Saya tidak kenal langsung seorang penulis bernama Eka Dharmaputra.Tapi saya menyukai tulisan-tulisannya yang sering muncul di Harian Sinar Harapan,dulu. Ternyata, seseorang bisa dikenal lebih dekat karena karya, tidak harus fisik.Banyak penulis sastra, esei, atau makalah ilmiah tak begitu dikenal. Tapi karya yang dimunculkan ke permukaan, membuahkan makna yang melekat, sehingga sering terdokumentasi.
Eka Dharmaputra, saya tahu adalah seorang rohaniawan dan
kolumnis yang memfokuskan karya tulisnya pada sektor agama..Pak Eka
(setidaknya bagi saya), adalah seorang penulis hebat. Beliau piawai
mengulas topik-topik aktual dengan gaya bertutur yang cerdas. Tulisannya
memang bertema religius, tapi sudut bidiknya merupakan potret aktual
dari pergumulan hidup manusia saat ini. Bahasanya mengalir, kocak, enak
dibaca, dan bermanfaat.
Tulisannya memikat, dan menukik pada perwatakan dan perilaku
manusia masa kini. Tentu ini agak bertolak belakang dengan ungkapan
orang mancanegara yang mengatakan, the man behind the gun (bukan
senjatanya yang penting tapi siapa dibalik senjata itu).
Saya berpikir, terkadang untuk memahami dan mengadopsi pikiran
seorang penulis, pembaca perlu mengosongkan pikirannya dari
keingintahuan tentang latar belakang sang penulis. Soalnya, bukanlah
siapa yang menulis, tetapi apa yang dia tulis. Peribahasa Cina juga
mengatakan “tidak soal apakah kucingnya berwarna putih atau hitam, tapi
apakah kucingnya mampu menangkap tikus”.
Begitulah. Dari sekian banyak tulisan pak Eka yang pernah saya baca
dan renungkan, salah satunya menyangkut HIDUP ENAK (sengaja saya tulis
dengan huruf kapital supaya fokus catatan ini lebih jelas). Maka
bertuturlah pak Eka tentang binatang bernama tikus, garis besarnya
seperti ini:
Menurut pendapat anda, bagaimanakah bisa terjadi, seekor tikus atau
bahkan seekor harimau sampai bisa celaka masuk perangkap? Apakah anda
akan mengatakan, karena kurang waspada? Itu tidak benar. Karena bicara
tentang kewaspadaan, siapa yang menandingi tikus dan harimau. Kedua
binatang itu termasuk jenis binatang yang peka terhadap bahaya.
Menurut pendapat Eka, jawabnya adalah: karena perangkap itu selalu
menarik ! Soalnya di dalam perangkap itu tersedia makanan enak. Dan lagi
pula begitu mudahnya untuk menyantap. Tinggal masuk aja melalui pintu
perangkap, lalu makan. Tikus, kucing, harimau, mana mau menolak daging
yang terpampang di depan mata. Tetapi, begitu yang enak dan mudah
didapatkan itu dinikmati, jebbreeet…celakalah dia. Pintu sudah tertutup,
tak bisa keluar lagi. Bila tikus harus menyesal, datangnya sudah
terlambat.
Ilustrasi itu ringan dan sederhana. Tapi saya pikir maknanya amat
dalam bila disimak lebih cermat. Terutama bila dianalogi pada ragam
perilaku dan takdir manusia yang harus mendekam dalam penjara dan
menjadi penghias halaman suratkabar, hanya karena godaan hidup enak
seperti yang dibidik Dharmaputra dalam tulisannya.
Setidaknya ilustrasi itu sangat relevan dikomparasikan terhadap
manusia. Bukan cuma tikus atau harimau yang bisa (dan kerap) masuk
perangkap. Tetapi juga manusia, atau bahkan: terutama manusia. Contoh
paling gampang adalah mereka yang karena kerakusan, ketamakan, kecanduan
pada uang berlebih, akhirnya mendapat gelar: koruptor. Pada masa
reformasi pasca runtuhnya rezim orde baru, hampir tiap hari terbaca di
koran, majalah, atau di layar tv, pejabat anu atau ketua dan anggota DPR
(D) anu, menjadi tersangka kasus korupsi. Di suratkabar pernah terbaca
saya berita di bawah judul “ Korupsi Bersama-sama a la Pejabat
Muarojambi”. Dalam berita disebut, sejumlah pejabat Muarojambi menjadi
tersangka korupsi. Mulai dari Wakil Bupati, Ketua DPD Partai Demokrat,
mantan Sekda, mantan bupati, Ketua BUMD, termasuk rekanan pemborong.
Mereka “kompak” melibatkan diri melakukan penyelewengan uang
Negara.Kemudian Gubernur Sumut Syamsul Arifin, gubernur Banten Ratu
Atut masuk penjara, Menpora Andi Malareangeng , mantan Ketua
Partai Demokrat Anas Urbaningrum,Nazaruddin, Deputi BI Miranda
Gultom,Bupati Bogor, dan banyak nama lainnya yang belakangan muncul
sebagai tersangka,, belum lagi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar,
dan banyak lainnya.Dan celakanya Menteri Agama Suryadharma Ali di luar
dugaan dipastikan KPK tersangka kasus penyelenggaraan haji.
Itu hanya beberapa contoh, di tengah belantara kasus korupsi yang
terjadi di hampir semua lini birokrasi negeri yang “kaya raya” ini. Yang
menjadi pertanyaan menarik, paling-paling: apakah konspirasi seperti
itu hanya terjadi di Muarojambi dan Banten? Budayawan dan psikolog
Arief Budiman pernah mengatakan dalam suatu wawancara: korupsi tak bisa
dilakukan oleh satu orang di dalam satu institusi atau lembaga, tapi
sering melibatkan pihak lain di sekitarnya. Artinya, tindak pidana
korupsi merupakan lingkaran setan, atau mata rantai yang bersambung
satu sama lain.
Bidikan Eka Dharmaputra tentang keinginan hidup enak dengan
ilustrasi tikus, relevan dengan fenomena korupsi yang terjadi secara
serial di negeri ini.Ketika hidup enak itu dijadikan sebagai tujuan,
celakalah sang manusia.Ambisi untuk menganut pola hidup enak merupakan
perangkap jitu meringkus seseorang masuk ke lubang sengsara dan hina.
Banyak orang terpedaya hidup enak, sehingga menomorduakan akibat
yang timbul kemudian.Ketika sang pejabat tergiur melihat umpan lezat di
dalam perangkap, tanpa pikir panjang langsung menerkam dan melahapnya.
Sadar atau tak sadar, dia sudah terkurung dalam sebuah perangkap.
Tentang apa tindakan pemilik perangkap, itu adalah soal lain. Apakah
makhluk dalam perangkap akan menyembah-nyembah minta ampunan, atau
menangis sekuat tenaga supaya jangan dieksekusi, ataukah mencicit-cicit
seperti tikus mencari dekking, tergantung pada nasibnya
juga.Mudah-mudahan ada kucing yang bersedia negosiasi, mendapat bagian
dari umpan yang belum sempat dimakan.Kucing juga kan, makhluk konsumtif.
Perlu makanan enak, biar tidurnya pulas sambil menyusui anak dan
memanjakan bini.
Hidup enak adalah perangkap aneh yang sulit ditolak, ketika itu
menjadi tujuan. Celakanya, sekali dimulai, sulit dihentikan. Sudah punya
dasi, pengen punya jas. Sudah punya zebra, pengen kijang. Sudah punya
kijang, minta landcruiser. Lihat tetangga menyekolahkan anak di
California, mengapa saya tidak.Bah! Orang Batak punya kata-kata arif
ida-ida di na butong,jora-jora di na male ( ketagihan pada yang
enak,hindarkan hidup kekurangan).
Meletakkan hidup enak sebagai way of life, membuat orang mati
nurani. Ia hanya melihat diri sendiri sebagai figur yang menjadi skala
prioritas. Keluarga dan konco, merupakan perioritas kedua. Dan bagaimana
dengan orang lain? Persetan dengan mereka. Kalau mereka ingin hidupnya
enak, korupsi juga dong! Hidup kita tidak akan bisa enak, kalau bukan
kita yang bikin jadi enak (begitu prinsip baku orang-orang keliru).
Atau, hidup enak itu dirasakan di dunia, bukan di akhirat.
Di dalam perangkap ketika menunggu nasib selanjutnya, sang tikus
yang diilustrasikan , masih sempat berkhayal, berandai-andai: Seandainya
tadi aku lebih hati-hati, seandainya aku tidak keburu nafsu, seandainya
aku tak terlalu rakus, seandainya aku tak terlalu menyombongkan diri
memasuki pintu perangkap, seandainya aku tidak terlalu semangat
mencicipi makanan enak di dalam perangkap jahanam ini, atau seandainya
ada tikus-tikus kantor, tikus got, atau kucing-kucing yang mau sharing,
membagi makanan enak ini…wah, petaka ini pasti tidak terjadi.
Tetapi, tunggu dulu (pikir tikus): andai nanti aku diajukan ke meja
hijau dan hakimnya adalah buaya atau kerbau, pasti ada solusinya.
Hitung-hitung, win-win solution. Buaya mana menolak bangkai. Dan kerbau?
Dia itu kan berkelas dungu. Badannya saja yang gede, otaknya kecil.
Matanya pasti terbelalak, air liurnya muncrat, begitu diberi makanan
hamburger. Horeee…!
Memang, soal hidup enak boleh jadi dirumuskan menurut persepsi
yang berbeda. Seorang moralis, atau agamawan sejati, pasti punya
persepsi yang agak klise tentang pengertian hidup enak. Agamawan
berkata, hidup enak di dunia sifatnya temporer, tetapi hidup enak yang
sejati terdapat di dunia akhirat ketika hidup badani telah berakhir.
Tetapi seorang koruptor, atau katakanlah seseorang yang keburu telah
mengabdikan diri pada surgawi materialisme, pada enaknya kehidupan
dengan kekuasaan uang, pasti hanya menganggukkan kepala mendengar petuah
sang agamawan tersebut. Sebab seorang koruptor atau mereka yang hanya
bercita-cita kaya dan menikmati hidup enak di dunia, punya filosofi
berbeda. Di antaranya mungkin meneguhkan prinsip baku “ soal hidup enak
di dunia lain pasca kehidupan nyata hanyalah khayalan, sedangkan hidup
enak yang di dunia nyata bisa dirasakan apabila kita punya banyak uang”.
Barangkali karena prinsip itulah, banyak orang tega menghalalkan
segala cara, bagaimana supaya hidup enak dalam kekinian bisa tercapai.
Bahkan yang lebih fataal,ketika satu saat ditanyakan apakah tidak takut
akan bahaya. Jawabnya (dengan enteng) :” Hidup enak tidak terlepas dari
bahaya. Tapi setiap ancaman bahaya dapat dijinakkan (maksudnya diatasi)
dengan pemberian (uang atau benda berharga lainnya). Tetapi bilamana
ancaman atau bahaya itu datangnya dari penegak hukum/keadilan, apakah
itu juga dapat dijinakkan dengan uang? Jawabnya (mungkin) : banyak
oknum hakim, jaksa, polisi, atau oknum badan pengawas fungsional di satu
Negara, yang kena ringkus, karena melakukan penyimpangan
tugas/jabatan.
Yang pasti, kita sering diingatkan pada peribahasa lama
“sepandai-pandai tupai meloncat, satu saat akan terjerembab juga ke
tanah”. Kalau pun ada tupai yang tak pernah terjerembab selama hidupnya,
mungkin karena tupainya memiliki kesaktian bernilai plus, sehingga
luput dari kejatuhan. Atau, kita diingatkan satu ungkapan lama lainnya, “
pelanduk bisa melupakan jerat, tapi jerat tak pernah melupakan
pelanduk”. Arti harfiahnya, seseorang bisa melupakan hukum, tapi
(sesungguhnya) hukum tak pernah melupakan (kesalahan) manusia. Karena
jerat (hukum) sudah diberi mandat untuk memerangkap pelanggar hukum.
Begitulah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar