Sabtu, 16 Agustus 2014

Perangkap Hidup Enak





Saya tidak kenal langsung seorang penulis bernama Eka Dharmaputra.Tapi saya menyukai tulisan-tulisannya yang sering muncul di Harian Sinar Harapan,dulu. Ternyata, seseorang bisa dikenal lebih dekat karena karya, tidak harus fisik.Banyak penulis sastra, esei, atau makalah ilmiah tak begitu dikenal. Tapi karya yang dimunculkan ke permukaan, membuahkan makna yang melekat, sehingga sering terdokumentasi.

 Eka Dharmaputra, saya tahu adalah seorang rohaniawan dan kolumnis yang memfokuskan karya tulisnya pada sektor agama..Pak Eka (setidaknya bagi saya), adalah seorang penulis hebat. Beliau piawai mengulas topik-topik aktual dengan gaya bertutur yang cerdas. Tulisannya memang bertema religius, tapi sudut bidiknya merupakan potret aktual dari pergumulan hidup manusia saat ini. Bahasanya mengalir, kocak, enak dibaca, dan bermanfaat.
 Tulisannya memikat, dan menukik pada perwatakan dan perilaku manusia masa kini. Tentu ini agak bertolak belakang dengan ungkapan orang mancanegara yang mengatakan, the man behind the gun (bukan senjatanya yang penting tapi siapa dibalik senjata itu).
Saya berpikir, terkadang untuk memahami dan mengadopsi pikiran seorang penulis, pembaca perlu mengosongkan pikirannya dari keingintahuan tentang latar belakang sang penulis. Soalnya, bukanlah siapa yang menulis, tetapi apa yang dia tulis. Peribahasa Cina juga mengatakan “tidak soal apakah kucingnya berwarna putih atau hitam, tapi apakah kucingnya mampu menangkap tikus”. 
Begitulah. Dari sekian banyak tulisan pak Eka yang pernah saya baca dan renungkan, salah satunya menyangkut HIDUP ENAK (sengaja saya tulis dengan huruf kapital supaya fokus catatan ini lebih jelas). Maka bertuturlah pak Eka tentang binatang bernama tikus, garis besarnya seperti ini:
Menurut pendapat anda, bagaimanakah bisa terjadi, seekor tikus atau bahkan seekor harimau sampai bisa celaka masuk perangkap? Apakah anda akan mengatakan, karena kurang waspada? Itu tidak benar. Karena bicara tentang kewaspadaan, siapa yang menandingi tikus dan harimau. Kedua binatang itu termasuk jenis binatang yang peka terhadap bahaya.
Menurut pendapat Eka, jawabnya adalah: karena perangkap itu selalu menarik ! Soalnya di dalam perangkap itu tersedia makanan enak. Dan lagi pula begitu mudahnya untuk menyantap. Tinggal masuk aja melalui pintu perangkap, lalu makan. Tikus, kucing, harimau, mana mau menolak daging yang terpampang di depan mata. Tetapi, begitu yang enak dan mudah didapatkan itu dinikmati, jebbreeet…celakalah dia. Pintu sudah tertutup, tak bisa keluar lagi. Bila tikus harus menyesal, datangnya sudah terlambat.
Ilustrasi itu ringan dan sederhana. Tapi saya pikir maknanya amat dalam bila disimak lebih cermat. Terutama bila dianalogi pada ragam perilaku dan takdir manusia yang harus mendekam dalam penjara dan menjadi penghias halaman suratkabar, hanya karena godaan hidup enak seperti yang dibidik Dharmaputra dalam tulisannya.      
Setidaknya ilustrasi itu sangat relevan dikomparasikan terhadap manusia. Bukan cuma tikus atau harimau yang bisa (dan kerap) masuk perangkap. Tetapi juga manusia, atau bahkan: terutama manusia. Contoh paling gampang adalah mereka yang karena kerakusan, ketamakan, kecanduan pada uang berlebih, akhirnya mendapat gelar: koruptor. Pada masa reformasi pasca runtuhnya rezim orde baru, hampir tiap hari terbaca di koran, majalah, atau di layar tv, pejabat anu atau ketua dan anggota DPR (D) anu, menjadi tersangka kasus korupsi. Di suratkabar pernah terbaca saya berita di bawah judul “ Korupsi Bersama-sama a la Pejabat Muarojambi”. Dalam berita disebut, sejumlah pejabat Muarojambi menjadi tersangka korupsi. Mulai dari Wakil Bupati, Ketua DPD Partai Demokrat, mantan Sekda, mantan bupati, Ketua BUMD, termasuk rekanan pemborong. Mereka “kompak” melibatkan diri melakukan penyelewengan uang Negara.Kemudian Gubernur Sumut Syamsul Arifin, gubernur Banten Ratu
 Atut masuk penjara, Menpora Andi Malareangeng , mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum,Nazaruddin, Deputi BI Miranda Gultom,Bupati Bogor, dan banyak nama lainnya yang belakangan muncul sebagai tersangka,, belum lagi Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar, dan banyak lainnya.Dan celakanya Menteri Agama Suryadharma Ali di luar dugaan dipastikan KPK tersangka kasus penyelenggaraan haji.  
Itu hanya beberapa contoh, di tengah belantara kasus korupsi yang terjadi di hampir semua lini birokrasi negeri yang “kaya raya” ini. Yang menjadi pertanyaan menarik, paling-paling: apakah konspirasi seperti itu hanya terjadi di Muarojambi dan Banten? Budayawan dan psikolog Arief Budiman pernah mengatakan dalam suatu wawancara: korupsi tak bisa dilakukan oleh satu orang di dalam satu institusi atau lembaga, tapi sering melibatkan pihak lain di sekitarnya. Artinya, tindak pidana korupsi merupakan lingkaran setan, atau mata rantai yang bersambung satu sama lain.
Bidikan Eka Dharmaputra tentang keinginan hidup enak dengan ilustrasi tikus, relevan dengan fenomena korupsi yang terjadi secara serial di negeri ini.Ketika hidup enak itu dijadikan sebagai tujuan, celakalah sang manusia.Ambisi untuk menganut pola hidup enak merupakan perangkap jitu meringkus seseorang masuk ke lubang sengsara dan hina.
Banyak orang terpedaya hidup enak, sehingga menomorduakan akibat yang timbul kemudian.Ketika sang pejabat tergiur melihat umpan lezat di dalam perangkap, tanpa pikir panjang langsung menerkam dan melahapnya. Sadar atau tak sadar, dia sudah terkurung dalam sebuah perangkap. Tentang apa tindakan pemilik perangkap, itu adalah soal lain. Apakah makhluk dalam perangkap akan menyembah-nyembah minta ampunan, atau menangis sekuat tenaga supaya jangan dieksekusi, ataukah mencicit-cicit seperti tikus mencari dekking, tergantung pada nasibnya juga.Mudah-mudahan ada kucing yang bersedia negosiasi, mendapat bagian dari umpan yang belum sempat dimakan.Kucing juga kan, makhluk konsumtif. Perlu makanan enak, biar tidurnya pulas sambil menyusui anak dan memanjakan bini.
Hidup enak adalah perangkap aneh yang sulit ditolak, ketika itu menjadi tujuan. Celakanya, sekali dimulai, sulit dihentikan. Sudah punya dasi, pengen punya jas. Sudah punya zebra, pengen kijang. Sudah punya kijang, minta landcruiser. Lihat tetangga menyekolahkan anak di California, mengapa saya tidak.Bah! Orang Batak punya kata-kata arif ida-ida di na butong,jora-jora di na male ( ketagihan pada yang enak,hindarkan hidup kekurangan).
Meletakkan hidup enak sebagai way of life, membuat orang mati nurani. Ia hanya melihat diri sendiri sebagai figur yang menjadi skala prioritas. Keluarga dan konco, merupakan perioritas kedua. Dan bagaimana dengan orang lain? Persetan dengan mereka. Kalau mereka ingin hidupnya enak, korupsi juga dong! Hidup kita tidak akan bisa enak, kalau bukan kita yang bikin jadi enak (begitu prinsip baku orang-orang keliru). Atau, hidup enak itu dirasakan di dunia, bukan di akhirat.
Di dalam perangkap ketika menunggu nasib selanjutnya, sang tikus yang diilustrasikan , masih sempat berkhayal, berandai-andai: Seandainya tadi aku lebih hati-hati, seandainya aku tidak keburu nafsu, seandainya aku tak terlalu rakus, seandainya aku tak terlalu menyombongkan diri memasuki pintu perangkap, seandainya aku tidak terlalu semangat mencicipi makanan enak di dalam perangkap jahanam ini, atau seandainya ada tikus-tikus kantor, tikus got, atau kucing-kucing yang mau sharing, membagi makanan enak ini…wah, petaka ini pasti tidak terjadi.
Tetapi, tunggu dulu (pikir tikus): andai nanti aku diajukan ke meja hijau dan hakimnya adalah buaya atau kerbau, pasti ada solusinya. Hitung-hitung, win-win solution. Buaya mana menolak bangkai. Dan kerbau? Dia itu kan berkelas dungu. Badannya saja yang gede, otaknya kecil. Matanya pasti terbelalak, air liurnya muncrat, begitu diberi makanan hamburger. Horeee…!
 Memang, soal hidup enak boleh jadi dirumuskan menurut persepsi yang berbeda. Seorang moralis, atau agamawan sejati, pasti punya persepsi yang agak klise tentang pengertian hidup enak. Agamawan berkata, hidup enak di dunia sifatnya temporer, tetapi hidup enak yang sejati terdapat di dunia akhirat ketika hidup badani telah berakhir. Tetapi seorang koruptor, atau katakanlah seseorang yang keburu telah mengabdikan diri pada surgawi materialisme, pada enaknya kehidupan dengan kekuasaan uang, pasti hanya menganggukkan kepala mendengar petuah sang agamawan tersebut. Sebab seorang koruptor atau mereka yang hanya bercita-cita kaya dan menikmati hidup enak di dunia, punya filosofi berbeda. Di antaranya mungkin meneguhkan prinsip baku “ soal hidup enak di dunia lain pasca kehidupan nyata hanyalah khayalan, sedangkan hidup enak yang di dunia nyata bisa dirasakan apabila kita punya banyak uang”.
 Barangkali karena prinsip itulah, banyak orang tega menghalalkan segala cara, bagaimana supaya hidup enak dalam kekinian bisa tercapai. Bahkan yang lebih fataal,ketika satu saat ditanyakan apakah tidak takut akan bahaya. Jawabnya (dengan enteng) :” Hidup enak tidak terlepas dari bahaya. Tapi setiap ancaman bahaya dapat dijinakkan (maksudnya diatasi) dengan pemberian (uang atau benda berharga lainnya). Tetapi bilamana ancaman atau bahaya itu datangnya dari penegak hukum/keadilan, apakah itu juga dapat dijinakkan dengan uang? Jawabnya (mungkin) : banyak oknum hakim, jaksa, polisi, atau oknum badan pengawas fungsional di satu Negara, yang kena ringkus, karena melakukan penyimpangan tugas/jabatan. 
 Yang pasti, kita sering diingatkan pada peribahasa lama “sepandai-pandai tupai meloncat, satu saat akan terjerembab juga ke tanah”. Kalau pun ada tupai yang tak pernah terjerembab selama hidupnya, mungkin karena tupainya memiliki kesaktian bernilai plus, sehingga luput dari kejatuhan. Atau, kita diingatkan satu ungkapan lama lainnya, “ pelanduk bisa melupakan jerat, tapi jerat tak pernah melupakan pelanduk”. Arti harfiahnya, seseorang bisa melupakan hukum, tapi (sesungguhnya) hukum tak pernah melupakan (kesalahan) manusia. Karena jerat (hukum) sudah diberi mandat untuk memerangkap pelanggar hukum. Begitulah… 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar