Di dusun sepi ini kakek tewas disambar peluru mortir. |
Inilah
lembah kehidupan, puluhan tahun memberiku peluang untuk ikut merasakan
kehidupan bersama mereka yang masih bertahan hingga sekarang. Terkadang,
aku berhenti sesaat memikirkan kehidupan yang tengah kujalani saat ini,
berimajinasi ke dunia masa kecil yang jauh terlampaui.
Terkenang pada oppung doli (kakek) yang keburu tewas disambar peluru mortir di masa pemberontakan PRRI 1958.
Terkenang pada oppung doli (kakek) yang keburu tewas disambar peluru mortir di masa pemberontakan PRRI 1958.
Konon,
oppung doli (ayah dari ibuku) adalah generasi pelanjut leluhurnya yang
berhasil memukimi desa Nagatimbul, hasil perjuangan berat di masa
lampau. Perjuangan itu konon meminta banyak korban.Ada pertikaian sengit
antar dusun, antar bius, antar marga, kelompok, bahkan antarpribadi.
Masing-masing mengeluarkan jurus dan strategi paling ampuh, termasuk
mantera-mantera supranatural. Yang namanya sipahabang losung (menerbangkan lesung) waktu itu bukan sesuatu yang mustahil. Juga, moncak humaliang bogas
(pencak sekitar jejak) yang ketika kaki dihentak menimbulkan guncangan
kuat di permukaan tanah. Banyak leluhur zaman dulu memiliki kesaktian
sebelum keKristenan datang dibawa misionaris Jerman ke wilayah ini.
Alhasil,
leluhur oppung doliku salah satu dari pemenang. Sebagai imbalan, dia
dapat bagian tanah yang lumayan luas. Selain beberapa petak sawah, juga
areal perkampungan yang kemudian diberi nama NAGATIMBUL. Leluhur oppung
termasuk arif memilih lokasi, tak terlalu jauh dari jalan umum.Di
kampung itu ditanami pohon kelapa, mangga, dan pinang, bukan dengan
rimbunan bambu seperti lazimnya kampung Batak. Saat mangga sedang musim
berbuah, aku salah satu cucunya paling lasak memanjat. Masih terasa di
lidah manisnya mangga sedang masak, kulahap sebanyak-banyaknya sambil
berondok di salah satu dahannya.
Belakangan,
baru kutahu mengapa oppungku dijuluki “Kappung Suhat”. Satu julukan
yang kemudian di sandang putra sulungnya, yakni pamanku. Bahkan gelar
itu hingga sekarang masih melekat di seputaran Desa Hutabarat Parbaju.
Dulunya, dusun yang ditempati kakek bersama permaisurinya boru
Tambunan,ditanami banyak suhat (ubi talas). Itulah salah satu usaha
sampingan mereka, selain bertanam padi. Tiap Rabu dan Sabtu, oppung boru
(nenek) merebus suhat dan menjualnya ke pasar Tarutung. Hasil penjualan
ubi itu digunakan membeli kebutuhan sehari-hari, termasuk beli tembakau
dan untuk oppung doli. Oppung boru adalah boru Tambunan
Pagaraji berasal dari Sigotom, Pangaribuan. Sosok nenek yang ulet
bergelimang lumpur di sawah ladang. Opung boru ini lebih banyak berjuang
mencari nafkah. Sedangkan oppung doli –konon- banyak menghabiskan waktu
berjudi. Dia seorang pejudi yang sering kalah, sampai beberapa petak
sawah dan ladang, berpindah tangan karena digadai.
Aku adalah salah satu cucunya dari garis anak perempuan (boru). Oppung punya dua anak lelaki dan tujuh boru. Ibu yang melahirkanku di RSU Tarutung, adalah anak ke lima dari sembilan bersaudara. Semasa kecil, aku sering berkunjung ke kampung ibuku, sehingga aku dengan oppung doli cukup dekat. Meski usiaku saat itu masih sekitar lima tahunan, namun aku masih ingat banyak hal tentang oppung doli. Masih ingat kumisnya yang tebal, dan wajahnya yang mirip dengan kedua tulang, dan juga ibuku.
Dulunya, ketika ortuku membuka usahatoko (belakangan jadi kedai kopi) di Naheong, dua kali dalam sepekan oppung doli pasti singgah minum kopi, sambil belanja timbaho usim ke pasar. Kalau opung doli mau pulang, aku sering di ajak. Kebetulan, aku suka dengan suasana desa. Aku senang melihat sawah, pepohonan, burung beterbatangan berkicau di pagi dan sore hari. Aku ingat satu ketika, oppung doli membuatkan ketapel sebagai mainan untukku. Makanya, aku pun betah di kampung, lupa pulang ke kota.
“Kalau
main ketapel, jangan tembak eccet gaol, kasihan, burung itu sangat
kecil dan menyenangkan,” kata oppung doli. Burung eccet adalah sejenis
burung gelatik kecil berbulu kekuningan. Saking mungilnya, kadang sulit
dipandang mata saat berloncatan di dahan kayu. Oppung boru menjabarkan
perkataan oppung doli itu sebagai bagian dari kearifan (filosofi) orang
tua.” Orang kecil dan lemah jangan dicemoh, apa lagi disakiti. Segala
makhluk yang kecil dan lemah harus dilindungi dan dikasihi, agar yang
hidup tak hanya yang besar dan kuat,” begitu kata oppung boru.
Suatu
hari, ketika bermain ketapel di kampung oppung, aku menembak jatuh
seekor burung kecil. Kukira itu murai atau tekukur, tapi setelah
kupungut, aku terkejut. Ternyata seekor eccet. Oppung boru merepet dari
emperan rumah.”Itulah kalau tidak sioloi poda (dengar nasihat).
Lihatlah, burung kecil itu sudah mati,kepalanya hancur. Hayo cepat
kuburkan, jangan di lihat oppung dolimu,”
Semalaman
perasaanku tak tenang. Ada penyesalan atas kematian burung kecil itu.
Kubayangkan, bagaimana batu yang melesat dari ketapelku menerobos daun
pohon sebelum menabrak kepalanya yang mungil. Burung itu tak sempat
menggelepar di tanah. Ia mati sebelum jatuh ke tanah.
Esoknya,
ketika duduk berdua dengan oppung doli di emperan rumah, sikapku
mendapat perhatiannya.Oppung meletakkan telapak tangannya di
dahiku.”Mungkin kau demam,” katanya. Oppung berprasangka begitu karena
aku tak selincah biasanya bermain. Barangkali itu bagian kearifan orang
tua mencermati perubahan seorang anak.
Oppungboru
yang membuka rahasia malam harinya usai kami makan bertiga.”Cucu kita
ini bukan sakit, mungkin hanya menyesal karena melanggar nasihat,”
Ucapan oppung boru itu membuat oppung doli menatapku. Tatapan matanya
lembut, tapi tajam seperti sembilu. Hatiku terhibur, karena oppung doli
kulihat senyum. “Tak sengaja, kuketapel ambaroba pung, yang kena eccet,”
kataku pelan. Kurasakan nada suaraku bergetar, takut. Tapi, hatiku lega
saat kudengar suara oppung doli,” Tak apa kalau tak sengaja.Tapi lain
kali, usahakan tidak meleset. Lebih baik kau ketapel sibarung atau lali,
karena mereka burung yang jahat, pemangsa yang kecil,”
Sejak
itu, kalau main ketapel ke kampung aku tidak mau menembak burung kecil.
Aku mengintip bangau yang suka angkat sebelah kaki di pematang sawah,
atau burung elang yang sering bertengger di daun kelapa, mengintai anak
ayam.Aku bercita-cita, sekiranya bisa menembak jatuh seekor burung
hantu. Tapi, satu ekor pun dari burung-burung besar itu tak pernah bisa
kuketapel. Tenagaku kurang saat menarik karet ketapel hingga jarak
tembakan kurang melesat.
Setelah
aku makin dewasa, filosofinya kupahami kira-kira begini: Manusia jangan
tunjukkan kekuasaan atau kekuatan pada orang lemah dan susah. Banyak
orang tega bersorak dan menari di atas penderitaan orang kecil yang
lemah. Orang-orang kuat sepertinya tahu, kalau tak ada orang kecil dan
lemah, mereka merasa kurang berharga karena tak ada orang lain yang bisa
ditekan.Sebaliknya, tanpa orang besar yang sok kuasa, orang kecil
berpeluang menjadi besar, dan tak teraniaya.
Sikap
waspada dan perlunya penggunaan nalar kecermatan, adalah bagian lain
dari filosofi oppung doli.” Manat sotung tarrobung, dadap unang
tarsuga”. Artinya, hati-hati jangan terjatuh ke lobang, waspada jangan
kena duri. Oppung doli geram melihat kakiku satu ketika terkena duri
bambu. Banyak darah mengucur. Aku mengaduh-aduh menahan sakit. Luka
telapak kakiku cukup dalam, membutku seharian meringis.Pagi harinya,
oppung mengambil sejenis rumput liar, mengunyahnya di mulut lalu
menempelkannya di bagian kakiku yang terluka. Tak begitu lama denyut
perih itu reda. Oppung doli berkata,” kalau tak dijaga hati-hati, yang
dua biji itupun bisa terbang,” Aku tertawa karena tahu yang dimaksud
oppung adalah sepasang organ priaku yang paling strategis. Dasar oppung,
suka ceplas-ceplos!
Tahun
1958, pemberontakan PRRI meletus. Lembah kehidupan bernama Silindung
sontak menjadi ngarai yang mencekam, menawarkan kematian
berdarah-darah.Banyak yang tewas dan invalid. Suasana seharian mencekam.
Kota dan kampung-kampung nyaris tanpa kehidupan, berganti ketakutan.
Setiap menit terdengar letusan senjata, entah dari mana dan ke mana.
Selongsong peluru bertebaran di mana-mana. Aku dan teman lainnya suka
mengumpul selongsong untuk mainan, saat tembak menembak reda. Pada malam
hari, semua warga penghuni lembah yang disenangi misionaris Nommensen
ini menghilang, masuk lubang perlindungan.” Ayo cepat masuk lubang,
nanti kena mortir,” teriak orang-orang tua pada anaknya. Di dusun terasa
lebih menyeramkan. Tak ada penerangan listrik. Paling cahaya palito
atau lampu botol yang membuat lobang hidung jadi hitam saat bangun esok
harinya. Kami anak-anak dilarang oppung bersuara keras apa lagi nongol
dari lubang. Siapa melanggar bisa diketok dengan tongkatnya.”Kita harus
hati-hati, kalau tidak bisa celaka,” katanya.
Lalu,
pada suatu pagi berembun tebal, oppung doli keluar dari lubang
persembunyian karena merasa sudah aman. Tak terdengar ada bunyi tembakan
senapan atau mortir. Oppung boru melarang, tapi diabaikan.Oppung doli
bersikukuh ingin melihat situasi di tempat terbuka, mungkin bosa
berkurung terus dalam lubang gelap. Dengan santai oppung doli berdiri,
menatap di tembok bak mandi rumah kami yang saat itu belum siap di
bangun.
ITULAH.
Kalau sudah ajal pantang tertunda. Ternyata, oppung jadi korban
filosofinya tentang kewaspadaan.” Manat sotung tarrobung, dadap unang
tarsuga”. Mungkin oppung lupa petuah emas itu. Oppung kehilangan naluri
kearifannya, kalah oleh ketidaksabaran. Sebuah tembakan mortirpagi
itu memutus riwayatnya di kamar mandi terbuka itu. Mungkin kelompok
parrimba yang bertahan di zona pegunungan sebelah timur melihat gerak
mencurigakan ketika oppung doli tegak berdiri di tembok bak kamar mandi,
lalu melepas tembakan spekulasi. Dalam sekejap suasana mencekam,
berbalut sunyi. Oppung boru terkesiap, mendengar jeritan oppung doli
memanggil,”Rindaaang…” Itu nama salah satu anak perempuannya yang nomor
enam. Oppung boru duluan keluar dari lubang persembunyian. Yang lain
juga ramai-ramai memberanikan diri keluar meliohat apa yang terjadi. Dan
di lantai kamar mandi tampak oppung doli terkapar mandi darah. Oppung
boru pun menjerit-jerit.” Nga mate be, nga mate be ibana,”
Peluru mortir yang
di lepas dari arah bukit sana tepat menghantam lutut oppung
doli.Sebelah kakinya yang terputus akibat tembakan, raib entah ke
mana.Mungkinterlempar jauh ke dalam ambar yang dipenuhi
tanaman suhat. Di cari ke sana ke mari belum ketemu. Tapi, buat apa lagi
sebelah kaki yang terputus, entah di mana pun itu berada. Darah yang
mengucur terlalu banyak, tak sempat tertolong. Apa lagi saat itu suasana
darurat.Oppung doli menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan oppung
boru.
Ibuku
yang mendapat kabar di kota, langsung mengayuh sepedanya ke kampung.
Tapi, sebelum berangkat ibu berkata kalau oppung doli pasti sudah mati.
Ibuku selalu berfirasat tepat.
Acara
penguburan oppung doli berlangsung apa adanya, tak dihadiri banyak
orang. Maklum, suasana masih mencekam, akibat perang. Tapi, kematian
adalah kematian. Hanya bagi yang masih hidup, acara pengebumian itu
penting dibuat sehormat mungkin. Bagi yang mati, apalah artinya
seremoni.
Itulah.
Tak luar biasa memang. Kematian di mana saja sama, kecuali dibedakan
momen dan sebab. Tapi bagiku, selalu ada yang tersisa, yakni kenangan
masa kecil. Penggalan riwayat masa lampau dengan ragam momentum yang
membekas. Aku sering ingat tentang burung eccet gaol, dan hingga kini
suka memandanginya di ranting-ranting pohon dekat rumahku. Masih ada
memang eccet muncul sesekali, atau burung mungil lainnya beda
jenis.Semuanya tampak jenaka. Di masa mudahnya memiliki senapan angin
saat ini, selalu ada orang yang tega menembaknya. Bahkan aku, pernah
nyaris menembak eccet di dahan jambu samping rumah. Tapi aku
membatalkannya. Lalu, aku bidik siburu tasik berwarna putih yang suka
mencuri ikan mas di kolam-kolam ikan. Tapi kepak sayapnya yang kuat bisa
menepis peluru senapan yang begitu kecil dan enteng.
Pernah
juga aku teringat filosofi-filosofi oppung doli. Salah satunya, peri
hal kewaspadaan. Kalau manusia lupa, lalai, atau tak konsisten dengan
prinsip-prinsipnya, filosofi tak akan berarti apa-apa. Waspadalah…!
(Tarutung kenangan 2014/SARINGAR.Net)
Menarik banget ya..
BalasHapusMembuat kita terbawa kesuasana kampung halaman yang jauh di tanah Batak.
Blog yang bagus dan atraktif