Minggu, 28 Desember 2014

Gubernur dan Bupati, Raja Kecil Berpotensi Korup







 
Kantong yang rakus (ilustrasi Sp/google)=

 BATAKINDONEWS.Com - Gubernur, bupati atau wali kota bagai raja-raja kecil di daerah. Karpet merah membentang di hadapan mereka ketika mendatangi rakyatnya. Para pamong itu bukan abdi bagi rakyatnya. Sebaliknya, rakyatlah yang mengabdi kepada pemimpinnya.

Bila masa silam menjadi tradisi apabila rakyat membawa upeti untuk menyenangkan pemimpinnya. Di era sekarang praktik semacam itu tetap ada kendati bentuknya sudah menyesuaikan perkembangan zaman.

Gubernur, bupati atau wali kota tak perlu bersusah payah untuk menimbun harta selama berkuasa karena kewenangannya untuk mengeluarkan izin atau kebijakan apa pun yang berkaitan dengan kepentingan publik merupakan komoditas. Kursi gubernur bupati maupun wali kota menjadi dambaan banyak orang.

Di hari-hari awal memang sang penguasa daerah akan memunculkan citra yang menampakkan bagai sosok yang mengerahkan pikiran, energi dan sebagian besar waktunya untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Namun setelah merasakan betapa empuknya kursi yang diduduki serta bermacam kenikmatan serta fasilitas yang diperolehnya, amat mungkin si pemimpin berubah menjadi sosok koruptor dan membuka pintu lebar bagi perilaku suap.

Fakta mutakhir memperlihatkan lebih dari 80% kepala daerah terlibat korupsi. Modusnya mulai dari melipatgandakan nilai proyek di daerahnya sampai membisniskan kewenangannya untuk mengeluarkan keputusan. Sejumlah kepala daerah sudah dibawa ke hadapan hakim dengan dakwaan melakukan tindak pidana korupsi maupun menerima gratifikasi serta suap.

Kabar teranyar dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, beberapa kepala daerah, seperti Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam diduga memiliki simpanan dana di rekeningnya yang mencurigakan. Selain mereka, PPATK juga mencurigai rekening mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang ditengarai berisikan transaksi yang tidak wajar.

Petinggi PPATK sudah memastikan hasil pemeriksaan terhadap ketiganya sudah bisa ditindaklanjuti dengan langkah penyidikan untuk menetapkan siapa yang menjadi tersangka. Karena rekening mereka yang ditelusuri maka akan wajar bila muncul persepsi di publik bahwa kedua gubernur dan mantan penguasa Jakarta itu yang nantinya bakal menjadi tersangka.

Menurut PPATK, hasil pemeriksaan atas rekeing Alex Noerdin, Nur Alam, dan Fauzi Bowo sudah disertai dengan bukti-bukti permulaan yang cukup sehingga lembaga penegak hukum sudah bisa memulai penyidikan. Temuan lembaga yang bertugas melacak rekening-rekening gendut para penyelenggara negara itu semakin memperjelas gambaran betapa rawannya para kepala daerah disusupi virus korupsi serta suap.

Sama seperti pejabat publik lainnya, para kepala daerah adalah penguasa yang tidak kebal untuk berbuat korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Semakin besar kekuasaan, tentu kian besar pula peluang untuk disalahgunakan. Kekuasaan mampu melenakan sang penguasa untuk melupakan sumpah jabatannya.

Bermacam analisa bisa bermunculan untuk mencari sebab petinggi negara di daerah, entah gubernur, bupati atau wali kota untuk berbuat korupsi dengan memanfaatkan kekuasaannya. Pemilihan kepala daerah yang membutuhkan biaya begitu besar, menurut analisa itu, menjadi penyebab kepala daerah melakukan korupsi.

Biaya besar itu dibutuhkan bukan sebatas keperluan kampanye menjelang hari pemilihan tapi juga untuk membangun pencitraan yang ongkosnya mahal. Ada konsultan politik dan lembaga survei yang akan memoles para calon kepala darah agar tampilan pribadi menarik hati rakyat untuk memilihnya. Semua itu tidak gratis. Semakin ternama lembaga survei yang diminta jasa tentu semakin mahal pula bayarannya.

Ketika calon bersangkutan keluar sebagai pemenang dalam pilkada, sudah pasti ada kalkulasi seberapa banyak biaya yang sudah digelontorkan untuk merebut kursi penguasa daerah. Setelah itu, para kepala daerah itu tidak hanya berharap lima tahun masa jabatannya bisa menutupi uang yang sudah mengucur. Tidak perlu bersusah payah dan menguras energi dan uang, bila hanya berharap impas.

Bukan sesuatu yang salah kalau kepala daerah tersebut berkeinginan supaya setidaknya harta dan aset pribadi dan orang-orang dekatnya bisa bertambah. Bukan sesuatu yang menyalahi hukum apabila kepala daerah menjadi kaya. Namun harta yang bertambah bukan diperoleh dengan cara memanfaatkan atau menyalahgunakan kekuasaannya, entah dengan membuat kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu atau bersekongkol dengan pebisnis besar yang membutuhkan dukungan dari sang kepala daerah.

Bagi banyak pejabat publik, boleh dibilang tidak ada yang gratis bila berhubungan dengan kekuasaannya. Sistem sudah cukup, termasuk perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas korupsi kepala daerah, seperti inspektorat jenderal di kementerian dalam negeri, kewajiban melaporkan harta kekayaan sebelum dan sesudah menjabat, maupun lelang terbuka.

Namun, lagi-lagi berpulang kepada moralitas sang kepala daerah. Kesederhanaan hidup menjadi salah satu cara untuk bisa menjaga kepala daerah senantiasa mengabdikan diri untuk rakyat, bukan menjadi sosok koruptor. * Konklusinya: Kepala Daerah itu (gubernur/bupati, berpotensi korup) - (editorial sp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar