Selasa, 23 Desember 2014

Memberantas Keong di Sawah, Pergumulan Tiada Akhir

Kaki pun harus siap terluka kena sayat kulit keong yang tajam, Alex pun
meringis kakinya tersayat kulit keong (Leonardo TS)
Alex harus tekun mencari dan memungut keong yang rakus makan daun
tanaman padi berusia muda.(Foto:Leonardo TSjoentak)

Musim tanam di sebagian besar wilayah Sumatera Utara selalu bersamaan dengan semarak perayaan Natal. Sementara warga petani sibuk dengan urusan merayakan peringatan kelahiran Yesus Messiah, di saat itu pula petani di Tapanuli sibuk turun ke sawah. Biasanya, bulan Desember diupayakan sudah tuntas menanam bibit padi yang sudah diambil dari persemaian.
Tapi, bagi sebagian besar petani di wilayah Tapanuli (Tanah Batak) saat musim tanam tiba, bukan beratnya kerja banting tulang di sawah yang dipusingkan. Kalau soal itu merupakan aktivitas rutin belaka setiap tahun, mulai proses pengelolaan tanah persawahan sampai saatnya panen, sudah menjadi agenda rutin kaum petani.
Bagi petani di Tapanuli Utara khusunya wilayah Silindung misalnya, memang disyukuri selama ini belum pernah ada serangan hama wereng seperti sering terjadi di daerah lain. Justru hama yang paling menjengkelkan dan sudah dianggap "musuh besar" di bidang pertanian adalah serangan hama keong yang populasinya dari waktu ke waktu terus berkembang biak dengan pesatnya. Para petani di kawasan Sumut khususnya Tapanuli menganggap gerakan pemberantasan keong di sawah kini bagai pergumulan tiada akhir. Hama keong dikenal binatang yang rakus memangsa daun-daun padi muda yang baru ditanami di sawah. Apa lagi saat musim hujan, populasinya cepat sekali berkembang. Hama keong biasanya paling doyan rumput berusia muda. Untuk tanaman padi berusia sampai satu bulan, keong akan menggasaknya tanpa ampun. Akibatnya, jika petani tak cepat melakukan sterilisasi di lahan sawahnya, bisa-bisa bibit padi yang baru ditanam habis dipreteli.
 Problema keong yang belakangan makin dibenci petani ini memang sudah cukup lama memusingkan para petani. Diperkirakan keong hadir di persawahan daerah ini, sekitar tahun 80 an. Konon, awalnya ada orang yang sengaja memeliharanya dengan membuat tempat penangkaran pada sepetak sawah di Tarutung. Motifnya katanya bisnis, karena ada isu keong jenis ini laku dijual ke Thailand. Ternyata isu itu bohong besar. Lama kelamaan keong-keong yang dikurungi di sawah, satu demi satu kabur merayap ke mana-mana, dan makin meluas ke hampir semua pelosok Tapanuli.
 Gerakan menumpas keong menjadi semacam gerakan massal petani setiap musim tanam tiba. Para petani pun kelihatan membawa keranjang atau ember saat melakukan pembersihan di sawah. Tak jarang petani sudah menggaji tenaga untuk memungut keong-keong dari sawah berlumpur menjelang penanaman padi dimulai. Tapi paling menjengkelkan, ketika hari ini sudah dikumpulkan satu ember penuh, dalam tempo dua hari sudah muncul lagi dengan jumlah yang sama banyaknya. Hal ini menjadi salah satu beban pikiran yang membuat petani mengalami stres.
  "Keong ini kurang ajar, bikin repot aja," kata Alex Hutabarat seorang pemuda remaja yang sedang memunguti keong di sebidang sawah di Desa Hutabarat, Tarutung, akhir Desember ini (lihat gambar). Sambil mengomel, Alex melampiaskan unek-uneknya, kenapa pemerintah (dalam hal ini Dinas pertanian) tak pernah memikirkan masalah keong yang mengganggu pertanian. "Maunya ini salah satu yang perlu dipikirkan Presiden Jokowi, menyelamatkan kami para petani dari hama keong," gerutu Alex acuh tak acuh saat diajak ngobrol oleh Kompasianer.
 Pada musim kemarau, keong-keong ini bisa lama tak kelihatan, seakan sudah punah. Tapi jenis keong ini juga seperti punya kesaktian tersendiri seperti ikan haruting (gabus). Bisa tahan berlama-lama di tanah kering. Tapi begitu hujan turun sekali saja, langsung menggeliat dan muncul kembali. Pertumbuhannya juga luar biasa. Dalam tempo dua tiga hari, lima atau enam ekor keong bisa melonjak mencapai ratusan, dan jika dibiarkan menjadi ribuan.
  Alex juga mengeluh. Sering saat disuruh ibunya mencari keong ke sawah, kakinya terluka kena sayat kulit keong yang tajamnya seperti silet. "Ini sudah berdarah kaki saya tadi terinjak keong," katanya seraya menepi ke pematang sawah memeriksa kakinya yang berdarah-darah. "Sudah berjaga-jaga kena isap pacat, datang lagi bahaya kena sayat keong," katanya dengan suara galau. "Ah, entah sampai kapan keong ini bikin susah petani, menambah kerjaan saja ini," omelnya sambil mencampakkan beberapa keong kecil yang baru dipungut ke dalam ember. Lalu kemana keong-keong itu dibuang setelah dikumpulkan dalam ember? Banyak petani yang menebarnya di tengah jalan, agar punah dilumat ban kenderaan atau apa saja yang bisa menggilasnya. (Leonardo Smjoentak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar