih fair, dari pada berkelit terus menolak sebutan miskin. (SARINGAR.Net)

1 komentar:

  1. Pasti msh banyak kekurangan/kelemahan conten blog ini, maklum dari gaptek tiba-tiba bikin blog. Tapi hidup ini, terdiri langkah-langkah seperti main catur. Kadang kalau lg sekadar iseng atau latihan, langkah terlanjur masih bisa di back. Maaf viewers, pelan-pelan aj yg pasti blog ini butuh perawatan. Saat anda ikut membaca apalagi mengkomen, itu sudah sumbangsih besar dalam kerangka perawatan dimaksud. Terima kasih, mauliate para viewer yg saya anggap sahabat terbaik saya. Bersama kita bisa, kata seseorang (tokoh)...

    BalasHapus