Jumat, 15 Agustus 2014

STORY : Rambut Indah Pemutus Cinta



“Biarkan saja rambut panjangmu terurai lepas,maka kamu adalah Putri Indonesia yang dicintai banyak lelaki”. Ucapan seperti itu berulang kali dibisikkan Bonar ke telinga Jennifer. Kata-kata spontan yang keluar dari lubuk hati paling dalam. Tak lagi sekadar rayuan gombal. Karena toh, Jenny sudah resmi pacarnya, meski bukan berarti sudah miliknya. Filosofi asmara toh bunyinya begitu,mencintai bukan berarti harus memiliki.
Bagi Bonar, gadis itu adalah simbol kebanggaan, bahkan kesempurnaan. Bonar tak peduli, bila di mata orang, Jenny tak sesempurna yang terlukis di ruang matanya. ”Na roa di halak,nauli di au”( biarlah bagi orang lain tak cantik, tapi bagiku cantik). Begitu pendiriannya, manakala suatu waktu ada teman berkata ”sebenarnya Jenny tidak begitu cantik, hanya potongan badannya bagus,bibirnya seksi”.
Saking istimewanya Jenny bagi Bonar, maka beberapa sisi dari gadis itu ditulisnya dalam sebuah buku catatan. Mulai dari mata Jenny yang gemerlap, berbinar, dan di dalamnya seperti ada sebuah danau, lalu hidungnya yang mirip hidung Paramitha Rusadi, alisnya yang seperti milik Betharia Sonata, bibirnya yang mungil sensual seperti bibir kepunyaan Yuni Sara, atau bentuk tubuhnya yang tak gemuk tak kurus, tak jauh beda dengan tubuh milik Iis Sugianto semasa muda. Tapi semua itu belum apa-apa, dibanding yang satu ini: rambut hitam legam Jenny yang panjang terurai nyaris mencapai pinggang. Rambut Jenny, tulis Bonar bersemangat, gelombangnya pelan seperti gelombang air Danau Toba di kala siang tak diusik angin Pusuk Buhit.Atau malah lebih menggebu lagi, rambut Jenny yang tak kalah dari rambut miliknya aktris cantik India yang pernah ditontonnya berulang kali, dan membuatnya terobsesi.
Maka, bila Bonar memadu kasih dengan Jenny di malam berbintang di tepi danau itu, Bonar secara tak sadar bagaikan seorang penyair atau novelis. Kerjanya memuji melulu, atau memuja, seperti Rama memuja Shinta, seperti Romeo memuji Juliet, atau seperti Anthony memuja Cleopatra. ”Sombakku tu ho hasian,sotung diorui ho obukmu nauli on” (Pintaku padamu sayang, jangan gunting rambutmu yang indah ini). Ucapan itu meloncat dari tenggorokan Bonar, karena sekali dua kali Jenny pernah bilang mau ke beauty salon, merombak potongan rambutnya menjadi model rambut pendek yang lagi tren di kalangan gadis remaja. Bonar ingat betul, biang keladi timbulnya rambut pendek yang paling dibencinya itu adalah Demi Moore, artis Holliwood yang tiba-tiba mengguncang kawula muda karena model rambutnya yang super pendek bagai rambut napi wanita di penjara Guantanamo.
” Rambut panjang sudah kolot bang, tak jamannya lagi. Aku malu dibilang orang gadis kuno”, Jenny masih ngotot mengutarakan niatnya. Dan dalam redup cahaya malam berbintang diliriknya Bonar. Jenny senyum tersipu melihat Bonar seperti ketakutan.Jenny merasa iba juga.
”Peduli amat kata orang Jen? Yang penting aku,aku,aku. Aku teramat menyayangi rambut indah ini”, seraya jemari Bonar mengelus rambut panjang Jenny sepenuh perasaan. Kadang ujung rambut itu dibawanya ke hidung, dihirupnya aroma khas yang terpancar dari rambut Jenny. Aroma surgawikah? Aroma yang padu dengan aroma tubuh Jenny yang sulit dilukiskan dengan puisi apa pun.
Dalam gelap malam, Bonar tak melihat Jenny menahan tawa renyah.”Gadis India saja sekarang sudah banyak yang berambut pendek. Karena apa. Karena rambut panjang disamping sudah kuno, juga merepotkan”, tukas Jenny sambil menggores-gores dada Bonar dengan telunjuknya yang halus.” Abang ingat kan bintang film India Kareena Kapoor yang kita tonton di tivi tempo hari, rambut sepinggulnya sudah dipotong, malah sudah direbonding?”
Terkadang Bonar nyaris putus asa dibuat Jenny. Bonar ketakutan. Jangan-jangan Jenny tak sekadar bercanda mau potong rambutnya, tetapi bagaimana jika benar-benar kenyataan. Waduhhh,payah. Bonar berbisik dalam hati ” aku harus menjagamu Jenny sayang, jangan sampai itu terjadi”. Tapi bagaimana caranya menjaga Jenny, sementara mereka masih pacaran. Lain hal kalau sudah suami isteri. Bisa diawasi, diingatkan, atau diberi sanksi diceraikan apabila Jenny melanggar perintah suami.
Begitu sayangnya, atau (gilanya) Bonar pada rambut panjang Jenny, beberapa kali ia mengajak Jenny kawin lari. Konsep kawin lari itu muncul karena dengan menikah resmi rasanya tak mungkin. Pasalnya, Jenny masih punya dua kakak berstatus nona.”Tak mungkin itu bang Bonar. Kita ini orang Batak, pantang gadis kawin melangkahi kakaknya”, kata Jenny pula berulangkali.
”Tapi kita kawin lari Jen, demi cinta kita, persoalan di belakang”, kata Bonar dengan semangat meluap-luap,melebihi semangat juang prajurit di medan tempur.
” Apa bang Bonar tega ayahku yang penatua gereja fanatik itu membunyikan lonceng gereja mengumumkan aku bukan anaknya lagi, atau abang rela jadi buronan polisi, atau abang babak belur dibantai abangku yang jago kungfu itu, heh? Abang mau begitu? Dan kalau aku ditemukan, apa abang tega aku dikerangkeng seumur hidup dalam kamar seperti burung beo tak punya siapa-siapa tempat mengadu nasib?
Bonar pun terdiam, sejuta bahasa. Tapi gundah hatinya mencair, ketika jemari Jenny mengelus dagunya, atau memberi bibirnya untuk dikecup.Dan jika Bonar melingkarkan tangannya memeluk gadis itu, dibelainya rambut panjang yang harum semerbak itu, kadang digenggamnya ujung rambut itu, seakan tak ingin melepasnya. Oh, Bonar makin cinta, makin gila rasanya, makin ingin memaksa gadis itu kawin lari. Toh,banyak kejadian, kawin lari jadi pilihan alternatif mewujudkan cinta untuk dimiliki.
MALAM berikutnya, otaknya terus dinerakai ketakutan. Hatinya kalut, jika satu saat Jenny benar-benar pergi ke salon, lalu rambut pujaannya itu berserakan di lantai dipreteli gunting yang tak berperasaan. Wah, gawat. Bonar berkeringat. Asbak di bawah tempat tidurnya dipenuhi puntung rokok.
Lalu, mimpi buruk itu pun datang satu ketika. Bonar mengajak Jenny jalan-jalan di malam bergerimis melintasi pantai basah diterpa ombak danau.
Dan iblis rupanya mengikuti mereka. Bonar mendengar sayup suara berbisik di ruang telinganya: ” Nah, tunggu apa lagi. Hanya itu cara supaya Jenny dan rambut indahnya jadi milikmu”. Bonar tertegun. Ragu. Telapak tangannya basah diguyur pikiran kotor yang bergelayut sejak sore tadi. Bonar takut berbuat yang tidak-tidak pada kekasihnya sendiri, tapi lebih takut lagi kalau kehilangan rambut indah Jenny.Gila!
Tiba-tiba,Bonar menyerah. Bonar mengikuti bisikan tadi. Di remang malam bergerimis itu, di bawah sebatang pohon jambu klutuk dekat pantai, direnggutnya Jenny dengan kuat. Jenny kaget bukan main. ”Bonar, apa-apaan kamu bang…”. Jenny meronta, tapi Bonar begitu kuat merangkulnya sampai Jenny susah bernafas. Jenny tak sangka, Bonar bisa jadi brutal. Jenny jatuh terhempas ke tanah becek. Bonar memburu tanpa kata. Tangannya menyentakkan pakaian Jenny sampai robek. Jenny takut, kalap, gugup, atau entah apa lagi. Tapi keberanian hadir mendadak, memberinya tenaga dahsyat. ”Bangsat juga kamu Bonar, abang pikir semudah itu mengambil perawanku heh”, dan tamparan kerasnya membuat Bonar terhuyung. Jenny tertatih berlari, jatuh bangun di tanah lembab, terus lari, lari, menerobos kegelapan, tak tahu mau kemana, yang penting kaki itu masih kuat membawanya menjauh dari Bonar yang kesetanan.
Menyesal kemudian tiada guna. Seminggu tak ketemu Jenny rasanya satu abad. Tak tau kemana Bonar mencari Jenny. Bonar depresi menyadari kesalahannya. Maafkan Jenny, sungguh itu bukan kemauanku, aku sangat mencintaimu, aku ingin memilikimu, tapi aku terjebak nafsu egoisku.Biarkan rambut indahmu terurai sayang, jangan tergoda Demi Moore yang telah merongrong mahkota wanita dengan kegilaan mode yang tak termaafkan.
Bonar jadi pemabuk berat. Tiada malam tanpa alkohol. Sampai suatu malam, diterimanya sepucuk surat dari Rosinta,teman Jenny. Biar mabuk, Bonar membacanya juga di tengah suara parmitu yang meledak-ledak dalam warung.
Dibacanya surat singkat itu, dibacanya bolak balik. Dan Bonar merasa matanya berkunang-kunang. Langit seperti akan runtuh.”Bang Bonar ternyata tidak mencintaiku, tapi yang abang cintai setengah mati hanya rambutku. Dan itu hampir membawa petaka besar bagi Jenny.Kita sama-sama punya keinginan, walau berbeda.Setiba aku di Jakarta,aku langsung ke salon menggunting rambut yang abang cintai itu.Aku tak perlu minta maaf, karena rambut itu bukan milik abang, dan tak akan pernah menjadi milik abang Bonar lagi selamanya. Teriring salam, Jenny.
Bonar sedih, geram, murka, benci, atau entah apa lagi. Tapi, mau bilang apa. Bonar juga merasa punya harga diri. Persetan,kalau harus mengemis cinta hanya karena rambut panjang pujaannya sudah lenyap diterabas gunting salon kecantikan itu.Bonar bersikukuh dengan martabat kelelakiannya,meski hatinya serasa dikoyak sembilu.Dibayangkannya rambut indah Jenny berserakan di lantai salon, diambil pemilik salon untuk membuat wig ,atau jangan-jangan helai demi helai rambut itu sudah beterbangan ditiup angin entah ke mana.
Sejak itu Bonar bersumpah dalam hati, tak mau tergila-gila rambut panjang wanita lagi. Lagi pula, zaman sekarang cewek berambut panjang sepinggang sudah langka. Gunting-gunting tajam di salon-salon kecantikan begitu aktifnya memotongi rambut perempuan.”Potong aja rambutmu, sekarang tak zamannya lagi memelihara rambut panjang,” kata Bonar jika melihat ada gadis masih punya rambut lewat sebahu. Seakan Bonar alergi terhadap rambut panjang yang mengingatkannya pada Jenny. Dia bersumpah dalam hati, tak akan mau lagi mengagumi rambut panjang perempuan.(rumah sepi, Maret 2014/SARINGAR.Net)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar