Jumat, 26 September 2014

Wanita Itu Pejuang: Sudah Nenek pun Siap Memanjat



Kopinya sudah terlalu tinggi? Ya dipanjat saja... (Hms)

 Wanita Batak itu sering dikiaskan berjiwa baja. Dan jiwa baja itu bisa identik dengan predikat "pejuang". Ketika banyak  pria (suami) asyik ngobrol di kedai kopi atau tuak, sang isteri tak mau tinggal diam jibaku (kerja keras) di sawah ladang. Motivasinya sangat tegas: demi kelangsungan hidup, dan terutama memperjuangkan anak-anak jangan hanya sekadar bernafas, tapi juga bersekolah. Tak percuma komponis beken Nahum Situmorang (alm) mengarang lagu kontekstual ini: Hugogo pe mancari, arian nang botari, lao pasikkolahon gellengki...( Aku kerja keras siang dan malam, untuk menyekolahkan anak-anakku).
 Ikhwal perempuan di mana-mana mau dan mampu kerja keras, banting tulang, bukan sekadar ilustrasi. Tapi fakta yang bisa disaksikan di berbagai penjuru Tanah Batak. Sudah ibu menanggung sakit melahirkan anak, hingga membesarkan, maka ketika anak-anak sudah dewasa, tetap juga memikul beban berat, mencari nafkah dengan jibaku di sawah ladang. Terkadang terik matahari atau hujan lebat, tak lagi dirasakan. Potret romantika kehidupan ibu-ibu seperti itu terutama gampang ditemukan di pedesaan.
 Sebuah foto news dalam nota kecil ini memperlihatkan betapa benarnya ilustrasi seputar komitmen kejuangan perempuan Batak. Ketika sumber pendapatan juga bertumpu pada komoditas lain seperti kopi arabica yang banyak ditanami di pedesaan, rupanya usia tak menjadi faktor penghambat untuk ikut bagi nenek ini tekun memetik kopi di ladangnya. Bila pohon kopi sudah terlalu tinggi sehingga memetik buahnya juga jadi sulit, tapi bagi nenek ini tak ada kamus menunda saatnya untuk memetik. Memanjat pun mau dan sanggup, kalau kondisi fisik masih memungkinkan untuk itu. Nah! (Leonardo TS/EKSPRESIANA/Hms)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar