Rabu, 03 September 2014

(Catatan Tepi) Memori Kota Tarutung Najolo



Sado melenggang di jalan raya Tarutung tahun 1971 (Foto: Leonardo TSS)

  SARINGAR.Net- Mengenang kota tempat kelahiran, adalah bagian dari respek terhadap memori masa silam. Di kota Tarutung ini, bukan hanya editor blog  ini yang lahir. Ribuan, atau puluhan ribu lainnya yang pernah dilahirkan di kota tua yang indah ini. Mereka, tentu berpencar kemana-mana, dimana-mana. Banyak yang sudah jadi orang termasuk "hasea" (sukses) meniti kehidupannya. Dan, pasti ada saja yang ditimbang dari hoki, tak beruntung atau belum beruntung jadi orang yang bahagia menurut takaran yang lazim. Tapi, siapa pun mereka, dan bagaimana pun peruntungannya sebagai anak yang lahir dan pernah punya masa silam di kota ini, pasti pernah terkenang, atau minimal teringat kota yang namanya bermula dari pohon durian bersejarah itu. Kalau mereka tak pernah ingat kota ini, atau menganggap kota ini tak pernah ada dalam peta biografinya, itu sama artinya murtad dari sejarah.
Dulunya, Tarutung ini dari segi fisik kota, tak ada apa-apanya. Kecil, kumuh, lambat berkembang, monoton, atau entah apa lagi sebutan berbingkai ketertinggalan. Tapi kecil-kecil pun Tarutung, ini kota bernilai sejarah. Sebelum dan setelah masa penjajahan, Tarutung itu diperhitungkan Belanda sebagai basis pemerintahan strategis. Pusat perdagangan antarkecamatan-antarkampung, pernah berpusat di sini. Konon, di bawah pohon durian yang tumbuh di depan rumah dinas bupati itu, merupakan lokasi perdagangan sistem barter hingga era 40 an. Para misionaris dari Amerika, Jerman, Inggeris, juga menyukai kota ini ketika pada zaman itu, agama masih sesuatu yang asing. Misionaris sekelas Ingwer Luduig Nommensen, berikrar hidup atau mati akan tinggal di daerah ini, meski rintangan begitu komplit menghadang. Tarutung juga pada zaman dulu termasuk pusat pendidikan sebelum kemudian kiblatnya bergeser ke daerah-daerah lain. Di kota ini pernah ada MULO, dan hingga kini pusat HKBP (konon sekte protestan terbesar di Asia), belum bergeser dari Pearaja, perkampungan bersejarah religius yang mencatat ragam aktivitas berskala nasional internasional. Ketika desakan pemekaran terus menggema sebagai bagian dari spirit reformasi, Tarutung tetap eksis sebagai ibu kota kabupaten induk, Tapanuli Utara.
Teman-teman masa kecil saya di kota ini, Hasan Parapat, Nelson Hutagalung, Naek Tobing, Tolopan Simanjuntak, Benny Hutagalung, pada dimana sekarang. Apakah mereka juga melihat perubahan yang terjadi di kota kenangan ini. Sungai Sigeaon yang membelah dua kota ini, masih setia melintasi jalannya selama ratusan tahun. Jika ada yang berganti di sini, ya sesuai tuntutan zaman dan keamanan, tentu jembatan buatan Belanda dulu tak ada lagi. Tempat kita dulu mandi, terjun bebas dari jembatan tanpa memperhitungkan bahaya benturan yang bisa mencelakakan. Bagi yang sudah bisa mengingat tahun 1957-1958, saat perang PRRI meletus, pasti ingat dulunya dari depan kompleks HKI itu ada jembatan alternatif darurat yang disebut "jembatan senggol".Jembatan itu dibangun tentara Batalion 330 Siliwangi yang turun ke Sumatera menumpas kelompok yang disebut "pemberontak".
 Atau, mari kenang juga sadu (sado) yang dulu menjadi sarana transportasi klasik di kota ini. Masih ingat kita pangkalan sado itu dekat onan (pasar) di pinggir sungai. Saat kita lewat, harus sabar mengendus bau amis kencing dan kotoran kuda yang berceceran sembarangan.Sado itu lama terhapus dari jalanan, tersisih desakan modernisasi. Kalau pun sado itu masih ada untuk dilihat dan membangun kenangan, ya seperti di foto yang di atas itu, yang kebetulan masih terselip dalam arsip pribadi saya.
 Tarutung dulu (lihat foto tahun 1970), jauh sekali beda dengan Tarutung sekarang. Ingat dulu, onan (pajak) ada di pinggir jalan utama kota, berhadapan dengan bioskop Tobing. Lalu, onan itu sempat dipugar. Tapi terjadilah gempa tektonik pada 1987. Bangunan utama yang dibuat bertingkat itu retak-retak, walau bukan hancur total. Beruntung tak sedahsyat gempa Aceh atau Padang. Lalu, lokasi onan itu dengan pertimbangan pemerintah, dipindahkan ke arah Jalan gereja (HKI). Bagus juga itu, untuk pengembangan area perkotaan. Kemudian bung Hasan dan bung Nelson, rumah sakit yang dulu halaman sempitnya kita jadikan arena main bola kaki ayam dengan bola dibuat dengan kertas yang dipadatkan berbentuk bundar, masih ada sekarang. Cuma bedanya RSU dulu tempat nyaman bagi orang sakit, kalau sekarang sering dicerca karena kualitas pelayanannya yang menjengkelkan banyak orang. Dokter-dokternya sekarang tak sepintar dokter tempo dulu, atau juga tak sedisiplin dokter zamannya dokter PM Pakpahan yang kita kenal keras, tegas, galak, dan selalu membuat para pegawai dan perawat segan saat dia lewat. Masih banyak tempat yang dulu sering kita singgahi masih utuh walau sudah ada renovasi. Gereja HKBP Kota yang bibelvrowunya yang cantik berkacamata yang selalu kita kagumi, masih menjadi salah satu ikon sejarah, seperti juga perguruan HKBP di sebelahnya.
 Kalau kalian pernah pulang tapi jarang, dan tak begitu punya waktu memperhatikan kemajuan perkantoran, itu lihatlah kantor bupati yang sudah disunglap bertingkat menambah kegantengan kota ini. Markas polisi dan Kodim juga masih eksis di dekatnya.Tapi gedung pengadilan sudah bergeser agak jauh ke wilayah Sipoholon. Sementara di simpang empat ada tugu dengan arloji empat penjuru yang jarumnya sudah lama tak bergerak, dan juga ada taman dan bangunan menara lonceng. Menara ini konon masih terkait predikat Kota Wisata Rohani yang disandang kota ini. Agar warga kota selalu peka dengan panggilan gereja pada Minggu pagi.
 Saya tak setuju teman-teman, jika ada pendapat mengatakan Tarutung itu monoton. Siapa bilang. Lihat saja itu areal persawahan di pinggir jalan makin menciut, terjual untuk pembangunan rumah baru. Dulu Tarutung_Sipoholon itu masih lengang rumah, sekarang sudah hampir menyatu karena pertumbuhan bangunan rumah baru. Rumah kategori mewah pun sudah ada di beberapa titik, meski masih bisa dihitung jari. Dulu jarang bangunan bertingkat, sekarang sudah banyak. Bahkan bangunan bertingkat lima untuk pertokoan pun sudah ada, tak khawatir atau trauma pasca gempa 87. Hampir tiap saat terlihat truk-truk pengangkut tanah timbun lalu lalang di seputaran kota, menandakan proses penimbunan sawah terus berlangsung untuk pembangunan rumah. Itu juga mengindikasikan meningkatnya perekonomian masyarakat. Meskipun, tentu saja di sana-sini yang sangat kekurangan itu selalu ada. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar