STORY: By Leonardo TS
Tiarma
hadir di bukit pekuburan itu setiap pagi, saat matahari merangkak
menyinari jagat raya. Di tangannya tergenggam seikat bunga segar baru
dipetik. Kalau bukan rose, kadang bougenville atau melati putih. Bunga
itu selalu diletakkannya di atas salah satu makam. Pada kayu salib yang
masih menancap di pusara itu, tertulis sebuah nama: Bonar Parlinggoman.
Meninggal 27 Agustus 2011.
Makam
itu tampak masih baru. Kayu salibnya juga masih baru, dan tulisan yang
ada di sana masih jelas. Di sekeliling kuburan yang satu ini terlihat
timbunan tanah yang belum ditumbuhi semak.
Sudah
menjadi pergunjingan rutin bagi warga sekampung, setiap pagi gadis
berambut panjang sepinggang itu mendaki jalan setapak menuju pekuburan
dengan seikat kembang di tangan. Dan hampir setiap warga tahu, Tiarma
akan meletakkan karangan bunga itu di atas pusara Bonar Parlinggoman.
Itu sudah berlangsung cukup lama. Hampir tiga bulan lamanya. Bayangkan,
bila setiap pagi Tiarma membawa bunga, entah sudah berapa banyak bunga
yang diletakkannya di sana. Tiada hari berlalu tanpa Tiarma mengunjungi
makam Bonar dengan bunga. Tiarma begitu setia, seolah kesetiaan itu tak
berujung. Dia telaten merawat gundukan tanah di mana Bonar dimakamkan.
Tanpa suara, hanya tetesen air mata, dan sapu tangan yang setia
mengusapnya setiap hari. Tiada sebatang rumput pun sempat tumbuh di
sekitar kubur itu, karena bila ada yang tumbuh Tiarma sudah mencabutnya.
“Kamu
kejam Bonar, tega nian tinggalkan diriku saat matahari bersinar, saat
hati ini sedang berbunga”. Ungkapan puitis itu dibisikkannya berpadu
cucuran airmata. Sudah tiga bulan lamanya air mata itu mengucur. Mata
yang bening indah tampak sayu oleh kesedihan berantai. Menangis baginya
bagaikan kenikmatan tersendiri.
Tiga
bulan yang lalu suatu kecelakaan tragis merenggut nyawa Bonar
Parlinggoman. Dia ditabrak truk tronton di sebuah tikungan patah antara
Parapat- Siantar. Sepeda motor yang dikenderainya terlempar beberapa
meter, sementara Bonar terseret roda tronton dengan kondisi
hancur-hancuran. Konon batok kepalanya retak dan sebagian otaknya
berceceran di atas aspal. Berdasarkan KTP di dompetnya, mayat Bonar
dibawa polisi ke kampungnya asetelah divisum rumah sakit.
Hati
gadis mana yang tak berantakan mengetahui kekasih tercinta dijemput
maut. Dunia jadi hitam legam. Langit serasa mau runtuh oleh gelegar
petir di siang hari. Tiarma pingsan, dan berulangkali masih pingsan
menyaksikan kepala Bonar dibungkus perban, tanpa bisa melihat secuil pun
wajahnya.
Tapi
kematian adalah takdir yang tak bisa digugat. Dia menyergap saat manusia
lupa bahwa kematian sering menjemput tak terduga. Tiarma ingin
menggugat dengan tangis dan doa.”Tuhanku,tolonglah aku, kembalikan Bonar
padaku”. Tiarma tidak mendapat jawaban. Tapi, belakangan Tiarma merasa
mendapat jawaban dari temannya Surti seorang diakones yang menyiramkan
penghiburan ke relung rohaninya. Kata Surti, jika kamu benar pengikut
Yesus dan sayang pada Tuhan, tunjukkanlah itu dengan kepasrahan dan
ketabahan Kristianimu. Bagi pengikut setia Yesus, kematian bukanlah
akhir kehidupan, melainkan awal sebuah kehidupan baru melalui
pengharapan berdimensi masa depan.
Tiarma
merenungkan petuah kasih dari Surti. Dalam hati, Tiarma ingin bersetia
pada penantian dan pengharapan. Di alam pikirannya, tumbuh kepercayaan
bahwa hanya tubuh Bonar yang mati, namun jiwanya hidup. Tiarma merasakan
Bonar tersenyum melihatnya setiap pagi mendatangi kuburnya dan
meletakkan bunga di sana. “Ini adalah bunga kesetiaanku Bonar, lihatlah
betapa indahnya bunga ini, seindah cinta yang kita rajut berdua”,
bisiknya pada suatu pagi bergerimis.
Penduduk
sekampung berprasangka Tiarma sudah mendekati gila, terguncang oleh
kematian Bonar yang santer bakal menikahi Tiarma usai panen raya. Tiarma
jarang bicara. Dia membisu sejuta bahasa bila ada yang menyapa. Tatapan
matanya kosong, refleksi hatinya yang kelam, seredup langit tak
berbintang. Tetapi, segelap apapun hatinya, kenangan indah bersama Bonar
senantiasa melintas. Saat Tiarma duduk sendiri di teras rumah, saat
mencuci pakaian dan mandi di pancuran, apalagi saat berbaring di
peraduan yang sepi.
Samar-samar
penggalan memori indah itu membelai-belai kalbunya. Bila Bonar datang
setiap malam minggu, saat Bonar memboncengnya menyusuri pinggiran Aek
Sigeaon, keliling kota, dan pulang dari kota membawanya ke tempat sepi
lalu memeluk dan menciumnya dengan mesra. Rasanya kemesraan itu
selangit. Betapa kebahagiaan itu jadi milik Tiarma. Hatinya serasa koyak
bila mendengar lagu lama “Mimpi sedih” yang dulu disenandungkan Tetty
Kadi dan kemudian dilantunkan Broery Pesolima. “Diriku tak pernah lepas
dari penderitaan, impian kini terjadi, kau pergi setelah aku serahkan
kasih suci, itulah nasib diriku…”
Tiarma
tak akan melupakan penyerahan diri sepenuhnya hanya untuk Bonar, di atas
rerumputan di antara pohon akasia. Pertama kali Bonar membisikkan satu
permintaan yang awalnya membuat Tiarma takut dan cemas. Saat Bonar
membisikkan janji mengawininya usai musim panen, di kala tubuh keduanya
menyatu dalam dinginnya udara malam. Dan ketika Tiarma aakhirnya tergoda
untuk menyerah dalam cumbu rayu Bonar yang membawanya terapung ke
planet mars.
“Aku
takut Bonar, aku takut, bagaimana jika aku nanti…” Tiarma mendesah
membenahi diri. Dipeluknya Bonar seakan tak ingin lepas lagi. Lalu Bonar
berkata lirih:” mengapa takut Tiar, aku mencintaimu, dan aku
bertanggung jawab sepenuhnya,” suara yang mentap, seraya dibelainya
rambut panjang Tiarma yang terurai lepas hingga menyentuh tanah.
Tiarma
tersenyum ceria.” Aku percaya Bon, kau membuat dunia ini begitu indah
menawan,” dan Tiarma memejamkan mata dalam pelukan Bonar yang kembali
membawanya terapung ke planet mars. Wouu Bon, kau membuatku terapung di
antara awan…
KINI,
sudah memasuki bulan ke lima, sejak kepergian Bonar. Dan Tiarma mulai
merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Ia sering merasa mual, dan
muntah. Oh, Tuhan, aku hamil? Tiarma menatap dirinya di muka cermin di
kamarnya, mengelus perutnya. Ia merasakan jantungnya berdegup keras
karena takut. Bagaimana ini Bon, anak kita meronta Bon…
Ayahnya
yang pemarah geram sangat mengetahui putri semata wayangnya terindikasi
berbadan dua. “ Anak tak tau malu, tak punya harga diri, sudah tau
dirimu begitu masih juga menyembah setan si Bonar”. Ibi Tiarma
memohon-mohon pada suaminya ampunilah anak yang malang ini. Saban pagi
ayahnya uring-uringan, malah mengusir Tiarma. “ jangan saya lihat lagi
dia bawa-bawa bunga ke kuburan, bikin malu keluarga”. Pernah mau
ditamparnya Tiarma, tapi istrinya mengadang. “Tampar aku, pukullah aku,
tapi jangan Tiarma”, sergah ibu Tiarma meradang.
Dalam
kegelapan malam ketika hujan renyai-renyai, Tiarma berlari mendaki jalan
setapak ke pekuburan. Dia ingin mencurahkan galau hatinya pada Bonar.
Dia ingin memberitahu, anak mereka akan lahir ke dunia, buah dari cinta
kasih tanpa portal. Tiarma seperti hilang akal sehat. Dia berlari, tak peduli hujan dan jalanan licin. Airmatanya menyatu dengan tetesan air hujan.
Kakinya
terpeleset di tikungan antara rimbun pohon pisang, dan Tiarma menjerit
merasakan tubuhnya terjungkal ke bawah. Tapi sepasang tangan yang kokoh
menangkap tubunnya entah dari mana datangnya. Malaikat kah? Tiarma
terkejut menyadari dirinya dalam pelukan seorang pria. Dalam remang
malam Tiarma menatap lelaki itu. Sosok lelaki yang cukup dikenalnya.
Kaukah ini Bonar? Kaukah…?
Tiarma
merasa bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya menggigil kedinginan karena
pakaiannya yang basah kuyup. Lalu didengarnya jawaban itu,” Tidak, aku
bukan Bonar. Bonarmu sudah mati”, suara lelaki itu menyadarkan Tiarma
bahwa itu bukan Bonar. Tapi suara itu serasa tak asing baginya. Suara
yang cukup dikenalnya.
“Aku
Tiopan, lelaki pertama yang mencintai dan memujamu”. Sosok lelaki itu
membuka jaket kulitnya, memberikannya pada Tiarma.” Pakailah ini, dan
mari kita pulang, tak baik malam begini kau datang ke kuburan
sendirian.”
Tiopan?
Tiarma berbisik, bibirnya gemetar. Inilah pemuda sekampungnya yang dulu
pertama kali menyatakan cintanya pada Tiarma. Dia lah pemuda yang rela
memendam duka cintanya sekian lama
Sejak kehadiran Bonar
dalam buaian asmaranya. Tiopan adalah lelaki paling disukai ayahnya
untuk suatu saat menjadi menantunya. Bukan Bonar.
Tetapi,
tidak. Tiarma merasakan kepedihan mendalam manakala hari-hari berikutnya
Tiopan mendatanginya dengan tatapan mata cinta membara. “ Biarpun janin
dalam kandunganmu adalah benihnya Bonar, aku tetap mencintaimu dan
menginginkanmu jadi istriku,” kata Tiopan satu ketika. Mimpikah aku?
Tiarma hanyut mendengar ucapan Tiopan yang tulus. Mungkinkah? Tiarma
terpelanting ke ngarai ketidakpercayaan. Jangan-jangan itu emosi Tiopan
semata.
“Tidak,
jangan katakan itu Tiopan. Aku sudah bersumpah untuk setia tak lagi
membagi cintaku pada siapa pun. Jangan kau bodoh ito Tiopan, aku bukan
anak gadis perawan lagi, aku kini sudah jadi ibu yang mengandung anak
lelaki lain”.
Dilihatnya
mata Tiopan yang berkaca-kaca. Dilihatnya Tiopan menundukkan kepala.
Lalu didengarnya suara Tiopan sayup di antara angin pegunungan Siatas
Barita yang mendera dari Timur. Dan didengarnya lagi suara
Tiopan: “Aku menghargai pendirianmu Tiarma, kesetiaanmu yang tak
bertepi. Tapi kesetiaanku untuk terus mencintaimu juga tak berujung,
sampai kapanpun. Dan aku sudah janji pada diriku, tak akan mengalihkan
cintaku pada wanita lain kecuali dirimu. Aku tahu, mencintai bukan harus
memiliki.”
Pada
suatu pagi yang cerah, Tiarma masih membawa seikat bunga ke kuburan. Dia
keluar kamarnya melalui jendela, jangan ketahuan ayahnya. Setiba di
kuburan, dilihatnya Tiopan ada di sana dengan seikat kembang di
tangannya. “Sudah cukup banyak bunga yang kau tebar di sini Tiar, tapi
tak satu pun yang kau tanam supaya tumbuh. Hanya satu pintaku, kiranya
bunga yang kau bawa pagi ini adalah bunga terakhir buat orang yang kau
cintai.” Lalu Tiopan mendekati Tiarma, memberikan bunga di tangannya
kepada Tiarma. “Sekarang akulah yang memberikan bunga untukmu Tiar,
terimalah bunga dari yang hidup kepada yang hidup, karena yang sudah
mati tak lagi menginginkan bunga, melainkan doa.”
Tiarma
terpana, mengalihkan pandang ke pusara Bonar. Ia tak berucap sepatah
katapun, ketika Tiopan menarik tangannya dan menggenggamkan bunga itu di
telapak tangannya. “ Aku yakin, Bonar saat ini tersenyum bahagia,
karena ada orang yang tulus melindungi perempuan yang dicintainya dari
keputusasaan.” Tiarma membisu, saat Tiopan membimbing tangannya menuruni
jalan setapak. Di antara celah dedaunan pohon jambu dan papaya, cahaya
mentari pagi menerobos menyilaukan mata. (Medan 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar