Ilustrasi Maya (Ekspresiana) |
Awalnya begitu gampang, bermula di dunia maya. Bayangkan saja, kira-kira bagaimana itu dunia maya. Abstrak,tapi realistis. Buram,tapi bening. Repot tapi asyik. Semua orang bisa masuk ke dunia maya, tanpa meninggalkan dunia fana ini. Beda,kalau kita mau masuk ke planet Mars atau Venus, imposibel! Meski professor-profesor benua Barat terus sibuk berwacana, menciptakan trik keilmuan mencari air kehidupan di sana.
Ada
pintu yang sederhana tapi lumayan rumit,ketika aku tiba di dunia maya
suatu senja bergerimis. Pintu masuknya gampang via komputer di
warnet-warnet,atau mau yang lebih kecil dan praktis,via handphone yang
lumayan canggih,dan mau yang lebih canggih lagi melalui pintu smartphone
yang lazim disebut tablet .
Belum
seminggu aku masuk lewat jendela FB (facebook), sudah ada 33 orang yang
harus kukonfirmasi jadi teman. Hanya empat orang pria, selebihnya
perempuan. Dari 29 perempuan ada dua orang berstatus “ira” (istri
orang), selebihnya gadis (ngakunya sih di status). Tak tanggung-tanggung
semua cantik-cantik,dengan aneka performa terkini.
Ternyata dari 27 orang my friend klasifikasi anak boru itu, sepertinya 25 di antaranya sekadar numpang lewat. Hanya dua orang yang mau bertahan chatting (curhat). Pakai blackberry
pula , sedangkan aku hanya numpang komputer di warnet. Yang 25 orang
sepertinya tak suka tersambung denganku lebih jauh. Mungkin melihat foto
profilku kurang ganteng atau karena tahu usiaku sudah kepala
empat,entahlah. Atau,mungkinkah karena namaku kutulis Sudung, di anggap
aku cowok kolot? Tapi,yang dua lagi, namanya Sinta dan Maya, sepertinya
berpotensi jadi teman setia. Keduanya paling rajin on line.
Apa lagi yang namanya Maya,aku paling suka. Orangnya manis, senyumnya
mengayun, lesung pipitnya bikin gemas.. Pikirku, itu baru di foto.
Bagaimana kalau lihat langsung,pasti lebih manis lagi.
Dari dua teman chatting
yang bertahan, akhirnya tinggal satu: Maya. Tak tahu aku kenapa Sinta
tak mau lagi membalas,kalau aku mengirim pesan. Bosan? Atau karena
namaku Hasudungan? Ah,tak mungkin. What is in a name,apalah
arti sebuah nama, seperti pendapat William Shakespeare. Yang penting
aku jujur meski itu di fb,sebab nama babtisku memang Hasudungan. Tak mau
aku gonta-ganti nama seperti orang lain. Itu namanya mengkhianati nama
pemberian ortu dan dibabtis, dan kata ibu nama itu diberkati Tuhan
lewat tangan pendeta. Tapi yang namanya Maya ini, sepertinya agresif.
Dari data personalnya, tertera dia orang Sumut , kelahiran Maret 1984.
Namun,sayangnya dia tak menyebut apa dia punya marga.Soalnya orang Sumut
sih. Dia hanya membuat namanya Maya Dameria.S.Entah apa S nya itu. Belum jelas.
Tapi, aku sendiri tak boleh sembarang menuduh Maya menyembunyikan identitas . Sebab,aku juga begitu. Nama facebook-ku
kubuat Sudung Partner. Tanpa embel-embel marga. Temanku si Togu dan si
Jamarulak juga begitu,tak bikin nama asli di fb. Alasannya,nanti jadi
repot,kenal sama teman semarga jadi “martarombo” (menelisik silsilah).
Sempat kutentang pendapat itu.”Sebagai orang Batak,ya harus ada
silsilah. Marga itu yang membuat kita bisa dekat satu sama lain. Makanya
ada ungkapan, jolo tiniptip sanggar lao bahen huru-huruan,jolo sinukkun marga asa binoto partuturan”
(Bertanya marga dulu supaya tahu tingkat kekerabatan). Temanku
Jamarulak terkekeh-kekeh mendengar ucapanku.” Pantasan nanti kamu bisa
jadi raja adat saja,” katanya. Tapi,ya sudahlah dia yang pertama
mengajari aku pamer diri di fb,dia yang bikin nama dan password-ku,karena
saat itu aku masih buta internet. Maka namaku yang terus bertengger di
fb itu ,”Sudung Partner”.Lumayan,keren juga pikirku. Maya pernah
tanyakan margaku, tapi dengan gurau kujawab,” Nanti ada waktunya kita
saling tahu marga, anda juga prinsipnya begitu kan? Anda sendiri tak mau
kasi tau marganya. Dulu juga kutanya marganya jawabanmu margarine.” Dia
tak marah dengan jawabku, dia malah mengirim SMS begini:” Okelah ,kita
draw nih, satu satu…he-he-he…”
Dua
bulan berinteraksi di facebook, asyik juga,walau agak repot. Aku harus
merogo kantong tiap hari, meski biaya rental komputer cukup murah, hanya
Rp 2500 per jam. Ada perasaan berbunga, manakala akhirnya Maya mau
memberi nomor hp-nya. Itu tandanya, ada kuntum baru pertemanan mengarah
lebih dekat. Urusan ngobrol tak harus nongkrong di warnet. Sekali-sekali
sudah bisa SMS. Lebih simpel dan praktis. Akhirnya suatu saat teleponan
langsung, dengar nada suara Maya yang pasti merdu,melebihi merdunya
kicau burung murai batu. Nuansa SMS kami lama-lama makin ceria, bahkan
boleh dibilang mulai romantis. Belum jadi pacar, sudah
romantis-romantisan. Ini suatu sinyal adanya titik temu. Ada benih-benih
perhatian. Teman tapi mesra.
“Capek deh ketik-ketik sms terus, boleh aku nelpon ya”, kataku suatu siang lewat SMS.
Tapi
sampai lima kali kutelpon, dia tak merespon. Aku jadi bingung dan
penasaran. Kenapa dia tak mau ditelpon? Lalu, SMS-nya menjawab,” Jangan
dulu Bang, maklum aku karyawati repot, bisa kena sanksi sama bos. Sabar
ya sayang”. Bah, rasa kecewaku langsung raib, dengan kata “sayang” yang
tak kuduga darinya. Okelah Maya sayang, gumamku dalam hati, berjuta
rasa. Saling pengertian itu di atas segalanya. Dia seorang karyawati,
haruslah dimaklumi. Tapi, ada pertanyaan lain mengusik. Masya Maya terus
sibuk siang malam. Apa malam juga tak boleh ditelpon? Akhirnya kutelpon
pada malam hari, sampai tiga malam berturut tak juga ada respon. Ada
nada terima dari hp-nya,tapi tak di angkat. Lalu, dengan hati kesal
ku-SMS dia: “Tolong angkatlah sekali saja, apa kerja malam tak ada waktu istirahat?”
Baru
esoknya dia balas,kali ini pakai bahasa Batak: “Abang tersayang,jangan
marah ya, ada waktunya kita ngobrol,sabarlah karena pada tahun baru ini
aku akan pulang kampung, di situ kita bertemu.
Kesal
di hati langsung mencair,seperti es batu meleleh. Lho, kenapa harus
kudesak-desak dia terima teleponku. Kan dia mau pulang kampung,alamat
kampungnya hari itu sudah dikasi, kalau tak salah kampung Nagatimbul,eh
atau Nagasaki? Katanya tak jauh dari pantai Danau Toba.Besok kuperjelas.
Hatiku pun terus berbunga. Ada memang galau di hati. Pertama, tak
saling mengetahui marga. Yang kedua, dia tidak (belum) mau ditelepon.
Tapi, mudah-mudahan kesabaran itu berbuah manis. Sepertinya benih cinta
mulai bersemi di hati kami berdua. Semoga ini namanya jodoh yang lama
dinantikan.
Tahun
baru sudah makin dekat. Arus mudik mulai ramai. Bahkan di kota
kelahiranku, bunyi petasan sudah mulai menggelegar-gelegar. Tiga hari
lagi Natal tiba,dan lembaran kalender Desember akan berakhir. Meski
hujan sering turun, tapi bagiku air hujan itu serasa melembuti relung
hati terdalam. Kerinduan makin memuncak,ingin bertemu Maya,jangan lagi
di dunia maya, tapi di dunia raya.
Tanggal
30 Desember, bunga dalam hatiku makin mekar,ketika kuterima
pemberitahuan darinya,dia pasti berangkat dari Jakarta naik Lion Air
pukul 7 pagi. Dari Polonia dia langsung naik taksi ke Toba. “Kujemput
dimana sayang,” tanyaku melalui
SMS. Makin berani saja aku bilang sayang. Lalu dia balas,” Jangan repot
kali to, terlalu jauh jemput aku ke Medan. Kalau abang mau, cukup
ditunggu aja di Parapat, kampung aku dekat koq, Cuma lima menit misalnya
naik becak.Oke ya? Astaga,nikmatnya SMS itu,bagai bunga mengembang hati
ini ingin melepas dahaga kerinduanku padamu. Aku terus menggumam
seperti mengigau. Seperti perasaanku dulu saat membawa ijajah lulus SD
mau kuperlihatkan sama ortu di rumah. Tak putus-putusnya aku
berimajinasi membayangkan pertemuan kami, ditempat yang disepakati, di
dekat restoran Singgalang.
Pukul
10.00 pagi itu kuterima lagi SMS-nya,memberitahu dia sudah di Polonia.
Ingin rasanya punya sayap, terbang langsung menjemput Maya ke tangga
pesawat. Kubayangkan, saat berjabat tangan pertama kali, menggenggam
tangannya yang lembut,menatap wajah ayunya yang romantic dan bibir
sensualnya seperti di foto profilnya, lalu akan buru-buru membawa barang
bawaannya ke dalam becak. Oh,betapa indahnya dunia ini karena cinta dan
kerinduan yang terpuaskan. Pasti orangnya seperti fotonya di fesbuk.
“Aku
sudah di dalam taksi sayang, kalau tak ada halangan kata sopir, kami
sudah di Parapat sekitar pukul tujuh malam,” SMS-nya itu meletupkan
buncah kerinduan tak tertahankan dalam hati ini. Rasanya waktu tujuh
sampai delapan jam penantian serasa tujuh kalender. Masih pukul 17.00
sore aku sudah nongkrong di kedai stasiun taksi. Tiap lima menit kulirik
jam tanganku. Bah, lambatnya jarum jam ini bergeser. Kemudian ku sms
dia, konfirmasi ciri-cirinya biar mudah dikenali begitu taksi tiba di
stasiun. Segera dibalasnya,” Aku pakai celana jins, kaos biru
putih,rambut diikat pita merah hati. Aku juga pengen cepat bertemu
abang,” Wah, sama-sama rindu, seperti lagunya Pance “ rinduku dan
rindumu menyatu…”i.
Pukul
19.00 kurang sepuluh menit, taksi yang ketiga dari Medan akhirnya tiba
di Parapat. Ternyata tinggal satu penumpang lagi yang turun di restoran
stasiun,yang lainnya sudah duluan turun entah di mana. Penumpang yang
satu itu segera kusongsong dengan debar jantung di dada.Dia pastilah
Maya. Sosok gadis bercelana jins dan kaos blouse kebiruan serta rambut
lewat sebahu diikat pita merah hati,tampak jelas oleh pantulan cahaya
lampu benderang dari pertokoan dekat stasiun. “Sungguh gadis hampir
sempurna,” gumamku merasa sebagai pria paling beruntung sedunia.
Kudekati gadis itu, kusapa dengan kesantunan yang terlatih:” Hello Maya…”
Gadis itu menatapku seperti heran, atau bengong? “ Hello juga , siapa
ya,” sahutnya bernada ragu. “ Sudung , aku Sudung,” kataku mantap,
berharap dia segera menghamburkan tawa girang.
Tapi,
apa yang terjadi. Ternyata dia geleng kepala.”Sudung? Sudung siapa ya,
rasanya belum pernah kenal,”katanya bernada cuek. Sinis lagi. Wajah ini
merasa ditampar tangan tak kelihatan. Bah! Apa-apaan ini. Jangan-jangan
ini bukan Maya teman fesbuknya. Aku masih bertanya,”Maaf , apa anda
bukan Maya yang di fesbuk?” Kulihat gadis itu tersenyum. Perasaanku
sedikit tenang melihatnya senyum. Lalu, kudengar gadis itu berkata
pelan,” Namaku memang Maya, tapi maaflah bang, aku gak punya teman
bernama Sudung. Jangankan di fesbuk, di dunia nyata inipun sepertinya
aku tak punya teman bernama itu”.
Aku makin tak
habis pikir. Sudah tepat nama gadis ini Maya, tapi kenapa sikapnya
begitu asing, tak seceria Maya teman curhatnya di fesbuk? Aku belum siap
linglung dengan keanehan itu.” Tapi , kok bisa kebetulan ya, temanku
itu namanya Maya, situ juga namanya Maya, jangan-jangan hanya bercanda sama aku”.
Ada
gurat kesal di wajah gadis itu, dia menyibukkan diri memberesi
kopernya, sambil berkata pada sopir yang tadi membawanya,: Daripada aku
naik angkot, apa ibapak sedia mengantarku ke arah jalan sana?” Sopir itu menjawab, “ Naaa, dari tadi gak
bilang begitu, kalau tempatnya terlalu jauh kami memang tidak mengantar
penumpang tapi kalau masih sekitar kota kami selalu antar. Oke , aku
antar tapi ongkos tambahan maklumlah ini sudah larut malam.”
Kudekati
si gadis, mengulang pertanyaan,” Jadi, ito bukan Maya gadis yang di
fesbuk?” Gadis itu menolehku, agak cemberut menyahuti,” Ada-ada saja
abang ini, masyak ibu rumah tangga seperti aku main mata dengan lelaki
lain, di fesbuk pula. Ah, nggaklah ya bang, amit-amit deh, bisa perkara
besar sama suami di rumah”.
Aku
terperangah, mungkin mulutku melongo, perasaanku bagai perahu yang
dihempaskan gelombang air laut ke pantai. Mobil itu sudah bergerak
membawa perempuan yang rupanya sudah bersuami itu, menerobos kegelapan
malam yang sepi. Aku termangu cukup lama di depan restoran, tak habis
pikir. Kalau yang tadi bukan Maya yang kucari, kenapa namanya juga Maya?
Apa dunia ini penuh dengan kebetulan-kebetulan? Puih, dasar nasib sial.
Yang satu Maya dari dunia mayapada, dunia yang fata morgana, yang itu
tadi Maya di dunia nyata,dunia raya. Wou, rasanya bermimpi, mimpi yang
amat buruk. Lalu siapa Maya yang kukenal di dunia Maya itu. Jangan-jangan hantu penasaran? Bah, bisa siap juga aku ini. Mulai saat ini aku jera berselancar di dunia maya. Celaka
13! (dari kisah pribadi seorang rekan yang linglung)