Kalau di Indonesia, hukum itu sering dianggap pakai per karena seperti bisa dibuat suka-suka menurut selera dan backing, maka di pulau wisata Samosir, Sumatera Utara, jangan coba-coba melakukan kejahatan. Apa lagi kalau kejahatan itu kategori berat: hukuman pancung kepala sudah pasti siap dijalankan, dengan algojo (eksekutor) yang tentu berdarah dingin siap memegang pedang yang sudah diasah dengan telaten sehingga ketajamannya terjamin untuk memisahkan kepala terhukum dari badan.
Tetapi,
jangan dulu mengerutkan kening. Mungkin ada pertanyaan: apakah hukuman
pancung itu berlaku untuk seluruh wilayah pulau wisata andalan Sumut
itu? Jawabnya, tidak! Hukuman mengerikan ini hanya berlaku di seputaran
Huta (kampung) Siallagan, sebuah desa yang dulunya merupakan sebuah
imperium kecil tapi sangat disegani di Tanah batak. Kampung yang
didirikan marga Siallagan ini tak jauh dari destinasi Tuktuk, Simanindo,
hingga sekarang masih memiliki nilai-nilai kepurbakalaan yang tak
ternilai dengan uang. Ada rumah-rumah Batak kuno yang meski sudah
disentuh renovasi, namun unsur keaslian masih terjaga. Di tengah kampung
yang dikelilingi bebatuan besar berusia ratusan tahun ini, terdapat
sebuah pohon beringin tua yang konon usianya berkisar 400 tahun ke atas.
Di kampong ini pula masih terjaga dengan baik, sejumlah kursi-kursi dan
meja terbuat dari batu yang juga usianya ditaksir sudah beberapa abad.
Termasuk peralatan terbuat dari batu untuk pelaksanaan hukum pancung
bagi orang yang telah divonis melalui sidang raja-raja, di antaranya
batu alas yang dibuat melengkung untuk leher orang terhukum sebelum
dieksekusi.
Di bawah
pohon tua itu tersusun sejumlah kursi dan meja batu, berdekatan dengan
rumah berarsitektur Batak kuno serta patung batu yang usianya juga
disebut sudah di atas tiga ratus tahun. Salah satu rumah kuno itu
dinamakan Roemah Bolon (rumah besar), dibangun kembali oleh Raja Hendrik
Siallagan tahun 1936, dibantu oleh St Jesayas Siallagan, dua tokoh
utama Hoeta Siallagan sebagai penerus generasi yang mendiami kampong
unik ini. Raja hendrik Siallagan seperti tersurat di rumah kuno itu
meninggal pada 2 Agustus 1951.
Meski
pun para leluhur kampong sudah tiada, kampong Siallagan tetap dijaga dan
dirawat generasi ke generasi. Kampung yang sepintas menimbulkan kesan
magis ini seperti penuturan warga di Tuktuk, sudah menjadi sebuah
kampung yang “dikeramatkan”. Dulu di kampong ini selain raja-raja, juga
ada semacam majelis yang sangat dihormati, yang antara lain fungsinya
mengawasi nilai-nilai luhur tradisional tetap terjaga. Majelis
bersama-sama orang-orang yang dituakan lainnya, membahas suatu masalah
krusial yang terjadi, bermusyawarah tentang langkah-langkah dan solusi
yang akan diambil, hingga menyidangkan seseorang yang dianggap telah
melakukan pelanggaran berat. Dan hukuman yang bakal dijatuhkan tidak
main-main: kepala terhukum dipancung oleh algojo yang siap melaksanakan
tugas dengan baik. Rapat majelis diadakan di kursi batu yang disusun
rapi di bawah pohon besar tadi.
Nilai-nilai
religius berbaur dengan nilai-nilai adat setempat, membuat Hoeta
Siallagan memiliki pamor tersendiri di wilayah pulau Samosir. Bahkan
sejak zaman dulu, saat Belanda masih menjajah negeri ini, tidak berani
macam-macam dengan nilai-nilai yang membungkus ketat kampung ini.
Pimpinan tentara Belanda selalu menghormati nilai-nilai itu, walaupun
secara de facto Belanda adalah pemerintah kala itu.
Nilai-nilai
ketempoduluan itu jugalah yang menempatkan Hoeta Siallagan menjadi
salah satu obyek wisata sejarah yang tidak sirna hingga kini. Nilai jual
kampong ini cukup tinggi selain panorama alam Tuktuk yang sudah
terkenal lebih se abad. Jumlah wisatawan domestic maupun mancanegara tak
terhitung lagi banyaknya yang masuk ke kampung Siallagan. Sudah
berjuta-juta banyaknya. Untuk masuk ke kompleks ini, tak terlalu banyak
prosedur. Ada pintu gerbang masuk dari sebelah pinggir jalan, terbuat
dari batu-batu besar, dan di sana tertulis Hoeta Siallagan. Yang penting
tamu berperilaku tertib, cukup melapor pada piket dan member sekadar
uang pemeliharaan, ya sudah bebas melenggang melihat keunikan-keunikan
yang ada di situ. Ada guide yang siap memandu anda, mengisahkan kilas
balik keberadaan Hoeta Siallagan secara detil. Seperti saat kompasianer
masuk ke sana bulan lalu, puluhan turis Singapura dan Malaysia secara
rombongan dipandu seorang guide yang dengan profesional mengisahkan
hal-hal yang terkait dengan sejarah kampung itu. Mulai dari riwayat
kampong, pohon dan rumah-rumah tua, kursi batu, dan lain-lain. Di
komplek ini juga terdapat kios souvenir berisi benda-benda unik
mencerminkan ketempoduluan Samosir. Benda-benda souvenir itu asli dibuat
warga desa yang tampak bekerja setiap hari. Banyak turis mancanegara
yang membeli untuk kenang-kenangan.
Saat
sang guide sedang menjelaskan riwayat kampong itu serta tentang hukum
pancung tadi, kompasianer menyela dengan satu pertanyaan:” kalau
misalnya saat itu ada koruptor seperti sekarang ini, tentu dihukum
pancung juga?” Sang guide menjawab sepintas, tanpa ada gurat senyum di
bibir:” Pokoknya untuk kasus-kasus berat yang dianggap menciderai citra
kemanusiaan, sesuai putusan sidang, akan dihukum pancung, nanti kita
saksikan tempatnya.” Para turis Malaysia dan Singapura yang mendengar
tuturan guide itu dalam bahasa Inggeris kelihatan terpukau. Diselingi
dengan bahasa Indonesia dan bahasa Batak, ada juga di antaranya yang
mengangguk mengerti.
Sang
guide dengan gaya profesionalnya menggiring turis ke sebuah tempat di
mana terdapat sejumlah kursi, meja, dan tempat eksekusi terbuat dari
batu berusia ratusan tahun. Dengan dibantu seorang warga kampong, guide
itu memperagakan bagaimana hukuman pancung itu dilakukan sebagaimana
biasanya. Ada sebilah pedang diayunkan dengan gerak menebas dari atas
terarah ke leher terhukum yang diperagakan seorang warga. Meski cuma
peragaan, tampaknya rombongan turis itu menunjukkan sikap ngeri.
Cewek-cewek cantik itu sampai merangkul temannya seraya menutup mata.
Tapi,
namanya peninggalan sejarah, soal hukuman pancung itu tentu saja tak ada
lagi saat ini. Itu terjadi sekitar tiga hingga empat ratus tahun yang
silam. Tapi seluruh peralatan eksekusi yang ditunjukkan di sini,
benar-benar masih orisinil. Batu-batu besar yang dulunya dipahat dan
diukir secara manual oleh tangan-tangan trampil yang mengagumkan.
Mungkin
di antara rekan kompasianer sudah pernah dari sana? Kalau belum pernah,
caranya gampang. Masuk dari kota turis Parapat, naik kapal motor tak
sampai setengah jam ke Tomok, atau naik feri setengah jam, terus dari
Tomok ke Tuktuk, dan dari Tuktuk naik sepeda motor, mobil, atau sepeda,
arah ke Ambarita. Turis bule kebanyakan memilih sepeda rental
mengeliling pulau berjuta pesona ini.
Baca juga kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar