Nenek penjual tape yang tahan banting jalan kaki puluhan kilometer menjajakan jualannya |
Ada
saja pertemuan tak dirancang menjadi sebuah tulisan. Bahwa hidup ini
penuh lika-liku romantika sungguh banyak contohnya. Hidup ini terlalu
enak bagi sebagian orang, misalnya para pejabat, anggota legislative,
pengusaha, yang dengan entengnya bisa menghabiskan puluhan juta rupiah
dalam sekejap. Tapi pasti lebih banyak lagi yang untuk mencari sesuap
nasi saja harus pontang-panting memeras keringat setiap hari, dan
mungkin apa kehidupan glamour di kota hanya pernah hadir dalam mimpinya.
Dalam
perjalanan ke Sibolga, saya lihat perempuan tua itu berjalan kaki
terseok-seok di pinggir jalan raya menjunjung keranjang berisi
jualannya. Saya dan teman berhenti di bawah pohon rindang istirahat
sebentar berlindung dari panas matahari menyengat. Saya melambaikan
tangan pada perempuan itu, dan saya tanyakan,” jualan apa ibu,” ia jawab
dengan suara agak parau,” ini ada tape (tapai) dan keripik singkong.”
Saya bantu dia menurunkan keranjangnya. Saya beli tape dan keripik yang
disebutnya “piar-piar” itu Rp 10.000. Tampaknya ia senang bangat. Tawa
ceria menghiasi wajahnya yang hitam berkeriput.
Sambil
menikmati tape yang rasanya gurih, saya perhatikan ibu tua ini. Tubuh
kurus dibalut baju warna hijau yang sudah kusam, keringat masih
membasahi leher, dan sorot mata yang mulai lemah.
“Dari mana kampungnya ibu,” tanya teman saya.
“ Kampung saya di Pintu Bosi, di Sipoholon,” katanya seraya duduk di rerumputan tepi jalan. Mengembuskan nafasnya melepas lelah.
“ Jauh kampungnya ya bu, berapa jauh dari sini,” saya tanya lagi.
Ia
terdiam sejenak, berpikir.” Kalau dari sini ke kampung saya jauh
amatlah, mungkin ada lima belas kilometer,” katanya sambil menyimpan
uang yang saya berikan, dimasukkan ke sebuah tas kain kecil.
“ Ibu jalan kaki ke sini?”
“Ya, saya jalan kaki, tak mungkin jualan di dalam mobil,” katanya terkekeh. Tampak giginya yang mulai rapuh.
“ Jam berapa ibu berangkat dari rumah,” bincang-bincang berjalan santai.
“Pagi-pagi kadang pukul delapan, kadang pukul sembilan,”
“Wah, capek dong ibu, kalau bolak balik bisa sejauh 30 kilometer?”
“
Tidaklah pak, kalau pulang sudah terlalu sore, saya naik angkot, itupun
tak setiap saat ada angkot ke kampong kami, terpaksa pulang jalan kaki
juga. Kalau jualan saya cepat habis, saya cepat pulangnya. Masih ada opelet”.
Kami
geleng kepala mencoba membayangkan betapa jauhnya perjalanan ibu ini
tiap hari berjualan tape dan keripik singkongnya. Kata ibu ini, tape itu
hasil buatan sendiri, demikian juga keripik singkongnya. Sudah 15 tahun
lebih usaha ini digeluti. Pada usia menjelang 70 tahun, ibu ini sudah
punya 16 cucu. Anak-anak semua pergi merantau. Kebanyakan bekerja
sebagai buruh.
“Saya dipanggil orang Ompu Mariana, karena cucu saya paling besar namanya Mariana,” katanya ketika saya tanya nama panggilannya.
“Kalau semua jualan ibu ini habis terjual, ada berapa nilai uangnya?”
“Ah, berapalah
paling dapat seratus ribu atau seratus lima puluh ribu, untung sedikit
saja pokoknya ada usaha,” katanya polos. Jualan ibu ini jarang tidak
habis terjual, Jualan ke kantor bupati juga sering, karena ada juga
pegawai wanita suka jajan tape. Kalau di kantor-kantor pemerintah tak
laku, dibawa lagi keliling keliling, terkadang hingga sore. Untuk
mengantisipasi pulang kesorean, ompu Mariana selalu membawa bekal
makanan dari rumah. Setiap lewat rumah yang dilewati, nenek ini terdengar berseru "tape...tape...karupuk...". Sering juga jualannya sudah laku banyak baru setengah rute perjalanan.
Entah
berapa lama lagi nenek ini tahan berjualan seperti itu. “Ya selama
masih diberi Tuhan kesehatan dan kekuatan, akan terus berjualan seperti
ini. Namanya juga cari makan agar terus bisa bertahan hidup,” katanya.
Ibu itu menjelang akhir pertemuan minta dibantu mengangkat keranjang
jualannya dijunjung di atas kepala. Saya memberikannya Rp 20 ribu, ia
terkekeh menerimanya.” Ah kenapa kasi uang lagi, tadi tapenya sudah
dibayar,” Saya katakan, hanya sekedar ongkos kalau pulang kesorean
nanti.
Saya
menyempatkan bertanya, siapa nanti calon presiden yang akan dipilihnya
dalam pemilihan. Ia tertawa menjawab,” tak tahulah bapak, siapapun itu
ya ditusuk aja nanti, kami orang kampung paling hidupnya begini-begini
terus.” Lalu waktu pemilihan anggota legislatif hari itu, nenek ini ada dengar
cerita banyak caleg yang bagi-bagi uang kesana-kemari. “Heran ya dari
mana uang begitu banyak dibagi-bagi, bagaimana kalau tak menang siapa
yang kasi gantinya.”
“Saya
pergi dulu, mumpung belum hujan, siapa tau masih ada pembeli,” kata
ompu Mariana beranjak dari duduknya. Matahari sore mulai berkurang
panasnya. Semburat merah mulai membayang di ufuk Barat.
Struggle
for life. Betul sekali, perjuangan hidup yang sesungguhnya hanya dapat
dipotret dari kehidupan orang desa. Masih begitu banyaknya warga yang
miskin, berjuang keras banting tulang di sawah ladang, jadi buruh
musiman, dan ragam bentuk usaha lainnya. Sudah sejauh manakah upaya
pemerintah meningkatkan taraf hidup rakyat kecil sebagaimana
didengung-dengungkan saat kampanye merebut jabatan.
Pastinya,
masih banyak Ompu Mariana-Ompu Mariana lainnya bertebaran di pelosok
Nusantara yang luas ini. Begitu banyak orang yang tak tahu atau tak
sempat memperdulikan pergolakan politik para elit bangsa. Toh hidup
terus berjalan apa adanya. Tanpa perlu bekoar.(Lihat juga: Kompasiana/Kompas.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar