Selasa, 26 Agustus 2014

Nenek Tahan Banting Jalan Kaki Puluhan Km Jual Tape



Nenek penjual tape yang tahan banting jalan kaki puluhan kilometer
menjajakan jualannya
 

  Ada saja pertemuan tak dirancang menjadi sebuah tulisan. Bahwa hidup ini penuh lika-liku romantika sungguh banyak contohnya. Hidup ini terlalu enak bagi sebagian orang, misalnya para pejabat, anggota legislative, pengusaha, yang dengan entengnya bisa menghabiskan puluhan juta rupiah dalam sekejap. Tapi pasti lebih banyak lagi yang untuk mencari sesuap nasi saja harus pontang-panting memeras keringat setiap hari, dan mungkin apa kehidupan glamour di kota hanya pernah hadir dalam mimpinya.
Dalam perjalanan ke Sibolga, saya lihat perempuan tua itu berjalan kaki terseok-seok di pinggir jalan raya menjunjung keranjang berisi jualannya. Saya dan teman berhenti di bawah pohon rindang istirahat sebentar berlindung dari panas matahari menyengat. Saya melambaikan tangan pada perempuan itu, dan saya tanyakan,” jualan apa ibu,” ia jawab dengan suara agak parau,” ini ada tape (tapai) dan keripik singkong.” Saya bantu dia menurunkan keranjangnya. Saya beli tape dan keripik yang disebutnya “piar-piar” itu Rp 10.000. Tampaknya ia senang bangat. Tawa ceria menghiasi wajahnya yang hitam berkeriput.
Sambil menikmati tape yang rasanya gurih, saya perhatikan ibu tua ini. Tubuh kurus dibalut baju warna hijau yang sudah kusam, keringat masih membasahi leher, dan sorot mata yang mulai lemah.
“Dari mana kampungnya ibu,” tanya teman saya.
“ Kampung saya di Pintu Bosi, di Sipoholon,” katanya seraya duduk di rerumputan tepi jalan. Mengembuskan nafasnya melepas lelah.
“ Jauh kampungnya ya bu, berapa jauh dari sini,” saya tanya lagi.
Ia terdiam sejenak, berpikir.” Kalau dari sini ke kampung saya jauh amatlah, mungkin ada lima belas kilometer,” katanya sambil menyimpan uang yang saya berikan, dimasukkan ke sebuah tas kain kecil.
“ Ibu jalan kaki ke sini?”
“Ya, saya jalan kaki, tak mungkin jualan di dalam mobil,” katanya terkekeh. Tampak giginya yang mulai rapuh.
“ Jam berapa ibu berangkat dari rumah,” bincang-bincang berjalan santai.
“Pagi-pagi kadang pukul delapan, kadang pukul sembilan,”
“Wah, capek dong ibu, kalau bolak balik bisa sejauh 30 kilometer?”
“ Tidaklah pak, kalau pulang sudah terlalu sore, saya naik angkot, itupun tak setiap saat ada angkot ke kampong kami, terpaksa pulang jalan kaki juga. Kalau jualan saya cepat habis, saya cepat pulangnya. Masih ada opelet”.
Kami geleng kepala mencoba membayangkan betapa jauhnya perjalanan ibu ini tiap hari berjualan tape dan keripik singkongnya. Kata ibu ini, tape itu hasil buatan sendiri, demikian juga keripik singkongnya. Sudah 15 tahun lebih usaha ini digeluti. Pada usia menjelang 70 tahun, ibu ini sudah punya 16 cucu. Anak-anak semua pergi merantau. Kebanyakan bekerja sebagai buruh.
“Saya dipanggil orang Ompu Mariana, karena cucu saya paling besar namanya Mariana,” katanya ketika saya tanya nama panggilannya.
“Kalau semua jualan ibu ini habis terjual, ada berapa nilai uangnya?”
“Ah, berapalah  paling dapat seratus ribu atau seratus lima puluh ribu, untung sedikit saja pokoknya ada usaha,” katanya polos. Jualan ibu ini jarang tidak habis terjual, Jualan ke kantor bupati juga sering, karena ada juga pegawai wanita suka jajan tape. Kalau di kantor-kantor pemerintah tak laku, dibawa lagi keliling keliling, terkadang hingga sore. Untuk mengantisipasi pulang kesorean, ompu Mariana selalu membawa bekal makanan dari rumah. Setiap lewat rumah yang dilewati, nenek ini terdengar berseru "tape...tape...karupuk...". Sering juga jualannya sudah laku banyak baru setengah rute perjalanan.
Entah berapa lama lagi nenek ini tahan berjualan seperti itu. “Ya selama masih diberi Tuhan kesehatan dan kekuatan, akan terus berjualan seperti ini. Namanya juga cari makan agar terus bisa bertahan hidup,” katanya. Ibu itu menjelang akhir pertemuan minta dibantu mengangkat keranjang jualannya dijunjung di atas kepala. Saya memberikannya Rp 20 ribu, ia terkekeh menerimanya.” Ah kenapa kasi uang lagi, tadi tapenya sudah dibayar,” Saya katakan, hanya sekedar ongkos kalau pulang kesorean nanti.
Saya menyempatkan bertanya, siapa nanti calon presiden yang akan dipilihnya dalam pemilihan. Ia tertawa menjawab,” tak tahulah bapak, siapapun itu ya ditusuk aja nanti, kami orang kampung paling hidupnya begini-begini terus.” Lalu waktu pemilihan anggota legislatif hari itu, nenek ini ada dengar cerita banyak caleg yang bagi-bagi uang kesana-kemari. “Heran ya dari mana uang begitu banyak dibagi-bagi, bagaimana kalau tak menang siapa yang kasi gantinya.”
“Saya pergi dulu, mumpung belum hujan, siapa tau masih ada pembeli,” kata ompu Mariana beranjak dari duduknya. Matahari sore mulai berkurang panasnya. Semburat merah mulai membayang di ufuk Barat.
Struggle for life. Betul sekali, perjuangan hidup yang sesungguhnya hanya dapat dipotret dari kehidupan orang desa. Masih begitu banyaknya warga yang miskin, berjuang keras banting tulang di sawah ladang, jadi buruh musiman, dan ragam bentuk usaha lainnya. Sudah sejauh manakah upaya pemerintah meningkatkan taraf hidup rakyat kecil sebagaimana didengung-dengungkan saat kampanye merebut jabatan.
Pastinya, masih banyak Ompu Mariana-Ompu Mariana lainnya bertebaran di pelosok Nusantara yang luas ini. Begitu banyak orang yang tak tahu atau tak sempat memperdulikan pergolakan politik para elit bangsa. Toh hidup terus berjalan apa adanya. Tanpa perlu bekoar.(Lihat juga: Kompasiana/Kompas.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar