Senin, 08 September 2014

Riwayat Pilkada Langsung Bakal Tamat?




Pemilihan langsung (SH News)


 JAKARTA -  Demokrasi itu dinamis, itu benar. Para elit politik kerjanya bisa mengobok-obok sebuah peraturan perundang-undangan untuk diubah sesuai visi yang baru. Agaknya itu yang bakal terjadi sehubungan dengan munculnya wacana mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah langsung, ke sistem tempo dulu, yakni dipilih DPR/DPRD yang terhormat. Prokontra pun bergulir. Adalah PDI Perjuangan yang ngotot mempertahankan pilkada langsung dipilih rakyat jangan diubah. Partai besutan Megawati ini berpendepat, jika sistem itu dikembalikan ke zaman Orde Baru, itu langkah mundur demokrasi di Indonesia. Para pengamat demokrasi ramai-ramai meluncurkan opininya, jika itu terjadi (pilkada dipilih legislatif), maka tamatlah riwayat pemilihan langsung, yang sama artinya mengangkangi kedaulatan rakyat.
 Sebelumnya, putra Guruh Soekarnoputra, seperti juga dilansir blog anyar ini, telah melontarkan pandangannya, bahwa pemilihan langsung yang diberlakukan di Indonesia telah mengingkari Pancasila.Tampaknya pendapat Guruh itu mengundang ide baru agar sistem pilkada langsung itu diubah lagi ke sistem lama, dipilih legislatif.
  Pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh DPRD tidak sesuai sistem presidensial yang dianut Indonesia. Pilkada oleh DPRD juga tidak akan mengurangi praktik politik uang dan korupsi kepala daerah. Perubahan cara memilih kepala daerah seperti itu hanya akan mengangkangi kedaulatan rakyat yang ada dalam pilkada langsung oleh rakyat. Demikian pandangan sebagian orang.

Karena itu, dalam pembahasan RUU Pilkada, DPR diminta untuk tetap mempertahankan mekanisme pilkada yang diterapkan saat ini. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro Semarang, Hasyim Asyari, Jumat (5/9), mengatakan berdasarkan konstitusi, Indonesia menganut sistem presidensial. Salah satu ciri sistem presidensial adalah presiden sekaligus penguasa eksekutif dipilih langsung oleh rakyat.

Hal ini berbeda dengan sistem parlemeneter. Parlemen dipilih langsung oleh rakyat, kemudian parlemen yang memilih presiden.

"Untuk menegaskan dan menjaga konsistensi sistem pemerintahan presidensil, dalam pengisian jabatan kepala daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu langsung, bukan oleh parlemen," ucapnya.

Menyangkut argumentasi sejumlah fraksi DPR yang berpendapat bahwa pilkada langsung menyebabkan borosnya anggaran dan ongkos politik yang tinggi, menurut Hasyim, hal itu tidak berhubungan. Biaya yang tinggi bisa dikurangi dengan pelaksanaan pilkada serentak.

Pemilu DPRD Provinsi, DPR, kabupaten/kota diselenggarakan pada hari yang sama dengan pilkada gubernur dan wali kota. Dengan demikian, tiga pemilihan dijadikan satu sehingga menghemat logistik sekaligus honor penyelenggara pemilu.

Sikap sejumlah partai yang berubah setelah pemilu presiden (pilpres) dalam menyikapi RUU Pilkada patut disayangkan. Hitung-hitungan politik dalam menyusun UU menyebabkan banyak UU di negara ini tidak efektif dijalankan dan malah terus membuka ruang terjadinya proses korupsi.

Bukan Solusi
Direkrut Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardhani, menilai pilkada oleh DPRD bukan solusi menekan praktik politik dan korupsi pemerintah daerah. Persoalan politik uang dan maraknya korupsi kepala daerah merupakan akibat gagalnya partai politik (parpol) berbenah diri dan menyiapkan kader pemimpin yang baik.

“Akar masalah itu bukan sistem pilkada langsung, melainkan karena transaksionalnya parpol dalam merekrut calon kepala daerah," ujar Sri.

Awal mula biaya politik tinggi karena perilaku parpol yang meminta mahar kepada orang yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Bahkan, untuk membayar biaya "sewa perahu" yang besar, seorang calon kepala daerah sering kali harus meminta pendanaan dari pihak lain.

Politikus PDIP, Eva Sundari mengungkapkan, partainya tidak menyetujui pilkada oleh DPRD karena hal itu sama saja dengan upaya pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi.

Lagipula, tanpa pemilu langsung oleh rakyat maka tidak mungkin muncul tokoh-tokoh pemimpin yang disukai rakyat seperti Joko Widodo atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. "Kita tidak akan menemukan lagi tokoh-tokoh yang memang lahir dari rakyat," katanya.

Ia memandang, konstelasi sikap parpol terhadap RUU Pilkada lebih karena polarisasi kepentingan politik pascapilpres. Seharusnya, Eva mengutarakan, semua polarisasi tersebut berhenti setelah semua proses pilpres berakhir.

Sebelum pelaksanaan pilpres, semua partai menyepakati pilkada langsung oleh rakyat pada tingkat kabupaten/kota. Namun, pascapilpres, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PPP menolak pilkada langsung oleh rakyat.

Mereka adalah anggota Koalisi Merah Putih yang mendukung pasangan calon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa bersama PKS. Partai-partai tersebut yakin, dengan perolehan suara mereka saat ini, akan lebih mudah memenangi pilkada oleh DPRD.

“Perubahan sikap ini merupakan kelanjutan dari pilpres karena pihak Koalisi Merah Putih kalah sehingga ingin merebut kekuasaan di daerah,” kata pengamat politik dari UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad.

Hal ini dilakukan karena sentimen dan manuver politik ketidakpuasan dengan keadaan. Diduga hal tersebut adalah manuver politik Partai Golkar dan Partai Gerindra karena menganggap perolehan suara mereka cukup signifikan di daerah.

Wakil Bendahara Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo menyatakan, pihaknya menyetujui wacana tersebut berdasarkan kajian yang sudah lama dilakukan. “Kesimpulan sementara, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi rakyat dan kehidupan yang tenteram dalam berbangsa dan bernegara," tutur Bambang. (EKSPRESIANA/Sumber: SH News)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar