Sabtu, 16 Agustus 2014

STORY : Filosofi Oppung Doli



Di dusun sepi ini kakek tewas disambar peluru mortir.
MUSIM kemarau di bulan Juni menimbulkan kekeringan yang serius di lembah ini. Bau tanah mengaroma dari delapan penjuru, terbawa angin kemarau sepanjang pagi hingga malam hari. Debu berseliweran di mana-mana.
Inilah lembah kehidupan, puluhan tahun memberiku peluang untuk ikut merasakan kehidupan bersama mereka yang masih bertahan hingga sekarang. Terkadang, aku berhenti sesaat memikirkan kehidupan yang tengah kujalani saat ini, berimajinasi ke dunia masa kecil yang jauh terlampaui.



Terkenang pada oppung doli (kakek) yang keburu tewas disambar peluru mortir di masa pemberontakan PRRI 1958.
Konon, oppung doli (ayah dari ibuku) adalah generasi pelanjut leluhurnya yang berhasil memukimi desa Nagatimbul, hasil perjuangan berat di masa lampau. Perjuangan itu konon meminta banyak korban.Ada pertikaian sengit antar dusun, antar bius, antar marga, kelompok, bahkan antarpribadi. Masing-masing mengeluarkan jurus dan strategi paling ampuh, termasuk mantera-mantera supranatural. Yang namanya sipahabang losung (menerbangkan lesung) waktu itu bukan sesuatu yang mustahil. Juga, moncak humaliang bogas (pencak sekitar jejak) yang ketika kaki dihentak menimbulkan guncangan kuat di permukaan tanah. Banyak leluhur zaman dulu memiliki kesaktian sebelum keKristenan datang dibawa misionaris Jerman ke wilayah ini.
Alhasil, leluhur oppung doliku salah satu dari pemenang. Sebagai imbalan, dia dapat bagian tanah yang lumayan luas. Selain beberapa petak sawah, juga areal perkampungan yang kemudian diberi nama NAGATIMBUL. Leluhur oppung termasuk arif memilih lokasi, tak terlalu jauh dari jalan umum.Di kampung itu ditanami pohon kelapa, mangga, dan pinang, bukan dengan rimbunan bambu seperti lazimnya kampung Batak. Saat mangga sedang musim berbuah, aku salah satu cucunya paling lasak memanjat. Masih terasa di lidah manisnya mangga sedang masak, kulahap sebanyak-banyaknya sambil berondok di salah satu dahannya.
Belakangan, baru kutahu mengapa oppungku dijuluki “Kappung Suhat”. Satu julukan yang kemudian di sandang putra sulungnya, yakni pamanku. Bahkan gelar itu hingga sekarang masih melekat di seputaran Desa Hutabarat Parbaju. Dulunya, dusun yang ditempati kakek bersama permaisurinya boru Tambunan,ditanami banyak suhat (ubi talas). Itulah salah satu usaha sampingan mereka, selain bertanam padi. Tiap Rabu dan Sabtu, oppung boru (nenek) merebus suhat dan menjualnya ke pasar Tarutung. Hasil penjualan ubi itu digunakan membeli kebutuhan sehari-hari, termasuk beli tembakau dan untuk oppung doli. Oppung boru adalah boru Tambunan Pagaraji berasal dari Sigotom, Pangaribuan. Sosok nenek yang ulet bergelimang lumpur di sawah ladang. Opung boru ini lebih banyak berjuang mencari nafkah. Sedangkan oppung doli –konon- banyak menghabiskan waktu berjudi. Dia seorang pejudi yang sering kalah, sampai beberapa petak sawah dan ladang, berpindah tangan karena digadai.


Aku adalah salah satu cucunya dari garis anak perempuan (boru). Oppung punya dua anak lelaki dan tujuh boru. Ibu yang melahirkanku di RSU Tarutung, adalah anak ke lima dari sembilan bersaudara. Semasa kecil, aku sering berkunjung ke kampung ibuku, sehingga aku dengan oppung doli cukup dekat. Meski usiaku saat itu masih sekitar lima tahunan, namun aku masih ingat banyak hal tentang oppung doli. Masih ingat kumisnya yang tebal, dan wajahnya yang mirip dengan kedua tulang, dan juga ibuku.



Dulunya, ketika ortuku membuka usahatoko (belakangan jadi kedai kopi) di Naheong, dua kali dalam sepekan oppung doli pasti singgah minum kopi, sambil belanja timbaho usim ke pasar. Kalau opung doli mau pulang, aku sering di ajak. Kebetulan, aku suka dengan suasana desa. Aku senang melihat sawah, pepohonan, burung beterbatangan berkicau di pagi dan sore hari. Aku ingat satu ketika, oppung doli membuatkan ketapel sebagai mainan untukku. Makanya, aku pun betah di kampung, lupa pulang ke kota.
“Kalau main ketapel, jangan tembak eccet gaol, kasihan, burung itu sangat kecil dan menyenangkan,” kata oppung doli. Burung eccet adalah sejenis burung gelatik kecil berbulu kekuningan. Saking mungilnya, kadang sulit dipandang mata saat berloncatan di dahan kayu. Oppung boru menjabarkan perkataan oppung doli itu sebagai bagian dari kearifan (filosofi) orang tua.” Orang kecil dan lemah jangan dicemoh, apa lagi disakiti. Segala makhluk yang kecil dan lemah harus dilindungi dan dikasihi, agar yang hidup tak hanya yang besar dan kuat,” begitu kata oppung boru.
Suatu hari, ketika bermain ketapel di kampung oppung, aku menembak jatuh seekor burung kecil. Kukira itu murai atau tekukur, tapi setelah kupungut, aku terkejut. Ternyata seekor eccet. Oppung boru merepet dari emperan rumah.”Itulah kalau tidak sioloi poda (dengar nasihat). Lihatlah, burung kecil itu sudah mati,kepalanya hancur. Hayo cepat kuburkan, jangan di lihat oppung dolimu,”
Semalaman perasaanku tak tenang. Ada penyesalan atas kematian burung kecil itu. Kubayangkan, bagaimana batu yang melesat dari ketapelku menerobos daun pohon sebelum menabrak kepalanya yang mungil. Burung itu tak sempat menggelepar di tanah. Ia mati sebelum jatuh ke tanah.
Esoknya, ketika duduk berdua dengan oppung doli di emperan rumah, sikapku mendapat perhatiannya.Oppung meletakkan telapak tangannya di dahiku.”Mungkin kau demam,” katanya. Oppung berprasangka begitu karena aku tak selincah biasanya bermain. Barangkali itu bagian kearifan orang tua mencermati perubahan seorang anak.
Oppungboru yang membuka rahasia malam harinya usai kami makan bertiga.”Cucu kita ini bukan sakit, mungkin hanya menyesal karena melanggar nasihat,” Ucapan oppung boru itu membuat oppung doli menatapku. Tatapan matanya lembut, tapi tajam seperti sembilu. Hatiku terhibur, karena oppung doli kulihat senyum. “Tak sengaja, kuketapel ambaroba pung, yang kena eccet,” kataku pelan. Kurasakan nada suaraku bergetar, takut. Tapi, hatiku lega saat kudengar suara oppung doli,” Tak apa kalau tak sengaja.Tapi lain kali, usahakan tidak meleset. Lebih baik kau ketapel sibarung atau lali, karena mereka burung yang jahat, pemangsa yang kecil,”
Sejak itu, kalau main ketapel ke kampung aku tidak mau menembak burung kecil. Aku mengintip bangau yang suka angkat sebelah kaki di pematang sawah, atau burung elang yang sering bertengger di daun kelapa, mengintai anak ayam.Aku bercita-cita, sekiranya bisa menembak jatuh seekor burung hantu. Tapi, satu ekor pun dari burung-burung besar itu tak pernah bisa kuketapel. Tenagaku kurang saat menarik karet ketapel hingga jarak tembakan kurang melesat.
Setelah aku makin dewasa, filosofinya kupahami kira-kira begini: Manusia jangan tunjukkan kekuasaan atau kekuatan pada orang lemah dan susah. Banyak orang tega bersorak dan menari di atas penderitaan orang kecil yang lemah. Orang-orang kuat sepertinya tahu, kalau tak ada orang kecil dan lemah, mereka merasa kurang berharga karena tak ada orang lain yang bisa ditekan.Sebaliknya, tanpa orang besar yang sok kuasa, orang kecil berpeluang menjadi besar, dan tak teraniaya.
Sikap waspada dan perlunya penggunaan nalar kecermatan, adalah bagian lain dari filosofi oppung doli.” Manat sotung tarrobung, dadap unang tarsuga”. Artinya, hati-hati jangan terjatuh ke lobang, waspada jangan kena duri. Oppung doli geram melihat kakiku satu ketika terkena duri bambu. Banyak darah mengucur. Aku mengaduh-aduh menahan sakit. Luka telapak kakiku cukup dalam, membutku seharian meringis.Pagi harinya, oppung mengambil sejenis rumput liar, mengunyahnya di mulut lalu menempelkannya di bagian kakiku yang terluka. Tak begitu lama denyut perih itu reda. Oppung doli berkata,” kalau tak dijaga hati-hati, yang dua biji itupun bisa terbang,” Aku tertawa karena tahu yang dimaksud oppung adalah sepasang organ priaku yang paling strategis. Dasar oppung, suka ceplas-ceplos!
Tahun 1958, pemberontakan PRRI meletus. Lembah kehidupan bernama Silindung sontak menjadi ngarai yang mencekam, menawarkan kematian berdarah-darah.Banyak yang tewas dan invalid. Suasana seharian mencekam. Kota dan kampung-kampung nyaris tanpa kehidupan, berganti ketakutan. Setiap menit terdengar letusan senjata, entah dari mana dan ke mana. Selongsong peluru bertebaran di mana-mana. Aku dan teman lainnya suka mengumpul selongsong untuk mainan, saat tembak menembak reda. Pada malam hari, semua warga penghuni lembah yang disenangi misionaris Nommensen ini menghilang, masuk lubang perlindungan.” Ayo cepat masuk lubang, nanti kena mortir,” teriak orang-orang tua pada anaknya. Di dusun terasa lebih menyeramkan. Tak ada penerangan listrik. Paling cahaya palito atau lampu botol yang membuat lobang hidung jadi hitam saat bangun esok harinya. Kami anak-anak dilarang oppung bersuara keras apa lagi nongol dari lubang. Siapa melanggar bisa diketok dengan tongkatnya.”Kita harus hati-hati, kalau tidak bisa celaka,” katanya.
Lalu, pada suatu pagi berembun tebal, oppung doli keluar dari lubang persembunyian karena merasa sudah aman. Tak terdengar ada bunyi tembakan senapan atau mortir. Oppung boru melarang, tapi diabaikan.Oppung doli bersikukuh ingin melihat situasi di tempat terbuka, mungkin bosa berkurung terus dalam lubang gelap. Dengan santai oppung doli berdiri, menatap di tembok bak mandi rumah kami yang saat itu belum siap di bangun.
ITULAH. Kalau sudah ajal pantang tertunda. Ternyata, oppung jadi korban filosofinya tentang kewaspadaan.” Manat sotung tarrobung, dadap unang tarsuga”. Mungkin oppung lupa petuah emas itu. Oppung kehilangan naluri kearifannya, kalah oleh ketidaksabaran. Sebuah tembakan mortirpagi itu memutus riwayatnya di kamar mandi terbuka itu. Mungkin kelompok parrimba yang bertahan di zona pegunungan sebelah timur melihat gerak mencurigakan ketika oppung doli tegak berdiri di tembok bak kamar mandi, lalu melepas tembakan spekulasi. Dalam sekejap suasana mencekam, berbalut sunyi. Oppung boru terkesiap, mendengar jeritan oppung doli memanggil,”Rindaaang…” Itu nama salah satu anak perempuannya yang nomor enam. Oppung boru duluan keluar dari lubang persembunyian. Yang lain juga ramai-ramai memberanikan diri keluar meliohat apa yang terjadi. Dan di lantai kamar mandi tampak oppung doli terkapar mandi darah. Oppung boru pun menjerit-jerit.” Nga mate be, nga mate be ibana,”
Peluru mortir yang di lepas dari arah bukit sana tepat menghantam lutut oppung doli.Sebelah kakinya yang terputus akibat tembakan, raib entah ke mana.Mungkinterlempar jauh ke dalam ambar yang dipenuhi tanaman suhat. Di cari ke sana ke mari belum ketemu. Tapi, buat apa lagi sebelah kaki yang terputus, entah di mana pun itu berada. Darah yang mengucur terlalu banyak, tak sempat tertolong. Apa lagi saat itu suasana darurat.Oppung doli menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan oppung boru.
Ibuku yang mendapat kabar di kota, langsung mengayuh sepedanya ke kampung. Tapi, sebelum berangkat ibu berkata kalau oppung doli pasti sudah mati. Ibuku selalu berfirasat tepat.
Acara penguburan oppung doli berlangsung apa adanya, tak dihadiri banyak orang. Maklum, suasana masih mencekam, akibat perang. Tapi, kematian adalah kematian. Hanya bagi yang masih hidup, acara pengebumian itu penting dibuat sehormat mungkin. Bagi yang mati, apalah artinya seremoni.
Itulah. Tak luar biasa memang. Kematian di mana saja sama, kecuali dibedakan momen dan sebab. Tapi bagiku, selalu ada yang tersisa, yakni kenangan masa kecil. Penggalan riwayat masa lampau dengan ragam momentum yang membekas. Aku sering ingat tentang burung eccet gaol, dan hingga kini suka memandanginya di ranting-ranting pohon dekat rumahku. Masih ada memang eccet muncul sesekali, atau burung mungil lainnya beda jenis.Semuanya tampak jenaka. Di masa mudahnya memiliki senapan angin saat ini, selalu ada orang yang tega menembaknya. Bahkan aku, pernah nyaris menembak eccet di dahan jambu samping rumah. Tapi aku membatalkannya. Lalu, aku bidik siburu tasik berwarna putih yang suka mencuri ikan mas di kolam-kolam ikan. Tapi kepak sayapnya yang kuat bisa menepis peluru senapan yang begitu kecil dan enteng.
Pernah juga aku teringat filosofi-filosofi oppung doli. Salah satunya, peri hal kewaspadaan. Kalau manusia lupa, lalai, atau tak konsisten dengan prinsip-prinsipnya, filosofi tak akan berarti apa-apa. Waspadalah…! (Tarutung kenangan 2014/SARINGAR.Net)

1 komentar:

  1. Menarik banget ya..
    Membuat kita terbawa kesuasana kampung halaman yang jauh di tanah Batak.
    Blog yang bagus dan atraktif

    BalasHapus