Jumat, 19 September 2014

STORY: Ketika Kesetiaan Itu Belum Berakhir



 STORY: By Leonardo TS



Tiarma hadir di bukit pekuburan itu setiap pagi, saat matahari merangkak menyinari jagat raya. Di tangannya tergenggam seikat bunga segar baru dipetik. Kalau bukan rose, kadang bougenville atau melati putih. Bunga itu selalu diletakkannya di atas salah satu makam. Pada kayu salib yang masih menancap di pusara itu, tertulis sebuah nama: Bonar Parlinggoman. Meninggal 27 Agustus 2011.
Makam itu tampak masih baru. Kayu salibnya juga masih baru, dan tulisan yang ada di sana masih jelas. Di sekeliling kuburan yang satu ini terlihat timbunan tanah yang belum ditumbuhi semak.
Sudah menjadi pergunjingan rutin bagi warga sekampung, setiap pagi gadis berambut panjang sepinggang itu mendaki jalan setapak menuju pekuburan dengan seikat kembang di tangan. Dan hampir setiap warga tahu, Tiarma akan meletakkan karangan bunga itu di atas pusara Bonar Parlinggoman. Itu sudah berlangsung cukup lama. Hampir tiga bulan lamanya. Bayangkan, bila setiap pagi Tiarma membawa bunga, entah sudah berapa banyak bunga yang diletakkannya di sana. Tiada hari berlalu tanpa Tiarma mengunjungi makam Bonar dengan bunga. Tiarma begitu setia, seolah kesetiaan itu tak berujung. Dia telaten merawat gundukan tanah di mana Bonar dimakamkan. Tanpa suara, hanya tetesen air mata, dan sapu tangan yang setia mengusapnya setiap hari. Tiada sebatang rumput pun sempat tumbuh di sekitar kubur itu, karena bila ada yang tumbuh Tiarma sudah mencabutnya.
“Kamu kejam Bonar, tega nian tinggalkan diriku saat matahari bersinar, saat hati ini sedang berbunga”. Ungkapan puitis itu dibisikkannya berpadu cucuran airmata. Sudah tiga bulan lamanya air mata itu mengucur. Mata yang bening indah tampak sayu oleh kesedihan berantai. Menangis baginya bagaikan kenikmatan tersendiri.
Tiga bulan yang lalu suatu kecelakaan tragis merenggut nyawa Bonar Parlinggoman. Dia ditabrak truk tronton di sebuah tikungan patah antara Parapat- Siantar. Sepeda motor yang dikenderainya terlempar beberapa meter, sementara Bonar terseret roda tronton dengan kondisi hancur-hancuran. Konon batok kepalanya retak dan sebagian otaknya berceceran di atas aspal. Berdasarkan KTP di dompetnya, mayat Bonar dibawa polisi ke kampungnya asetelah divisum rumah sakit.
Hati gadis mana yang tak berantakan mengetahui kekasih tercinta dijemput maut. Dunia jadi hitam legam. Langit serasa mau runtuh oleh gelegar petir di siang hari. Tiarma pingsan, dan berulangkali masih pingsan menyaksikan kepala Bonar dibungkus perban, tanpa bisa melihat secuil pun wajahnya.
Tapi kematian adalah takdir yang tak bisa digugat. Dia menyergap saat manusia lupa bahwa kematian sering menjemput tak terduga. Tiarma ingin menggugat dengan tangis dan doa.”Tuhanku,tolonglah aku, kembalikan Bonar padaku”. Tiarma tidak mendapat jawaban. Tapi, belakangan Tiarma merasa mendapat jawaban dari temannya Surti seorang diakones yang menyiramkan penghiburan ke relung rohaninya. Kata Surti, jika kamu benar pengikut Yesus dan sayang pada Tuhan, tunjukkanlah itu dengan kepasrahan dan ketabahan Kristianimu. Bagi pengikut setia Yesus, kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan awal sebuah kehidupan baru melalui pengharapan berdimensi masa depan.
Tiarma merenungkan petuah kasih dari Surti. Dalam hati, Tiarma ingin bersetia pada penantian dan pengharapan. Di alam pikirannya, tumbuh kepercayaan bahwa hanya tubuh Bonar yang mati, namun jiwanya hidup. Tiarma merasakan Bonar tersenyum melihatnya setiap pagi mendatangi kuburnya dan meletakkan bunga di sana. “Ini adalah bunga kesetiaanku Bonar, lihatlah betapa indahnya bunga ini, seindah cinta yang kita rajut berdua”, bisiknya pada suatu pagi bergerimis.
Penduduk sekampung berprasangka Tiarma sudah mendekati gila, terguncang oleh kematian Bonar yang santer bakal menikahi Tiarma usai panen raya. Tiarma jarang bicara. Dia membisu sejuta bahasa bila ada yang menyapa. Tatapan matanya kosong, refleksi hatinya yang kelam, seredup langit tak berbintang. Tetapi, segelap apapun hatinya, kenangan indah bersama Bonar senantiasa melintas. Saat Tiarma duduk sendiri di teras rumah, saat mencuci pakaian dan mandi di pancuran, apalagi saat berbaring di peraduan yang sepi.
Samar-samar penggalan memori indah itu membelai-belai kalbunya. Bila Bonar datang setiap malam minggu, saat Bonar memboncengnya menyusuri pinggiran Aek Sigeaon, keliling kota, dan pulang dari kota membawanya ke tempat sepi lalu memeluk dan menciumnya dengan mesra. Rasanya kemesraan itu selangit. Betapa kebahagiaan itu jadi milik Tiarma. Hatinya serasa koyak bila mendengar lagu lama “Mimpi sedih” yang dulu disenandungkan Tetty Kadi dan kemudian dilantunkan Broery Pesolima. “Diriku tak pernah lepas dari penderitaan, impian kini terjadi, kau pergi setelah aku serahkan kasih suci, itulah nasib diriku…”
Tiarma tak akan melupakan penyerahan diri sepenuhnya hanya untuk Bonar, di atas rerumputan di antara pohon akasia. Pertama kali Bonar membisikkan satu permintaan yang awalnya membuat Tiarma takut dan cemas. Saat Bonar membisikkan janji mengawininya usai musim panen, di kala tubuh keduanya menyatu dalam dinginnya udara malam. Dan ketika Tiarma aakhirnya tergoda untuk menyerah dalam cumbu rayu Bonar yang membawanya terapung ke planet mars.
“Aku takut Bonar, aku takut, bagaimana jika aku nanti…” Tiarma mendesah membenahi diri. Dipeluknya Bonar seakan tak ingin lepas lagi. Lalu Bonar berkata lirih:” mengapa takut Tiar, aku mencintaimu, dan aku bertanggung jawab sepenuhnya,” suara yang mentap, seraya dibelainya rambut panjang Tiarma yang terurai lepas hingga menyentuh tanah.
Tiarma tersenyum ceria.” Aku percaya Bon, kau membuat dunia ini begitu indah menawan,” dan Tiarma memejamkan mata dalam pelukan Bonar yang kembali membawanya terapung ke planet mars. Wouu Bon, kau membuatku terapung di antara awan…
KINI, sudah memasuki bulan ke lima, sejak kepergian Bonar. Dan Tiarma mulai merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Ia sering merasa mual, dan muntah. Oh, Tuhan, aku hamil? Tiarma menatap dirinya di muka cermin di kamarnya, mengelus perutnya. Ia merasakan jantungnya berdegup keras karena takut. Bagaimana ini Bon, anak kita meronta Bon…
Ayahnya yang pemarah geram sangat mengetahui putri semata wayangnya terindikasi berbadan dua. “ Anak tak tau malu, tak punya harga diri, sudah tau dirimu begitu masih juga menyembah setan si Bonar”. Ibi Tiarma memohon-mohon pada suaminya ampunilah anak yang malang ini. Saban pagi ayahnya uring-uringan, malah mengusir Tiarma. “ jangan saya lihat lagi dia bawa-bawa bunga ke kuburan, bikin malu keluarga”. Pernah mau ditamparnya Tiarma, tapi istrinya mengadang. “Tampar aku, pukullah aku, tapi jangan Tiarma”, sergah ibu Tiarma meradang.
Dalam kegelapan malam ketika hujan renyai-renyai, Tiarma berlari mendaki jalan setapak ke pekuburan. Dia ingin mencurahkan galau hatinya pada Bonar. Dia ingin memberitahu, anak mereka akan lahir ke dunia, buah dari cinta kasih tanpa portal. Tiarma seperti hilang akal sehat. Dia berlari, tak peduli hujan dan jalanan licin. Airmatanya menyatu dengan tetesan air hujan.
Kakinya terpeleset di tikungan antara rimbun pohon pisang, dan Tiarma menjerit merasakan tubuhnya terjungkal ke bawah. Tapi sepasang tangan yang kokoh menangkap tubunnya entah dari mana datangnya. Malaikat kah? Tiarma terkejut menyadari dirinya dalam pelukan seorang pria. Dalam remang malam Tiarma menatap lelaki itu. Sosok lelaki yang cukup dikenalnya. Kaukah ini Bonar? Kaukah…?
Tiarma merasa bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya menggigil kedinginan karena pakaiannya yang basah kuyup. Lalu didengarnya jawaban itu,” Tidak, aku bukan Bonar. Bonarmu sudah mati”, suara lelaki itu menyadarkan Tiarma bahwa itu bukan Bonar. Tapi suara itu serasa tak asing baginya. Suara yang cukup dikenalnya.
“Aku Tiopan, lelaki pertama yang mencintai dan memujamu”. Sosok lelaki itu membuka jaket kulitnya, memberikannya pada Tiarma.” Pakailah ini, dan mari kita pulang, tak baik malam begini kau datang ke kuburan sendirian.”
Tiopan? Tiarma berbisik, bibirnya gemetar. Inilah pemuda sekampungnya yang dulu pertama kali menyatakan cintanya pada Tiarma. Dia lah pemuda yang rela memendam duka cintanya sekian lama
Sejak kehadiran Bonar dalam buaian asmaranya. Tiopan adalah lelaki paling disukai ayahnya untuk suatu saat menjadi menantunya. Bukan Bonar.
Tetapi, tidak. Tiarma merasakan kepedihan mendalam manakala hari-hari berikutnya Tiopan mendatanginya dengan tatapan mata cinta membara. “ Biarpun janin dalam kandunganmu adalah benihnya Bonar, aku tetap mencintaimu dan menginginkanmu jadi istriku,” kata Tiopan satu ketika. Mimpikah aku? Tiarma hanyut mendengar ucapan Tiopan yang tulus. Mungkinkah? Tiarma terpelanting ke ngarai ketidakpercayaan. Jangan-jangan itu emosi Tiopan semata.
“Tidak, jangan katakan itu Tiopan. Aku sudah bersumpah untuk setia tak lagi membagi cintaku pada siapa pun. Jangan kau bodoh ito Tiopan, aku bukan anak gadis perawan lagi, aku kini sudah jadi ibu yang mengandung anak lelaki lain”.
Dilihatnya mata Tiopan yang berkaca-kaca. Dilihatnya Tiopan menundukkan kepala. Lalu didengarnya suara Tiopan sayup di antara angin pegunungan Siatas Barita yang mendera dari Timur. Dan didengarnya lagi suara Tiopan: “Aku menghargai pendirianmu Tiarma, kesetiaanmu yang tak bertepi. Tapi kesetiaanku untuk terus mencintaimu juga tak berujung, sampai kapanpun. Dan aku sudah janji pada diriku, tak akan mengalihkan cintaku pada wanita lain kecuali dirimu. Aku tahu, mencintai bukan harus memiliki.”
Pada suatu pagi yang cerah, Tiarma masih membawa seikat bunga ke kuburan. Dia keluar kamarnya melalui jendela, jangan ketahuan ayahnya. Setiba di kuburan, dilihatnya Tiopan ada di sana dengan seikat kembang di tangannya. “Sudah cukup banyak bunga yang kau tebar di sini Tiar, tapi tak satu pun yang kau tanam supaya tumbuh. Hanya satu pintaku, kiranya bunga yang kau bawa pagi ini adalah bunga terakhir buat orang yang kau cintai.” Lalu Tiopan mendekati Tiarma, memberikan bunga di tangannya kepada Tiarma. “Sekarang akulah yang memberikan bunga untukmu Tiar, terimalah bunga dari yang hidup kepada yang hidup, karena yang sudah mati tak lagi menginginkan bunga, melainkan doa.”
Tiarma terpana, mengalihkan pandang ke pusara Bonar. Ia tak berucap sepatah katapun, ketika Tiopan menarik tangannya dan menggenggamkan bunga itu di telapak tangannya. “ Aku yakin, Bonar saat ini tersenyum bahagia, karena ada orang yang tulus melindungi perempuan yang dicintainya dari keputusasaan.” Tiarma membisu, saat Tiopan membimbing tangannya menuruni jalan setapak. Di antara celah dedaunan pohon jambu dan papaya, cahaya mentari pagi menerobos menyilaukan mata. (Medan  2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar