Selasa, 23 September 2014

Benarkah Babi Hutan Punya Rantai Sakti Mandraguna?









Dolok (gunung) Imun, Disini sering bersarang babi hutan
 Banyak kawasan hutan di Sumatera yang dihuni kawanan babi hutan. Tak hanya di Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, juga di Sumatera Utara. Kawanan babi liar yang di Tapanuli disebut “aili” itu, biasanya bermarkas di pinggiran sungai, goa, atau jurang yang berhutan lebat. Pada malam hari kawanan babi liar ini gentayangan memasuki area pemukiman penduduk, merusak dan melahap aneka tanaman pertanian. Utamanya makan ubi kayu, ubi jalar, palawija. Pada siang harinya binatang ini istirahat di hutan, tiduran di pinggiran sungai sepi yang jarang dikunjungi manusia. Babi hutan pun dikategorikan warga desa yang hidup dari pertanian, sebagai hama pengganggu tanaman seperti halnya jenis primata (monyet) seperti banyak berkeliaran di daerah wisata Parapat.
Di Sumatera Barat dan Lampung, babi hutan menjadi sasaran perburuan dari waktu ke waktu. Babi hutan yang berhasil dijerat atau dibunuh (biasanya dengan tombak), dikumpulkan kemudian dijual ke daerah di mana binatang ini masih dikonsumsi. Tak heran pasokan babi hutan ke Sumatera Utara hampir tiap tahun membanjiri berbagai daerah. Harganya di bawah harga babi peliaharaan.
Binatang pengganggu ini menjadi topik tulisan saya, ketika secara kebetulan singgah di sebuah desa di kawasan Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu untuk menghadiri pesta kerabat. Warga pada asyik membincangkan keganasan aili-aili (babi hutan) yang makin sering menggeledah areal perladangan penduduk, mengobrak-abrik tanaman jagung, ubi, sayuran, dan sebagainya. Seperti halnya di Kecamatan Tigalingga Pakpak Bharat, Dairi, sampai perlu dilakukan siskamling mengusir babi-babi hutan yang sering menyusup dalam jumlah besar merusak kebun warga.
Kawasan hutan Sijambur Desa Sisordak Kecamatan Parmonangan, 15 kilometer dari Tarutung, saat ini sedang berkembang menjadi salah satu areal perladangan unggulan Tapanuli Utara. Dulunya kawasan ini masih ditutupi pepohonan pinus dan semak belukar lebat. Tapi setelah warga sekitar turun tangan berjibaku (kerja keras) menggarapnya menjadi lahan produktif, kini Sijambur tampak menjadi kawasan terbuka. Puluhan warga Sisordak dan Tarutung ramai-ramai menanami tanah olahan dengan bibit kopi, jeruk, jagung, ubi kayu, dan padi gogo.
Para penggarap umumnya masih dililit kemiskinan. Untuk membeli pupuk saja mereka kewalahan. Sementara perhatian dari Pemkab, dalam hal ini Dinas Pertanian sebagai instansi terkait, sejauh ini belum terasakan. Sejak areal perladangan Sijambur dibuka empat tahun silam, warga secara mandiri bergotong-royong membuka jalan di sana-sini. Mereka juga membangun pondok. Ada yang sudah ditempati sebagai pemukiman, dan ada yang hanya sekadar tempat bernaung di kala bekerja siang hari. “Ini merupakan areal pertanian masa depan yang akan terus berkembang,” ujar Kepala Desa Sisordak, Pardin Purba kepada EKSPRESIANA. Dia berjanji akan mengupayakan pendekatan agar kawasan baru itu mendapat perhatian Pemerintah.
Namun, di balik sukses perjuangan membuka lahan baru itu, para penggarap diresahkan gangguan binatang liar jenis aili (babi hutan), yang sering bergentayangan di kebun-kebun penggarap. Sejauh ini memang gangguan yang diakibatkan babi hutan belum fatal. Sasaran hewan liar itu biasanya umbi ubi kayu, jagung, dan tanaman muda lainnya. Banyak ubi kayu dan jagung penggarap yang diobrak-abrik babi hutan. Diduga, hewan liar tersebut bersarang sekitar pepohonan di kawasan Dolok Imun atau sepanjang bantaran sungai dekat Sijambur.
Munculnya gangguan binatang liar ini telah mengundang amarah para petani Sisordak sekitarnya. Sebagai langkah antisipasi, mereka sering bergerilya memburu babi hutan, seraya memasang jerat di titik tertentu. Memang sulit mendapatkan binatang itu, namun warga terus bergerilya. Pernah beberapa kali binatang itu berhasil diringkus.
Simanjuntak salah seorang pekebun jeruk mengaku, ladangnya sudah sering diobok-obok babi hutan. Banyak ubi kayu yang sudah berbuah diobrak-abrik babi hutan. Pagi harinya terlihat bekas jejak kakinya ketika mengacak-acak kebun. Seorang rekannya,Silitonga yang ahli menjerat binatang liar, sudah memasang puluhan perangkap, namun sulit berhasil.
Selama sepekan minggu terakhir April lalu, puluhan warga melakukan pengepungan siang dan malam. Babi hutan yang jumlahnya cukup banyak tampak berlarian tunggang langgang, dikejar para pemburu yang membawa anjing pemburu. Babi-babi hutan itu berserakan ke sana kemari, namun tak satu pun yang bisa tertangkap. Ada yang merencanakan membuat poetas (antihama), tapi dikhawatirkan bisa menelan korban hewan peliharaan penduduk seperti ayam, bebek, atau anjing. “Kita akan buru terus sampai babi-babi hutan itu gentar dan lari meninggalkan tempat ini,” kata Tombus Purba warga yang ikut perburuan itu. Warga Sijambur lainnya mengatakan, biasanya babi hutan itu gentayangan saat hujan turun malam hari. Populasi babi hutan di kawasan itu diperkirakan mencapai ratusan ekor. Kawanan itu bermarkas di goa-goa pinggiran hulu sungai pada siang hari.” Ini termasuk binatang brengsek yang menjengkelkan,” kata warga.
Tapi, di balik amarah penduduk desa itu, rupanya ada motif lain kenapa rajin ikut bergerilya memburu babi hutan. Banyak warga percaya, dari sekian banyak babi hutan satu di antaranya yang dikategorikan “baragas” (yang tertua dan punya kesaktian), punya jimat berupa kalung yang disebut “rante aili” (rantai babi hutan). Katanya rantai babi hutan itu sakti mandraguna, seperti istilah legenda pewayangan Jawa.Rantai aili itu dilukiskan seperti terbuat dari kulit kayu yang keras, biasanya terlilit di leher sang baragas. Pada siang hari saat matahari terik, ada kala sang baragas menurut mitos itu meletakkan rantainya di celah semak yang terlindung ketika akan mandi di sungai. Kata beberapa warga, tak banyak babi hutan yang memiliki rantai seperti itu. Mungkin dari jutaan babi hutan, hanya satu yang “mewarisi”. Konon, sesuai keyakinan banyak penduduk desa di Tapanuli, rantai babi itu berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, bahkan siapa yang memegangnya walau besarnya hanya sebesar pasir, akan kebal terhadap senjata tajam.
Ketika berbincang dengan penduduk soal rantai babi itu, banyak warga geleng kepala saat ditanya  kebenarannya dan apakah pernah melihatnya. “Saya belum pernah melihat, tapi kakek kami yang berkisah tentang keampuhan rantai itu,” ujar Ompu Lasro Purba, dan menambahkan ia yakin tentang hal itu. Sementara warga lain membumbui, pernah melihat ada dukun besar memakai gelang terbuat dari rantai babi hutan, dan ia kebal terhadap senjata tajam bahkan peluru senjata api. Dari jaman dulu cerita tentang itu sudah ada, kata Ompu Lasro. Banyak yang percaya tapi banyak juga yang geleng kepala menganggap cerita itu mitos atau dongeng. Pernah juga terkabar ada datu (dukun) di alah satu kabupaten di Sumut, berhasil mengumpulkan banyak uang hasil penjualan rantai babi yang dipretelinya jadi kecil-kecil. Karena sebesar pasir pun kepingan rantai itu sama khasiatnya dengan semua rantai bila dililitkan jadi ikat pinggang, atau dikalungkan di leher.
Seperti pernah diakui sejumlah warga desa di Tigalingga, Dairi, banyak yang ikut berburu babi hutan tak hanya untuk mendapatkan babi itu untuk pemberantasannya, tapi juga termotivasi cerita tentang rantai babi yang walaupun belum pernah dilihatnya dengan mata sendiri. Cerita itu dari waktu ke waktu terus hidup, dan entah kenapa sulit pupus dari keyakinan kebanyakan warga terutama di desa. Benarkah babi hutan punya rantai sakti, dan benarkah berkhasiat untuk kekebalan seseorang yang memakainya, walau sebesar beras atau pasir? Penulis geleng kepala mendengar kisah itu. Tapi, siapa tahu ya, namanya dunia yang penuh tahyul. Bisa benar, bisa tidak. Tergantung pola pikir seseorang tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar