Minggu, 07 Desember 2014

(SKETSA) Banting Tulang Mandi Keringat Membuat Arang di Hutan Sunyi



Gigihnya pembuat arang mandi keringat di hutan sunyi =

  Arang, siapa yang tak tahu apa itu arang. Peribahasa lama pun ada menyebut benda yang satu ini: arang habis besi binasa. Tapi, bagaimana proses pembuatannya hingga jadi siap dibakar, tak semua orang tahu. Prosesnya tampaknya sederhana, tapi butuh energi dan kerja keras. Selain itu harus “siap bermandi keringat’, seperti dituturkan dua orang pembuat arang saat ditemui jurnalis EKSPRESIANA, di satu tempat di kawasan Desa Sisordak perbatasan Kecamatan Parmonangan-Sipoholon, Sumatera Utara, lebih kurang 250 kilometer dari Medan.

  Secara umum, ada dua jenis arang yang biasa dikenal orang. Ada arang keranjang atau biasa juga disebut arang toko. Jenis arang ini biasa di jual di toko kelontongan. Harga memang lebih mahal, karena lebih berkualitas, lebih tahan lama, selain kandungan asap lebih sedikit. Jenis yang kedua adalah arang goni. Sesuai namanya, arang yang ini dijual per goni, walaupun bisa juga dibeli per kaleng. Jenis arang goni lebih murah, karena terbuat dari kayu sembarang. Jenis arang goni juga tidak sekeras arang keranjang, lebih lembek, dan lebih mudah habis. Jenis arang ini lebih banyak mengeluarkan asap saat pembakaran.

Yang saya tuturkan sekilas di sini, ya arang goni itu. Biasanya arang yang ini lebih banyak digunakan para pedagang makanan ringan, yang butuh pembakaran atau main panggang. Seperti pedagang sate, pedagang jagung bakar, pemanas bakso, dan lain-lain. Sedangkan arang keranjang karena dianggap lebih bermutu dan lebih aman dari kepulan asap, biasa dipakai di resto-resto atau rumah makan yang agak berkelas di kota. Tapi apapun jenisnya, tetaplah itu namanya arang. Dari dulu hingga kini masih tetap berperan untuk banyak kebutuhan manusia, meski tentu saja penggunaannya sudah berkurang pada era kemajuan sekarang ini.

Ada dua orang pembuat arang yang masih konsisten, bahkan saya sebut militan, namanya Hokkop Purba dan Albiner Pangaribuan di Desa itu. Saat saya jalan-jalan ke Parmonangan, saya ketemu mereka di sebuah areal perladangan sepi. Saat matahari terik membakar, dan angin seakan berhenti berembus. Saat suasana begitu lengang, dan para pekebun sepertinya istirahat dari kesibukan banting tulang di sawah dan ladang.

“Horas, lae,” kata saya seraya memarkir sepeda motor di jalan tanah. Sapaan akrab di daerah ini. Kedua pria itu sedang istirahat setelah makan perbekalan yang dibawa dari rumah. Tak jauh dari jalan tanah itu kelihatan asap mengepul tebal dari kayu-kayu yang dibakar di sekitar area perladangan yang tak diusahai. Kami berkenalan, dan namanya orang tapanuli, tentu saling menyebut marga. “Purba,” kata pria berkulit hitam yang lebih muda.”Pangaribuan”, sebut pria yang lebih tua.

Meski berbeda usia, satu hal terlihat sama. Ketangguhan dua sosok yang saban hari bergelut diterpa angin pegunungan dan cahaya terik matahari yang saat kemarau tak kenal ampun membakar apa saja di muka bumi. Bertubuh kurus dan mata cekung, seperti umumnya penduduk desa kurang gizi. Itu kesimpulan saya. Sorot mata yang kuyu dan kulit yang legam, menandakan pekerja keras yang pantang menyerah.

Mereka bercerita tentang kehidupan ini, apa adanya.”Kami sedang membuat arang,” ujar Pangaribuan sambil mengisap rokoknya dengan santai, menyandar pada sebatang kayu ekaliptus yang banyak tumbuh di sana-sini. Hokop Purba baru menikah, masih beranak satu umur dua tahun. Sedang Pangaribuan punya anak lima, yang sulung baru menduduki bangku SMP. Selain membuat arang, keduanya juga berkebun kopi, jagung, dan sesekali tanam cabe. “Hidup di desa ini sulit, mana sempat santai, kecuali saat begini istirahat sejenak, sebentar lagi juga sudah harus dipanggang matahari,” kata Purba yang berperawakan kecil.

Bagaimana cara membuat arang? Keduanya bergantian cerita secara terbuka dan familiar. Untuk membuat arang goni, mereka harus mencari kayu sembarang, di seputaran hutan di areal itu yang masih cukup luas. Kayu atau dahan yang seukuran broti tiang hingga yang ukuran tiga kali ukuran tebu, dipotong-potong dan dikumpulkan dekat tanah yang sudah dilubangi. Ukuran lubang dibuat sekitar 3x 4 meter, dengan kedalaman satu setengah hingga dua setengah meter, dibentuk dengan petak segi empat. Selanjutnya potongan-potongan kayu itu dimasukkan ke dalam lubang dibuat bertingkat, tak terlalu rapat, setelah di bawahnya dilapisi ranting-ranting dan dedaunan kering yang mudah terbakar. Setelah itu dilapisi lagi dengan dedaunan dan ranting kering dari atas. Kalau itu sudah siap, tinggal membakar. Kalau tak ada minyak tanah, sering juga dibantu dengan penggalan-penggalan kayu tusam diselipkan di sekitar potongan kayu yang akan dibakar. Saat mencari kayu sebagai bahan sudah
 setengah mati, apalagi kalau lokasinya agak jauh. Mereka harus berjibaku mengangkut ke lokasi pembakaran. Saat matahari sedang terik, mereka setiap hari harus bermandikan keringat. Sehelai handuk kecil tak lekang dikalungkan di leher, untuk mengusap cucuran keringat yang tiada henti.

Setelah potongan kayu dibakar, bukan berarti tugas selesai. Mereka harus rajin mengecek apa apinya terus nyala di dalam lubang. Hati galau akan terjadi, manakala hujan turun. Itu akan mengganggu proses pembakaran kayu. Apa lagi kalau hujannya deras, bisa membuat lubang banjir jadi sumur buatan. Makanya, saat pembakaran selalu diwanti-wanti apa cuaca sedang bersahabat atau tidak. Sukses pembuatan arang hanya terjadi ketika musim kemarau panjang.

Masih menurut Purba dan Pangaribuan, proses pembakaran itu biasanya menunggu tiga hingga empat hari. Pada hari yang ditentukan, mereka meninjau lokasi pembakaran, membuka tanah dan dedaunan penutup di atas lubang. Tampaklah kayu sudah pada gosong, tinggal membentuknya menjadi potongan sesuai ukuran dengan cara dipukuli dengan kayu atau apa saja. Setelah semuanya selesai, tinggal memilah-milah potongan-potongan yang sudah jadi arang, dimasukkan ke dalam goni. Potongan-potongan arang terkecil berserakan pada lantai bawah lubang, itupun dipilih kembali digabung dengan arang berukuran standar. Lalu pada bagian mulut goni ditutupi dengan dedaunan bernama daun arsam, sebelum dijahit dengan tali plastik.

Berapa harga satu goni?” tanya kompasianer yang hobi  jalan-jalan ke pedesaan. “Dulu satu goni itu kami jual ke toke penampung Rp 70 ribu, sekarang sudah naik jadi Rp 100 ribu per goni,” terang Pangaribuan seraya menyeruput kopi dingin dari cangkir besar berwarna biru. Tapi kalau mereka jual ke pedagang yang akan menjual lagi, biasanya dikasi lebih murah, hanya Rp 70 ribu per goni. Lalu pedagang penjual akan menjualnya ke pembeli bisa Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu. Ada juga pengguna yang langsung datang membeli atau memesan ke pembuat arang agar harganya bisa lebih murah.

Kata Purba, di daerah ini arang masih berperan penting bagi banyak orang. Khususnya bagi ibu yang sedang melahirkan. Sesuai kebiasaan leluhur, biasanya ibu melahirkan di kampong-kampung masih menggunakan arang untuk memanaskan punggung dan pinggang ibu melahirkan, sekaligus melawan hawa dingin. Hinggang kini masih ada penduduk desa yang menerapkan cara itu, meski zaman sudah super modern. Arang dimasukkan ke dalam sebuah kaleng, dan dua sisi kaleng diberi lubang angin. Lewat lubang angin itu panas yang ditransfer dari bara arang dalam kaleng akan menghangati punggung ibu melahirkan.

Memang, itulah kehidupan manusia. Banyak cara yang dilakukan untuk menjalani dan mempertahankan hidup. Sementara banyak orang kota tak lagi ingat arang, toh masih banyak yang menggantungkan usahanya dengan bahan arang. Lihatlah itu tukang jual sate, dimana pun mereka menjajakan satenya, harus siapkan arang sebagai bahan bakar utama. Wanginya daging kambing atau daging sapi saat dibakar dengan arang setelah ditetesi minyak khusus pewangi, wah…membuat perut ini tiba-tiba lapaaar…(Leonardo Smjoentak/ kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar