Jumat, 15 Agustus 2014

Story : SERANGAN JANTUNG

( Foto Ilustrasi )


SAMUEL HUTABARAT sedang tinggal sendirian di pavilyunnya yang tenang dipinggiran kota. Hampir dua jam lamanya ia melahap isi koran langganannya , yang hari itu padat dengan berita panas. Dari koran itu juga ia tahu kasus seorang kakek tua yang memperkosa gadis cilik berusia 6 tahun. Samuel kontan tegang ,setengah marah , mengutuki dalam hati , kemudian menghempaskan tubuhnya yang gemuk disofa seraya menarik nafas panjang.
Sebagai direktur sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa konstruksi, Samuel hari itu tampaknya tidak punya kegiatan penting. Dia memutuskan istirahat penuh sehari itu di pavilyunnya, sambil menikmati pemandangan lewat jendela kaca. Dari sana nampak deretan pohon-pohon kelapa yang tumbuh subur di kebun pribadinya , yang lima tahun lalu dibelinya dari seorang petani. Setiap hari hamper tak pernah ia lepas memandang kearah kebun itu. Tempat itu tenang , penuh kedamaian.
Tempat itu cukup ideal untuk tempat beristirahat, kelak bila Tuhan Yang Maha Esa memanggil Samuel Hutabarat menghela nafas panjang. Cemas? Ya! Tiba-tiba ngeri membayangkan kematian. Baginya, kematian sama artinya dengan terkuburnya sejumlah kebanggaan dan kebahagiaan hidup yang diraihnya beberapa tahun terakhir ini. Mungkin itu sebabnya, orang tua ini belakangan sangat rajin memeriksa kesehatannya. Tak jarang karena gangguan sedikit saja , ia mendadak terbang ke Singapura, konsultasi dengan dokter ahli terkemuka disana. Dokter Rahman Tan langganannya di Singapura memang menasihatkan agar Samuel tidak terlalulu menforsir diri dengan pekerjaan. Samuel disarankan mengutamakan istirahat mencari ketenangan. Sebab, Samuel menderita penyakit jantung yang cukup serius.
Rumahnya yang megah, bernilai Rp 700 juta itu ditempatinya bersama istrinya, Rosdiah, yang mengusahai sebuah salon kecantikan dipusat Medan. Istrinya biasa pulang sekitar pukul 20:00 malam. Untuk membereskan segala keperluan dan pekerjaan di rumah , mereka menggaji seorang perempuan setengah baya yang tempo hari dibawa istrinya ketika berkunjung ke Bandung. Tapi sudah seminggu ini, pembantu itu pulang ke kampung berlebaran .
Karena itulah jika kebetulan Samuel istirahat di rumah untuk kepentingan kesehatannya, istrinya yang mengatur makanan khusus dari sebuah restauran langganan . Atau kadang-kadang Rosdiah sendiri yang pulang sebentar mengantarkannya makanan itu kerumah, Sering juga Rosdiah menemani suaminya menyantap hidangan sebelum meninggalkan rumah..
Tapi siang ini, seperti beberapa kali dialami Samuel, makan siangnya terpaksa harus disiapkan dan dinikmati sendiri. Terasa malas, memang, Samuel makan sendiran, beda kalau istrinya menemani. Sudah satu jam sejak makanan itu diantar petugas restoran langganannya, Samuel tak kunjung merasa lapar, Tapi akhirnya Samuel merasa lapar juga, kendati rasa tegang setelah membaca berita di koran itu, sempat menahan nafsu makannya.
Orang tua ini siap menyantap makanannya, ketika secara mendadak rasa kaku dan kejang itu menyerang bagian tangan kirinya. Mirip seperti kejadian setahun lalu, yang menyebabkan Samuel harus masuk rumah sakit karena serangan jantung. Apakah ini juga gejala serangan jantung ? Rasa cemas segera memenuhi benak orang tua ini. Samuel menunda santap siangnya, Ia mencoba menenangkan diri. Kemudian ia ingin menelepon Rosdiah, istrinya tercinta. Tetapi ketika hendak meraih gagang telepon, yang terletak disamping tempat duduk, tangan kirinya mulai bergetar hebat. Tak terkendali. Dicobanya mendekap tangan kiri itu dengan tangan kanan agar getaran itu mereda. Tapi makin didekap, getaran itu bertambah hebat. Bahkan getaran dan rasa kejang itu kemudian merayap naik kebagian lehernya.
Samuel bersusah payah mencapai tombol telepon digital dengan tangan kanan. Diletakkannya telepon itu diatas meja, lalu mengontak nomor telepon istrinya. Sinyal telepon mengisyaratkan hubungan tersambung.
Beberapa saat Samuel menunggu , tetapi telepon di seberang sana belum juga diangkat. Agaknya sia-sia Samuel menunggu , sebab siang itu istrinya sedang pergi ke bank untuk suatu urusan. Di salon itu memang ada tiga orang asisten, tapi entah mengapa telepon itu tak diangkat. Samuel merasa geram, dan hal ini membuat kejang di tubuhnya semakin hebat . Kalau saja istrinya ada disana, pasti Samuel segera tahu apa yang seharusnya dilakukan untuk menolong dirinya.
Sementara getaran ditangan kirinya semakin menjadi-jadi, diluar sadarnya tangan kiri itu menggapai gagang telepon secara sembarangan,hingga jatuh kelantai .
Beberapa saat berikutnya, tangan kiri itu dirasakan sudah lumpuh total. Kerongkongannya terasa sesak, akibat otot-otot mengejang. Untung dia masih bisa menggerakkan tubuhnya. Dengan susah payah diambilnya gagang telepon dari lantai, ditaruhnya kembali diatas meja. Keringat mulai membasahi wajahnya . Telapak tangannya basah oleh keringat. Ia mulai bingung, tak tahu harus bagaimana. Rasa takut tiba-tiba mencuat.
Lalu timbul idenya untuk menghubungi polisi. Dia hafal betul nomor telepon polisi sektor. Sementara menunggu hubungan telepon tersambung, dia mencoba menggerakkan mulutnya mengucapkan sesuatu. Tetapi anehnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah suara erangan mirip suara otang tercekik. Semakin keras ia mencoba bersuara, semakin mengejang otot-otot kerongkongannya. Leher itu benar –benar seperti tercekik.
Pada saat itu, di kantor polisi sektor kota, ajun komisaris polisi Syamsir Lubis mengangkat gagang telepon , setelah beberapa kali berdering akibat kontak dengan pavilyun Samuel tadi.
“Ya, polisi disini, saya ajun komisaris polisi Syamsir menerima,”ujar polisi itu dengan tenang. Tidak ada sahutan dari seberang sana. Yang terdengar diruangan penerima pesawat telepon itu hanya suara geresek-gerasak. Kedengarannya aneh. Menyusul kemudian suara seperti orang mengerang kesakitan.
Syamsir menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum sendiri. Sepanjang pengalamannya selama sepuluh tahun menjadi polisi, ia telah kenyang dengan telepon yang aneh-aneh. Tak jarang ada telepon dari orang mabuk, berceloteh tak karuan, mengejek dan sering membuatnya jengkel. Tak jarang Syamsir langsung menutup telepon itu.
Karena pengalaman itu, gagang telepon hampir saja diletakkannya kembali ketika suara mengerang itu terdegar kembali. Kali ini diiringi tarikan nafas berat. Sebagai polisi yang tanggap, letnan Syamsir tiba-tiba curiga. Telepon itu diserahkannya kepada Bripka Tugiman yang sedang mengetik disebelahnya.
“Kira-kira apa ini, Sersan?” tanya Syamsir. Bripka Tugiman mendengar dengan seksama. Wajahnya seketika berubah serius.
“Kedengarannya seperti seseorang sedang dalam kesulitan komandan,”ujar Bripka Tugiman menyimpulkan. Letnan Syamsir mengernyitkan alisnya. Ia segera mengambil inisiatif, minta operator telepon melacak nomor dan alamat telepon itu.
Syamsir mencoba menebak persoalan. Mungkinkah penelepon sedang dalam kesulitan, tetapi tidak mampu bicara? Tapi siapa dia ? Dimana alamatnya ? Apa yang terjadi ? Atau jangan-jangan, penelepon itu baru saja dirampok orang, dan sekarang sedang luka parah. Mungkin saja korban dibacok karena mencoba melawan. Korban mencoba menghubungi polisi dalam keadaan sekarat ?
Diseberang sana, Samuel Hutabarat semakin dicekam rasa takut dan putus asa . Yang bisa dilakukannya hanyalah mengerang dan merintih. Mudah-mudahan saja timbul keajaiban sehingga polisi dapat menemukan alamat rumah dan menolongnya.
Diluar sadar , tangan kanannya meraba sebuah kunci yang tergeletak diatas meja. Akal sehatnya mulai bekerja. Kalau saja dapat melakukan sesuatu dengan kunci ini, pikirnya. Lalu diketuk-ketuknya kunci itu berulang-ulang ke meja.
“Apa saudara mencoba memberitahukan sesuatu?” ujar polisi Syamsir, mencoba menafsirkan makna ketukan itu.
Samuel mengetukkan kuncinya di atas meja. Ya, ketukkan di meja bisa dijadikan semacam kode . Syamsir bersorak girang ketika menemukan suatu ilham jitu.
Tetapi pada saat itu tangan kiri Samuel kembali bergetar keras, dan lagi-lagi menghantam telepon hingga kedua kalinya jatuh ke lantai. Celaka . Bagaimana kalau telepon itu sampai rusak dan hubungan terputus ? Syamsir jadi khawatir.
Informasi operator telepon untuk melacak asal penelepon belum juga ada.. Kini Syamsir harus memutar otak agar dapat menemukan asal usul penelepon misterius itu.
Sementara itu Samuel Hutabarat tetap berusaha keras meraih gagang telepon yang tergeletak dilantai. Tangan kiri serasa lumpuh, kerongkongan yang kejang, nafas yang sesak , semuanya menambah sulit gerakan tubuhnya. Butiran keringat terus menetes di keningnya. Ketika telepon itu berhasil diambil dan diletakkan diatas meja, terdengar suara kesibukan di kantor polisi. Telepon masih tersambung.
Suara Syamsir muncul lagi ditelepon . Nada suaranya terdengar bergetar berat. “Saya akan mencoba memberikan beberapa pertanyaan,“ ujar letnan Syamsir , mulai menjalankan ide yang tiba-tiba muncul dibenaknya , “saya minta saudara bias menjawab dengan kode ketukan seperti tadi saya dengar . Sekali ketuk berarti ya, dua kali ketuk berarti tidak. Bisa saudara mengerti ?
Hening sejenak. Olisi bijak itu menanti reaksi dari pertanyaannya. Dan…. Syamsir melonjak kegirangan, ketika Samuel merespon. Terdengar jelas satu kali ketukan .Tok!
“Bagus , saudara bisa mengerti,”puji Syamsir . Dan komunikasi pun mulai berjalan secara aneh lewat telepon itu .
“Apakah saudara sakit?” tanya Syamsir..
Tok ! satu ketukan. Berarti “ya”.
“Baiklah. Kami ingin tahu alamat saudara”
Tok!
Komisaris Syamsir mengamati peta kota Medan yang terpajang di dinding kantornya. Di dalam peta itu kota Medan terbagi dalam beberapa wilayah kecamatan . Pembagian daerah seperti ini mempermudah polisi mencari suatu lokasi dalam kota . Tetapi kota Medan adalan kota ramai berpenduduk padat, hampir sepadat Jakarta. Tidak mudah melacak begitu saja alamat seorang penelepon jika bukan karena bantuan operator. Tapi operator sendiri nampaknya kesulitan pula, Mungkin saja ada gangguan teknis.
Syamsir mencoba melacak lokasi penelepon berdasarkan pembagian wilayah dalam peta.
“Apakah saudara tinggal disekitar jalan Sisingamangaraja, mulai Marindal , Simpang Limun, atau Teladan, misalnya?” tanya polisi itu, setelah berpikir-pikir sesaat.
Tok! Tok! Berarti ,”tidak”.
“Mungkin disekitar Kampung Baru?Atau Padang Bulan barangkali?
Tok! Tok!
“Atau anda seputar kawasan Glugur? “Tok! Tok!
Syamsir ingin tahu apakah orang itu pria atau perempuan.” Apakah anda seorang lelaki? Terdengar bunyi ketukan sekali, membenarkan. “Anda mungkin mengidap suatu penyakit? Tok! Apakah anda pernah mengidap penyakit jantung? Tok1
“Bagaimana kalau anda mungkin di sekitar Jalan Binjei?”
Syamsir melonjak girang ketika terdengar sekali ketukan . Tok!
“Saudara kira-kira jauh dari Taman Ria?”
Tok! Tok!
Wajah polisi Syamsir berseri. Sudah ada titik-titik terang dalam upaya menemukan lokasi penelepon misterius itu. Kawasan jalan Binjei tak begitu jauh dari kantor nya , tapi kawasan itu sendiri cukup luas. Diamatinya nama-nama jalan disekitar kawasan itu. Banyak, banyak sekali, nama jalan disana. Umunnya diambil dari nama peralatan dapur rumah tangga. Ada jalan Panci, jalan Gelas, jalan Piring , jalan Pabrik Tenun , jalan Garpu. Pokoknya banyak, dan tak mungkin disebut satu persatu dalam waktu singkat.
Tadi, penelepon misterius itu mengetuk satu kali ketika ditanya apakah tempatnya jauh dari Taman Ria. Bila itu benar, pelackan tak terlalu sulit. Tapi sudah pastikah itu ? Dasar Syamsir polisi yang terkenal sangat akurat bila menyelidiki sesuatu, tiba-tiba saja pertanyaan itu diulangi lagi .
“Saudara bilang, tempat Anda tidak jauh dari kompleks Taman Ria?”
Terdengar dua kali ketukan. Syamsir jadi heran. Kok ketukan jadi berbeda? Apakah tadi penelepon itu salah mengetuk?
“Apa saudara tadi salah mengatakan ya. Waktu saya tanya pertama kali?”
Tok! Syamsir menghela nafas panjang seraya menatap kepada bawahannya, Bripka Tugiman.
“Payah ini , kelihatannya orang itu parah”, ujar Syamsir agak ragu.
Suara erangan dan nafas berat di telepon menyadarkan Syamsir dari kebingungan yang sempat bergayut di kepalanya. Dalam kebingungan itu, ia mencoba bertanya lagi, sekenanya.
“Bagaimana kalau saya menduga , Anda di sekitar Sikambing ?”
Tok!
Syamsir untuk kedua kalinya tercenung. Rupanya, tebakannya kali ini bisa tepat.
“Saudara sekarang di kawasan itu?”
Tok!
“Baiklah, baiklah, tunggu sebentar,”ujar Syamsir mencoba menenangkan diri. Lalu ia menyebut beberapa nama jalan di kawasan itu. Tetapi beberapa kali terdengar sahutan berupa ketukan dua kali, pertanda tidak. Disebutnya lagi beberapa nama jalan, tetapi yg terdengar kemudian adalah ketukan-ketukan kurang jelas.
Polisi itu jadi ragu dan tegang. Pasti ada yag tidak beres, pikirnya. Beberapa petugas polisi bawahan Syamsir yang mengikuti pembicaraan aneh di telepon itu turut menjadi tegang, siap melaksanakan instruksi dari komandannya.
Sementara itu, Samuel Hutabarat di kebingungannya, menyadari bahwa kesalahan yang dilakukannya bisa berakibat fatal. Seharusnya, sewaktu polisi menanyakan apakah penelepon itu tinggal di sekitar Gang Jakarta dan Gang Kemakmuran, dikawasan itu, ia mengetuk sekali. Tetapi tanpa sadar, Samuel telah mengetuk dua kali.
Samuel memang berharap agar polisi menanyakan lagi Gang Jakarta dan Gang Kemakmuran. Tapi bagaimana caranya, sedangkan ia sendiri tidak bisa mengeluarkan suara?
Syamsir pun masih dicekam kebingungan. Semua nama jalan sampai sejumlah gang dan lorong yang kurang popular dikawasan Sei kambing sudah disebutkannya. Semua dijawab dua ketukan (tidak). Jadi orang ini sesungguhnya tinggal dimana ?
Dicobanya mengulangi pertanyaan-pertanyaan tadi.
“Saudara tinggal disekitar Sikambing , betul?”
Tok!
“Dekat jembatan rusak?”
Tok! Tok!
Syamsir terdiam lagi. Tetapi tiba-tiba ia menepuk keningnya beberapa kali, seraya berkata pada anak buahnya: “Bodoh, bodoh saya ini! Kenapa bukan nomor teleponnya yang saya tanya, lalu alamatnya kita cari dibuku telepon?”
Dengan perasaan gembira komandan polisi itu kemudian membuka percakapan lagi. “Saya minta saudara bisa menjawab dengan satu kali ketukan, bila saya menyebut angka satu sampai sepuluh. Saya ingin tahu nomor telepon saudara”.
Terdengar sekali ketukan dari seberang sana, tanda setuju usul itu.
Syamsir mulai menyebutkan angka pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, sedangkan angka sepuluh disebut dengan nol. Bripka Tugiman bertugas menandai setiap angka yang dijawab dengan sekali ketukan. Terdengar oleh Syamsir jawaban ketukan sekali untuk angka tiga, pada angka lima juga sekali, kemudian angka empat.
Tetapi pada angka sembilan, ketukan itu terdengar dua kali yang untuk setiap ketukan pakai jarak. Letnan Syamsir ragu. Tetapi segera dia mempertegas dugaannya:”Angka sembilannya ada dua?”
Terdengar ketukan sekali membenarkan.Syamsir itu menarik nafas lega. Selanjutnya, pada angka nol, terdengar ketukan sekali, dan akhirnya pada angka dua.
“Setelah itu, Syamsir minta hasil pengumpulan tanda-tanda angka yang mendapat jawaban sekali ketukan itu pada Bripka Tugiman. Lalu secara hati-hati Syamsir mulai menyusun : 3(tiga), 5 (lima), 4 (empat), 99 (Sembilan-sembilan), 0 (kosong), 2 (dua). Berarti nomor telepon itu adalah : 3549902?
Hampir bersorak saking girangnya, Syamsir bertanya lagi , “Coba saudara dengar baik-baik, nomor telepon saudara nomor yang saya sebutkan ini? Apa itu betul?”
Tok!
Jelas sudah. Letnan itu mengurut dada. Kemudian berkata lagi :”Saya harap saudara bisa bertahan di telepon beberapa saat lagi. Kami coba cari dulu nomor itu dibuku petunjuk telepon”.
Sersan Tugiman dibantu seorang Bripda dengan bersemangat membolak-balik buku telepon. Tapi pekerjaan itu tidak mudah, mengingat banyaknya nomor telepon di kota besar ini. Hampir seperempat jam, barulah nomor telepon yang dicari ditemukan. “Eeh, ini alamatnya bapak Samuel Hutabarat, Direktur PT Harapan Baik?”tukas Bripka Tugiman setelah nomor ditemukan.
Letnan Syamsir dalam kegembiraan, bertanya lagi di telepon:
“Apakah bapak sekarang ini adalah Samuel Hutabarat, Direktur PT Harapan Baik?”
Tok!
Segera Syamsir mengatkan agar Samuel Hutabarat tetap berusaha tenang, dan menjanjikan pertolongan polisi segera datang. Tetapi rasa ingin tahunya membuat Syamsir meyempatkan bertanya lagi: “Apakah bapak korban perampokan?”
Tok! Tok! Berarti tidak.
“Atau bapak sakit?”
Tok!
“Serangan Jantung?”
Terdengar cukup jelas, sekali ketukan. Lalu polisi itu bertanya lagi apakah tidak ada orang lain di rumah itu, dan apakah pintu depan sedang terbuka. Terdengar hanya sekali ketukan pelan, kemudian sunyi.
Brigade dua Tomson Silalahi yang sedang tugas di mobil patroli, begitu mendapat sinyal darurat segera melaju ke alamat Samuel Hutabarat. Dan, memang, ketika ditemukan, Samuel dalam keadaan terbungkuk di dekat meja telepon. Wajahnya tegang, penuh keringat dingin. Keadaanya kritis sekali.
Sesaat kemudian, mobil ambulans datang membawa tabung oksigen. Orang tua yang sedang sekarat itu segera dilarikan ke rumah sakit Elizabeth. Istrinya baru datang ke sana setengah jam kemudian menghamburkan tangis . Rosdiah menganggap suaminya tak ada harapan lagi untuk hidup .
Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain . Setelah dua bulan dirawat, kesehatan Samuel Hutabarat berangsur-angsur pulih kembali. Dokter mengatakan dia sudah boleh pulang, tetapi harus banyak istirahat. Disarankan oleh dokter, Samuel jangan sering ditinggal dirumah sendiri. Tepat pada saat ia akan kembali kerumah, Ajun Komisaris Syamsir datang menjenguknya. Samuel Hutabarat memeluknya dengan pelukan hangat, dan berkata :”Anda polisi baik , Anda polisi baik. Dengan apakah budi baik anda itu saya balas”.
Syamsir berdiri tegak dan menjawab: “Sebagai polisi, saya berkewajiban menolong siapa saja yang sedang dalam kesulitan. Itulah tugas polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat”. (Leonardo Simanjuntak,Mdp Tarutung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar