( Foto Ilustrasi )
SAMUEL
HUTABARAT sedang tinggal sendirian di pavilyunnya yang tenang
dipinggiran kota. Hampir dua jam lamanya ia melahap isi koran
langganannya , yang hari itu padat dengan berita panas. Dari koran itu
juga ia tahu kasus seorang kakek tua yang memperkosa gadis cilik berusia
6 tahun. Samuel kontan tegang ,setengah marah , mengutuki dalam hati ,
kemudian menghempaskan tubuhnya yang gemuk disofa seraya menarik nafas
panjang.
Sebagai
direktur sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa konstruksi,
Samuel hari itu tampaknya tidak punya kegiatan penting. Dia memutuskan
istirahat penuh sehari itu di pavilyunnya, sambil menikmati pemandangan
lewat jendela kaca. Dari sana nampak deretan pohon-pohon kelapa yang
tumbuh subur di kebun pribadinya , yang lima tahun lalu dibelinya dari
seorang petani. Setiap hari hamper tak pernah ia lepas memandang kearah
kebun itu. Tempat itu tenang , penuh kedamaian.
Tempat
itu cukup ideal untuk tempat beristirahat, kelak bila Tuhan Yang Maha
Esa memanggil Samuel Hutabarat menghela nafas panjang. Cemas? Ya!
Tiba-tiba ngeri membayangkan kematian. Baginya, kematian sama artinya
dengan terkuburnya sejumlah kebanggaan dan kebahagiaan hidup yang
diraihnya beberapa tahun terakhir ini. Mungkin itu sebabnya, orang tua
ini belakangan sangat rajin memeriksa kesehatannya. Tak jarang karena
gangguan sedikit saja , ia mendadak terbang ke Singapura, konsultasi
dengan dokter ahli terkemuka disana. Dokter Rahman Tan langganannya di
Singapura memang menasihatkan agar Samuel tidak terlalulu menforsir diri
dengan pekerjaan. Samuel disarankan mengutamakan istirahat mencari ketenangan. Sebab, Samuel menderita penyakit jantung yang cukup serius.
Rumahnya
yang megah, bernilai Rp 700 juta itu ditempatinya bersama istrinya,
Rosdiah, yang mengusahai sebuah salon kecantikan dipusat Medan. Istrinya
biasa pulang sekitar pukul 20:00 malam. Untuk membereskan segala
keperluan dan pekerjaan di rumah , mereka menggaji seorang perempuan
setengah baya yang tempo hari dibawa istrinya ketika berkunjung ke
Bandung. Tapi sudah seminggu ini, pembantu itu pulang ke kampung
berlebaran .
Karena
itulah jika kebetulan Samuel istirahat di rumah untuk kepentingan
kesehatannya, istrinya yang mengatur makanan khusus dari sebuah
restauran langganan . Atau kadang-kadang Rosdiah sendiri yang pulang
sebentar mengantarkannya makanan itu kerumah, Sering juga Rosdiah
menemani suaminya menyantap hidangan sebelum meninggalkan rumah..
Tapi
siang ini, seperti beberapa kali dialami Samuel, makan siangnya
terpaksa harus disiapkan dan dinikmati sendiri. Terasa malas, memang,
Samuel makan sendiran, beda kalau istrinya menemani. Sudah satu jam
sejak makanan itu diantar petugas restoran langganannya, Samuel tak
kunjung merasa lapar, Tapi akhirnya Samuel merasa lapar juga, kendati
rasa tegang setelah membaca berita di koran itu, sempat menahan nafsu
makannya.
Orang
tua ini siap menyantap makanannya, ketika secara mendadak rasa kaku dan
kejang itu menyerang bagian tangan kirinya. Mirip seperti kejadian
setahun lalu, yang menyebabkan Samuel harus masuk rumah sakit karena
serangan jantung. Apakah ini juga gejala serangan jantung ? Rasa cemas
segera memenuhi benak orang tua ini. Samuel menunda santap siangnya, Ia
mencoba menenangkan diri. Kemudian ia ingin menelepon Rosdiah, istrinya
tercinta. Tetapi ketika hendak meraih gagang telepon, yang terletak
disamping tempat duduk, tangan kirinya mulai bergetar hebat. Tak
terkendali. Dicobanya mendekap tangan kiri itu dengan tangan kanan agar
getaran itu mereda. Tapi makin didekap, getaran itu bertambah hebat.
Bahkan getaran dan rasa kejang itu kemudian merayap naik kebagian
lehernya.
Samuel
bersusah payah mencapai tombol telepon digital dengan tangan kanan.
Diletakkannya telepon itu diatas meja, lalu mengontak nomor telepon
istrinya. Sinyal telepon mengisyaratkan hubungan tersambung.
Beberapa
saat Samuel menunggu , tetapi telepon di seberang sana belum juga
diangkat. Agaknya sia-sia Samuel menunggu , sebab siang itu istrinya
sedang pergi ke bank untuk suatu urusan. Di salon itu memang ada tiga
orang asisten, tapi entah mengapa telepon itu tak diangkat. Samuel
merasa geram, dan hal ini membuat kejang di tubuhnya semakin hebat .
Kalau saja istrinya ada disana, pasti Samuel segera tahu apa yang
seharusnya dilakukan untuk menolong dirinya.
Sementara
getaran ditangan kirinya semakin menjadi-jadi, diluar sadarnya tangan
kiri itu menggapai gagang telepon secara sembarangan,hingga jatuh
kelantai .
Beberapa
saat berikutnya, tangan kiri itu dirasakan sudah lumpuh total.
Kerongkongannya terasa sesak, akibat otot-otot mengejang. Untung dia
masih bisa menggerakkan tubuhnya. Dengan susah payah diambilnya gagang
telepon dari lantai, ditaruhnya kembali diatas meja. Keringat mulai
membasahi wajahnya . Telapak tangannya basah oleh keringat. Ia mulai
bingung, tak tahu harus bagaimana. Rasa takut tiba-tiba mencuat.
Lalu timbul idenya untuk
menghubungi polisi. Dia hafal betul nomor telepon polisi sektor.
Sementara menunggu hubungan telepon tersambung, dia mencoba menggerakkan
mulutnya mengucapkan sesuatu. Tetapi anehnya, yang keluar dari mulutnya
hanyalah suara erangan mirip suara otang tercekik. Semakin keras ia
mencoba bersuara, semakin mengejang otot-otot kerongkongannya. Leher itu
benar –benar seperti tercekik.
Pada
saat itu, di kantor polisi sektor kota, ajun komisaris polisi Syamsir
Lubis mengangkat gagang telepon , setelah beberapa kali berdering akibat
kontak dengan pavilyun Samuel tadi.
“Ya, polisi disini, saya ajun
komisaris polisi Syamsir menerima,”ujar polisi itu dengan tenang. Tidak
ada sahutan dari seberang sana. Yang terdengar diruangan penerima
pesawat telepon itu hanya suara geresek-gerasak. Kedengarannya aneh.
Menyusul kemudian suara seperti orang mengerang kesakitan.
Syamsir menyandarkan
tubuhnya ke kursi dan tersenyum sendiri. Sepanjang pengalamannya selama
sepuluh tahun menjadi polisi, ia telah kenyang dengan telepon yang
aneh-aneh. Tak jarang ada telepon dari orang mabuk, berceloteh tak karuan, mengejek dan sering membuatnya jengkel. Tak jarang Syamsir langsung menutup telepon itu.
Karena
pengalaman itu, gagang telepon hampir saja diletakkannya kembali ketika
suara mengerang itu terdegar kembali. Kali ini diiringi tarikan nafas
berat. Sebagai polisi yang tanggap, letnan Syamsir tiba-tiba curiga.
Telepon itu diserahkannya kepada Bripka Tugiman yang sedang mengetik
disebelahnya.
“Kira-kira apa ini, Sersan?” tanya Syamsir. Bripka Tugiman mendengar dengan seksama. Wajahnya seketika berubah serius.
“Kedengarannya seperti seseorang sedang dalam kesulitan komandan,”ujar Bripka Tugiman menyimpulkan. Letnan Syamsir mengernyitkan alisnya. Ia segera mengambil inisiatif, minta operator telepon melacak nomor dan alamat telepon itu.
Syamsir mencoba
menebak persoalan. Mungkinkah penelepon sedang dalam kesulitan, tetapi
tidak mampu bicara? Tapi siapa dia ? Dimana alamatnya ? Apa yang terjadi
? Atau jangan-jangan, penelepon itu baru saja dirampok orang, dan
sekarang sedang luka parah. Mungkin saja korban dibacok karena mencoba
melawan. Korban mencoba menghubungi polisi dalam keadaan sekarat ?
Diseberang sana, Samuel Hutabarat semakin dicekam rasa takut dan putus asa . Yang bisa
dilakukannya hanyalah mengerang dan merintih. Mudah-mudahan saja timbul
keajaiban sehingga polisi dapat menemukan alamat rumah dan menolongnya.
Diluar
sadar , tangan kanannya meraba sebuah kunci yang tergeletak diatas
meja. Akal sehatnya mulai bekerja. Kalau saja dapat melakukan sesuatu
dengan kunci ini, pikirnya. Lalu diketuk-ketuknya kunci itu
berulang-ulang ke meja.
“Apa saudara mencoba memberitahukan sesuatu?” ujar polisi Syamsir, mencoba menafsirkan makna ketukan itu.
Samuel mengetukkan kuncinya di atas meja. Ya, ketukkan di meja bisa dijadikan semacam kode . Syamsir bersorak girang ketika menemukan suatu ilham jitu.
Tetapi
pada saat itu tangan kiri Samuel kembali bergetar keras, dan lagi-lagi
menghantam telepon hingga kedua kalinya jatuh ke lantai. Celaka .
Bagaimana kalau telepon itu sampai rusak dan hubungan terputus ? Syamsir
jadi khawatir.
Informasi operator telepon untuk melacak asal penelepon belum juga ada.. Kini Syamsir harus memutar otak agar dapat menemukan asal usul penelepon misterius itu.
Sementara
itu Samuel Hutabarat tetap berusaha keras meraih gagang telepon yang
tergeletak dilantai. Tangan kiri serasa lumpuh, kerongkongan yang
kejang, nafas yang sesak , semuanya menambah sulit gerakan tubuhnya.
Butiran keringat terus menetes di keningnya. Ketika telepon itu berhasil
diambil dan diletakkan diatas meja, terdengar suara kesibukan di kantor
polisi. Telepon masih tersambung.
Suara Syamsir
muncul lagi ditelepon . Nada suaranya terdengar bergetar berat. “Saya
akan mencoba memberikan beberapa pertanyaan,“ ujar letnan Syamsir ,
mulai menjalankan ide yang tiba-tiba muncul dibenaknya , “saya minta
saudara bias menjawab dengan kode ketukan seperti tadi saya dengar .
Sekali ketuk berarti ya, dua kali ketuk berarti tidak. Bisa saudara
mengerti ?
Hening
sejenak. Olisi bijak itu menanti reaksi dari pertanyaannya. Dan….
Syamsir melonjak kegirangan, ketika Samuel merespon. Terdengar jelas
satu kali ketukan .Tok!
“Bagus , saudara bisa mengerti,”puji Syamsir . Dan komunikasi pun mulai berjalan secara aneh lewat telepon itu .
“Apakah saudara sakit?” tanya Syamsir..
Tok ! satu ketukan. Berarti “ya”.
“Baiklah. Kami ingin tahu alamat saudara”
Tok!
Komisaris
Syamsir mengamati peta kota Medan yang terpajang di dinding kantornya.
Di dalam peta itu kota Medan terbagi dalam beberapa wilayah kecamatan .
Pembagian daerah seperti ini mempermudah polisi mencari suatu lokasi
dalam kota . Tetapi kota Medan adalan kota ramai berpenduduk padat,
hampir sepadat Jakarta. Tidak mudah melacak begitu saja alamat seorang
penelepon jika bukan karena bantuan operator. Tapi operator sendiri
nampaknya kesulitan pula, Mungkin saja ada gangguan teknis.
Syamsir mencoba melacak lokasi penelepon berdasarkan pembagian wilayah dalam peta.
“Apakah
saudara tinggal disekitar jalan Sisingamangaraja, mulai Marindal ,
Simpang Limun, atau Teladan, misalnya?” tanya polisi itu, setelah
berpikir-pikir sesaat.
Tok! Tok! Berarti ,”tidak”.
“Mungkin disekitar Kampung Baru?Atau Padang Bulan barangkali?
Tok! Tok!
“Atau anda seputar kawasan Glugur? “Tok! Tok!
Syamsir
ingin tahu apakah orang itu pria atau perempuan.” Apakah anda seorang
lelaki? Terdengar bunyi ketukan sekali, membenarkan. “Anda mungkin
mengidap suatu penyakit? Tok! Apakah anda pernah mengidap penyakit
jantung? Tok1
“Bagaimana kalau anda mungkin di sekitar Jalan Binjei?”
Syamsir melonjak girang ketika terdengar sekali ketukan . Tok!
“Saudara kira-kira jauh dari Taman Ria?”
Tok! Tok!
Wajah
polisi Syamsir berseri. Sudah ada titik-titik terang dalam upaya
menemukan lokasi penelepon misterius itu. Kawasan jalan Binjei tak
begitu jauh dari kantor nya , tapi kawasan itu sendiri cukup luas.
Diamatinya nama-nama jalan disekitar kawasan itu. Banyak, banyak sekali,
nama jalan disana. Umunnya diambil dari nama peralatan dapur rumah
tangga. Ada jalan Panci, jalan Gelas, jalan Piring , jalan Pabrik Tenun ,
jalan Garpu. Pokoknya banyak, dan tak mungkin disebut satu persatu
dalam waktu singkat.
Tadi,
penelepon misterius itu mengetuk satu kali ketika ditanya apakah
tempatnya jauh dari Taman Ria. Bila itu benar, pelackan tak terlalu
sulit. Tapi sudah pastikah itu ? Dasar Syamsir polisi yang terkenal
sangat akurat bila menyelidiki sesuatu, tiba-tiba saja pertanyaan itu
diulangi lagi .
“Saudara bilang, tempat Anda tidak jauh dari kompleks Taman Ria?”
Terdengar dua kali ketukan. Syamsir jadi heran. Kok ketukan jadi berbeda? Apakah tadi penelepon itu salah mengetuk?
“Apa saudara tadi salah mengatakan ya. Waktu saya tanya pertama kali?”
Tok! Syamsir menghela nafas panjang seraya menatap kepada bawahannya, Bripka Tugiman.
“Payah ini , kelihatannya orang itu parah”, ujar Syamsir agak ragu.
Suara erangan dan nafas berat di telepon menyadarkan Syamsir dari kebingungan yang sempat bergayut di kepalanya. Dalam kebingungan itu, ia mencoba bertanya lagi, sekenanya.
“Bagaimana kalau saya menduga , Anda di sekitar Sikambing ?”
Tok!
Syamsir untuk kedua kalinya tercenung. Rupanya, tebakannya kali ini bisa tepat.
“Saudara sekarang di kawasan itu?”
Tok!
“Baiklah, baiklah, tunggu sebentar,”ujar Syamsir mencoba
menenangkan diri. Lalu ia menyebut beberapa nama jalan di kawasan itu.
Tetapi beberapa kali terdengar sahutan berupa ketukan dua kali, pertanda
tidak. Disebutnya lagi beberapa nama jalan, tetapi yg terdengar
kemudian adalah ketukan-ketukan kurang jelas.
Polisi itu jadi ragu dan tegang. Pasti ada yag tidak beres, pikirnya. Beberapa petugas polisi bawahan Syamsir yang mengikuti pembicaraan aneh di telepon itu turut menjadi tegang, siap melaksanakan instruksi dari komandannya.
Sementara
itu, Samuel Hutabarat di kebingungannya, menyadari bahwa kesalahan yang
dilakukannya bisa berakibat fatal. Seharusnya, sewaktu polisi
menanyakan apakah penelepon itu tinggal di sekitar Gang Jakarta dan Gang
Kemakmuran, dikawasan itu, ia mengetuk sekali. Tetapi tanpa sadar,
Samuel telah mengetuk dua kali.
Samuel
memang berharap agar polisi menanyakan lagi Gang Jakarta dan Gang
Kemakmuran. Tapi bagaimana caranya, sedangkan ia sendiri tidak bisa
mengeluarkan suara?
Syamsir
pun masih dicekam kebingungan. Semua nama jalan sampai sejumlah gang
dan lorong yang kurang popular dikawasan Sei kambing sudah
disebutkannya. Semua dijawab dua ketukan (tidak). Jadi orang ini
sesungguhnya tinggal dimana ?
Dicobanya mengulangi pertanyaan-pertanyaan tadi.
“Saudara tinggal disekitar Sikambing , betul?”
Tok!
“Dekat jembatan rusak?”
Tok! Tok!
Syamsir terdiam lagi. Tetapi tiba-tiba ia menepuk keningnya beberapa kali, seraya berkata pada anak buahnya: “Bodoh, bodoh saya ini! Kenapa bukan nomor teleponnya yang saya tanya, lalu alamatnya kita cari dibuku telepon?”
Dengan
perasaan gembira komandan polisi itu kemudian membuka percakapan lagi.
“Saya minta saudara bisa menjawab dengan satu kali ketukan, bila saya
menyebut angka satu sampai sepuluh. Saya ingin tahu nomor telepon
saudara”.
Terdengar sekali ketukan dari seberang sana, tanda setuju usul itu.
Syamsir
mulai menyebutkan angka pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan
seterusnya, sedangkan angka sepuluh disebut dengan nol. Bripka Tugiman
bertugas menandai setiap angka yang dijawab dengan sekali ketukan.
Terdengar oleh Syamsir jawaban ketukan sekali untuk angka tiga, pada
angka lima juga sekali, kemudian angka empat.
Tetapi
pada angka sembilan, ketukan itu terdengar dua kali yang untuk setiap
ketukan pakai jarak. Letnan Syamsir ragu. Tetapi segera dia mempertegas
dugaannya:”Angka sembilannya ada dua?”
Terdengar
ketukan sekali membenarkan.Syamsir itu menarik nafas lega. Selanjutnya,
pada angka nol, terdengar ketukan sekali, dan akhirnya pada angka dua.
“Setelah itu, Syamsir
minta hasil pengumpulan tanda-tanda angka yang mendapat jawaban sekali
ketukan itu pada Bripka Tugiman. Lalu secara hati-hati Syamsir mulai
menyusun : 3(tiga), 5 (lima), 4 (empat), 99 (Sembilan-sembilan), 0
(kosong), 2 (dua). Berarti nomor telepon itu adalah : 3549902?
Hampir
bersorak saking girangnya, Syamsir bertanya lagi , “Coba saudara dengar
baik-baik, nomor telepon saudara nomor yang saya sebutkan ini? Apa itu
betul?”
Tok!
Jelas
sudah. Letnan itu mengurut dada. Kemudian berkata lagi :”Saya harap
saudara bisa bertahan di telepon beberapa saat lagi. Kami coba cari dulu
nomor itu dibuku petunjuk telepon”.
Sersan
Tugiman dibantu seorang Bripda dengan bersemangat membolak-balik buku
telepon. Tapi pekerjaan itu tidak mudah, mengingat banyaknya nomor
telepon di kota besar ini. Hampir seperempat jam, barulah nomor telepon
yang dicari ditemukan. “Eeh, ini alamatnya bapak Samuel Hutabarat,
Direktur PT Harapan Baik?”tukas Bripka Tugiman setelah nomor ditemukan.
Letnan Syamsir dalam kegembiraan, bertanya lagi di telepon:
“Apakah bapak sekarang ini adalah Samuel Hutabarat, Direktur PT Harapan Baik?”
Tok!
Segera Syamsir
mengatkan agar Samuel Hutabarat tetap berusaha tenang, dan menjanjikan
pertolongan polisi segera datang. Tetapi rasa ingin tahunya membuat Syamsir meyempatkan bertanya lagi: “Apakah bapak korban perampokan?”
Tok! Tok! Berarti tidak.
“Atau bapak sakit?”
Tok!
“Serangan Jantung?”
Terdengar
cukup jelas, sekali ketukan. Lalu polisi itu bertanya lagi apakah tidak
ada orang lain di rumah itu, dan apakah pintu depan sedang terbuka.
Terdengar hanya sekali ketukan pelan, kemudian sunyi.
Brigade
dua Tomson Silalahi yang sedang tugas di mobil patroli, begitu mendapat
sinyal darurat segera melaju ke alamat Samuel Hutabarat. Dan, memang,
ketika ditemukan, Samuel dalam keadaan terbungkuk di dekat meja telepon.
Wajahnya tegang, penuh keringat dingin. Keadaanya kritis sekali.
Sesaat
kemudian, mobil ambulans datang membawa tabung oksigen. Orang tua yang
sedang sekarat itu segera dilarikan ke rumah sakit Elizabeth.
Istrinya baru datang ke sana setengah jam kemudian menghamburkan tangis .
Rosdiah menganggap suaminya tak ada harapan lagi untuk hidup .
Tetapi
Tuhan rupanya berkehendak lain . Setelah dua bulan dirawat, kesehatan
Samuel Hutabarat berangsur-angsur pulih kembali. Dokter mengatakan dia
sudah boleh pulang, tetapi harus banyak istirahat. Disarankan oleh
dokter, Samuel jangan sering ditinggal dirumah sendiri. Tepat pada saat
ia akan kembali kerumah, Ajun Komisaris Syamsir datang menjenguknya.
Samuel Hutabarat memeluknya dengan pelukan hangat, dan berkata :”Anda
polisi baik , Anda polisi baik. Dengan apakah budi baik anda itu saya
balas”.
Syamsir berdiri
tegak dan menjawab: “Sebagai polisi, saya berkewajiban menolong siapa
saja yang sedang dalam kesulitan. Itulah tugas polisi sebagai pengayom
dan pelindung masyarakat”. (Leonardo Simanjuntak,Mdp Tarutung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar