“Biarkan saja rambut panjangmu terurai lepas,maka kamu adalah Putri Indonesia yang dicintai banyak lelaki”. Ucapan
seperti itu berulang kali dibisikkan Bonar ke telinga Jennifer.
Kata-kata spontan yang keluar dari lubuk hati paling dalam. Tak lagi
sekadar rayuan gombal. Karena toh, Jenny sudah resmi pacarnya, meski
bukan berarti sudah miliknya. Filosofi asmara toh bunyinya
begitu,mencintai bukan berarti harus memiliki.
Bagi
Bonar, gadis itu adalah simbol kebanggaan, bahkan kesempurnaan. Bonar
tak peduli, bila di mata orang, Jenny tak sesempurna yang terlukis di
ruang matanya. ”Na roa di halak,nauli di au”( biarlah bagi
orang lain tak cantik, tapi bagiku cantik). Begitu pendiriannya,
manakala suatu waktu ada teman berkata ”sebenarnya Jenny tidak begitu
cantik, hanya potongan badannya bagus,bibirnya seksi”.
Saking
istimewanya Jenny bagi Bonar, maka beberapa sisi dari gadis itu
ditulisnya dalam sebuah buku catatan. Mulai dari mata Jenny yang
gemerlap, berbinar, dan di dalamnya seperti ada sebuah danau, lalu
hidungnya yang mirip hidung Paramitha Rusadi, alisnya yang seperti milik
Betharia Sonata, bibirnya yang mungil sensual seperti bibir kepunyaan
Yuni Sara, atau bentuk tubuhnya yang tak gemuk tak kurus, tak jauh beda
dengan tubuh milik Iis Sugianto semasa muda. Tapi semua itu belum
apa-apa, dibanding yang satu ini: rambut hitam legam Jenny yang panjang
terurai nyaris mencapai pinggang. Rambut Jenny, tulis Bonar bersemangat,
gelombangnya pelan seperti gelombang air Danau Toba di kala siang tak
diusik angin Pusuk Buhit.Atau malah lebih menggebu lagi, rambut Jenny
yang tak kalah dari rambut miliknya aktris cantik India yang pernah
ditontonnya berulang kali, dan membuatnya terobsesi.
Maka,
bila Bonar memadu kasih dengan Jenny di malam berbintang di tepi danau
itu, Bonar secara tak sadar bagaikan seorang penyair atau novelis.
Kerjanya memuji melulu, atau memuja, seperti Rama memuja Shinta, seperti
Romeo memuji Juliet, atau seperti Anthony memuja Cleopatra. ”Sombakku
tu ho hasian,sotung diorui ho obukmu nauli on” (Pintaku padamu sayang,
jangan gunting rambutmu yang indah ini). Ucapan itu meloncat dari
tenggorokan Bonar, karena sekali dua kali Jenny pernah bilang mau ke beauty salon,
merombak potongan rambutnya menjadi model rambut pendek yang lagi tren
di kalangan gadis remaja. Bonar ingat betul, biang keladi timbulnya
rambut pendek yang paling dibencinya itu adalah Demi Moore, artis
Holliwood yang tiba-tiba mengguncang kawula muda karena model rambutnya
yang super pendek bagai rambut napi wanita di penjara Guantanamo.
”
Rambut panjang sudah kolot bang, tak jamannya lagi. Aku malu dibilang
orang gadis kuno”, Jenny masih ngotot mengutarakan niatnya. Dan dalam
redup cahaya malam berbintang diliriknya Bonar. Jenny senyum tersipu
melihat Bonar seperti ketakutan.Jenny merasa iba juga.
”Peduli
amat kata orang Jen? Yang penting aku,aku,aku. Aku teramat menyayangi
rambut indah ini”, seraya jemari Bonar mengelus rambut panjang Jenny
sepenuh perasaan. Kadang ujung rambut itu dibawanya ke hidung,
dihirupnya aroma khas yang terpancar dari rambut Jenny. Aroma
surgawikah? Aroma yang padu dengan aroma tubuh Jenny yang sulit
dilukiskan dengan puisi apa pun.
Dalam
gelap malam, Bonar tak melihat Jenny menahan tawa renyah.”Gadis India
saja sekarang sudah banyak yang berambut pendek. Karena apa. Karena
rambut panjang disamping sudah kuno, juga merepotkan”, tukas Jenny
sambil menggores-gores dada Bonar dengan telunjuknya yang halus.” Abang
ingat kan bintang film India Kareena Kapoor yang kita tonton di tivi
tempo hari, rambut sepinggulnya sudah dipotong, malah sudah
direbonding?”
Terkadang
Bonar nyaris putus asa dibuat Jenny. Bonar ketakutan. Jangan-jangan
Jenny tak sekadar bercanda mau potong rambutnya, tetapi bagaimana jika
benar-benar kenyataan. Waduhhh,payah. Bonar berbisik dalam hati ” aku
harus menjagamu Jenny sayang, jangan sampai itu terjadi”. Tapi bagaimana
caranya menjaga Jenny, sementara mereka masih pacaran. Lain hal kalau
sudah suami isteri. Bisa diawasi, diingatkan, atau diberi sanksi
diceraikan apabila Jenny melanggar perintah suami.
Begitu
sayangnya, atau (gilanya) Bonar pada rambut panjang Jenny, beberapa
kali ia mengajak Jenny kawin lari. Konsep kawin lari itu muncul karena
dengan menikah resmi rasanya tak mungkin. Pasalnya, Jenny masih punya
dua kakak berstatus nona.”Tak mungkin itu bang Bonar. Kita ini orang
Batak, pantang gadis kawin melangkahi kakaknya”, kata Jenny pula
berulangkali.
”Tapi
kita kawin lari Jen, demi cinta kita, persoalan di belakang”, kata
Bonar dengan semangat meluap-luap,melebihi semangat juang prajurit di
medan tempur.
”
Apa bang Bonar tega ayahku yang penatua gereja fanatik itu membunyikan
lonceng gereja mengumumkan aku bukan anaknya lagi, atau abang rela jadi
buronan polisi, atau abang babak belur dibantai abangku yang jago kungfu
itu, heh? Abang mau begitu? Dan kalau aku ditemukan, apa abang tega aku
dikerangkeng seumur hidup dalam kamar seperti burung beo tak punya
siapa-siapa tempat mengadu nasib?
Bonar
pun terdiam, sejuta bahasa. Tapi gundah hatinya mencair, ketika jemari
Jenny mengelus dagunya, atau memberi bibirnya untuk dikecup.Dan jika
Bonar melingkarkan tangannya memeluk gadis itu, dibelainya rambut
panjang yang harum semerbak itu, kadang digenggamnya ujung rambut itu,
seakan tak ingin melepasnya. Oh, Bonar makin cinta, makin gila rasanya,
makin ingin memaksa gadis itu kawin lari. Toh,banyak kejadian, kawin
lari jadi pilihan alternatif mewujudkan cinta untuk dimiliki.
MALAM
berikutnya, otaknya terus dinerakai ketakutan. Hatinya kalut, jika satu
saat Jenny benar-benar pergi ke salon, lalu rambut pujaannya itu
berserakan di lantai dipreteli gunting yang tak berperasaan. Wah, gawat.
Bonar berkeringat. Asbak di bawah tempat tidurnya dipenuhi puntung
rokok.
Lalu,
mimpi buruk itu pun datang satu ketika. Bonar mengajak Jenny
jalan-jalan di malam bergerimis melintasi pantai basah diterpa ombak
danau.
Dan
iblis rupanya mengikuti mereka. Bonar mendengar sayup suara berbisik di
ruang telinganya: ” Nah, tunggu apa lagi. Hanya itu cara supaya Jenny
dan rambut indahnya jadi milikmu”. Bonar tertegun. Ragu. Telapak
tangannya basah diguyur pikiran kotor yang bergelayut sejak sore tadi.
Bonar takut berbuat yang tidak-tidak pada kekasihnya sendiri, tapi lebih
takut lagi kalau kehilangan rambut indah Jenny.Gila!
Tiba-tiba,Bonar
menyerah. Bonar mengikuti bisikan tadi. Di remang malam bergerimis itu,
di bawah sebatang pohon jambu klutuk dekat pantai, direnggutnya Jenny
dengan kuat. Jenny kaget bukan main. ”Bonar, apa-apaan kamu bang…”.
Jenny meronta, tapi Bonar begitu kuat merangkulnya sampai Jenny susah
bernafas. Jenny tak sangka, Bonar bisa jadi brutal. Jenny jatuh
terhempas ke tanah becek. Bonar memburu tanpa kata. Tangannya
menyentakkan pakaian Jenny sampai robek. Jenny takut, kalap, gugup, atau
entah apa lagi. Tapi keberanian hadir mendadak, memberinya tenaga
dahsyat. ”Bangsat juga kamu Bonar, abang pikir semudah itu mengambil
perawanku heh”, dan tamparan kerasnya membuat Bonar terhuyung. Jenny
tertatih berlari, jatuh bangun di tanah lembab, terus lari, lari,
menerobos kegelapan, tak tahu mau kemana, yang penting kaki itu masih
kuat membawanya menjauh dari Bonar yang kesetanan.
Menyesal
kemudian tiada guna. Seminggu tak ketemu Jenny rasanya satu abad. Tak
tau kemana Bonar mencari Jenny. Bonar depresi menyadari kesalahannya.
Maafkan Jenny, sungguh itu bukan kemauanku, aku sangat mencintaimu, aku
ingin memilikimu, tapi aku terjebak nafsu egoisku.Biarkan rambut indahmu
terurai sayang, jangan tergoda Demi Moore yang telah merongrong mahkota
wanita dengan kegilaan mode yang tak termaafkan.
Bonar
jadi pemabuk berat. Tiada malam tanpa alkohol. Sampai suatu malam,
diterimanya sepucuk surat dari Rosinta,teman Jenny. Biar mabuk, Bonar
membacanya juga di tengah suara parmitu yang meledak-ledak dalam warung.
Dibacanya surat singkat itu, dibacanya bolak balik. Dan Bonar merasa matanya berkunang-kunang. Langit seperti akan runtuh.”Bang
Bonar ternyata tidak mencintaiku, tapi yang abang cintai setengah mati
hanya rambutku. Dan itu hampir membawa petaka besar bagi Jenny.Kita
sama-sama punya keinginan, walau berbeda.Setiba aku di Jakarta,aku
langsung ke salon menggunting rambut yang abang cintai itu.Aku tak perlu
minta maaf, karena rambut itu bukan milik abang, dan tak akan pernah
menjadi milik abang Bonar lagi selamanya. Teriring salam, Jenny.
Bonar
sedih, geram, murka, benci, atau entah apa lagi. Tapi, mau bilang apa.
Bonar juga merasa punya harga diri. Persetan,kalau harus mengemis cinta
hanya karena rambut panjang pujaannya sudah lenyap diterabas gunting
salon kecantikan itu.Bonar bersikukuh dengan martabat
kelelakiannya,meski hatinya serasa dikoyak sembilu.Dibayangkannya rambut
indah Jenny berserakan di lantai salon, diambil pemilik salon untuk
membuat wig ,atau jangan-jangan helai demi helai rambut itu sudah
beterbangan ditiup angin entah ke mana.
Sejak
itu Bonar bersumpah dalam hati, tak mau tergila-gila rambut panjang
wanita lagi. Lagi pula, zaman sekarang cewek berambut panjang sepinggang
sudah langka. Gunting-gunting tajam di salon-salon kecantikan begitu
aktifnya memotongi rambut perempuan.”Potong aja rambutmu, sekarang tak
zamannya lagi memelihara rambut panjang,” kata Bonar jika melihat ada
gadis masih punya rambut lewat sebahu. Seakan Bonar alergi terhadap
rambut panjang yang mengingatkannya pada Jenny. Dia bersumpah dalam hati, tak akan mau lagi mengagumi rambut panjang perempuan.(rumah sepi, Maret 2014/SARINGAR.Net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar