Kamis, 21 Agustus 2014

Sidney Sheldon Telah Tiada, Novelnya Terus Mengguncang Dunia


Sebagian novel best seller karya Sidney Sheldon (foto:Leonardo
Tolstoy Joentak)


 Jujur, saya termasuk penyuka buku bacaan bermutu, terutama novel berkelas. Bukannya mengecilkan karya bangsa sendiri, novel-novel berkelas dunia seperti karya Ernest Hemingway, Leo Tolstoy, sampai cerita seru racikan jago cerita kelas dunia Sidney Sheldon.
Lalu, siapa novelis yang kusukai dari Indonesia? Ketika ada yang pernah menempatkan Motinggo Boesye sebagai novelis picisan dengan tema-tema asmara yang hot, maka bagi saya Boesye adalah novelis Indonesia terbaik dengan gaya bertutur paling lincah yang dimiliki Indonesia. Tak berlebihan jika seorang kritikus sastra sekaliber HB Jassin mengakui kelebihan Motinggo Boesye dalam penulisan novel yang memukau dengan gaya bahasanya yang mengalir, membuat pembacanya lupa makan dan telat tidur. Hingga kini, belum ada yang menggantikan Boesye dalam hal kesigapan menikung plot dengan gayanya yang khas.
 Lalu, kenapa saya juga suka novelnya Sheldon? Terus terang, awalnya saya belum tahu betul apa yang memikat dari novel karyanya. Pertama kali sahabat saya Rustam Effendi Nainggolan (mantan Bupati Tapanuli Utara dan mantan Sekda Provinsi Sumatera Utara) meminjamkan saya sebuah novel berjudul ” Windmills of The Gods” (Kincir Angin Para Dewa). Pengarangnya Sidney Sheldon. "Coba baca yang ini dulu, tema dan jalan cerita yang enak diikuti," kata RE ketika itu.
  Setelah saya baca, langsung saya jatuh kagum. Ini pertama saya berkenalan dengan Sheldon.  Gaya penerjemahannya juga betul-betul adaptif, ditangani translater profesional dari Gramedia. Sejak itu saya makin getol mencari novel Sheldon untuk koleksi pribadi. Saya juga harus mengakui PT Gramedia Pustaka Utama selaku penerbit novel Sheldon edisi Indonesia, menjadi jaminan bagi saya untuk setiap belanja buku di plaza, mal, atau toko mana saja. Setiap melihat sebuah buku, entah kenapa saya selalu menyimak lembaran awal, apakah penerbitnya Gramedia atau bukan. Saya terlalu bergantung pada buku terbitan Gramedia yang saya yakini didasari selektifitas yang akurat.(Bukan promosi lho).
 Lantas, apa yang membuat fans Sheldon terkagum-kagum dan setia menunggu novel terbarunya. Selain aspek gaya bertutur, pola penceritaan yang memang khas, keakuratan data, kepiawaiannya mengecoh pembaca dengan trik kejutan-kejutan yang mencengangkan, cara Sheldon mengurai flashback, merajut sisipan romantisme, maka Sheldon juga menghanyutkan pembacanya menatap dan menjelajah berbagai kota dan negara dengan pemaparan detil  sudut-sudut lokasi yang mendukung kompleksitas alur cerita. Mencengangkan!
Saat membaca Sheldon, saya terkadang melambung terbawa ilusi traveling, merasakan saya sedang berada dalam posisi penonton tak jauh dari tokoh-tokohnya. Atau saya merasa berada langsung di kota-kota yang disetting begitu rapi oleh penulis berkelas seperti Sheldon. Terkadang Sheldon menggiring tokohnya keluar dari lokasi utama, ke Beirut, Istambul, Roma, New York, Paris, Buenos Aires, Madrid, Sicilia, dan entah ke mana-mana lagi. Penuturan lokasi-lokasi juga tak sekadar penyebutan nama kota, tapi detil nama jalan, kompleks, gedung-gedung terkemuka, nama hotel, restoran, kuliner spesifik, ciri khas warganya, hingga kebiasaan atau tradisi seni budaya, sungguh sangat hidup menggugah imajinasi.
Gaya bercerita Sheldon memang memukau, walau terkadang pembaca harus mengerutkan kening saat plot secara tak terduga menikung pada tanjakan-tanjakan tak terduga. Itu misalnya pada novel Blood Line (garis darah), The Sands of Time,  Nothing Last Forever, Rage of Angels, atau The Best Laid Plans. Hampir keseluruhan novel yang dialirkan dari otak Sheldon menakjubkan. Tak jarang saya terkesima karena apa yang semula saya prediksi, meleset jauh. Sheldon seakan mengajak pembaca bermain dalam titik-titik forecast di mana pembaca selalu akan kalah. Aroma thriller dan suspense memang sangat kental pada setiap tematik yang diluncurkan Sheldon lewat imaji-imaji yang colourfull. Namun bukan berarti Sheldon  menutupi elemen sastra dan filosofi kehidupan. Saya merasa rugi jika tak melahap The Sands of Time, kisah empat biarawati yang tiba-tiba terlempar ke luar lingkungan biara yang semula mereka puja tempat yang aman. Mereka terseret dalam kancah perjuangan gerakan separatis Basque di bawah pimpinan Jaime Miro yang idealis dan berkharisma, berhadapan dengan bengisnya Angkatan Darat Spanyol di bawah komando Kolonel Ramon Acoca yang sibuk melakukan perburuan terhadap pemberontak-pemberontak Basque. "The Sands of Time, kisah tak terlupakan, menjalin sejarah, heroisme, dan roman asmara dengan ketegangan mencekam," kata saya pada seorang teman ketika novel itu saya pinjamkan dengan syarat tak boleh hilang, atau dipinjamkan lagi pada yang lain.
 Mengoleksi, membaca, dan memahami novel Sheldon paling tidak menggugah siapa saja untuk men kaji ulang sebuah kasus atau peristiwa. Sheldon juga bertutur tentang indahnya kekalahan penjahat ketika kejahatan bertekuk lutut pada power kebenaran sejati.
 Sayang sekali, novel terbaru Sheldon tak akan pernah lagi mengunjungi publik setelah usia lanjut merenggut nyawanya dengan tenang pada usia 89. Namun koleksi novelnya (bagi yang mengoleksi) akan sangat berharga. Karena Sidney Sheldon telah meninggalkan jejak sejarah trik dan gaya penulisan novel yang hidup dengan mosaik-mosaik yang bernilai plus bagi generasi di belakangnya.
 Sekilas tentang Sheldon, saya catat sebagai buah kekaguman saya padanya. Dia mengembuskan napas terakhirnya di Los Angeles pada 30 Januari 2007, tepatnya di Eisenhower Medical Center, Ranco Mirage. Almarhum meninggal setelah menderita komplikasi pneumonia. Demikian  diungkapkan publisis novelis itu, Warren Cowan dilansir Associated Press. Sheldon meninggal dengan tenang di sisi isterinya Alexandra dan putrinya Mary Sheldon yang juga seorang penulis novel yang sedang menanjak. Sheldon pernah meraih Piala Oscar untuk kategori penulis cerita terbaik lewat novelnya The Bachelor and the Bobby-Soxer. (Catatan eksklusif Leonardo TS)



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar