Jumat, 19 Desember 2014

Bolehkah Jadi Wartawan tak Bisa Menulis?

 

 

 

 

 

Renungan Fenomena

| Saya tak berniat melecehkan, apa lagi menggurui dan menghakimi siapa-siapa. Ini hanya cuplikan dari fenomena kebebasan pers yang saya potret dari sudut yang tersembunyi.( Wah, kayak kamera tersembunyi di liputan tv aja), kata seorang rekan berprofesi jurnalis saat ngobrol ngalor-ngidul di sebuah buffet kopi di Pematang Siantar, beberapa waktu silam. Perbincangan sebenarnya sudah cukup panjang berliku, tapi catatan berikut ini merupakan salah satu buahnya.
 Definisi wartawan atau kerennya jurnalis, kita tahu adalah seseorang yang bekerja mewartakan kejadian atau peristiwa. Definisi itu diperjelas pada Undang-Undang Pers 40 tahun 1999 (ayat 4 Bab I) ” wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
Tapi dalam UU Pers tersebut, tidak ada ketentuan eksplisit, bahwa seorang wartawan harus bisa menulis. Bisa menulis di sini tentu dalam konteks jurnalistik. Bukan sekadar bisa menulis nama atau menulis surat biasa. Bisa menulis dan  menguraikan suatu kejadian dengan bahasa koran yang standar. Ada unsur 5 W plus 1 H, ada konstruksi berita dengan teras dan tubuh berita, atau pola piramida terbalik. Itu teoritika yang pernah saya baca dari sebuah buku jurnalistik. Entahlah kalau teoritika itu masih menjadi acuan para wartawan sekarang ini, karena pers dari waktu ke waktu terus bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman.
 Well, saya tak ingin melantur dengan catatan ini. Saya hanya merasa aneh, mengamati perubahan pesat di bidang kewartawanan saat ini khususnya sejak reformasi di mana jumlah media cetak berkembang sangat pesat, seiring pertambahan jumlah wartawan yang tanpa batasan di mana-mana, di seluruh Indonesia.
Dulu, kata rekan saya membandingkan, jumlah wartawan itu relatif sedikit dan masih sebanding dengan jumlah penerbitan media. Martabat wartawan bersifat khusus, karena masyarakat menganggap profesi itu tidak sembarangan dimasuki orang yang tak kompeten. Bandingkan dengan sekarang, kata rekan saya itu. Mau jadi wartawan tak perlu banyak prosedur. Tak perlu ada syarat ini itu, tak harus tamat SMA.(Menteri Suisi aja cuma tamatan SMP,bagaimana pula itu). Bersedia merangkap jadi agen koran saja sudah bisa langsung jadi wartawan lengkap dengan kartu identitas. Tapi rekan saya itu menggarisbawahi, kemudahan itu tak berlaku umum untuk semua koran. Untuk koran besar seperti Kompas, tentu tak semudah itu.
 Satu lagi hampir kelupaan.Mau jadi wartawan sekarang tak usah galau jika tak bisa menulis berita, apa lagi artikel reportase. Tak bisa menulis berita, atau tak paham mengutak-atik komputer dan internet juga tak jadi masalah? Ah yang benar, saya interupsi.
 Rekan itu berani menunjuk sejumlah wartawan yang dikenalnya di beberapa daerah, membuktikan kemudahan menjadi wartawan itu. Namun terkait etika, ia tak menyebut nama. Tapi ia memastikan, dari sekian banyak wartawan yang bertebaran di era kebebasan pers sekarang ini, tak semua bisa menulis berita apa lagi menggunakan fasilitas teknologi internet untuk pengiriman ke redaksi. Jangankan lagi mau ikutan ngeblog, lebih ruwet lagi. Rekan saya menunjukkan contoh tentang wartawan kenalannya di satu kota, yang benar-benar tak tahu membuat berita tapi keabsahannya sebagai jurnalis tak perlu diragukan. Koran yang diwakili benar ada dan kartu pers dilengkapi, kamera dan tas sandang tak lekang dibawa kemana pergi.
Wartawan itu yang mengaku hanya tamat SD, blak-blakan mengaku pada rekan saya, bahwa sejak jadi wartawan lima tahun silam, tak sekali pun pernah membuat berita karya sendiri. Rekan saya heran bertanya,jadi bagaimana kalau ada peristiwa, apa tak dilaporkan ke redaksi? Sang wartawan dengan polos menjawab, berita tetap ada dengan minta bantuan sesama teman yang sudah mahir buat berita. ” Kalau berita gampanglah itu, saya minta agar teman-teman wartawan yang biasa kerja di internet membantu mengirimkan berita yang dibuatnya ke redaksi kami. Cukup mengganti alamat tujuan dan nama pengirim, bereslah itu.” Lalu, bagaimana wartawan itu eksis sebagai wartawan? " Setiap manusia itu punya kelebihan dan kelemahan. Rekan saya itu piawai dalam hal ngomong, bertanya, menelisik, menduga, mengukur bestek proyek misalnya, bahkan menghardik." Bah, saya tertegun mendengar cerita teman itu.
 Cerita rekan saya itu saya catat sebagai salah  satu bagian “kemajuan” (tanda petik) bidang kewartawanan pascakebebasan pers di negeri ini. Apa harus ada yang disalahkan? Tentu tak ada. Wartawan yang tak bisa membuat berita (kalau masih ada di tempat lain”, tentu bangga bisa direkrut jadi wartawan. Dia tak perlu minder dengan profesi yang disandangnya. Kemana-mana mengatasnamakan pers, sah-sah saja. Meliput suatu peristiwa atau acara apa saja, memotret dan wawancara, siapa larang. Betul kok dia wartawan. Soal buat berita tak harus dipusingkan. Memangnya orang akan bertanya apa benar berita yang terbit di korannya adalah karyanya sendiri? Terlalu usillah publik mengurusi itu. Kalau pun tahu bahwa si wartawan tak bisa menulis berita, cukuplah disimpan publik dalam hati saja.
 Kemudahan memasuki dunia pers saat ini bukan suatu hal yang mengherankan lagi. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumatera Utara Mohamad Syahrir dalam workshop yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Tarutung Oktober 2013 lalu, dengan gamblang menyebut jumlah wartawan di Sumut mungkin sama dengan jumlah tiang listrik. Tapi itulah gambaran pers yang dilahirkan kebebasan pers dewasa ini, ujar Syahrir. Siapa pun bisa jadi wartawan. Mau tukang becak, sopir angkot, preman, bisa jadi wartawan. Mohammad Syahrir tampil sebagai narasumber pada workshop yang diadakan di kota turis Parapat itu. Ragam komentar bahkan kecaman dilontarkan tokoh praktisi pers, pengamat, dan pejabat, seputar kondisi kewartawanan saat ini. Tapi seperti apa pun komentar itu, tak akan merubah keadaan. Karena fenomena ini ada sebagai produk semangat reformasi yang juga telah  meruntuhkan otoritas orde baru yang selama puluhan tahun dianggap memasung kebebasan pers.
Ketika pertanyaan pada judul tulisan ini dimunculkan,” Bolehkah jadi wartawan tak bisa menulis?  jawabannya “boleh”, mengacu pada fakta-fakta yang ada seperti dikisahkan rekan saya. Bisnis permediaan saat ini seolah menutup mata dan telinga terhadap aspirasi yang muncul terkait prestise kewartawanan. Bisnis ya bisnis, wartawan ya wartawan. Sejalan tapi bisa dipisahkan.
  Tapi di media sosial ceritanya pasti beda. Tak bisa menulis apa-apa, mana mungkin seseorang bisa disebut sebagai citizen journalist (jurnalis warga). Menjadi jurnalis warga justru lebih sulit dimasuki orang yang tak bisa menulis. Akun tunggal yang diberlakukan di media sosial (medsos) yang akhir-akhir ini makin populer.
Kalau di media cetak, mungkin bisa saja jadi jurnalis tanpa harus pintar (bisa) menulis, maka di media online tak ada alasan tak bisa menulis. Sedangkan seseorang yang punya akun di sebuah blog dan menyembunyikan identitas diri dengan nama dan foto samaran, terpaksa harus bisa menulis, bukan pula dengan pena atau mesin tik, melainkan dengan utak-atik keyboard komputer,lapotob, mobile atau tablet.
 Pantasan, pernah ada seorang penulis artikel menyuarakan unek-uneknya lewat tulisan menggelitik, bertajuk " Wartawan sekarang belum tentu bisa jadi penulis, tapi penulis pasti bisa jadi wartawan". Opini itu bisa membuat pembaca dipaksa berpikir,minimal memahami maknanya. Dan simpul lainnya yang ditekankan sang jurnalis tadi adalah ini: Sebenarnya asal tahu saja baca tulis biar tak tamat SD sekalipun, bisa jadi wartawan benaran, jika ada kemauan untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Karena seorang wartawan kawakan seperti Mochtar Lubis pun pada awalnya tak tahu apa-apa sebelum terjun jadi wartawan. Semua wartawan awalnya tidak langsung pintar menulis. Dia melalui proses berkelanjutan, belajar, belajar, dan terus belajar, dengan mau membaca, mempelajari, dan akhirnya mencoba mempraktikkan bagaimana menulis sesuatu yang namanya berita, yang namanya opini, yang namanya reportase dan sebagainya. Itulah jalan keluar yang ditawarkannya secara sederhana, untuk menjawab pertanyaan menggelitik tadi: Bolehkah jadi wartawan tak bisa menulis?  (sumber: kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar